Oleh: Nadine Gordimer



Your Ad Here




Seseorang telah memintaku untuk menyumbangkan sebuah antologi cerita anak-anak. Kujawab bahwa aku tidak menulis cerita anak-anak. Orang itu mengatakan bahwa dalam suatu kongres/pameran buku/seminar yang diadakan baru-baru ini, seorang pengarang telah menghimbau agar setiap penulis menulis sekurang-kurangnya satu cerita anak-anak. Terpikir olehku untuk mengiriminya selembar kartu pos untuk menyatakan bahwa aku tidak sepaham dengan pendapatnya. Aku boleh menulis apa saja yang kuinginkan.

Kemarin malam aku terbangun tiba-tiba tanpa mengetahui apa yang mengejutkan diriku.

Sebuah suara dalam diriku?

Suatu bunyi.

Bunyi berderit-derit bagai langkah kaki yang diseret satu demi satu di atas papan seolah membawa beban yang berat. Kupasang telinga. Kupusatkan pendengaran. Bunyi berderat-derit itu bergema lagi. Aku menanti untuk mendengar kalau-kalau ada tanda yang menunjukkan bahwa kaki itu bergerak lagi dari satu kamar ke kamar lain. Aku tidak memiliki terali besi. Tak ada pistol di bawah bantalku. Namun aku juga kini merasa cemas seperti orang-orang lain yang serba waspada. Lagi pula kaca rumahku tipis bagai lapisan embun, mudah pecah seperti gelas anggur. Tahun lalu, seorang perempuan telah dibunuh (kata orang) di siang bolong. Anjing garang yang mengawal seorang duda tua dan koleksi jam antiknya telah dijerat sebelum ditikam oleh seorang buruh biasa yang telah di-PHK tanpa dibayar upahnya.

Kupandangi pintu, sambil membayang-bayangkan sesuatu dalam kepala --bukannya melihat-- di dalam gelap. Kutentramkan diri, tetapi degup jantungku tak menentu seperti menghantami jantungku. Tak dapat aku menumpukan pendengaranku karena gangguan yang ada pada siang hari. Kuteliti tiap bunyi yang paling perlahan sekalipun, mengenalinya baik-baik sambil memilah-milah kemungkinan ancamannya.

Namun, aku dilatih agar jangan merasa takut atau terancam. Tak ada bobot manusia yang menekan di papan itu. Bunyi deritan itu hanya disebabkan perasaan yang tertekan. Aku merasa ada di tengah-tengah tekanan itu. Rumah yang melingkupi tubuhku saat aku sedang tidur dibangun di atas bekas tanah pertambangan. Nun jauh di bawah kamarku, di dasar rumah ini, penggalian yang bertingkat-tingkat saat penambangan dan lorong jalanan tambang-tambang emas telah melongsorkan bebatuannya serta menyebabkan tanah ini jadi berongga. Jika ada permukaan yang bergetar, ia mungkin runtuh atau longsor 3000 kaki ke bawah. Seluruh rumah bergetar sedikit dan menyebabkan batu, semen, kayu, dan kaca yang menyangga rumah menjadi longgar. Degupan jantungku menurun seperti ayunan terakhir di atas zilofon, kayu yang dibuat oleh para penambang pelarian Chopi dan Tsoinga yang pernah berada di bawah sana, di bawahku, dalam perut bumi. Tingkat tempat adanya runtuhan mungkin tak digunakan lagi, air bertetesan dari rekahannya, atau mungkin ada orang yang pernah dikubur di situ dengan batu nisan yang menyedihkan.

Sukar bagiku untuk mencari tempat guna mengistirahatkan pikiran dan tubuhku. Merelakan diri tidur kembali. Akupun bercerita pada diriku sendiri; kisah dalam tidur.

Di dalam sebuah rumah di pinggiran metropolitan, tinggallah sepasang suami-istri yang saling menyayang serta hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka memiliki seorang anak lelaki yang amat mereka cintai. Mereka memiliki seekor kucing dan seekor anjing yang amat disayangi anak kecil itu. Mereka memiliki sebuah mobil dan sebuah trailer karavan yang digunakan untuk pergi berlibur. Ada pula sebuah kolam renang yang berpagar untuk mengelakkan anaknya dan teman-teman mainnya agar tidak terjatuh ke dalam kolam dan mati lemas. Mereka mempunyai seorang pembantu rumah yang amat bisa dipercaya, serta seorang tukang kebun yang rajin. Jadi, manakala mereka hendak memulai kehidupan yang bahagia untuk selama-lamanya, mereka telah dinasihati oleh seorang tukang sihir tua yang bijaksana, yaitu ibu sang suami, agar jangan mengambil siapapun di tepi jalan. Mereka tergolong masyarakat yang diberi kemudahaan dalam pengobatan, anjing peliharaan mereka diberi peneng, diri mereka diasuransikan dari musibah kebakaran, kerusakan akibat banjir, dan perampokan, serta menjadi anggota siskamling di lingkungan itu yang memberi mereka sekeping papan pengumuman di pintu pagar betuliskan "Dalam Lindungan Keamanan", mencegah kemungkinan perampokan, yang mungkin bertopeng hingga sulit diduga apakah ia orang kulit putih atau kulit hitam.

Sukar untuk mengasuransikan rumah, kolam renang, atau mobil mereka dari kerusakan akibat kerusuhan. Kerusuhan memang terjadi, tapi di luar kota, di mana orang kulit hitam ditempatkan. Orang-orang itu dilarang masuk kawasan pinggiran kota besar, kecuali pembantu rumah tangga dan tukang kebun yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, tak ada yang perlu dicemaskan, ucap sang suami pada istrinya. Namun sang istri masih merasa cemas kalau-kalau suatu hari nanti orang-orang ini akan turun ke jalan dan merusak papan bertuliskan DALAM LINDUNGAN KEAMANAN itu. Membuka pintu pagar, lalu memaksa masuk. Jangan mengomel saja, ucap sang suami, di sana ada polisi dan tentara, gas air mata dan senapan untuk mengusir mereka. Namun, saking cintanya, untuk menenangkan hati sang istri, juga karena bus-bus dibakar, mobil-mobil dilempari batu, dan anak-anak sekolah ditembaki polisi di kawasan pemukiman kulit hitam sana, jauh dari pandangan dan pendengaran orang-orang di kawasan tepian kota besar, sang suami telah memasang pagar berlistrik. Siapa yang menurunkan tanda DALAM LINDUNGAN KEAMANAN itu dan akan membuka pintu pagar, mesti menyatakan niatnya dengan menekan tombol dan berbicara melalui alat penerima yang disambungkan ke rumah. Anak kecil itu sungguh tertarik dengan alat tersebut dan menggunakannya sebagai walkie talkie dalam permainan polisi dan pencuri, bersama-sama dengan kawan-kawan yang sebaya dengannya.

Kerusuhan telah dapat ditanggulangi, tetapi pencurian banyak terjadi di kawasan tepian kota besar, dan seseorang pembantu rumah yang dapat dipercayai telah diikat dan dikunci di dalam almari oleh pencuri ketika ia diamanati untuk menjaga rumah majikannya. Pembantu rumah pasangan suami istri dan anak kecil itu merasa sedih dengan nasib malang yang menimpa rekannya. Seperti biasa, dengan tanggung jawab menjaga harta pasangan itu dan anak kecil mereka, pembantu rumah tersebut telah meminta majikannya untuk memasang terali pada pintu dan jendela rumah, serta memasang alarm. Sang istri berkata, benar ucapan pembantu itu. Ikutilah nasihatnya. Maka pada setiap pintu dan jendela rumah yang didiami oleh mereka dengan penuh kebahagiaan buat selama-lamanya itu, mereka melihat pohonan dan langit melalui terali, dan jika kucing piaraan anak mereka coba memanjat masuk melalui ventilasi untuk menemaninya tidur pada waktu malam sebagaimana yang biasa ia lakukan, kucing itu pun menyentuh alarm dan membangunkan seisi rumah.

Alarm tersebut nampaknya sering dijawab oleh alarm-alarm lain dari rumah-rumah lain yang disentuh oleh kucing piaraan mereka atau digigit tikus. Bunyi alarm yang nyaring, meraung dan menjerit, bersipongang satu sama lain, dan berselang-seling di halaman-halaman rumah, hingga akhirnya tidak diindahkan lagi oleh penduduk kawasan itu. Bunyinya dianggap biasa, sama dengan bunyi katak menguak hingga tidak mencemaskan para pencuri untuk mengambil kesempatan dan menggergaji terali-terali besi, lantas menerobos masuk, mengambil peralatan elektronik seperti hi-fi, televisi, tape recorder, kamera, radio, barang-barang berharga dan pakaian, serta kadang-kadang membongkar apa saja yang ada dalam lemari es jika merasa sangat lapar, bahkan berani istirahat sejenak untuk meminum wiski yang diambil dari dalam kabinet atau dari bar. Perusahaan asuransi tidak membayar ganti rugi untuk sebuah minuman malta sekalipun, kerugian besar hanya diketahui oleh pemiliknya saja. Pencuri-pencuri itu tidak langsung menghargai apa yang telah diminum oleh mereka.

Akhirnya, tibalah saat ketika banyak pembantu rumah dan tukang kebun yang tidak dapat dipercaya datang beramai-ramai memenuhi tepian kota besar itu, akibat menganggur. Setengahnya mendesak agar diambil bekerja: mencabut rumput, mengecat atap; atau apa saja. Tetapi sang suami dan sang istri teringat akan peringatan agar jangan mengambil orang yang tak dikenal. Sebagian dari mereka meminum minuman keras dan mengotori jalan raya dengan botol-botol kosong. Sebagian lagi meminta sedekah, menunggu sang suami atau sang istri ke luar dari pintu pagar yang berlistrik itu. Mereka duduk dengan kaki terjuntai ke dahan pohonan yang bagai sebuah lorong hijau di jalan raya. Sebuah kawasan tepi kota yang cantik jadi rusak oleh kehadiran mereka. Kadang mereka tertidur di depan pagar pada siang hari. Sang istri tidak sampai hati melihat orang yang kelaparan. Ia lalu menyuruh pembantu rumahnya mengantarkan roti dan teh. Tetapi pembantunya berkata bahwa mereka adalah para bandit yang akan mengikat dia dan menguncinya dalam lemari. Sang suami berkata, betul katanya, ikuti nasehatnya. Kau hanya membikin mereka jadi makin beringas dengan roti dan tehmu itu. Mereka mencari peluang kalau-kalau… . Dan sang suami pun membawa masuk sepeda roda tiga anaknya dari taman setiap malam karena jika rumah itu benar-benar selamat, setelah dikunci rapat-rapat dan alarm dinyalakan, seseorang mungkin masih dapat memanjat tembok atau pagar yang berlistrik itu untuk masuk ke dalam taman.

Benar katamu, ucap sang istri, kalau begitu tembok itu sebaiknya ditinggikan lagi. Dan perempuan sihir tua yang bijak itu, yaitu ibu sang suami, membayar untuk tambahan batu bata sebagai hadiah Hari Natalnya kepada anak dan menantunya. Si anak kecil pun mendapat pakaian orang angkasa dan sebuah buku cerita dongeng.

Tetapi, setiap minggu terdapat banyak berita tentang perampokan di siang bolong dan di malam yang sepi, bahkan pada waktu subuh, meskipun pada bulan purnama di musim panas yang indah, sebuah keluarga sedang menikmati makan malam ketika kamar tidur di tingkat atas dibongkar. Pasangan suami istri yang sedang berbincang tentang perampokan bersenjata terkini yang berlaku di pinggir kota itu telah diganggu oleh kemunculan kucing peliharaan anak mereka yang coba memanjat tembok setinggi tujuh kaki itu, berkali-kali, mula-mula memanjat ke atas dengan kaki depannya di permukaan dinding tembok, kemudian melompat dengan gerakan yang cantik dan mendarat dengan mengibas-ngibaskan ekornya ke dalam kawasan rumah. Tembok putih itu dikotori oleh bekas jejak kucing dan di bagian luar tembok yang menghadap jalan terdapat bekas jejak dari tanah merah yang lebar seperti tapak sepatu yang tersarung di kaki penganggur-penganggur yang membuang waktu tanpa tujuan.

Ketika sang suami, sang istri dan anak kecil membawa anjing mereka berjalan-jalan di kawasan kediaman mereka, mereka tidak lagi berhenti sejenak untuk menikmati keindahan pagar mawar di halaman yang kesemuanya kini tertutup di balik pagar serta tembok-tembok dengan peralatannya. Sang suami, sang istri, dan anak kecil mereka membuat pilihan menakjubkan. Sebuah pilihan yang murah, yaitu memasang pecahan kaca yang ditancapkan di atas semenan tembok dengan jerajak besi yang berujung tajam. Ada juga usaha untuk mencontoh kehalusan seni bangunan penjara berbentuk vila Spanyol (besi-besi tajam yang dicat merah jambu) dengan pasu-pasu berbentuk labu yang ditempel dengan lukisan klasik (besi-besi tajam yang panjangnya 12 inchi berlekak-lekuk dan bercat putih). Separuh tembok dilekatkan dengan papan kecil yang ditulis dengan nama dan nomor telepon perusahaan yang bertanggung jawab memasang peralatan tersebut. Sedang anak lelaki mereka dan anjingnya berlari ke muka, sang suami dan istri membandingkan setiap bentuk yang paling berkesan, dan selang beberapa minggu, saat mereka sedang berhenti di hadapan sebuah dinding tembok tanpa berkata-kata, keduanya membuat keputusan untuk memilih sebuah bentuk yang paling baik saja, yakni bentuk yang paling sederhana namun luhur yang direncanakan seperti bentuk kamp tahanan: tidak berbunga-bunga, kuat dan sederhana. Di sepanjang tembok, terbentang gulungan besi yang keras, berkilat, tajam bergerigi serta bercabang mata pisau. Ini semua menyulitkan orang untuk coba memanjat dan merangkak ke dalam gulungan itu tanpa dia tersangkut pada gulungan itu. Sama sekali tak ada jalan ke luar bagi mereka yang terlibat di situ. Setiap percobaan hanya akan menyebabkan darah keluar lebih banyak lagi. Semakin terkait, kulit makin terkoyak dan luka makin jadi dalam. Sang istri terpesona memandangnya. Betul katamu, ucap sang suami, siapapun akan berpikir dua kali… dan mereka mulai menimbang nasihat yang tercatat di atas papan kecil yang dilekatkan di tembok. Hubungi GIGI NAGA. Masyarakat ingin keselamatan yang mutlak.

Keesokan harinya, sekumpulan pekerja datang merentangkan gulungan berduri dan berpisau di sekeliling tembok rumah, di mana tempat sang suami, sang istri dan anak lelaki mereka yang kecil tinggal bersama-sama dengan anjing dan kucing peliharaan mereka dengan penuh kebahagiaan buat selama-lamanya. Cahaya matahari memancar dan cahayanya menerpa mata pisau bergerigi yang mengelilingi rumah tersebut, menyilaukan. Sang suami berkata, tak mengapa. Kilau itu akan hilang nanti. Sang istri berkata, tidak mungkin, mereka menjamin gulungan itu tahan karat. Dan sang istri menunggu hingga si anak kecil pergi bermain, lalu berkata, saya harap si kucing peka. Sang suami berkata, jangan cemas sayang, kucing selalu melihat sebelum melompat. Mereka benar, karena sejak hari itu, kucing mereka hanya tidur di kamar si anak dan bermain di taman saja, tidak pernah coba melanggar pagar keamanan itu.

Pada suatu malam, sang ibu membacakan sebuah kisah dongeng pada sang anak dari buku yang dihadiahkan oleh perempuan sihir tua yang bijak pada hari Natal. Pada keesokan harinya, si anak beraksi seperti seorang putra raja yang gagah berani melepas dan membabat duri-duri tebal untuk masuk ke istana dan mengecup sang puteri yang tidur serta menyadarkannya kembali. Si anak membawa tangga ke tembok. Ia menyusupkan diri ke dalam gulungan yang berkilat itu semuat-muat badannya. Kaitan yang pertama mengenai lututnya. Lalu tangannya, kepalanya. Ia menjerit kesakitan dan meronta semakin ke dalam gelungan itu. Pasangan pembantu rumah dan tukang kebunlah yang pertama kali melihat peristiwa itu, lalu segera berlari mendapati si anak kecil dan menjerit bersama-sama dengannya. Tukang kebun yang rajin itu telah luka tangannya ketika mencoba menyelamatkan si anak. Datanglah kemudian sang suami dan sang istri dengan tergopoh menuju taman. Dalam pada itu, entah apa sebabnya (mungkin kucing, agaknya) alarm pun menggila di tengah-tengah jeritan mereka, sementara si anak yang bermandi darah dikeluarkan dari gulungan dengan menggunakan gergaji, pemotong kawat, kapak, dan sebagainya. Mereka -sang suami, sang istri, pembantu rumah yang dipercayai yang tengah diserang histria, dan tukang kebun yang menangis- membawa anak itu masuk ke dalam rumah.*** Nadine Gordimer, lahir di Transvaal, 1923. Cerpenis dan novelis Afrika Selatan ini banyak mendapat penghargaan di bidang sastra, antara lain: Booker Prize, the W.H. Smith Commmonwealth Literature Award, dan the Scottish Arts Council Neil M. Gunn Fellowship. Dia seorang dosen tamu di Royal Society of Literature, dan anggota kehormatan American Academy and Institute of Art and Letters. Kumpulan cerpennya antara lain Livingstone Companions, Not dor Publication, Friday's Footprint, Selected Stories, A Soldier's Embrace, Jump and Other Stories, dan Something Out There. Nobel Sastra diraihnya pada tahun 1991. Diterjemahkan oleh Agus dan Nikmah Sarjono


Your Ad Here

READ MORE - Syahdan Pada Dahulu Kala

Oleh: Tayih Salih



Ketika itu aku pasti masih sangat muda. Aku tidak ingat tepatnya berapa umurku, tetapi aku ingat betul bahwa bila orang melihatku bersama kakekku, mereka akan menepuk kepalaku dan mencubit pipiku — hal-hal yang mereka tidak lakukan pada kakekku. Yang aneh adalah bahwa aku tidak pernah pergi bersama ayahku, kakekkulah yang akan membawaku ke mana pun ia pergi, kecuali pada pagi hari, ketika aku ke mesjid untuk belajar Quran. Mesjid, sungai, dan ladang itu — semua itu adalah hal-hal terpenting dalam kehidupan kami. Sementara kebanyakan anak-anak seusiaku menggerutu kalau harus ke mesjid untuk belajar Quran, aku malah senang melakukannya. Sebabnya, aku cepat menghafal Quran dan Syeh selalu memintaku untuk berdiri dan memperdengarkan ayat dari Sang Maha Pengampun kapan saja ia menerima tamu, yang akan menepuk kepala dan pipiku seperti yang mereka lakukan ketika melihatku bersama kakekku.

Sungguh, aku dulu mencintai mesjid, dan aku juga mencintai sungai itu. Segera setelah selesai membaca Quran pada pagi hari, aku akan melemparkan batu tulis kayuku dan melesat menuju ibuku, cepat seperti jin, dengan tergesa-gesa menelan sarapanku, dan berlari untuk menyelam di sungai. Ketika lelah berenang ke sana-ke mari, aku duduk di pinggir sungai dan memperhatikan patahan air yang mengalir menjauh ke arah Timur, dan bersembunyi di belakang hutan kecil rimbunan pohon akasia yang tebal. Aku suka membiarkan khayalanku dan membayangkan sebuah suku raksasa tinggal di belakang hutan itu, orang-orang tinggi dan kurus dengan janggut putih dan hidung tajam, seperti kakekku. Sebelum kakekku bisa menjawab pertanyaanku yang banyak, ia akan menyeka ujung hidungnya dengan jari telunjuknya, terasa lembut dan tebal dan putih seperti kain wol — belum pernah dalam hidupku aku menyaksikan sesuatu yang lebih putih atau lebih indah. Kakekku pasti juga luar biasa tinggi, karena aku tidak pernah melihat orang di seluruh daerah ini yang menyapanya tanpa harus mendongakkan kepalanya, atau belum pernah kulihat kakekku memasuki rumah tanpa harus membungkukkan badan begitu rendahnya sehingga aku mengingat bagaimana sungai akan mengalir memutar di belakang hutan kecil pepohonan akasia. Aku menyayanginya dan akan membayangkan diriku, pada saat aku sudah menjadi laki-laki dewasa, tinggi dan langsing sepertinya, berjalan dengan langkah-langkah yang lebar.

Aku yakin bahwa aku adalah cucu kesayangannnya, tidak heran, karena sepupu-sepupuku adalah gerombolan anak yang bodoh dan aku — begitu kata orang — adalah anak yang pandai. Aku biasanya tahu saat kakek menginginkan aku tertawa, saat untuk diam; juga aku akan mengingat saat-saat ia berdoa dan akan membawakan untuknya sajadah dan mengisi tempat air untuk wudhunya tanpa perlu ia memintanya. Ketika ia tidak memiliki kegiatan lain, ia suka mendengarkan aku membacakan ayat Quran dengan suara penuh irama, dan aku bisa mengatakan lewat wajahnya bahwa ia tersentuh.

Suatu hari aku bertanya tentang tetangga kami, Masood. Aku berkata pada kakekku, “Menurutku kakek tidak suka pada tetangga kita Masood?”

Yang dijawabnya, sesudah menyentuh ujung hidungnya, “Orang itu culas dan aku tidak suka orang macam itu.”

Aku berkata kepada kakek, “Apa sih orang culas itu?”

Kakekku menundukkan kepalanya sejenak, kemudian, memandangi luasnya ladang, ia berkata, “Kau lihat tanah yang ujungnya di padang pasir sampai ke tepi Sundai Nil? Ratusan feddans. Kau lihat semua pohon kurma itu? Dan pohon-pohon itu — sant, akasia, dan sayal? Semua ini jatuh ke pangkuan Masood, diwarisi olehnya dari ayahnya.”

Memanfaatkan kakekku yang membisu, aku mengalihkan pandanganku darinya ke daerah yang luas yang tadi diterangkan oleh kata-katanya. “Aku tidak peduli,” aku berkata pada diriku sendiri, “siapa yang memiliki pohon-pohon kurma itu, semua pohon itu ataupun tanah hitam yang pecah-pecah ini, yang kutahu itu adalah tempat bagi impian-impianku dan tempatku bermain.”

Kakekku kemudian melanjutkan, “Ya, anakku, empat puluh tahun yang lalu semua ini menjadi milik Masood — dua pertiga dari semua itu sekarang menjadi milikku.”

Ini jadi berita untukku, karena kubayangkan bahwa tanah ini sudah menjadi milik kakek sejak Tuhan menciptakannya.

“Tidak satu feddan pun milikku ketika aku pertama kali menjejakkan kaki di desa ini. Masood saat itu adalah pemilik semua kekayaan ini. Posisinya berubah sekarang, dan kupikir bahwa sebelum Allah memanggilku aku akan membeli sisanya yang sepertiga juga.”

Aku tidak tahu mengapa aku merasakan ketakutan pada kata-kata kakekku — dan rasa kasihan kepada tetangga kami Masood. Aku ingin sekali kakek tidak melakukan apa yang dikatakannya! Aku ingat Masood menyanyi, suaranya yang indah dan tawanya yang keras yang menyerupai suara air yang berdeguk. Kakek tidak pernah tertawa.

Aku bertanya pada kakek mengapa Masood menjual tanahnya.

“Perempuan,” dan dari cara kakek mengatakan kata itu aku merasa bahwa “perempuan” adalah sesuatu yang buruk sekali. “Masood, anakku, adalah lelaki yang doyan kawin. Setiap kali ia kawin ia menjual satu atau dua feddan padaku.” Aku dengan cepat menghitung bahwa Masood pastinya sudah menikahi sekitar sembilan puluh perempuan. Lalu kuingat tiga istrinya, penampilannya yang jorok, keledainya yang lambat dan pelananya yang tak terpelihara, galabia-nya dengan lengan baju yang robek. Aku sudah melakukan semua kecuali membersihkan pikiranku dari pikiran-pikiran yang berdesakan masuk ke kepalaku pada saat aku melihat laki-laki itu mendekati kami, dan kakek dan aku saling bertukar pandangan.

“Kami akan memanen kurma hari ini,” kata Masood. “Kalian tidak ingin ke sana?”

Walaupun begitu, aku merasa bahwa ia tidak betul-betul menginginkan kakek hadir di sana. Namun, kakek melompat berdiri dan aku melihat matanya bersinar sesaat dengan kecerahan yang luar biasa. Ia menarik tanganku dan kami menuju ke tempat panen kurma milik Masood.

Seseorang membawakan kakekku bangku yang ditutupi dengan penutup dari kulit sapi, sementara aku tetap berdiri. Di sana ada begitu banyak orang, tetapi biarpun aku kenal mereka semua, aku punya banyak alasan untuk memperhatikan Masood, jauh dari kerumunan orang banyak ia berdiri seolah itu bukan urusannya, walaupun kenyataannya pohon-pohon kurma yang akan dipanen adalah miliknya. Terkadang perhatiannya tersita pada bunyi rumpun besar kurma yang hancur terjatuh dari ketingggian. Sekali ia meneriaki seorang anak laki-laki yang bertengger di puncak pohon kurma dan ia sudah mulai menggarap rumpunan kurma dengan sabitnya yang panjang dan tajam, “Awas jangan sampai kau potong jantung kurmanya.”

Tak ada yang memperhatikan apa yang dikatakannya dan anak laki-laki itu terus duduk di puncak pohon kurma, dengan cepat dan penuh tenaga, menggarap cabang dengan sabitnya sampai rumpun kurma mulai jatuh seperti sesatu yang turun dari surga.

Namun, aku sudah mulai berpikir tentang kata-kata Masood “jantung kurma.” Aku membayangkan pohon kurma sebagai sesuatu yang punya perasaan, sesuatu yang memiliki jantung yang berdetak. Aku ingat ucapan Masood padaku ketika ia suatu kali melihatku mempermainkan cabang pohon kurma muda, “Pohon kurma, anakku, seperti manusia, merasakan kebahagiaan dan penderitaan.” Dan aku merasakan rasa malu di dalam diri yang tidak beralasan.

Ketika sekali lagi aku memandang luasnya tanah yang membentang di hadapanku, aku melihat teman-temanku berkerumun seperti semut di seputar batang pohon kurma, mengumpulkan kurma dan memakan sebagian besarnya. Kurma-kurma dikumpulkan menjadi tumpukan yang tinggi. Aku melihat orang berdatangan dan menimbang kurma ke dalam wadah timbangan dan menuangnya ke dalam kantung-kantung, yang kuhitung ada tiga puluh. Kerumunan orang bubar, kecuali Hussein si pedagang, Mousa si pemilik ladang di sebelah ladang kami sebelah Timur, dan dua laki-laki yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku mendengar bunyi siulan dan melihat kakek sudah jatuh tertidur. Lalu aku perhatikan Masood tidak mengubah cara berdirinya, kecuali ia memasukkan potongan tangkai ke dalam mulutnya dan sedang mengunyahnya seperti orang membuat perutnya kenyang dengan makanan yang tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan mulut yang masih penuh.

Tiba-tiba kakek bangun, melompat di atas kakinya, dan berjalan menuju kantung-kantung kurma. Ia diikuti Hussein si pedagang, Mousa di pemilik ladang di sebelah ladang kami, dan dua orang yang tak dikenal. Aku melirik Masood dan menyaksikannya sedang mendekati kami dengan luar biasa perlahan, seperti seseorang yang ingin mundur tetapi kakinya memaksa maju. Mereka membentuk lingkaran di seputar kurma dan mulai memeriksanya, beberapa mengambil satu dua kurma untuk dimakan. Kakek memberiku segenggam penuh, yang kemudian kukunyah. Aku melihat Masood memenuhi kedua tangannya dengan kurma dan membawanya ke dekat hidungnya, lalu mengembalikannya.

Kemudian aku menyaksikan mereka membagi kantung-kantung itu di antara mereka. Hussein si pedagang mengambil sepuluh; masing-masing orang tak dikenal itu mengambil lima, Mousa si pemilik ladang di sebelah ladang kami di sisi Timur mengambil lima, dan kakek mengambil lima. Aku yang tak mengerti apa pun melihat kepada Masood dan menyaksikan matanya bergerak ke kanan dan ke kiri layaknya dua ekor kucing kecil yang tidak tahu jalan pulang ke rumah.

“Kau masih berhutang lima puluh pound padaku,” kata kakekku kepada Masood. “Kita bicarakan itu nanti.”

Hussein memanggil pembantu-pembantunya dan mereka menggiring keledai, dua orang asing itu membawa unta, dan kantung-kantung kurma itu dipunggah ke atas punggung binatang-binatang itu. Salah satu keledai mengeluarkan suara ringkikan yang membuat mulut unta-unta itu berbusa dan mengeluh ribut sekali. Aku merasa mendekati Masood, merasakan tanganku mengarah padanya seolah aku ingin menyentuh keliman pakaiannya. Aku mendengarnya mengeluarkan suara di tenggorokannya seperti rintihan domba yang akan dijagal. Untuk alasan yang tak kuketahui, aku merasakan sakit yang teramat sangat di dadaku.

Aku berlari ke kejauhan. Mendengar kakekku memanggilku, aku sedikit ragu, kemudian melanjutkan perjalanan. Aku merasa pada saat itu bahwa aku membencinya. Aku mempercepat langkahku, sepertinya aku membawa di dalam diriku sebuah rahasia yang ingin kuhindari. Aku mencapai tepi sungai di dekat belokan di belakang hutan kecil pohon akasia. Kemudian, tanpa tahu mengapa, aku meletakkan jariku ke dalam tenggorokanku dan memuntahkan kurma yang sudah kumakan.*** Tayeb Salih (Al-Tayeb Salih), dilahirkan pada tahun 1929 di desa Al-Debba di Sudan Tengah. Tentang desanya itu, ia pernah me­nyatakan bahwa ia masih merasa tinggal di sana mengembara ke mana-mana. Masa ke­cil­nya dihabiskannya di desa itu. Keluarganya adalah petani dan guru. Ia mendapatkan pen­di­dikan tinggi di Universitas Khartoum, yang ke­mudian dilanjutkannya di beberapa univer­sitas di Inggris. Ia pernah menjadi guru di Su­dan, namun sebentar kemudian ia bekerja di BBC sebagai perencana siaran drama dalam bahasa Arab. Salih mulai menulis tahun 1953, tetapi kumpulan cerpennya yang pertama, yang hanya berisi tiga cerpen baru terbit tahun 1968. Cerpen "Segenggam Kurma" ini diambil dari kumpulan tersebut, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Denys Johnson-Davies, yang kemudian bersama sejumlah cerpen Afrika lain dikumpulkan oleh Charles R. Larson dalam Under African Skies. Mo-dern African Stories, 1997, Edinburg: Payback Press. Cerpen ini diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono.
READ MORE - Segenggam Kurma

Oleh: Yus R. Ismail



“Bercerminlah dengan khusuk, maka kamu akan melihat diri sendiri,” kata suara entah dari mana yang selalu bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku ini.

Setiap tengah malam aku terbangun dan mencari-cari cermin. Betapa sunyi keinginan ini. Bukankah setiap hari aku menjadi aku, menjadi diri sendiri, karena aku memang bukan seorang pemain sinetron atau drama. Aku toh bukan Dedi Mizwar yang biasa memerankan Naga Bonar atau apa dan siapa saja.

Tapi sering aku tiba-tiba asing dengan diri sendiri. Begitu banyak perilaku yang tidak bisa dimengerti mengapa pernah aku lakukan. Dan begitu banyak keinginan yang tidak aku lakukan. Aku tidak bebas lagi bergerak, berekspresi, menerjemahkan hati menjadi apa saja.

Aku merasa tubuhku ini bukan lagi rumah pribadiku. Di dalamnya, bisa jadi telah dibangun kamar-kamar yang sadar atau tanpa sadar telah aku kontrakkan kepada entah apa dan siapa. Tubuhku menjadi media ekspresi penghuninya yang bukan aku saja itu. Maka tanganku, mulutku, kakiku, mataku, lidahku, bisa bergerak selain diperintah olehku.

Kesadaran itulah yang mendorongku untuk bercermin, setidaknya untuk mengetahui siapa saja penyatron ruang-ruang tubuhku yang sadar atau tanpa sadar sempat kukosongkan itu. Bila sudah mengetahuinya, aku ingin mengusirnya, dengan kekerasan atau tanpa kekerasan.

Setiap suara entah dari mana itu bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku, aku pontang-panting mencari cermin. Aku memasuki wc-wc umum, mushola, gereja, candi, hotel, diskotik, tapi selalu berakhir dengan kelelahan. Semua cermin yang kutemukan tidak bisa lagi dipergunakan. Semua cermin telah retak dan pecah.

Tapi keinginan yang mencekam itu selalu membangun kelelahanku menjadi orang yang pantang menyerah. Maka aku menemukan cermin itu saat keinginan yang sunyi itu menusuk-nusuk seluruh tubuhku dengan pisau cekamannya. Seluruh anggota tubuhku mengalirkan darah. Aku merasakan suatu kesakitan yang nikmat saat darah itu mengucur setetes demi setetes. Aku teringat masa kecil saat emosi telah memuncak aku melepaskannya dengan tangisan yang keras dan merasa tenang setelah tangis itu berhenti. Teringat kelegaan dari tangisan di waktu kecil itu, tiba-tiba aku tidak bisa yakin apakah cairan yang keluar dari seluruh tubuhku itu benar-benar darah atau air mata.

Keraguan itu menjadikan aku merasa sekali waktu cairan yang keluar dari tubuhku itu benar-benar air mata dan di waktu lain benar-benar sebagai darah. Perubahan keyakinan itu memang begitu menyakitkan. Kesedihan, kepapaan, kesendirian, kesunyiaan, ketakberdayaan, ketaksempurnaan, kepedihan, semuanya menjadi silet-silet yang tanpa henti menoreh-noreh tubuhku. Tapi kesakitan itu pun aku rasakan menjadi kenikmatan yang tiada bandingannya. Barangkali kesakitan dan kenikmatan adalah dua hal yang menempati satu ruang kesadaran.

Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sebenarnya tidak perlu cermin. Tubuhku telah terpantul di mana-mana. Di tanah, angin, kabut, daun, batang, sampah, air, api, tubuhku terpampang seperti jutaan potret dari yang beragam betuk dan rupa.



***

PANGGIL apa saja maka aku akan menoleh. Namaku memang tidak jelas. Tapi ketidakjelasan itu merupakan kejelasanku. Bila bertemu denganku, di mana saja, jangan ragu-ragu untuk menyapa. Aku suka membicarakan apa saja dengan siapa saja. Tapi bila ingin ngobrol menghabiskan malam atau menghabiskan waktu menjadi tanpa ukuran, temui saja aku di kebun bunga.

Sejak kecil cita-citaku memang menanam bunga. Aku selalu terkenang dengan sebuah lukisan (yang entah di mana dan kapan pernah aku lihat) tentang seseorang sedang menyiram bunga dengan latar belakang langit senja yang kemerahan. Aku tak pernah lupa bagaimana air menetes dari ujung daun, bagaimana angin bergurau dengan tangkai mawar, bagaimana tanah menguapkan bau yang khas, dsb.

Lukisan penyiram bunga dengan latar belakang kemerahan langit senja yang entah di mana dan kapan pernah aku lihat itu terpantul kembali di setiap potret diri yang kulihat di mana-mana dan apa saja yang tiba-tiba kulihat sebagai cermin.

“Mau kamu mencoba menyiram bunga?” tanya si penyiram itu ketika aku begitu takjub dengan matanya. Di matanya, aku melihat berbagai metamorfosa menjadi warna-warna yang artinya tak terjangkau pengetahuan ilmu semiotikku. Ada pucuk yang diam-diam menjadi kesegaran daun menjadi kelelahan daun kering dan menjadi cekaman musim gugur. Ada kuncup yang menjadi keindahan bunga mekar menjadi keresahan kelopak-kelopak yang tanggal dan menjadi kesadaran kesementaraan. Dan begitu banyak lagi metamorfosa lainnya.

“Mau menyiram bunga?” tanya si penyiram itu sekali lagi. Dengan gembira aku mengangguk dan menghampiri. Aku ingin merasakan lebih dalam getaran metamorfosa dari banyak hal itu. Tapi begitu air jatuh dari gayungku, aku lupa dengan metamorfosa itu. Aku telah terbawa air, mengalir ke mana saja yang kumau. Aku menyusuri daun dan batang sambil mengingat kesakitan hutan yang ditebang dan di bakar. Aku meresap ke dalam tanah sambil mengingat hektaran hutan menjadi gurun tandus.

Aku mendengar kesakitan hutan itu seperti jeritan badai yang terus berdebur. Eh, aku tak yakin, ini sebuah jeritan atau geraman dari dendam. Aku tidak bisa membedakan suara keduanya. Sampai aku sadar bahwa badai itu hadir di dalam tubuhku, mengobrak-abrik ruang-ruang tubuhku. Aku banting-banting di tengah lautan yang kuciptakan sendiri. Entah berapa lama aku pingsan, karena tahu-tahu aku berada di pantai yang tenang dan pagi yang anggun. Aku merasa tubuh ini sakit-sakit, begitu lelah. Pantai apakah ini?

“Mau ikut denganku?” tanya seseorang dengan ransel besar di punggungnya yang mengingatkanku akan perjalanan yang panjang dan jauh.

“Pantai apakah ini?” Aku malah balik bertanya.

“Kuta.”

Beberapa jenak aku tercenung. Benarkah ini pantai Kuta? Melihat dari tanda-tandanya aku merasa ini Pantai Panjang.

“Ya, Pantai Panjang juga bisa. Atau Pangandaran. Atau Pelabuhan Ratu.”

Aku memandang orang yang aneh itu.

“Apa perlunya nama. Kamu bisa menamakan pantai apa saja sesukamu. Karena semua nama akan cocok dengan pantai ini.”

Siapa sebenarnya orang ini? Orang gila atau makhluk angkasa luar? Karena aku diamkan cukup lama, orang beransel besar itu terbang. Saat itulah aku yakin bahwa orang itu adalah angin. Aku menyusulnya sambil berteriak, “Aku ikut!”

Kami mendaki bukit menuruni gunung masuk ke lembah menyusup ke lorong-lorong. Bertahun-tahun kami mengembara. Barangkali sepanjang hidup ini akan dihabiskan untuk mengembara. Barangkali hidup memang pengembaraan itu sendiri seperti kata Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah cerpennya yang kubaca di toko buku entah di daerah mana. Setiap kaki melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi.

Barangkali benar bahwa nama-nama tempat tidak penting bagi seorang pengembara. Kami banyak menyaksikan beragam peristiwa di setiap tempat. Kami merasa peristiwa itulah yang lebih penting dibanding dengan nama-nama. Tapi sayang kami tidak mencatat peristiwa-peristiwa itu. Tidak bisa terbayangkan, berapa banyak kertas dan tinta yang akan kami habiskan bila setiap peristiwa dicatat. Tapi kertas dan tinta itu bukanlah alasan yang tepat mengapa kami tidak mencatat. Kami seperti punya kesepakatan bahwa sebaiknya memang tidak dicatat dan dibicarakan. Kami tidak bisa membayangkan, bila seluruh peristiwa itu tercatat, berapa milyar pembaca yang akan sakit.

Peristiwa-peristiwa itu memang penuh dengan darah dan rasa perih. Sepanjang sejarah, rasa sakit barangkali bagian dari hidup. Sungai-sungai mengalirkan air mata. Suara tangis terdengar di mana-mana. Air mata siapa lagi itu kalau bukan milik kita, karena hanya kita yang menghuni dunia ini. Maka kami, aku dan angin, pergi dari tempat yang satu ke tempat yang lain sambil merasakan rasa sakit sendiri-sendiri.

Setiap kaki melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi. Kami tahu tempat-tempat itu pun akan menyediakan hidangan kesakitan-kesakitan lain begitu kami datang, tapi kami tidak bisa tidak mengunjungi tempat-tempat itu. Barangkali merasakan kesakitan-kesakitan di tempat-tempat yang berbeda itu adalah hidup kami.

Keyakinan itu terus berada di hatiku sampai rasa lelah dan sakit tidak bisa lagi aku tahan. Aku sadar bahwa aku tidak seperti angin yang ditakdirkan sebagai pengembara. Aku pingsan entah berapa lama. Dan begitu terbangun, aku berada di sebuah taman yang entah bernama apa dan di mana. Saat kulihat ke sekeliling, aku yakin bahwa taman ini adalah lukisan yang terpantul di potret diri dari cermin-cermin itu.

“Mengapa berhenti menyiram bunga?“ kata seseorang yang sebelumnya kukenal sebagai si penyiram bunga itu. Tapi aku tidak mengacuhkannya. Aku lebih tertarik dengan matahari yang membuat langit memerah itu. Sinar lembutnya disambut hangat lebah-lebah yang tanpa lelah mencari madu dari bunga ke bunga. Eh, aku baru sadar di taman ini pun ada ulat yang terus-terusan memakan daun dan mengerek batang. Memandangnya sambil mencoba memahami kunyahan mulutnya aku merasa begitu dekat dengan ulat. Atau aku pun adalah ulat? Ah, aku tak mau mengikuti pengembaraan yang melelahkan itu. Aku tak mau pergi dengan ulat seperti yang pernah kulakukan dengan air dan angin.

Aku berdiri dan pergi.

“Mengapa tidak menyiram bunga lagi? Dengan menyiram, kamu bisa pergi ke mana saja. Ingatlah, kita tidak bisa tidak pergi. Kita tidak bisa merasa sakit dan perih. Karena sakit dan perih adalah hidup kita....”

Dan entah apa lagi yang diucapkan si penyiram bunga bermata penuh metamorfosa itu. Dia barangkali tidak sadar bahwa kepergianku dari taman itu pun adalah pengembaraan.***
READ MORE - Menyiram Bunga di dalam Cermin

Oleh: Abrar Yusra



Langit di atas kepalaku terpentang biru, me­ngi­rim­­kan sinar matahari yang menerobos menyilaukan mata. Dan panas terik seolah membakar udara pantai. Namun di bagian kota lainnya langit digantungi men­dung gelap dan bumi di bawahnya mungkin di­si­ram hu­jan. Pada hari pemakaman ayahku alam pun tidaklah adil.

Ayahku bukan pejabat atau tokoh politik. Namun ia adalah salah seorang tokoh masyarakat yang begitu dihormati di kota pantai yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa itu. Ketika meninggal ia masih pimpinan beberapa yayasan. Lihatlah, di bawah matahari silau para pelayat datang dari mana-mana untuk menghadiri pemakaman­nya. Maka bukit-bukit kuburan seperti jadi lautan manusia. Walikota pun ikut berjubal di tengah khalayak dan kini di panas terik ia dengan takzim sedang menyampaikan pidato kematian yang panjang dan entah kapan habisnya. Tapi apa peduliku. Siapa tahu, jangan-jangan mereka justru tertawa di hati masing-masing!

Di deretan depan kulihat adik-adikku. Masing-masing memasang muka dan pakaian berkabung yang sedemikian pantas, katakanlah tidak memalukan — termasuk Aditi kecil. Tapi aku tahu hati mereka lebih cerah karena ayah sudah meninggal dunia. Sebab yang paling merisaukan sebenarnya adalah saat-saat ayah bergulat di pembaringan, melawan pende­ritaan di hari-hari sekaratnya yang panjang. Dengan datangnya kematian ayah kami maka kesedihan besar pun berlalu bagi adik-adikku. Sebaliknya justru merupakan permulaan bagi kesedihan besarku.

Aku menatap matahari. Silau.

Aku memandang khalayak. Gelap. Tidak, silau juga.

Masih berbayang di ingatanku bagaimana mulanya. Tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu terbaring sehat-sehat saja. Ganjilnya, sewaktu-waktu dalam waktu pendek ayah pun berteriak-teriak dan tubuhnya menggelepar-gelepar melawan sakit. Ayah berkata, bagaikan organ-organ di dalam tubuhnya dipelintir tanpa ampun oleh tangan-tangan buas yang tak kelihatan.

“Di sini,” bilang ayah, sambil menepuk perut dan menitikkan airmata kesakitan, “tapi sudah hilang sendiri!”

Ayah malah mencoba tertawa. Seolah hanya diserang penyakit yang lucu. Ya, serangan sakit itu datang sendiri dan hilang pula sendiri. Ayah pun ragu apakah ia betul-betul sakit, perlu diobati atau tidak. Tapi ayah merasa perlu mendatangi sendiri seorang dokter spesialis di pusat kota.

“Tak ada gejala penyakit apa-apa,“ kata dokter.

Kami anak-anak ayah tidak puas dengan hasil pemeriksaan dokter. Sebab seperti semacam misteri, nyatanya serangan sakit demikian datang lagi lantas hilang lagi. Maka ayah kami bawa ke dokter spesialis yang lain dan tak ada hasilnya. Lalu kami mendatangkan sendiri seorang dokter ke rumah di pinggiran kota, juga tanpa hasil apa pun.

Rencana untuk membawa ayah atau mendatangkan dukun ditolak ayah mentah-mentah.

“Jangan,” cemooh ayah tertawa, seolah ia sudah sembuh. “Masa panitia yayasan rumah sakit diobati dukun kampung?”

Serangan penyakit aneh itu mulanya sekali dalam 20 hari. Tapi makin lama makin sering. Baru saja sekali enam hari, lalu sekali tiga hari! Kini sewaktu-waktu ayah bisa terserang rasa sakit, kapan saja di mana saja. Kami benar-benar kalang kabut. Sesudah berlangsung beberapa bulan masih belum ada dokter yang mampu mengenal penyakit ayah, apalagi mengobatinya. Dan sejak ayah mengalaminya di dalam mobil lalu ketika sedang berpidato, maka ayah tidak kami perkenankan keluar rumah sendiri.

“Lebih baiklah kalau ayah di rumah saja,” kataku.

Ayah sendiri sudah mulai menolak berbagai undangan rapat dan ceramah yang biasanya tak pernah dilakukannya.

Berita bahwa ayah sakit segera terbetik ke mana-mana. Maka para pengunjung pun pada berdatangan ke rumah. Ada yang ketawa sebab mendapati ayah biasa-biasa saja. Malah ayah bisa tertawa keras meskipun tubuhnya lebih kurus. Namun jika serangan penyakitnya datang, makin sering saja, tak peduli sedang ada tamu atau tidak, ketika sedang tidur atau lagi ngomong baik-baik, tiba-tiba ayah menggelepar-gelepar dan berteriak-teriak keras kesakitan, lalu mengerang-erang melepaskan kata-kata tak jelas yang berlepotan dari mulutnya.

Makin lama muka tua itu makin berkerumuk. Makin cekung dan sepi. Penyakit itu menganiaya ayah dengan semena-mena benar, sehingga membuatnya capek. Maka hidup ayah jadi aneh. Ia lebih banyak tidur dan makin lama hanya terjaga bila rasa sakit menyerang lagi tanpa ampun.

Malam itu para pengunjung sudah pada pulang. Yang tinggal hanya para tetangga, di antaranya tanpa bersuara main halma atau main kartu. Nampaknya seperti untuk bersenang-senang. Aku suka sikap terbuka para tetangga demikian. Mereka datang memang untuk sekedar menghibur atau menunjukkan rasa akrab pada kami tapi bukan menunggu atau mengharapkan kesembuhan si sakit. Siapa pun maklum bahwa kematian ayah memang tinggal soal waktu saja lagi.

Sudah larut dinihari. Adik-adik sudah pada tidur. Aku di kamar tidur ayah dihinggapi perasaan aneh: aku serasa mau sinting karena ayah tak sembuh-sembuh juga. Dan di ruang tengah kedengaran tamu terakhir yang sebelumnya bersamaku menunggui ayah sedang menu­tup daun-daun jendela.

Maka kudengar langkah-langkah memasuki pintu kamar. Nah, si kakek itu lagi, rupanya ia sudah selesai menutup jendela-jendela. Konon ia teman ayahku dulu.

“Bagaimana beliau?” ia bertanya. “Kambuh lagi?”

Aku mengangguk. Ia sudah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa malam itu serangan sakit ayah paling menjadi-jadi. Setelah berbulan-bulan maka seakan baru benar-benar kusadari bahwa tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu kini sudah keropos seperti kepompong busuk. Seperti digerogoti setan, tinggal tulang-tulang dibalut kulit keriput. Muka cekung ayah sudah menghitam. Sinar hidup dari matanya sudah padam!

Aku serasa mau gila. Tak tahan menyaksikan tubuh ringkih itu kembali menggelepar-gelepar. Tak ada daya untuk melawan perkosaan penyakitnya. Yah, seolah mataku dapat mengikuti atau membayangkan suatu makhluk tak dikenal bergedencak dalam tubuh ayah seperti seekor binatang liar seradak-seruduk di bawah selimut. Seolah menampik hidup dan penderitaan, maka:

“Jangan!” rintih ayah tak jelas. “Ampun, ampun!”

Lalu dengan sisa-sisa tenaganya yang amat lemah, ayah seperti memohon:

“Biarkan aku mati, mati!”

Maka ayahku menangis, barangkali juga pingsan lagi. Keterlaluan penderitaan orang tua itu. Aku gemas kenapa ayah tidak mati-mati juga. Hanya kematian yang mungkin mengakhiri penderitaannya. Rasanya berdosa membiarkan ayah hidup eh sakit teraniaya demikian. Maka aku berdoa untuk kematian ayahku. Tapi kematian rupanya tidaklah ditentukan oleh permintaan dan desakan seseorang. Ayahku meraung lagi. Seolah raung itu pun menghabiskan cadangan tenaganya.

“Harus kaulakukan sesuatu, Nak!” suara si kakek lagi. “Saya bisa membantumu.”

Aku menatapnya tak berdaya. Seolah mau bilang apa pun akan kulakukan asal ayahku tak dizalimi penyakit yang misterius itu lagi.

Lalu ia bilang dengan suara tenang tapi terang,

“Kamu kenal siapa ayahmu. Bagimu mungkin ia seseorang yang hebat. Yang gereseh-peseh bahasa Inggeris, punya mobil, pemimpin masyarakat yang modern. Tapi aku lebih kenal ayahmu sebab dulu kami pejuang gerilya yang harus mencari senjata dan bertempur. Segala cara kami lakukan untuk itu. Termasuk berguru ilmu-ilmu kebatinan, bahkan ilmu-ilmu hitam, ya ndak! Tahu apa itu ilmu hitam?”

Aku hanya melongo. Tak tahu aku, apakah harus menerima atau membantah kisahnya. Itu seperti dongeng dari dunia dan zaman lain. Ia tersenyum.

“Sederhananya ilmu iblis. Seseorang yang memelihara ilmu hitam sebenarnya memelihara iblis dalam dirinya, itulah yang diseru dalam mantra-mantra dengan nama Si Bujang Hitam atau Si Anjing Hitam!”

Panjang juga uraiannya. Tapi sejauh yang dapat kutangkap, cukuplah di sini kukatakan bahwa ilmu hitam terkutuk itu mengakibatkan maut pun menolak tubuh ayahku, karena iblis yang dengan persumpahan bersarang dalam diri ayahku takkan mati-mati sampai hari kiamat, sebab demikian firman Tuhan tentang iblis. Lalu ditambahkannya dengan suara tenang juga:

“Si iblis itulah yang menzalimi beliau. Maka jalan terbaik bagimu, yah, kaupungut saja Si Hitam. Maka beliau akan meninggal dengan tenteram!”

Ketika tubuh ringkih ayah menggelepar-gelepar lagi maka aku seolah benar-benar sedang dalam cengkeraman mimpi buruk. Sebab kubayangkan, _tidak, seolah kulihat nyata_, Si Hitam sedang sewenang-wenang seradak-seruduk di sana. Tak dapat kubayangkan bahwa iblis itu, benar-benar iblis, akan terus memperkosa ayahku. Tapi Si Hitam terus bergedencak menyiksa ayahku yang terkapar tidak hidup dan tidak mati. Maka tanpa pikir lagi kukatakan pada si kakek bahwa aku mau memungut Si Hitam, jika memang hanya itulah cara agar Si Hitam keluar dari tubuh ayahku — sesuai dengan persum­­pahan ayahku!

Tak usahlah kukisahkan bagaimana dengan bantuan si kakek itu, kami berhasil membebaskan ayah dari penderitaannya. Maka Si Hitam jahat itu kini mendiami diriku, meskipun aku tak merasakannya! Dan ayah pun, yang sempat sadar pada detik-detik terakhir, akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tubuh capek berkeringat, serta mulut komat-kamit begitu lemah...!

Kini di bawah matahari, di tengah khalayak ramai yang memenuhi bukit-bukit kuburan jelaslah bahwa memang ayahku sudah meninggal dan dihormati penduduk kota selayaknya. Kematian adalah pantas dan wajar bagi setiap orang. Tapi itulah suatu kematian paling ganjil yang pernah kukenal, bahkan paling terkutuk. Aku sendiri, betapa terkutuk, justru tidak sedih atas kematian ayahku. Sebab aku tak pernah membayangkan bahwa kematian ayahku harus kutebus dengan mewarisi keiblisan dan iblis ayahku dalam suatu upacara paling gila malam itu. Cara mati ayahku yang terkutuk itu hanya menjanjikan bahwa masa depanku tidaklah lebih dari pengulangan atau pelanjut kebusukan ayahku sendiri, betapa terkutuk! Ternyata aku tidak siap untuk itu.

Sebelumnya aku selalu mengagumi ayahku dan membayangkannya sebagai tokoh yang terhormat, yang berjuang dengan cara-cara terhormat, apa pun artinya. Bahkan aku ingin seperti itu! Ternyata ayahku memperdayakan orang-orang yang mengaguminya dan menjahanamkan aku, anaknya, karena aku kasihan padanya! Dengan perasaan kosong kulihat mayat ayahku diturunkan ramai-ramai ke lubang kuburan gelap, hina dan memalukan. Kalau aku tidak malu, malah sepertinya aku ingin mencincang-cincang mayatnya dengan pisau, atau kampak atau apa! Apakah Si Hitam mulai membuatku jahat?

Maka matahari yang menyilaukan ini, upacara pemakaman dan khalayak ini pun kurasakan sebagai bagian dari takdirku yang terkutuk sebagai pewaris biang dosa ayahku, benar-benar tidak adil dan menakutkan seperti mimpi buruk! Dalam hati aku menyumpah-nyumpah karena aku kehilangan makna diriku sendiri. Betapa terkutuk nasibku!***



Jakarta, 1992
READ MORE - Upacara Hitam

Oleh: Nh Dini



Pak RT tergesa masuk, bertanya kepada istrinya:

“Mana Iwan?”

“Belum kelihatan.”

“Jum’atan apa tidak dia.”

Istrinya tidak menang­gapi, karena Pak RT se­perti berbicara kepada di­ri­nya sendiri.

Perempuan itu sibuk menghitung bungkusan gula pasir yang baru se­lesai dia timbang. Satu on, seperempat, setengah dan satu kilo-an. Kini ma­sing-masing menge­lompok, di­ta­ta di rak warung. Te­tang­­ga lebih banyak mem­­­­­­­­beli kurang dari satu ki­lo. Maka kan­tung-kan­tung plastik kecil lebih ban­yak terisi di rak-rak itu.

Sudah tiga tahun ba­paknya Iwan menjadi RT. Karena dekat dengan Pak Lurah, dia sering men­­­da­pat persenan ke­un­tung­an menjual tanah atau rumah di kawasan sana. Dia me­mang mahir mem­pe­nga­ruh­i calon pembeli. Lalu bapaknya Iwan menjadi terkenal sebagai make­lar tanah dan rumah.

Pada suatu ketika, uang yang dia terima cu­kup untuk membeli se­buah rumah reyot di ping­­gir jalan, tidak jauh dari pa­sar Jatin­galeh. Bapaknya Iwan berpatungan dengan Pak Lurah, mendirikan usaha penjualan kayu, paving, ubin, semua keperluan MCK. Dan bila orang memerlukan barang yang tidak nampak di situ, Pak RT sanggup mencarikan. Se­mua tergantung pada komisi yang di­sepakati.

Iwan adalah sulung dari empat anak.

Pak RT bukan kepala keluarga teladan, karena anaknya lebih dari dua, lebih dari tiga. Sekarang se­te­lah rezeki semakin deras datang, dia bahkan se­ma­kin mengkhianati program pemerintah: dia ingin me­nambah dua atau tiga anak lagi. Dia pikir, buat apa rezeki kalau tidak untuk membangun keluarga besar! Padahal, tempat yang telah dia miliki itu sudah sangat pas. Dua anak lelaki, dua perempuan. Ke­betulan yang pe­rem­puan ber­ada di tengah-tengah. orang Jawa bi­lang: Sendang kapit pan­curan.1

Ketika ayahnya men­jadi RT, usia Iwan 16 tahun. Dia baru lulus SLTP. Adiknya yang terkecil de­la­pan tahun. Dan se­jak ayah­­nya mem­­­­­punyai ke­­­dudukan ter­sebut, se­ka­ligus meng­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­urus­i mu­da­-mudi kam­­pung, se­kaligus se­lalu repot di to­ko material bangunan, se­mua­nya berubah bagi Iwan.

Dia merasa hidup le­bih leluasa. Dia bebas, ka­­rena bisa berbuat apa pun sesuai kemauan­nya. Karena bapak itu jarang berada di rumah di saat Iwan pulang untuk ma­kan siang. Sore ketika ke­­banyakan ke­luar­ga ber­kum­pul, Pak RT ma­sih mengurusi usahanya. Atau bila tiba-tiba pu­lang sebelum pu­kul tu­juh, dia berge­gas mandi lalu pergi lagi me­mim­pin pertemuan ini atau itu di salah satu ru­ang­an kan­tor kelu­rah­an.

Jika ada tetangga yang usil bertanya me­nga­pa dia begitu cepat pergi lagi keluar rumah, jawabnya yang paling sering ada­lah “Saya ha­rus ke per­temuan.”

Atau:

“Muda-mudi itu ha­rus ada yang meng­arah­kan.”

Adik Iwan sudah be­rang­kat remaja, men­ja­di gadis kecil dan berani mem­pro­tes:

“Bapak pergi-pergi terus! Kalau tidak di toko, selalu di kelurahan!”

Anak-anaknya sangat hafal de­ngan jawaban Pak RT:

“Di toko aku tidak mengang­gur! Aku mencari uang buat kalian! Buat kita!”

Yuni, adik Iwan yang paling ce­rewet menginginkan ayahnya ka­dang­kala datang ke sekolah meng­am­bil rapor seperti orang tua- orang tua lain.

“Aku tidak punya waktu,” itu­lah jawaban Pak RT. Lalu diter­us­kan: “Biar ibumu yang pergi.”

Iwan hidup di luar, nyaris men­jadi anak jalanan, menggerom­bol bersama teman-teman sesama se­ra­gam SMU di perhentian bis, di warung-warung kopi atau di kios ro­kok yang juga menyediakan mi­nu­man pembakar tenggorokan. Rokok yang dihisap bukan lagi merk dikenal, melainkan lintingan da­un kering yang mampu mem­bi­kin perasaan melayang-layang. Tu­buh Iwan kurus kering. Tetapi tak sa­tu­ pun anggota keluarganya mem­perhatikan.

Semua nampak bahagia. Ke­luar­ga Pak RT kelihatan sejahtera. Pen­duduk sekitar tetap banyak yang tidak mampu. Tapi mereka me­nyukai Pak RT yang selalu pe­nuh pengabdian.

Rumah berganti ubin. Kini lan­tainya keramik putih berkilau. Ba­gi­an depan, seluruh kepanjangan dinding tertutup bahan yang sama, sehingga terang memantulkan ca­ha­ya hari. Ketika rumah di sam­ping dijual, Pak RT langsung mem­be­linya. Dia bikin sebuah ruangan polos, menjadi bangsal aula cukup besar. Di situ tikar digelar. Lalu dilengkapi meja-meja pendek. Ka­tanya, “Ini untuk pertemuan-per­te­mu­an. Pintu-pintu bisa dipasang atau di­copot. Bapak-bapak, PKK, mu­da-mudi rapat di sini. Dengan be­gitu, Mak kalian dan aku tidak akan sering berada di luar.”

Di waktu itulah ibu Iwan ber­ka­ta kepada suaminya, “Bikinkan aku warung. Se­ka­rang anak-anak sudah besar, aku ti­dak perlu memngawasinya. Aku ingin mencari uang sendiri. Beri aku modal. Kecil-kecilan saja. Ha­nya kebutuhan rumah tangga se­­ha­ri-hari.”

Ternyata dagangan itu pun ber­jalan lancar. Yang dijajakan di wa­rung bertambah: alat-alat tulis, bah­­­­kan perangko, meterai, obat-obatan.

Bapak dan ibu mabok dengan keberhasilan mencari uang. Dan ka­rena rezeki berlimpahan, pem­ban­tu yang dua orang ditambah satu lagi. Kadang-kadang menjadi tiga jika saudara ibunya Iwan da­tang dari lereng gunung Sumbing. Kemenakan, adik atau saudaranya ipar, siapa saja yang berasal dari de­sa sama. Pembantu itu bisa bertam­bah lagi di saat tetangga da­tang mengobrol. Kebanyakan pen­duduk di sana tidak se­be­run­tung keluarga Pak RT. Mereka se­lalu kekuran­gan. Selalu ada yang le­wat, lalu singgah, lalu membantu mengerja­kan ini atau itu. Ke­mu­di­an, tiba-tiba, dia ingat harus me­na­nak nasi atau menjemur cucian. Ibu­­nya Iwan tidak lupa menyum­pal­­kan uang dua ribu ke dalam geng­­gaman si tetangga. Di lain wak­tu, ada tetangga yang berani berkata, “Kalau boleh, minta gula dan kopinya saja sedikit.”

Dan kalau itu sudah diberikan, ada yang sampai hati menunjuk stoples di atas rak, sambil katanya:

“Apa boleh minta tehnya? Buat satu kali cem-ceman2 saja.”

Ibunya Iwan baik hati.

Sama seperti suaminya, dia ter­ke­nal sebagai orang yang tidak tega. Pasangan itu banyak me­no­long dan membantu penduduk se­ki­tar. Itulah salah satu sebab me­nga­pa bapaknya Iwan menjadi RT, dilanjutkan dipasrahi membina kaum muda di sana.

Pada suatu siang, Iwan sengaja memperlihatkan diri, turut ber­sem­­­­bahyang Jum’at di belakang ayah­nya. Mereka pulang bersama, berjalan kaki menuju rumah yang terletak tidak jauh dari masjid. Ka­li itu Iwan bahkan makan siang di me­ja keluarga. Yang terkumpul ada­lah ibu, ayah dan dua adiknya.

Sambil makan, Iwan menge­luar­kan kalimat yang sejak beberapa pe­kan didiktekan teman-teman­nya. Dia minta dibelikan ken­da­ra­an.

"Tidak usah baru, Pak. Asal masih bagus jalannya. Buat seko­lah.”

Pak RT punya sebuah kijang. Untuk toko, semula dia sediakan satu kendaraan bak terbuka. Tapi pe­kan kemarin dia tambah satu la­gi, karena seorang kenalan ter­de­sak kebutuhan uang, menawarkan­nya kepadanya. Bisa dibayar dua ka­li. Kebetulan memang ba­paknya Iwan sedang berpikir-pikir akan menambah sarana penataran pe­sa­­nan yang semakin sering datang. Orang terus membangun. Di ma­na-mana orang memerlukan kayu, ba­tu atau pasir. Sekarang, ken­da­ra­an yang kedua itu melulu hanya untuk mengangkut bahan-bahan kotor. Sedangkan yang pertama, se­lain buat keperluan toko, akan le­bih mudah disewakan buah pin­dahan atau lainnya jika bak be­la­kang selalu kelihatan bersih.

“Apa kamu naik kelas nanti kok minta dibelikan kenda­raan,” suara Pak RT tidak bertanya. “Ka­mu sudah memperbaiki pres­tasimu di kelas? rapormu yang pa­ling akhir jelek sekali, bukan?”

Ru­panya si ayah masih ingat juga bahwa anak sulungnya men­ce­­tak empat angka di bawah se­dang di catur wulan yang lalu. Hal ini agak mengejutkan Iwan. Ka­re­na dalam keseharian, Pak RT tidak pernah menunjukkan kepedulian tentang kehadirannya. Lebih-lebih menyuruhnya belajar.

“Kalau punya kendaraan sen­di­ri, aku bisa mengantarkan Yuni setiap pagi,” Iwan kelihatan tidak was-was mengenai angka-angka di rapornya.

“Itu benar,” tiba-tiba si ibu ikut urun bicara. “Apa lagi ini nanti mu­sim hujan, kendaraan umum selalu da­tang terlambat karena jalan ma­cet. Anak-anak repot, kena hu­jan...”.

“Di kelas, tinggal aku yang be­lum punya kendaraan,” kata Iwan la­gi. Dan dia tidak khawatir ayah­nya akan menyelidiki kebe­na­r­an­nya. Kebohongan memang sudah men­dasari hidup Iwan. Yang dia ka­takan tadi entah merupakan kebohongan yang keberapa kali yang dia ucapkan sejak pagi hari itu. Karena Iwan semakin sering me­­nga­takan hal yang hanya terjadi di kepalanya. Yang dia inginkan de­mikian. Kadang-kadang, ke­nya­taan dan harapannya sudah begitu me­nyatu, sehingga dia sendiri ter­je­rat dalam khayalannya. Mana yang sungguh ada, atau mana yang dia harap ada, ruwet menjadi satu.

Teman-temannya menyuruh Iwan mengambil uang di warung Mak. Kini teman-teman itu me­nyu­­lut api pemberontakan ter­ha­dap Pak RT:

“Ayahmu kaya. Baru saja mem­beli kendaraan lagi untuk toko­nya. Pa­dahal seharusnya kamu yang dibelikan kendaraan! Minta saja! Kalau kamu punya roda dua, kita bisa cari uang. Bisa turut berpacu di Jatidiri,” begitu kata Herman, temannya yang paling menonjol. Di mana ada kegiatan ber­ke­lom­pok, Herman-lah yang menge­pa­lai.

Stadion Jatidiri besar. Se­be­tul­nya merupakan kebanggaan pen­du­duk ibu kota propinsi. Tetapi pe­manfaatannya sangat kecil. Rum­put ilalang bertumbuhan nya­ris setinggi orang. Jika pertandin­gan akan diselanggarakan di sana, barulah bagian-bagian tertentu di­rapi­kan. Sudut dan selinapan yang dekat pagar dibiarkan, se­hingga ta­naman dan perdu liar berduri ber­desakan menjadi sarang aneka bi­natang melata. Di sanalah, di wak­­tu malam, terjadi kebut-ke­but­­an. Pemuda-pemuda tanggung memacu kendarasan mewah ber­o­da empat atau dua, sampai mobil-mobil dan kendaraan roda dua lain yang setengah rongsokan. Mereka tidak hanya melampiaskan nafsu mengatasi lawan dengan kece­pat­an. Di sana mereka juga meng­ham­ba­kan diri pada kemaksiatan ber­ju­di.

“Benar,” kata kawan Iwan yang lain. “Kalau Khodir yang bawa ken­da­­raanmu, pasti kita menang. Lalu kita bisa bikin oplosan lain. Aku men­dapat resep baru dari te­tang­ga yang datang dari gu­nun­gkidul...,” dan yang disebut Khodir meng­ang­guk-angguk. Dia yang paling lama memiliki kendaraan. Seusai seko­lah, menjadi kernet om­­­prengan. K­a­rena badannya le­bih tinggi dan besar dari anggota ke­lompok itu, se­mua teman Iwan sungkan kepa­da Khodir.

Iwan termakan oleh gosokan itu.

Tetapi Pak RT tidak termakan oleh rayuan si anak. Dan karena merasa permintaannya tidak bakal terpenuhi, Iwan meninggalkan ru­mah sebelum keluarga selesai me­nyu­nyah pisang. Dia keluar ma­sih mendengar omelan Mak ter­ha­dap suaminya, “Sampeyan3 ini bagaima­na! Pu­nya anak lelaki, sulung, ti­dak di­man­ja. Minta kendaraan saja...”.

Lalu alur keseharian kembali se­perti semula, berlanjut biasa.

Hanya, pada suatu pagi ketika Mak akan membuka warung, ter­ke­jut bukan kepalang karena ua­ng yang dia selipkan di belakang stop­les di rak paling atas hilang. Sam­pul coklat masih ada tetapi kosong. Terakhir dia masukkan uang kemarin malam, jumlahnya men­­dekati tujuh ratus ribu.

“Pasti Iwan yang mengambil!” kata Mak seorang diri. Dia mengira ana­k­nya marah karena per­min­ta­annya ditolak Pak RT.

Mak tunggu anak sulung itu se­ha­rian. Baru muncul hampir pe­tang. Mak takut bicara kasar, dia tung­gu lagi sampai anak itu mandi, lalu akan mengenakan baju. Mak tu­rut masuk kamar. Alangkah ter­ke­jut dia melihat tulang iga Iwan yang mencuat, dadanya kerem­peng. Rupanya baru kali itulah dia me­nyadari betapa kurusnya si su­lung yang dia bangga-banggakan.

Mak bertanya mengapa meng­ambil uang sebanyak itu. Biasanya, pa­gi Iwan dan Yuni disuruh meng­ambil uang sendiri di kotak di da­lam laci. Tidak banyak. Paling-pa­ling lima ribu. Kalau ada ke­per­lu­an sekolah bisa sepuluh atau dua puluh ribu. Mak bertanya lembut, bahkan nyaris merayu si anak, un­tuk apa uang itu.

Tenang dan tanpa ragu Iwan menyahut, “Kuberikan kepada Her­man. Dia mau buka usaha, ka­sih­an ti­dak punya modal,” lalu dari saku celana seragam yang kembali dia pakai, dia keluarkan gumpalan uang lusuh. Diberikan kepada Mak, meneruskan bicaranya, “Ini sisanya.”

Mak menghitung, dua ratus ribu lebih sedikit.

“Nanti kalau usahanya ber­ja­lan, Herman akan mengem­ba­li­kan. Malahan mungkin dengan bu­nga,” kata Iwan lagi.

Mak lega.

“Apa usaha temanmu?”

“Bengkel kecil-kecilan, di muka sekolah, bersama tukang pompa ban.”

Lalu Iwan terburu-buru, me­nutup kancing baju, menggosok ram­but dengan kain apa saja yang tersampir di sana.

“Mau ke mana?” Mak bertanya. “Makan dulu! Kamu kurus. Muka­mu pucat. Tadi siang kamu juga ti­dak pulang makan.”

“Aku jajan bakso tadi,” Iwan menyahut, sudah menyambar tas dan melangkah ke pintu kamar akan keluar, berhenti lalu katanya “Minta Rp 10.000, Mak”.

“Ke mana?” Mak masih meng­ikuti, tangannya mengulurkan satu lembar sepuluh ribuan.

“Mau belajar bersama teman-teman. Besok pagi langsung ke se­kolah.”

Mak harus puas dengan jawab­an tersebut, karena si sulung su­dah berlalu. Rambutnya masih ba­sah dan belum disisir. Tapi tidak apa-apa, Iwan pergi untuk belajar di rumah kawannya. Hati Mak tenang. Di sana tentu disuguhi ma­kan­an. Apa lagi, anaknya bawa uang, bisa jajan. Banyak makanan dijajakan di malam begitu. Mak berpikir, lebih baik mengetahui anaknya berada di rumah teman, tidak keluyuran. Itu baik.

Itu memang baik jika memang demikianlah kejadian yang se­sungguhnya. Dan yang se­sung­guhnya terjadi ialah, dua hari ke­mu­d­ian orang tua diminta datang mengambil rapor. Seperti biasa, Mak yang berangkat. Kepala se­ko­­lah menemuinya bersama se­ke­lompok orang tua lain di ruang ter­sendiri. Juga hadir dua guru.

Rupanya, anak-anak mereka tidak naik kelas. Rapor anak-anak itu semakin lama semakin jelek. Khodir berkali-kali mangkir, Her­man sudah dua bulan tidak masuk. Iwan sendiri, tidak nampak di sekolah sejak empat hari.

“Dia berangkat sekolah setiap pagi,” istri Pak RT berkata mem­be­­la anaknya.

Seorang guru melihat ke buku catatan, menanggapi, “Hari Senin masih masuk, tapi Selasa, Rabu sampai hari ini tidak kelihatan.”

Dan yang lebih-lebih menge­jut­kan para orang tua kedua teman Iwan, ialah anak-anak mereka su­dah setengah tahun tidak mem­ba­yar uang sekolah.

“Kami menerima uang tes, ma­ka kami memberi kelonggaran meng­­­­ikuti tes untuk akhir catur wulan. Kami kira, ibu-ibu akan melunasi uang sekolah sekarang,” ka­ta kepala sekolah.

“Bukankah Herman membuka usaha di depan sekolah?" Ibu Iwan merasa perlu mengutarakan pe­ngetahuannya.

“Usaha apa?” hampir serempak mereka yang berada di sana ber­tanya. Yang paling nampak adalah ibu­ Herman.

Mendengar itu, Maknya Iwan men­jadi ragu. Dengan suara terba­ta-bata, katanya, “Buka reparasi kecil-kecilan bersama tukang ban...” dan Mak itu hampir me­le­pas lanjutan ka­li­mat, bahwa Iwan mengambil uang banyak sekali dari warungnya untuk ‘dipinjamkan’ kepada te­man­nya itu.

Ketika kepala sekolah merasa sudah cukup mengorbankan wak­tu­­nya untuk mereka, dia me­mu­tus­kan:

“Se­baik­nya ibu-ibu berbicara kepada anak-anak Anda. Jangan sam­pai terlanjur mendapat penga­ruh buruk dari jalanan. Kecuali An­da, Ibunya Iwan. Anak Ibu pu­lang ke rumah setiap hari, bukan?”

Mak kebingungan, tidak tahu bagaimana harus menjawab secara tepat. Sejak si sulung lulus SLTP, dia menganggapnya sudah besar. Sudah tahu sendiri apa yang harus dikerjakan. Pak RT tidak pernah menyuruh-nyuruh anak itu ber­buat begini atau begitu. Jadi Mak juga meniru suaminya. Sekarang, ka­lau Iwan pulang makan, mandi atau untuk keperluan lain, Mak senang. Tetapi kalau anak itu tidak kelihatan, ya dia pasrahkan saja ke bawah Lindungan Yang Maha Ku­a­­sa.

“Dia pulang sore. Katanya ba­nyak tambahan pelajaran,” akhir­­nya itulah yang dikatakan Mak.

“Memang banyak ekstra kuri­ku­ler, Bu. Tetapi saya jarang me­li­hat Iwan mengikuti tambahan pelajaran itu,” sahut seorang guru.

Petang itu Pak RT pulang se­te­lah panggilan shalat Maghrib di­ku­mandangkan. Tergesa-gesa dia mandi dan melunasi tiga rekaat, la­lu mengenakan baju berkerah dan sarung.

Sementara itu orang mulai ber­da­tangan memasuki ruang perte­mu­an. Kaum muda lelaki dan pe­rem­puan, pria-pria lajang atau yang telah berumah tangga tapi lebih suka menghindar dari kerepotan anak tak hentinya memasuki pintu di sebelah ruang tamu Pak RT.

Tanpa menunggu lama, masing-masing tamu sudah mendapat ja­tah teh manis. Gelas-gelas itu di­le­takkan oleh pembantu di atas me­­ja rendah yang berderet di te­ngah, mengelilingi tiga atau empat pi­ring berisi kudapan. Para pe­la­yan sudah terdidik. Begitu pula pa­ra pendatang. Walaupun tidak se­mua dari mereka itu aktif men­ger­jakan sesuatu guna membantu ke­lancaran organisasi kampung, te­tapi semua tahu bahwa mengikuti pertemuan di rumah Pak RT tidak pernah rugi. Selain di situ suasana cerah, juga selalu banyak makanan dan rokok. Mereka pulang ber­pe­lu­ang mengantongi paling sedikit satu pak kretek atau filter, sesuai pilihan masing-mas­ing.

“Maaf! Maaf! Saya terlambat!” kalimat itu selalu mengiringi ma­suk­nya Pak RT ke dalam ruangan.

Dan selalu ada yang menjawab, “Tidak apa-apa. Pak RT orang yang sibuk. Kami mengerti.”

Disambut dari sisi lain:

“Ya benar. Kami semua tahu bahwa Pak RT pasti hadir mes­ki­pun kami harus menunggu. Pak RT tetap belum pernah terlambat meng­­iku­ti rapat kami!”

“Sebetulnya malahan kami yang merepotkan Bu RT. Kami min­­­ta maaf, selalu merepotkan ibu. Ini kami sudah mulai me­nik­m­ati hidangan,” kata-kata lain yang dimaksudkan lebih manis ter­de­ngar dari pojok lain.

“Silahkan! Silahkan! Direrus­kan saja,”tanggap Pak RT sambil me­nempatkan dirinya di atas tikar, lalu mendongak ke arah dalam, serunya, “Bu! Tehnya ditambah!”

Pembantu-pembantu me­yo­rong­kan ceret berisi tambahan mi­num­an.

Untuk beberapa saat terdengar pembicaraan.

“Anu 4, Pak RT, ini kami sedang memperbincangkan berita yang di­dengar tukang rokok di depan Ka­rang­rejo. Ada sopir taksi yang di­rampok katanya.”

“Ya, saya juga dengar,” sahut Pak RT, mulutnya mengunyah go­reng­an bergedel jagung penuh mi­nyak. “Apa beritanya sudah ma­suk koran atau televisi?”

“Kok belum ada. Padahal ka­ta­nya, sopir taksinya ditusuk pakai obeng,” seseorang menjelas­kan.

“Di mana kejadiannya?” Pak RT bertanya.

“Di situ saja! Di dekat Jatidiri!”

“Wah, dekat sekali! Kok polisi tidak sampai ke sini ya.”

“Yang saya dengar, satu pelaku sudah diringkus. Yang lain-lain ka­bur!”

“Ya, mengenai itu juga saya de­ngar. Penjual mi ayam pagi-pagi di depan toko saya yang cerita be­gitu.” Pak RT mengambil satu ber­ge­­del lagi, menyumpalkannya di an­tara gigi besarnya.

“Ayo kita mulai membicarakan lapangan volly saja! Jangan ngurusi rampokan. Itu biar diurus polisi!” kata seorang lelaki yang duduk ti­dak jauh dari pintu masuk.

“Betul! Betul! Kalau tidak, kita tidak akan selesai sampai besok pagi,” sahut suara lain.

Rundingan yang disebut rapat pun dimulai. Serius atau santai. Yang penting Pak RT tidak makan lagi. Dia kelihatan sibuk, berbi­cara, membantah, mengata­kan ga­gas­an­­nya. Begitu nampak terpi­kat dia sehingga sejak me­lang­kah­kan kaki ke dalam rumah petang itu, tak satu kali pun ingat apakah di­a sudah melihat anak sulungnya ha­­ri itu. Dia juga belum diberitahu oleh istrinya bahwa Iwan tidak na­ik kelas atau pun mangkir seko­lah pekan itu.

Pertemuan demikian diusaha­kan berakhir pukul sembilan. Atau paling lambat setengah sepuluh. Tetapi tidak jarang Pak RT mena­han dua atau tiga tetangga. Me­re­ka ngelantur mengobrol. Televisi di sudut ruang dinyalakan, mereka san­tai menonton, tiduran atau ber­sandar ke dinding. Pak RT mem­biarkan pintu terbuka, memanggil pen­jaja makanan apa saja: mi kop­yok, bakso atau sate. Mereka ma­kan dan berbicara, sementara ko­tak kaca dibiarkan terus menyiar­kan tayangan yang dipilih.

Malam itu, tiga tamu belum me­ninggalkan ruang pertemuan. Mereka bersama Pak RT menik­ma­ti sate ayam dengan lontong ke­nyal.

Sebuah jip memasuki kampung pukul sepuluh lebih sedikit. Satu ka­­li bertanya kepada tukang be­cak, kemudian berhenti di de­pan rumah Pak RT. Dua orang tu­run, langsung menuju pintu yang ter­bu­ka. Bau daging bakar ber­bum­bu memenuhi udara malam lem­bab.

“Selamat malam,” lelaki yang terdekat dengan pintu melongok­kan kepala memberi salam.

Pak RT bangkit dari tikar, me­ne­mui si pendatang. Mata ba­pak itu melirik ke kejauhan. Ada tiga lelaki lain. Seorang di tengah-te­ngah halaman, seorang di pagar, se­orang lagi duduk di belakang kemudi.

“Bapak Rajiman?”

“Ya, saya sendiri,” sahut Pak RT.

Terdengar suara bebincang ren­dah. Kelihatan kepala Pak RT ter­te­gak. Satu kali menengok ke arah dalam rumah. Dia menggan­deng le­ngan orang yang baru da­tang, me­nariknya menjauhi pintu.

Dua menit kemudian Pak RT masuk kembali, langsung menuju ke rumah induk. Dia memanggil-manggil. Sesaat berlalu, jelas ter­den­gar bahwa waktu istirahat seisi rumah terganggu. Nama Iwan di­se­­­but-sebut. Percakapan yang ka­cau menyusul perbantahan di an­ta­ra penghuni. Tiba-tiba ada suara pembantu lain yang lebih jelas, “Sudah hampir seminggu Gus Iwan tidak pulang.”

Lalu Pak RT muncul di pintu, sudah mengenakan celana pan­jang. Katanya singkat kepada tamunya yang baru menikmati daging sate, “Maaf, saya harus pergi. Sila­kan Anda pulang. Biar pintu di­tu­tup.”

Lima menit berlalu sejak ke­da­tang­an tamu baru itu, Pak RT me­nye­tir kendaraannya mengikuti jip ke­luar kampung. Seorang tetangga du­duk di sampingnya. Dia me­na­war­kan diri menemani Pak RT ke kantor polisi.

Serse memberitahu bapaknya Iwan, bahwa Khodir ditangkap di terminal Jatingaleh. Dia berlari ke­tika polisi menyelidiki kasus pe­ram­pokan dan penusukan sopir taksi dinihari sebelumnya. Karena tidak mau berhenti sewaktu di­pang­­gil, kakinya ditembak. Maka ketahuan bahwa dia membawa senjata tajam. Di sakunya terdapat bungkus rokok berisi lintingan gan­­ja siap pakai. Juga sebuah ko­tak korek api penuh butiran obat terlarang. Belum ketahuan pasti jenis apa.

Khodir mengaku bahwa dia me­lakukan perampokan dibantu oleh Herman dan Iwan. Pak RT harus memberitahu polisi alamat se­mua kenalan atau saudara yang mungkin dijadikan tempat ber­sem­bunyi kedua remaja itu.

“Saya tidak tahu apa maunya anak-anak ini!” kata Pak RT se­per­ti kepada dirinya sendiri. “Saya dan ibunya membanting tulang me­mutar otak untuk mencari uang. Supaya mereka hidup layak, bisa sekolah. Tetapi nyatanya... .”

Tetangga di sebelah Pak RT ti­dak berani mengeluarkan penda­pat. Dia adalah satu dari mereka yang selalu dibantu Pak RT supaya bi­sa hidup berkecukupan. Tugas­nya malam itu adalah menema­ni Pak RT. Bukan untuk berbica­ra.**­*­



1. Sumber air/telaga terletak di antara dua pancuran.

2. Teh kental

3. Kamu

4. Kata tambahan dalam bahasa Jawa, biasanya dipakai karena gugup atau sungkan
READ MORE - Jati Diri

Oleh: Ramadhan KH



“Arigato gozaimasu! Arigato gozaimasu!” (Terima kasih! Terima kasih!), Okayama-san me­ng­ucapkan kata-kata itu sam­bil membungkukkan ba­dan­nya dalam-dalam, be­be­rapa kali. Sungguh, de­ngan pe­rasaan haru dan sua­ra hik­­­mat ia lepaskan isi ha­ti­nya itu dengan tulus. Ia me­rasa benar-benar gembira. Gem­­­­­­bira sekali. Wajahnya jadi cerah seperti langit yang ada di atasnya.

Beberapa meter di depannya berdiri Pak Marta yang menerima ucapan terima kasih Okayama itu.

“Massugu! Massugu! Maju lagi! Maju lagi! Ayo, ke sana lagi! Lihat dari sana, dari tepian yang lebih jauh.” Pak Marta menganjurkan Okayama supaya melang­kah lebih jauh, melihat lautan itu dari tempat yang le­bih dekat ke pantai, sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

“Hay! Hay!” kata Okayama sambil lari-lari kecil, mengikuti anjuran Pak Marta. Ia senang mengikuti petunjuk Pak Marta, sahabat besannya, orang yang dirasakannya benar menjadi penolongnya di hari tua.

Di sebuah onggokan ia berhenti, lalu menatap ke kejauhan. Nikmat benar dirasakannya menerawang, mengikuti goresan kaki langit, menyapu lautan yang biru dan mengikuti gelombang yang beruntun bergantian sampai ke pantai.

“Tempat ini bagus sekali. Negeri ini indah sekali,” gumamnya, lalu menarik senyum sendirian.

Dari kejauhan ia berteriak dalam bahasa yang jauh daripada dikuasainya, tetapi sudah mulai dipelajarinya dengan tekun: “Bagusu-neh, bagusu-neh,” (Bagus, bagus) sambil melambai-lambaikan tangannya.

Seraya melangkah ia mereka-reka kembali ren­ca­na­nya yang sudah bermalam-malam bersama menan­tunya, Subarkah, membicarakannya. Dan tentu saja ia pernah merundingkannya juga dengan anaknya, Michiko, yang kali ini tertinggal di Osaka, tidak ikut terbang ke Jakarta.

“Bagusu-neh! Bagusu-neh!” ulangnya di depan Pak Marta.

“Senang? Senang punya tanah ini?” tanya Pak Marta dalam bahasa Jepang.

“Aaahh, senang, senang,” kata Okayama. “Tetapi ... tetapi ... ini bukan tanah saya. Ini tanah Subarkah dan Michiko. Bukan tanah saya.” Ia seperti mau menjelaskan kepada semua pihak, kepada penduduk di kampung itu, kepada pepohonan dan binatang-binatang yang ada di sana, bahwa tanah itu bukan miliknya, melainkan milik anaknya dan menantunya. Tetapi hati kecilnya tidak bisa membohonginya. Ia merasa, ia memilikinya juga, karena uang yang dibe­likan tanah itu adalah uang simpanannya. Dan ia gem­bira, sangat gembira, bahwa Subarkah mene­tap­kan, tanah itu atas nama istrinya, Michiko, di da­lam surat-surat jual belinya. Malahan terakhir sudah di­cantumkan dalam sertifikatnya, bahwa tanah itu milik Michiko, Nyonya Subarkah.

Pak Marta mengajak bicara Okayama-san dalam bahasa Jepang. Ia masih bisa berbicara dalam bahasa yang dulu pernah dikuasainya dengan benar selama jaman Jepang. Waktu itu ia duduk di sekolah mene­ngah di Bogor dan terkenal di antara sesama teman seko­lahnya sebagai murid yang paling pintar bahasa Je­pangnya.

Kalau tidak terpatahkan oleh kekalahan Jepang dalam peperangan, kemungkinan besar ia sudah dikirimkan ke Negeri Sakura untuk melanjutkan sekolahnya.

Bicaralah lagi Okayama-san dalam bahasanya. “Saya sekali lagi mesti mengucapkan terima kasih kepada Pak Marta-san, sudah menolong anak-anak saya, sehingga mereka mendapatkan tanah ini. Bagus sekali tanah ini. Kalau terlaksana, anak-anak saya akan mendirikan rumah di sini, dengan kebunnya yang bagus. Apa pohon kaki (kesemek, bahasa Jepang) bisa tumbuh di sini?”

“O, bisa tentu bisa. Disebutnya di sini, pohon kesemek,” jawab Pak Marta.

“Apa bunga anggrek bisa tumbuh di sini?”

“Bisa, bisa,” jawab Pak Marta meyakinkan sambil menatap Okayama. “Semua tanaman bisa hidup di sini. Lihat itu, pohon-pohon kelapa bagus-bagus di sini. Lihat, pohon pisang, pisang yang disukai Oka­yama-san, pisang raja, pisang ambon, pisang lumut, bisa hidup di sini. Asal diurus. Tanahnya, dicampur sedikit dengan tanah dari kebun saya di Cisaat. Bakal jadi bagus. Tidak ada tanaman yang tidak bisa tum­buh di sini. Tapi jangan minta pohon sakura tentunya. Hahahaha,” Pak Marta tertawa, diikuti oleh Oka­ya­ma-san. Juga Subarkah, sang menantu yang juga ada di sana mendampingi sang mertua, tertawa lebar. Ia pun senang bisa membuat mertuanya gembira. Bukan spesial karena istrinya jadi pemi­lik tanah itu di sana, melainkan karena mer­­tua­nya bisa mendapat kesi­buk­an yang bakal disukainya: bercocok tanam, di hari tuanya.

Bahwa Okayama-san, kini merasa senang, uang­nya bisa dipakai anaknya untuk membeli tanah di te­­pi pantai di daerah Sukabumi Selatan itu, adalah dise­babkan pengetahuannya bahwa di Jepang musta­hil ia bisa membeli tanah seluas itu. Di Jepang, apalagi di seputar Tokyo, orang menjual tanah dengan ukur­­an jengkalan, bukan meteran, karena mahalnya, se­ju­ta Yen sejengkal. Sekarang, di tepi Samudera Hindia yang elok itu, Michiko, anaknya, bisa memiliki tanah seluas satu hektar lebih. “Untuk siapa lagi uangku itu kalau bukan untuk Michiko (anak tung­gal­­nya),” Okayama pernah berpikir. Sebab itu ia be­ri­kan uang senilai empat puluh juta rupiah, sebegitu yang diper­lukan Michiko, untuk membeli ta­nah di kam­pung Sindanglaut, di tepi pantai di Sukabumi Se­lat­an itu. Okayama yang sudah pensiun dan diting­galkan istri­nya meninggal tiga tahun yang lalu, punya rencana ber­libur tiga kali dalam setahun, dan setiap kali berada di Sindanglaut untuk barang dua atau tiga bulan.

Di atas tanah seluas satu hektar lebih milik Michi­ko itu, sekarang sudah ada rumah kecil yang masih seder­hana. Tapi nanti rumah tua itu akan diganti de­ngan bangunan yang bagus. Okayama sudah punya gambar bentuk rumah yang akan dibangunnya di atas tanah milik keturunannya itu. Sebuah rumah potong­an Jepang dengan jendela-jendela dan atap potongan khas Jepang. Dan gambaran itu buat Okayama seka­rang, dengan uang yang sudah diperhitungkannya cukup, bukan mimpi pagi. Rencananya pun sudah bisa mulai dilaksanakan.



***

Okayama-san bersahabat kental dengan Kaku­tani-san. Mereka sama-sama duda. Tinggal tidak berjauhan. Dan sewaktu Okayama sudah berada lagi di Osaka, segera ia bercerita kepada Kakutani bahwa ia baru saja membeli tanah di Indonesia. Ia ceritakan de­ngan terperinci sekali berapa harga tanah yang dibelinya, atas nama siapa, di mana letaknya Sidang­laut itu, pemandangan seputar itu, dan sebagainya dan sebagainya.

“Dan bagusnya, bagusnya pemandangan di sana! Luar biasa! Pasti kamu pun akan suka,” kata Oka­yama-san kepada Kakutani-san yang juga mem­punyai cukup uang simpanannya.

“Dan istimewa lagi,” cerita Okayama kepada Kakutani, “dari tempat itu, selain ada laut yang bagus, ada daerah yang masih dihuni oleh badak, badak yang terkenal. Kesukaan kamu kan masuk hutan, melihat bina­tang langka?”

“Ya, ya. Apa sungguh begitu?”

“Sungguh!” kata Okayama meyakinkan.

“Tapi, bagaimana saya bisa membeli tanah di sana? Saya kan tidak punya menantu orang Indonesia,” kata Kakutani dengan nada rendah, seperti sudah tidak punya harapan.

“Mengapa kamu tidak punya akal?” kata Oka­yama. “Kamu kan belum punya istri lagi. Kalau saya seusiamu (--Kakutani lebih mu­da--), saya akan kawin lagi. Dan... akan mengambil wa­nita Indonesia. Cantik-can­tik lho, hahaha....”

Kakutani seperti kena gon­cangan yang membuat ia sa­dar. Ia pun pernah bertemu de­ngan ibu Subarkah, besan Oka­yama, waktu datang di Osaka. Dan terkenang sam­pai sekarang, bahwa wanita itu benar cantik walaupun sudah ada usia. “Pasti ia can­tik sekali waktu mudanya,” komentar Kaku­tani di dalam hatinya waktu ia pertama kali melihat­nya. Tetapi ia tidak punya keinginan lebih jauh, karena ayah Subarkah masih ada.

“Cantik-cantik?” Kakutani seperti mau tambah diyakin­kan, dengan nada suara se­per­ti berhasrat.

“Beneran. Cantik-cantik. Kalau kita jalan ke Sindang­laut itu, kita bisa lewat di se­buah kampung yang nama­nya Kadupandak. Saya per­nah di­ba­wa oleh kenalan saya lewat di sana. Di Kadu­pan­dak itu ba­nyak sekali yang cantik. Sung­guh! Kamu bisa bergairah lagi jika lewat di kam­pung itu. Saya pun waktu lewat di sana, merasa jadi muda kembali. Hahaha! Dan... dengan uangmu yang ada di bank se­­­karang, kamu bisa dapatkan seorang. Kebiasaan mereka pun baik-baik. Mereka tidak perlu kita ajar lagi supaya tinggal di rumah. Itu sudah kebiasaan mereka.”

Kakutani jadi berpikir beneran. Dan terbetik has­rat­nya: “Kalau istriku setia, dan mau menerima ke­bia­saanku, dan bisa membeli tanah yang luas, me­nga­­pa pula aku mesti simpan uang itu? Dengan uang cuma sebegitu mustahil aku bisa membeli tanah di negeriku sendiri ini. Kalau istriku menyenangkan, mengapa aku harus kikir dengan tidak memberikan uang kepadanya untuk bisa memiliki tanah yang luas dan bagus, dengan pemandangan yang indah seperti yang diceritakan Okayama? Aku pun tentu bisa me­nik­­matinya.” Ia pun ingat, bahwa ia sekarang sudah se­batang kara.



***

Saatnya pun tiba. Kakutani dan Okayama sudah ada di Jakarta.

Malahan ini yang kedua kalinya sudah. Mereka berdua menginap di sebuah hotel di jalan Thamrin, dan sudah pergi ke Sindanglaut.

Cepat sekali prosesnya, Kakutani memperlihat­kan seorang wanita yang luma­yan cantiknya kepada Okaya­ma. Ia, pada mulanya, tidak ceritakan bahwa Nurse­ha, be­gitu nama perem­puan yang dibawanya, dite­mu­kan­nya di sebuah panti pi­jat.

“Kami akan kawin,” kata Kakutani kepada Okayama.

Waktu ada kesempatan ber­­dua Kakutani dan Okaya­ma, Kakutani bercerita bahwa Nur­seha memenuhi hasratnya dan tidak banyak permintaan­nya. “Hanya meminta supaya sa­ya ma­suk agamanya. Dan saya se­pakati. Nampaknya aga­­­­manya kuat. Cuma keada­an eko­no­mi­nya saja yang per­nah membawa dia ke tempat pan­ti pijat,” kata Kakutani se­te­­lah didesak di mana mere­ka bertemu.

“Kalau sudah begitu, apa bisa ia sekarang tinggal di rumah?” tanya Okayama yang ragu.

“Ia berjanji. Dan kamu yang mengatakan bahwa pe­­rem­puan Indonesia itu bisa ting­­­­gal di rumah, bukan? Nulse­ha (--ia tidak bisa meng­ucap­kan r--) sendiri sudah janji, cuma kalau ber­sa­ma saya ia akan ke luar rumah.” Kakutani sudah bisa melupakan apa yang telah terjadi dan dialami Nurseha sebelum ini. Ia bisa meng­hapus apa yang sudah-sudah. Yang dipenting­kannya hari depannya.

“Bagus, bagus kalau begitu,” kata Okayama. ”Dan soal tanah itu, bagaimana?” tanya Okayama lagi setelah ia ingat pada tanah yang sudah diinjaknya bersama, di samping tanah Michiko.

“Jadi. Tentu saja jadi. Itu kan benar bagus. Dan benar murah,” kata Kakutani. “Sesudah kami nikah, saya akan belikan istri saya tanah yang itu.” Kakutani menarik wajah bangga dan serius.

“Kapan akan nikah?” tanya Okayama-san.

“Secepatnya,” jawab Kakutani-san.



***

Benar juga. Tidak lama setelah itu. Kakutani dan Nurseha melangsungkan perhelatan di Sukabumi, disaksikan oleh Okayama. Pernikahan itu dilaksa­na­­kan di depan penghulu, setelah Kakutani meme­nuhi syarat yang diminta oleh Nurseha dan keluar­ganya.

Tanah di Sindanglaut yang berdempetan dengan milik Michiko pun kemudian dibeli Nurseha atas namanya. Lebih luas daripada yang dimiliki Michiko dan lebih mahal harganya. Tetapi terbeli oleh Nurseha yang membuat surat janji, bahwa kalau sampai ia dan suaminya bercerai, uang senilai pembelian tanah itu akan dikembalikan. Nurseha merasa pintar. Ia sudah menghitung, bahwa nilai tanah akan cepat naik, dan uang rupiah tak akan bisa mengejar harga tanah. Tetapi Kakutani-san merasa pintar juga, ia merasa senang, bahwa ia nanti bisa berlibur di tempat yang ba­gus itu, di tepi pantai yang lautnya biru, cerah langit­­nya, dan gelombangnya amat memikat. Apalagi di pagi hari, atau di sore menuju senja. Dan ia pegang surat-surat tanah itu.

“Mustahil aku bisa punya tanah sebagus itu dan seluas itu di negeriku sendiri,” pikir Kakutani. “Aku akan sering saja berada di sana.”



***

Di sebuah organisasi di kotanya, Kakutani punya sahabat akrab, Kanazawa-san, tempat ia mence­rita­kan rahasia hidupnya. Sebab itu pula ia tak ber­alang­­an men­ceritakan tentang tanah yang dibelinya, atas na­ma Nurseha yang pernah ditemukannya di sebu­ah pan­ti pijat, tapi sekarang sudah jadi istrinya.

Kanazawa-san, pemborong bangunan, tergerak juga hatinya. Ia pun ingin memiliki tanah sebagus seperti yang diceritakan temannya. “Benar murah,” pikir­nya, setelah ia membandingkan dengan harga tanah di negerinya. Soal jarak Jepang - Indonesia, tak dirasakannya jauh. Ia pun sudah beberapa kali mem­baca brosur-brosur tentang perjalanan ke Indone­sia dan apa yang bisa dilihat di negeri di se­belah selatan itu.

“Tapi bagaimana kami bisa membeli tanah di sa­na?” tanya Kanazawa kepada teman akrabnya.

“Bisa. Pasti bisa. Kata orang di sana, di sana segala bisa diatur. Pasti ada cara-caranya. Apalagi sekarang, segala di sana sudah terbuka. Kita diajak oleh mereka untuk datang ke sana, untuk usaha. Tetapi yang pasti lagi, kita bisa tinggal di sana semusim-semusim. Ka­lau musim dingin di sini, dan kamu merasa encok di sini, kita bisa tinggal di sana. Di sana kan selalu ada ma­tahari. Percayalah, kamu akan senang tinggal di sana. Pantainya bagus. Lautnya bagus, bagus sekali. Kamu tidak akan bisa membeli tanah seluas itu de­ngan seluruh kekayaanmu yang kamu miliki di sini. Tentu yang ukurannya luas yah,” kata Kakutani.



***

Kanazawa-san terbang bersama Kakutani dan Okayama ke Jakarta. Lalu mereka pergi ke Sindang­laut. Kanazawa-san takjub melihat daerah pantai Samudera Hindia itu.

“Bagaimana cara membelinya?” tanya Kanazawa.

“Ini, ini orangnya yang bisa membantu kita,” kata Kakutani sambil menunjuk seorang laki-laki yang bekerja di Kecamatan di Sidanglaut, yang tempo hari mengatur pembelian tanah untuk Michiko dan Nurseha.

“Bapak ini, Pak Kosasih, bisa menolong kita,” kata Okayama sambil memegang tangan Kosasih.

Kosasih yang pernah membantu kedua orang itu dengan urusan tanah di sana, dengan kebutuhannya, tersenyum lebar. Ia tentu saja senang. Sudah dua kali ia pernah mengatur jual beli tanah dengan orang- orang Jepang itu dan memasukkan uang ke kantong­nya sendiri lebih dari lumayan. Tetapi, sebenamya hati nuraninya pernah goyang, terasa tak menentu, tetapi keuntungan yang diperolehnya menghapus kegelisah­annya itu. “Tak ada kesalahan saya,” pikir­nya. “Yang satu kali untuk menantunya bersama anak­­­­­­­nya. Yang kedua kali untuk istrinya. Orang kita-ki­ta juga. Sah-sah saja,” pikirnya.

Okayama dan Kakutani lalu mengajak bicara Ko­sasih yang sudah siap untuk membantu. Sudah tergitik juga hati Kosasih oleh gambaran bahwa kali ini ia bisa beruntung banyak lagi. Ia mengetahui, ada sebi­dang tanah luas yang juga tidak jauh letaknya da­ri tanah Michiko. Tanah itu bekas perkebunan ke­cil, tapi sudah tidak terurus. Dan akan dijual. Teta­pi terhalang oleh beberapa rumah kampung dari ta­nah Michiko.

“Tidak jadi soal. Rumah-rumah kampung itu bisa dipindahkan,” kata Kosasih dengan menarik senyum lebar. Ia pun yakin, bahwa yang dikatakannya itu bisa jadi kenyataan. “Apa yang tidak bisa dengan uang?” pikirnya.

Ketiga orang Jepang itu pergi ke tanah bekas perkebunan kecil itu, dibarengi oleh Kosasih dan dua orang kawannya, seorang yang lebih tua, Ramdan, seorang lagi yang lebih muda, Garnida.

Ada kekurangan di tanah bekas perkebunan kecil itu yang terasa oleh Kanazawa-san. Tetapi Kosasih, lewat Okayama yang sudah tambah pintar berbahasa Indonesia, bisa meyakinkan, bahwa kekurangan yang dirasakan oleh Kanazawa itu nanti bisa diatasi. Tanah itu tidak nempel pada pantai.

Kanazawa-san menginginkan membuat semacam hotel di sana.

“Tetapi hotel akan laku kalau menempel pada laut,” kata Kanazawa kepada Okayama dan Kaku­tani.

Kosasih seperti bisa menangkap apa yang diingin­kan oleh Kanazawa. Sebab itu ia cepat berkata kepa­da Okayama: “Kami bisa atur. Tidak ada yang tidak bisa diatur di sini. Tanah yang menghalang-halangi itu, antara lahan ini dan laut, bisa diatur supaya jadi jalan ke pantai. Supaya nyambung jadi bagian tanah ini,” kata Kosasih sambil menarik wajah senyum dan meyakinkan. Ia pun yakin dengan uang segala bisa beres. Ia merasa, bahwa atasan-atasannya yang ada di Kecamatan dan di Kabupaten akan setuju, se­ham­par­an tanah yang ada di tepi laut itu digabungkan saja dengan tanah bekas perkebunan kecil itu.

Ia berpikir lagi. “Ini jadinya proyek pemba­ngun­an.” Kata "pembangunan" itu melintas sejenak saja di kepalanya, tapi menyebabkannya jadi merasa kuat. Kata pembangunan itu mengubah kesulitan yang tadi pernah mengganjal sebentar di hatinya.

“Pasti bisa! Pasti bisa!” kata Kosasih kepada Ka­na­zawa. Kemudian kepalanya digerakkannya meng­hadap ke arah Kakutani, lalu ke arah Okayama, me­minta dukungan. Ia menunggu kepastian.

Ketiga orang Jepang itu mengangguk-angguk. Lalu mereka berbicara dalam bahasa mereka. Kosa­sih mendengarkan saja, tak mengerti sepatah kata pun, tapi harapan menyelinap di antara perasaannya.

“Ya, asal benar bisa diatur begitu, tuan Kanazawa tertarik," kata Okayama.



***

Selang beberapa waktu, Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san sudah berada di Indonesia lagi. Mereka tidak membuang waktu. Sindanglaut mereka tuju.

Masing-masing mengatur kepemilikannya. Oka­ya­ma yang sekali ini didampingi Michiko dan suami­nya, Subarkah, sudah mulai dengan membangun ru­mah yang mereka cita-citakan. Rumah tua sudah di­bong­kar. Tiang-tiang baru sudah dipancangkan. Ka­ku­tani-san pun langsung mengukur-ukur tanah yang akan dipakai untuk bangunan rumah yang bakal dihuni bersama Nurseha. Ia tidak kepalang bergerak, segala bahan yang diperlukannya sudah ia siapkan dari dan di negerinya. Tinggallah nanti ia mencari tu­kang-tukang yang bakal diperbantukan kepada arsitek Jepang yang bakal membangun rumahnya itu.

Kanazawa-san dikerumuni oleh pegawai-pegawai dari Kecamatan Sindanglaut. Beberapa orang pega­wai Kabupaten Sukabumi pun ada di sekelilingnya.

Rencana bangunan hotel sudah siap. Soal tanah yang menghalang-halangi sudah terpecahkan. De­ngan duit, apa yang tidak bisa dibereskan di kampung ini, pikirnya. Dan ia sudah jadi lebih pandai, atas an­jur­an penasihatnya ia sudah menggaet orang di Ja­kar­ta penguasa penting.

Penghuni beberapa rumah yang menghalang-ha­langi antara tanah Michiko dan Kanazawa pun sudah sepakat untuk pindah. Entah berapa ongkos memin­dahkan mereka yang sebenarnya. Orang-orang Jepang itu tidak tahu. Uang siluman tak jelas masuk ke kan­tong saku siapa. Tanah yang menghalangi-halangi per­kebunan kecil dengan laut itu pun sudah diatur oleh orang-orang di kantor Kecamatan, di kantor Ka­bupaten, malahan di kantor Gubernuran, sehingga bi­sa dipakai untuk keperluan Kanazawa-san yang pu­nya uang banyak. Kanazawa-san nampak tenang-tenang saja. Sebab memang setelah diperhitungkan­nya, masih jauh lebih murah daripada jika harus mem­­bangun di negerinya.

Maka pembangunan dimulai di daerah itu.

Nampak sekali ada kesibukan di wilayah yang tadinya kampung itu. Dan bertambah lagi kericuhan di daerah itu, karena bukan saja Okayama-san, Ka­ku­­tani-san dan Kanazawa-san yang membangun di sa­na, melainkan ada Saito-san, ada Tanaka-san, Ta­ka­­hashi-san dan beberapa lagi orang Jepang yang bu­kan saja tertarik, melainkan sudah mulai membangun di daerah yang tadinya masih ladang tegalan, sawah musiman dan kebun terlantar itu.

Orang-orang Jepang itu mendengar kemungkinan-kemungkinan itu dari mulut ke mulut. Brosur-brosur pariwisata pun sampai pada mereka. Dan semua meng­­­hitung: tanah di Sindanglaut itu benar-benar ja­uh lebih murah dibandingkan dengan yang ada di Tokyo, atau yang di Osaka atau yang di Okinawa se­ka­li­pun. Mereka seperti sudah berpikir, bahwa dunia ini untuk kita semua, untuk semua penghuni bumi. “Untuk siapa saja, untuk kita, yang bisa membelinya dan membangunnya,” pikir mereka. Untuk pihak yang pintar, pikirnya. Ya, semua kedudukan pun bisa kita capai, pikir mereka. Dan mereka ingat pada beberapa kursi yang ada di sejumlah negara di luar negeri me­re­ka yang sudah diduduki oleh bangsa mereka, ke­tu­runan mereka.



***

Maka ramailah pembangunan di Sindanglaut. Ke­ba­nyakan peralatan dan malahan bahan-bahannya pun didatangkan dari Jepang. Sebab kebanyakan pe­milik tanah itu _lewat menantu, istri, sahabat dan pel­bagai cara dan ilmu yang tak jelas duduk per­ka­ra­nya_ memungkinkan rumah-rumah dan bangunan lain­nya di sana berbentuk seperti di kampung asal me­reka. Sampai-sampai bangunan yang seperti toko dan hotel pun disusun dan berbentuk bangunan Jepang.



***

Pak Marta datang di Sindanglaut. Ia pun sudah mendengar kabar dari orang tua Subarkah, sahabat kentalnya, bahwa di kampung di tepi Samudera Hin­­dia itu sudah berdiri satu daerah enclave, daerah kan­tong Jepang.

“Siapa yang salah?” pikirnya, lalu ia sebentar merenung.

Ia menjawab sendiri: Okayama-san adalah mertua Subarkah. Michiko adalah istri Subarkah. Nurseha ada­lah istri Kakutani. Kanazawa-san adalah pengu­sa­ha yang diajak datang untuk menanam modal. Ia sudah bergabung dengan anak-anak pembesar di Jakarta. Saito-san idem dito. Okahara-san sami ma­won. Anaka-san menempuh jalan yang juga tidak se­be­rapa sulit dirasakannya. Kosasih sudah punya ru­mah baru dan istri baru di Sukabumi dan keluyuran dengan mobil Suzuki yang paling mutakhir. Garnida sudah naik motor Honda yang paling diidam-idam­kan­nya dan paling disenanginya.

Lebih dari duapuluh orang Jepang sudah mem­ba­ngun di daerah Sindanglaut itu, di atas tanah yang le­­bih dari dua ratus hektar. Jangan ditanya asal usul tanah itu: tanah wakaf pun sudah berubah catatan­nya.

Tinggallah Ramdan yang berjongkok menatap orang-orang yang sedang mengangkat-angkat kayu dan besi itu dari kejauhan. Bukan saja hatinya ter­gang­gu, gamang, untuk ikut serta dalam pem­bangun­an itu, tetapi ia sudah tua. Melangkah pun su­dah sa­kit­-sakitan. Di hatinya ia merasa tertinggal, kare­na rumahnya pun sudah tergusur.

“Tetapi siapa di daerah ini yang tidak tergusur, Pak Marta?!” kata Ramdan kepada Pak Marta yang duduk di kursi di depannya. Suara Ramdan terdengar melas sekali, menyayat hati orang yang diajaknya bicara.

Pak Marta tidak sanggup menatap wajah Ramdan yang sudah kurus dan keriput itu. Ia arahkan tatapan­nya ke kejauhan, ke langit yang bersih, ke kaki langit, ke lautan yang biru, ke ombak yang bergelombang.

“Pilihanku benar,” kata Pak Marta kepada Ram­dan yang tetap jongkok di dekatnya. “Tempat ini bagus, benar bagus. Tetapi....” Ia tidak meneruskan ingatannya. Ia seperti menelannya.

“Jangan jongkok terus begitu, Bapak,” ajak Pak Marta kepada Ramdan. “Duduklah di sini. Di sini masih ada kursi.”

Ramdan mengikuti ajakan Pak Marta, bangkit dan duduk di kursi.

“Bagaimana perasaan Bapak melihat kampung ini sekarang?” tanya Pak Marta. Ia sendiri diliputi bebe­rapa pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Ia gundah, terjepit antara sesal dan senang. Ia ingat, permulaannya amat sederhana. Kelanjutan­nya jadi amat serius.

Dengan ragu, Ramdan, orang tua itu, menjawab: “Entahlah. Dulu saya pernah benci kepada orang-orang Jepang itu, Pak Marta.”

Pak Marta cepat mengerti.

Sementara itu Kosasih datang. Ia menarik wajah gembira. Mukanya pun nampak licin, bersih. Sudah gemukan bentuk badannya dibanding dengan beberapa bulan yang lalu. Pakaiannya serba baru dan mencolok. Kendaraannya, mobil Suzuki diparkirnya di halaman kantornya. Percakapannya menunjukkan kegembiraan yang luar biasa. Ia merasa berjasa, ter­utama kepada istri-istrinya, anak-anaknya, orang tua­nya, mertua-mertuanya. Ia sudah bisa membelikan mereka pelbagai barang modern yang biasa dita­yang­kan di televisi yang ia saksikan di rumahnya.

“Berapa umur Bapak?” tanya Pak Marta kepada Kosasih. “Tidak mengalami jaman Jepang?”

“Ah, saya belum lahir waktu itu,” jawab Kosasih.

“Bapak bekerja di Kecamatan, kan?” kata Pak Marta.

“Ya, Pak. Tadinya saya mau dipindahkan ke Su­ka­bumi, tapi saya menolak. Daerah ini mesti diba­ngun, Pak.” Ia setengah membusungkan dada. Hati kecil­nya berbisik jujur. “Di sini lebih meng­un­tung­kan.”

Di tengah itu Garnida muncul dengan menaiki motornya.

“Wah, kamu sudah punya motor segala sekarang, yah,” kata Pak Marta.

“Alhamdulillah, Pak,” kata Garnida.

“Maju yah. Hasil kerja di sini?” tanya Pak Marta.

Ramdan mengetahui silsilah pembelian motor itu. Maka ia menyelip menyambung pembicaraan: “Ru­mah­nya, rumah orang tuanya, digusur, Pak. Ia pindah ke kampung di balik bukit itu.”

“Ya, Pak Kosasih membujuk kami, Pak,” kata Garnida. Ia bicara sesungguhnya. Ia tidak menatap ke masa depan, juga tidak pernah berkenalan dengan buku-buku tentang masa lampau. Ia terhitung pe­mu­­da masa sekarang yang diusik oleh pelbagai ta­yang­an barang jualan di layar kaca dan hanya me­mi­kir­kan masa ini, hari ini, saat ini, detik ini.

Sekali Garnida bertatapan muka dengan Ramdan. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Tak ada jembatan penghubung yang mengaitkan pembicaraan serius di antara mereka. Dan yang tua serta yang muda, sudah seperti kelelahan jika harus berpikir.

Suasana pun seperti direka untuk jadi demikian.

Sementara itu pembangunan di daerah enclave ber­­jalan terus, mengikuti pihak yang menginginkan. ***



*) Enclave = Daerah kantong.



(Dimuat dalam Horison, September 1997)
READ MORE - Enclave*

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda