Oleh: Dianing Widya Yudhistira





Aku di sini. Berada di keting­gian menara. Menikmati senja. Senja kali ini berwajah pucat. La­ngit diam. Sepi. Melintas di depan­ku burung gagak bergaun hitam. Me­nari di depanku. Tarian yang se­be­lumnya belum pernah aku sak­si­kan. Seperti mengabarkan se­sua­tu yang ganjil. Angin masih terlalu cinta de­ngan kehadiranku. Ia sapa aku lem­but. Perlahan-lahan aku sapu anak ram­but yang tergerai di wa­jah­ku. Tulus. Gagak itu masih me­narikan ta­rian yang terluka. En­tah ten­tang apa.

Ketika senja berangkat ke ma­lam, perlahan-lahan burung Ga­gak menghentikan tariannya. Menatap padaku. Tatapan mata­nya yang tajam, seolah-olah menelanjangi batin­ku. Aku belum tahu apa yang se­sungguhnya Gagak sampaikan padaku.

Yang aku tahu, malam ini seperti tak punya nafas. Tak ada angin yang meliukkan tubuhnya. Pohon-pohon diam. Tak kudengar desah de­dauan. Gunung-gunung mem­bi­su. Demikian juga dengan ham­par­an laut di depanku. Diam. Malam begitu terbungkus kesunyian. Se­helai daun akasia yang menua, me­la­yang di udara. Jatuh. Terku­lai di ta­nah basah. Kesunyian kian leng­kap.

Aku masih di sini. Di ketinggian menara. Aku terpaku di ujung le­ngan cakrawala. Perlahan-lahan aku hela nafasku. Menghem­bus­kannya dengan bebatuan. Tak ada yang menemaniku, malam ini. Tak ada yang mengajakku bicara ma­lam ini. Hanya burung Hantu yang mau menampakkan diri. Seperti biasa. Ia adalah kekasihku. Yang selalu bercerita tentang bulan dan bin­tang. Yang memberi aku ke­da­mai­an. Ya. Seekor burung hantu. Mengham­piriku. Ha­nya saja matanya tak ber­sinar seperti hari-hari kemarin. Mata itu redup.

Burung hantu me­natapku. Kosong. Se­­baid lirik kehi­lang­an aku temukan di sa­na.

“Selamat malam, Dianing.”

“Kabut apa yang menodai matamu, hing­ga ke pendam ra­sa ngeri.”

“Engkau se­sung­guhnya, Dianing.”

Dibentangkannya tanda tanya di hadapanku.

“Di mana Lismatano sekarang Dianing.”

Aku tercenung. Ia menyebut nama laki-lakiku.

“Pergilah ke hutan Para, Dia­ning.”

Aku menautkan kening.

“Kau akan tahu.”

Tiba-tiba angin meliukkan tu­buh­­nya dengan gerakan yang dah­syat. Ia memintalku dengan ke­kuat­­annya. Dengan cinta ia ter­bangkan aku ke hutan Para.

Sekelilingku gulita. Tak ada cahaya. Tapi, cahaya bulan bugil membantu penglihatanku. Banyak pohon di kanan kiriku. Depan dan belakangku. Masyarakat pohon. Membisu dan gelisah.

“Inikah hutan.”

“Ya. Hutan Para.”

Suara burung hantu.

“Apa yang aku tahu.”

“Ikuti aku.”

Seperti perintahnya, aku ikuti langkah burung hantu.

Semakin aku mengikutinya, jalan yang menanjak kian gelap. Gelap dan sangat gulita. Hanya deru nafas yang dahsyat terdengar di telingaku. Deru nafas yang mem­buru dan aku akrab dengannya. Ter­padu dengan deru nafas yang lain. Entah nafas siapa. Aku lang­kahkan kakiku selangkah. Tiba-tiba di depanku terang ben­der­ang. As­taga!! Lismatano, laki-laki­ku ber­gumul dengan tubuh pe­rempuan lain. Gila!!!

Seketika itu angin kembali me­liukkan tubuhnya dengan dah­syat. Memintaku kembali. Entah da­­lam wak­tu seberapa detik me­ner­­bang­kan aku. Yang jelas kurang dari satu detik aku kembali berada di ke­tinggian menara.

Aku lunglai. Bayangan Lis­ma­tano dan perempuan itu terekam jelas di layar komputerku yang paling pertama. Malamku lunglai. Aku tahu burung hantu masih di sam­pingku.

“Untuk apa kau bawa aku.”

“Untuk menjelaskan padamu siapa sosok Lismatano.”

Aku hanya bisa menelan pil pa­hit. Menikmati segala luka hati de­ngan tulus.

Lismatano. Laki-laki yang sepenuhnya aku kagumi. Ternyata mampu menikam darahku.

“Apakah aku terlambat, Dianing.”

“Sama sekali tidak.”

“Mengapa batinmu begitu luruh.”

“Aku tengah belajar untuk bahagia dan damai dalam sendiri.”

Burung hantu tersenyum. Me­nge­­pakkan sayapnya di ketinggian me­nara ini. Selalu ia yang melin­dungiku. Telah aku putuskan untuk tak merajuk atau menerima Lisma­tano. Tak kan lagi aku melakukan kesalahan yang sama.

Malam telah melengkapkan usianya. Aku pandang wajah bulan. Lewat cahayanya ia mengucapkan salam. Aku dengar bisikan angin.

“Selamat malam.”

Aku membalasnya dengan menguap.

“Selamat malam, Dianing.”

Aku tatap burung hantu. Ia membimbingku ke kamar. Menyelimuti aku.

“Tidurlah dengan damai.”

Aku mengangguk. Aku tahu ia akan menjagaku sepanjang malam.

Di ketinggian menara ini.

Perlahan-lahan aku terlena. Hembusan semilir angin menerpa­ku. Sejuk. Perlahan-lahan aku terbawa ke dunia lain. Dunia yang selalu aku impikan. Hamparan luas rum­put hijau. Berbagai macam buah lezat dan makanan tersedia di sana. Di hamparan rumput itu mengalir parit. Yang airnya susu dan madu. Di hamparan luas rum­put hijau itu, para bidadari ter­se­nyum ramah.

“Oh kehidupan yang menye­nangkan.”

Sejenak kutinggalkan dunia. Aku benar-benar menikmati dunia lain ini.

Dalam tidurku, aku kembali terlempar ke dunia. Tapi, seperti ada yang menghalangi nafasku. Aku terengah-engah. Entah siapa. Wajahnya bersih. Ia bersayap dengan baju serba putih.

“Aku akan menjemputmu, Dianing.”

“Menjemputku!?”

“Ya. Ke alam baru. Kehidupan yang sesungguhnya.”

Aku tak mengerti.

Burung hantu menyentuh bahu kananku. Seolah mencegahku.

“Kau tak bisa menghalangiku. Ini perintah Tuhanku. Tuhanmu jua.”

“Ia masih terlalu muda.”

“Kehendak Tuhan.”

Aku lihat mereka berdebat. Mereka asyik dengan argumen-argumen mereka. Sementara aku hanya bisa menikmati perdebatan mereka.

Karenanya, burung hantu terkapar. Sayapnya patah. Sosok bersayap itu kembali padaku. Tangannya yang dingin menyentuh kulitku. Entah apa yang ia lakukan. Yang aku tahu, sungguh tubuh­ku merasakan sakit yang dahsyat. Setiap kali tarikan hebat itu lepas kembali ketika menyentuh di leher. Aku mengerjang, merin­tih, terpuruk, lelah.

Aku lihat burung hantu kembali bangkit. Kali ini tak ia pedulikan sayapnya yang terluka. Ia berusaha mencegah keluarnya rohku dari jazadku. Jadilah jazadku ajang pe­rebutan roh. Sosok bersayap itu meng­hendaki rohku. Burung hantu ingin rohku tetap menyatu dengan jazad. Mereka tak tahu bagaimana aku menahan sakit.

Cukup lama mereka bertarung. Entah berapa waktu. Karena sakit, aku merasakan sangat lama. Kekuasaan Tuhan tak ada yang mampu membendung. Hingga aku benar-benar terlempar ke dunia lain. Roh yang bertahun-tahun menghuni jasadku, kini telah diinginkan pemiliknya. Aku terbang tinggi tanpa tahu di mana akan berhenti.

Aku saksikan jasadku diman­dikan bunda dan saudara-saud­a­ra­ku. Beberapa orang yang menyayangiku hadir di kematianku. Mereka mengucap seuntai kalimat duka. Ketika jasadku dishalatkan, aku merasakan kesejukan yang sangat.

Tapi, aku merasakan sakit ketika bunda dan saudaraku terisak di makam. Ketika jasadku mulai dimasukkan ke liang, kedua saudaraku pingsan. Duh, jalanku tersandung semak belukar. Perlahan-lahan tanah menimbun Jasadku. Hingga merata dengan tanah. Terta­nam sudah jasadku di tanah. Aku melesat ke langit demi langit.

Beribu roh berkumpul di alam yang sulit aku uraikan. Berupa-rupa aku temui. Di depanku layar besar mengungkap kembali kisahku di dunia. termasuk kisahku dengan Lismatano. Aku merasakan getar aneh ketika melihat Lismatano. Entah, di alam yang lain ini aku masih mengenang Lismatano. Laki-laki yang pernah berjanji akan menikahiku.

Di tengah riuhnya roh-roh yang menuju pengadilan akbar itu, tiba-tiba muncul burung hantu. Ia menuju ke Tuhan. Ia mengadu tentang aku.

“Aku ingin Ia diberi keisitimewaan.”

“Tentang apa.”

Aku menatap burung hantu.

“Biarpun Dianing telah kau ambil, berikan ia kesempatan ke dunia.”

“Maksudku melihat dunia.”

“Ya.”

“Baik karena cintaku aku merestui Dianing. Aku izinkan ia suatu ketika turun ke dunia.”

Aku terpana.

Burung hantu mengepakkan sayapnya. Tersenyum dan memberi salam padaku. Aku membalasnya dengan anggukan tulus.

“Aku tunggu kedatanganmu di dunia, Dianing.”

“Bila Tuhan mengizinkan.”

“Tentu.”

Burung hantu terbang. Ia menembus awan, mega, bintang, bulan menuju ke dunia.

UNTUK pertama kalinya aku turun ke dunia. Atas izin Tuhanku. Aku lewati langit demi langit. Gemerlap bintang menyambutku, langit cerah. Bulan bulat penuh. Ia bugil di malam yang damai itu. Aku bertemu dengan mega.

“Cukup lama kami menunggu, Dianing.”

“Oh ya.”

“Cepatlah kau temui burung hantu. Lama menunggumu dan juga tengah menunggumu.”

“Ya.”

Aku lihat burung hantu terpekur sendiri. Aku lihat wajahnya sepi. Seperti menunggu kedatangan.

“Gerangan siapa membuatmu sepi.”

Matanya berpendar. Indah sekali. Ia menjerit.

“Dianing.”

“Ya.”

Kami berpelukan. Aku bahagia melihat secercah wajahnya yang ceria.

Wajah yang cerah itu tiba-tiba luruh. Aku temukan sebaid lirik kehilangan di matanya. Seperti berabad-abad lalu.

“Boleh aku tahu dukamu.”

Burung hantu menatapku. Tatapan yang sulit aku urai.

“Maukah kau ke hutan Para.”

“Hutan Para!?”

“Lismatano ada di sana dengan perempuan itu.”

Aku lunglai.

Tiba-tiba begitu sepi.

“Dianing,” panggil burung hantu lirih.

“Untuk apa.”

Burung hantu masih bertengger di pohon randu.

“Bila kau berkenan. Bukankah ia bagian dari hidupmu di dunia.”

Aku luruh.

“Bukankah mereka telah menikah.”

Burung hantu menggeleng.

Aku terpana.

“Lismatano tak pernah menikahi perempuan itu.”

“Lalu?”

“Lismatano memilih jalan buruk. Tak sekedar gelap, terjal dan mendaki.”

“Bicaralah.”

“Mereka seatap tanpa ikatan.”

“Maksudmu...”

“Ya.”

Aku tak mengira laki-laki masa laluku memilih hidup yang naif. Serumah tanpa ikatan sah sebagai suami istri.

“Kau tahu bukan perbuatan mereka melebihi hubungan suami istri.”

Aku kembali ke hutan Para. Lismatano, laki-laki yang pernah aku dambakan jadi suamiku. Telah berpaling dengan perempuan lain. Hidup bersama tanpa kata yang jelas. Di hutan Para itu aku kemba­li menyaksikan Lismatano bergulat dengan perempuan yang sama. Pergulatan yang dahsyat. Aku tak kuasa melihatnya. Tapi, entahlah mengapa tiba-tiba aku terpaku di depan mereka.

Lismatano dan perempuan itu terus bergulat. Saling menumpah­kan nafsu. Deru nafas memburu. Tiba-tiba... Aku tak percaya melihatnya. Tubuh Lismatano mengeras. Ia berubah jadi batu. Ya. Lismatano telah membatu. Kini tak bisa bergerak. Ia dalam keadaan yang mengerikan ketika membatu. Tubuhnya tumbuh lumut. Lebat dan kotor.

Aku terpana. Ngeri. Perempuan itu.

“Yuniz nama perempuan itu, Dianing.”

Aku hanya mengangguk. Ia tak membatu, tetapi tubuhnya berubah. Ia berkaki empat. Besar. Tubuhnya berbulu sangat lebat. Perempuan itu berubah binatang yang sangat mengerikan. Aku yang terpaku. Mulutnya lebar ke arahku. Siap menerkamku. Tapi burung hantu segera menerbangkan aku.

Aku di atas pohon randu. Lismatano telah membatu dan berlu­mut. Sementara perempuannya berubah binatang.

“Mengapa dengan mereka.”

“Itulah yang pantas mereka terima.”

Aku menghela nafas.

“Bulan pun tak sudi menyaksikan persetubuhan mereka.”

Aku menekuri tanah.

Aku berada di ketinggian mena­ra. Sebentar lagi aku harus kem­bali. Menikah dengan Lismatano hanya sebuah impian yang abadi. Kini aku hanya bisa merasakan sen­tuhan angin. Merasakan cinta dan kasih sayangnya. Ya. Dan aku ki­ni mulai belajar untuk damai dan ba­hagia dalam sendiri.***



Jakarta, Mei 1997.

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda