Oleh: Nadine Gordimer
Seseorang telah memintaku untuk menyumbangkan sebuah antologi cerita anak-anak. Kujawab bahwa aku tidak menulis cerita anak-anak. Orang itu mengatakan bahwa dalam suatu kongres/pameran buku/seminar yang diadakan baru-baru ini, seorang pengarang telah menghimbau agar setiap penulis menulis sekurang-kurangnya satu cerita anak-anak. Terpikir olehku untuk mengiriminya selembar kartu pos untuk menyatakan bahwa aku tidak sepaham dengan pendapatnya. Aku boleh menulis apa saja yang kuinginkan.
Kemarin malam aku terbangun tiba-tiba tanpa mengetahui apa yang mengejutkan diriku.
Sebuah suara dalam diriku?
Suatu bunyi.
Bunyi berderit-derit bagai langkah kaki yang diseret satu demi satu di atas papan seolah membawa beban yang berat. Kupasang telinga. Kupusatkan pendengaran. Bunyi berderat-derit itu bergema lagi. Aku menanti untuk mendengar kalau-kalau ada tanda yang menunjukkan bahwa kaki itu bergerak lagi dari satu kamar ke kamar lain. Aku tidak memiliki terali besi. Tak ada pistol di bawah bantalku. Namun aku juga kini merasa cemas seperti orang-orang lain yang serba waspada. Lagi pula kaca rumahku tipis bagai lapisan embun, mudah pecah seperti gelas anggur. Tahun lalu, seorang perempuan telah dibunuh (kata orang) di siang bolong. Anjing garang yang mengawal seorang duda tua dan koleksi jam antiknya telah dijerat sebelum ditikam oleh seorang buruh biasa yang telah di-PHK tanpa dibayar upahnya.
Kupandangi pintu, sambil membayang-bayangkan sesuatu dalam kepala --bukannya melihat-- di dalam gelap. Kutentramkan diri, tetapi degup jantungku tak menentu seperti menghantami jantungku. Tak dapat aku menumpukan pendengaranku karena gangguan yang ada pada siang hari. Kuteliti tiap bunyi yang paling perlahan sekalipun, mengenalinya baik-baik sambil memilah-milah kemungkinan ancamannya.
Namun, aku dilatih agar jangan merasa takut atau terancam. Tak ada bobot manusia yang menekan di papan itu. Bunyi deritan itu hanya disebabkan perasaan yang tertekan. Aku merasa ada di tengah-tengah tekanan itu. Rumah yang melingkupi tubuhku saat aku sedang tidur dibangun di atas bekas tanah pertambangan. Nun jauh di bawah kamarku, di dasar rumah ini, penggalian yang bertingkat-tingkat saat penambangan dan lorong jalanan tambang-tambang emas telah melongsorkan bebatuannya serta menyebabkan tanah ini jadi berongga. Jika ada permukaan yang bergetar, ia mungkin runtuh atau longsor 3000 kaki ke bawah. Seluruh rumah bergetar sedikit dan menyebabkan batu, semen, kayu, dan kaca yang menyangga rumah menjadi longgar. Degupan jantungku menurun seperti ayunan terakhir di atas zilofon, kayu yang dibuat oleh para penambang pelarian Chopi dan Tsoinga yang pernah berada di bawah sana, di bawahku, dalam perut bumi. Tingkat tempat adanya runtuhan mungkin tak digunakan lagi, air bertetesan dari rekahannya, atau mungkin ada orang yang pernah dikubur di situ dengan batu nisan yang menyedihkan.
Sukar bagiku untuk mencari tempat guna mengistirahatkan pikiran dan tubuhku. Merelakan diri tidur kembali. Akupun bercerita pada diriku sendiri; kisah dalam tidur.
Di dalam sebuah rumah di pinggiran metropolitan, tinggallah sepasang suami-istri yang saling menyayang serta hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka memiliki seorang anak lelaki yang amat mereka cintai. Mereka memiliki seekor kucing dan seekor anjing yang amat disayangi anak kecil itu. Mereka memiliki sebuah mobil dan sebuah trailer karavan yang digunakan untuk pergi berlibur. Ada pula sebuah kolam renang yang berpagar untuk mengelakkan anaknya dan teman-teman mainnya agar tidak terjatuh ke dalam kolam dan mati lemas. Mereka mempunyai seorang pembantu rumah yang amat bisa dipercaya, serta seorang tukang kebun yang rajin. Jadi, manakala mereka hendak memulai kehidupan yang bahagia untuk selama-lamanya, mereka telah dinasihati oleh seorang tukang sihir tua yang bijaksana, yaitu ibu sang suami, agar jangan mengambil siapapun di tepi jalan. Mereka tergolong masyarakat yang diberi kemudahaan dalam pengobatan, anjing peliharaan mereka diberi peneng, diri mereka diasuransikan dari musibah kebakaran, kerusakan akibat banjir, dan perampokan, serta menjadi anggota siskamling di lingkungan itu yang memberi mereka sekeping papan pengumuman di pintu pagar betuliskan "Dalam Lindungan Keamanan", mencegah kemungkinan perampokan, yang mungkin bertopeng hingga sulit diduga apakah ia orang kulit putih atau kulit hitam.
Sukar untuk mengasuransikan rumah, kolam renang, atau mobil mereka dari kerusakan akibat kerusuhan. Kerusuhan memang terjadi, tapi di luar kota, di mana orang kulit hitam ditempatkan. Orang-orang itu dilarang masuk kawasan pinggiran kota besar, kecuali pembantu rumah tangga dan tukang kebun yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, tak ada yang perlu dicemaskan, ucap sang suami pada istrinya. Namun sang istri masih merasa cemas kalau-kalau suatu hari nanti orang-orang ini akan turun ke jalan dan merusak papan bertuliskan DALAM LINDUNGAN KEAMANAN itu. Membuka pintu pagar, lalu memaksa masuk. Jangan mengomel saja, ucap sang suami, di sana ada polisi dan tentara, gas air mata dan senapan untuk mengusir mereka. Namun, saking cintanya, untuk menenangkan hati sang istri, juga karena bus-bus dibakar, mobil-mobil dilempari batu, dan anak-anak sekolah ditembaki polisi di kawasan pemukiman kulit hitam sana, jauh dari pandangan dan pendengaran orang-orang di kawasan tepian kota besar, sang suami telah memasang pagar berlistrik. Siapa yang menurunkan tanda DALAM LINDUNGAN KEAMANAN itu dan akan membuka pintu pagar, mesti menyatakan niatnya dengan menekan tombol dan berbicara melalui alat penerima yang disambungkan ke rumah. Anak kecil itu sungguh tertarik dengan alat tersebut dan menggunakannya sebagai walkie talkie dalam permainan polisi dan pencuri, bersama-sama dengan kawan-kawan yang sebaya dengannya.
Kerusuhan telah dapat ditanggulangi, tetapi pencurian banyak terjadi di kawasan tepian kota besar, dan seseorang pembantu rumah yang dapat dipercayai telah diikat dan dikunci di dalam almari oleh pencuri ketika ia diamanati untuk menjaga rumah majikannya. Pembantu rumah pasangan suami istri dan anak kecil itu merasa sedih dengan nasib malang yang menimpa rekannya. Seperti biasa, dengan tanggung jawab menjaga harta pasangan itu dan anak kecil mereka, pembantu rumah tersebut telah meminta majikannya untuk memasang terali pada pintu dan jendela rumah, serta memasang alarm. Sang istri berkata, benar ucapan pembantu itu. Ikutilah nasihatnya. Maka pada setiap pintu dan jendela rumah yang didiami oleh mereka dengan penuh kebahagiaan buat selama-lamanya itu, mereka melihat pohonan dan langit melalui terali, dan jika kucing piaraan anak mereka coba memanjat masuk melalui ventilasi untuk menemaninya tidur pada waktu malam sebagaimana yang biasa ia lakukan, kucing itu pun menyentuh alarm dan membangunkan seisi rumah.
Alarm tersebut nampaknya sering dijawab oleh alarm-alarm lain dari rumah-rumah lain yang disentuh oleh kucing piaraan mereka atau digigit tikus. Bunyi alarm yang nyaring, meraung dan menjerit, bersipongang satu sama lain, dan berselang-seling di halaman-halaman rumah, hingga akhirnya tidak diindahkan lagi oleh penduduk kawasan itu. Bunyinya dianggap biasa, sama dengan bunyi katak menguak hingga tidak mencemaskan para pencuri untuk mengambil kesempatan dan menggergaji terali-terali besi, lantas menerobos masuk, mengambil peralatan elektronik seperti hi-fi, televisi, tape recorder, kamera, radio, barang-barang berharga dan pakaian, serta kadang-kadang membongkar apa saja yang ada dalam lemari es jika merasa sangat lapar, bahkan berani istirahat sejenak untuk meminum wiski yang diambil dari dalam kabinet atau dari bar. Perusahaan asuransi tidak membayar ganti rugi untuk sebuah minuman malta sekalipun, kerugian besar hanya diketahui oleh pemiliknya saja. Pencuri-pencuri itu tidak langsung menghargai apa yang telah diminum oleh mereka.
Akhirnya, tibalah saat ketika banyak pembantu rumah dan tukang kebun yang tidak dapat dipercaya datang beramai-ramai memenuhi tepian kota besar itu, akibat menganggur. Setengahnya mendesak agar diambil bekerja: mencabut rumput, mengecat atap; atau apa saja. Tetapi sang suami dan sang istri teringat akan peringatan agar jangan mengambil orang yang tak dikenal. Sebagian dari mereka meminum minuman keras dan mengotori jalan raya dengan botol-botol kosong. Sebagian lagi meminta sedekah, menunggu sang suami atau sang istri ke luar dari pintu pagar yang berlistrik itu. Mereka duduk dengan kaki terjuntai ke dahan pohonan yang bagai sebuah lorong hijau di jalan raya. Sebuah kawasan tepi kota yang cantik jadi rusak oleh kehadiran mereka. Kadang mereka tertidur di depan pagar pada siang hari. Sang istri tidak sampai hati melihat orang yang kelaparan. Ia lalu menyuruh pembantu rumahnya mengantarkan roti dan teh. Tetapi pembantunya berkata bahwa mereka adalah para bandit yang akan mengikat dia dan menguncinya dalam lemari. Sang suami berkata, betul katanya, ikuti nasehatnya. Kau hanya membikin mereka jadi makin beringas dengan roti dan tehmu itu. Mereka mencari peluang kalau-kalau… . Dan sang suami pun membawa masuk sepeda roda tiga anaknya dari taman setiap malam karena jika rumah itu benar-benar selamat, setelah dikunci rapat-rapat dan alarm dinyalakan, seseorang mungkin masih dapat memanjat tembok atau pagar yang berlistrik itu untuk masuk ke dalam taman.
Benar katamu, ucap sang istri, kalau begitu tembok itu sebaiknya ditinggikan lagi. Dan perempuan sihir tua yang bijak itu, yaitu ibu sang suami, membayar untuk tambahan batu bata sebagai hadiah Hari Natalnya kepada anak dan menantunya. Si anak kecil pun mendapat pakaian orang angkasa dan sebuah buku cerita dongeng.
Tetapi, setiap minggu terdapat banyak berita tentang perampokan di siang bolong dan di malam yang sepi, bahkan pada waktu subuh, meskipun pada bulan purnama di musim panas yang indah, sebuah keluarga sedang menikmati makan malam ketika kamar tidur di tingkat atas dibongkar. Pasangan suami istri yang sedang berbincang tentang perampokan bersenjata terkini yang berlaku di pinggir kota itu telah diganggu oleh kemunculan kucing peliharaan anak mereka yang coba memanjat tembok setinggi tujuh kaki itu, berkali-kali, mula-mula memanjat ke atas dengan kaki depannya di permukaan dinding tembok, kemudian melompat dengan gerakan yang cantik dan mendarat dengan mengibas-ngibaskan ekornya ke dalam kawasan rumah. Tembok putih itu dikotori oleh bekas jejak kucing dan di bagian luar tembok yang menghadap jalan terdapat bekas jejak dari tanah merah yang lebar seperti tapak sepatu yang tersarung di kaki penganggur-penganggur yang membuang waktu tanpa tujuan.
Ketika sang suami, sang istri dan anak kecil membawa anjing mereka berjalan-jalan di kawasan kediaman mereka, mereka tidak lagi berhenti sejenak untuk menikmati keindahan pagar mawar di halaman yang kesemuanya kini tertutup di balik pagar serta tembok-tembok dengan peralatannya. Sang suami, sang istri, dan anak kecil mereka membuat pilihan menakjubkan. Sebuah pilihan yang murah, yaitu memasang pecahan kaca yang ditancapkan di atas semenan tembok dengan jerajak besi yang berujung tajam. Ada juga usaha untuk mencontoh kehalusan seni bangunan penjara berbentuk vila Spanyol (besi-besi tajam yang dicat merah jambu) dengan pasu-pasu berbentuk labu yang ditempel dengan lukisan klasik (besi-besi tajam yang panjangnya 12 inchi berlekak-lekuk dan bercat putih). Separuh tembok dilekatkan dengan papan kecil yang ditulis dengan nama dan nomor telepon perusahaan yang bertanggung jawab memasang peralatan tersebut. Sedang anak lelaki mereka dan anjingnya berlari ke muka, sang suami dan istri membandingkan setiap bentuk yang paling berkesan, dan selang beberapa minggu, saat mereka sedang berhenti di hadapan sebuah dinding tembok tanpa berkata-kata, keduanya membuat keputusan untuk memilih sebuah bentuk yang paling baik saja, yakni bentuk yang paling sederhana namun luhur yang direncanakan seperti bentuk kamp tahanan: tidak berbunga-bunga, kuat dan sederhana. Di sepanjang tembok, terbentang gulungan besi yang keras, berkilat, tajam bergerigi serta bercabang mata pisau. Ini semua menyulitkan orang untuk coba memanjat dan merangkak ke dalam gulungan itu tanpa dia tersangkut pada gulungan itu. Sama sekali tak ada jalan ke luar bagi mereka yang terlibat di situ. Setiap percobaan hanya akan menyebabkan darah keluar lebih banyak lagi. Semakin terkait, kulit makin terkoyak dan luka makin jadi dalam. Sang istri terpesona memandangnya. Betul katamu, ucap sang suami, siapapun akan berpikir dua kali… dan mereka mulai menimbang nasihat yang tercatat di atas papan kecil yang dilekatkan di tembok. Hubungi GIGI NAGA. Masyarakat ingin keselamatan yang mutlak.
Keesokan harinya, sekumpulan pekerja datang merentangkan gulungan berduri dan berpisau di sekeliling tembok rumah, di mana tempat sang suami, sang istri dan anak lelaki mereka yang kecil tinggal bersama-sama dengan anjing dan kucing peliharaan mereka dengan penuh kebahagiaan buat selama-lamanya. Cahaya matahari memancar dan cahayanya menerpa mata pisau bergerigi yang mengelilingi rumah tersebut, menyilaukan. Sang suami berkata, tak mengapa. Kilau itu akan hilang nanti. Sang istri berkata, tidak mungkin, mereka menjamin gulungan itu tahan karat. Dan sang istri menunggu hingga si anak kecil pergi bermain, lalu berkata, saya harap si kucing peka. Sang suami berkata, jangan cemas sayang, kucing selalu melihat sebelum melompat. Mereka benar, karena sejak hari itu, kucing mereka hanya tidur di kamar si anak dan bermain di taman saja, tidak pernah coba melanggar pagar keamanan itu.
Pada suatu malam, sang ibu membacakan sebuah kisah dongeng pada sang anak dari buku yang dihadiahkan oleh perempuan sihir tua yang bijak pada hari Natal. Pada keesokan harinya, si anak beraksi seperti seorang putra raja yang gagah berani melepas dan membabat duri-duri tebal untuk masuk ke istana dan mengecup sang puteri yang tidur serta menyadarkannya kembali. Si anak membawa tangga ke tembok. Ia menyusupkan diri ke dalam gulungan yang berkilat itu semuat-muat badannya. Kaitan yang pertama mengenai lututnya. Lalu tangannya, kepalanya. Ia menjerit kesakitan dan meronta semakin ke dalam gelungan itu. Pasangan pembantu rumah dan tukang kebunlah yang pertama kali melihat peristiwa itu, lalu segera berlari mendapati si anak kecil dan menjerit bersama-sama dengannya. Tukang kebun yang rajin itu telah luka tangannya ketika mencoba menyelamatkan si anak. Datanglah kemudian sang suami dan sang istri dengan tergopoh menuju taman. Dalam pada itu, entah apa sebabnya (mungkin kucing, agaknya) alarm pun menggila di tengah-tengah jeritan mereka, sementara si anak yang bermandi darah dikeluarkan dari gulungan dengan menggunakan gergaji, pemotong kawat, kapak, dan sebagainya. Mereka -sang suami, sang istri, pembantu rumah yang dipercayai yang tengah diserang histria, dan tukang kebun yang menangis- membawa anak itu masuk ke dalam rumah.*** Nadine Gordimer, lahir di Transvaal, 1923. Cerpenis dan novelis Afrika Selatan ini banyak mendapat penghargaan di bidang sastra, antara lain: Booker Prize, the W.H. Smith Commmonwealth Literature Award, dan the Scottish Arts Council Neil M. Gunn Fellowship. Dia seorang dosen tamu di Royal Society of Literature, dan anggota kehormatan American Academy and Institute of Art and Letters. Kumpulan cerpennya antara lain Livingstone Companions, Not dor Publication, Friday's Footprint, Selected Stories, A Soldier's Embrace, Jump and Other Stories, dan Something Out There. Nobel Sastra diraihnya pada tahun 1991. Diterjemahkan oleh Agus dan Nikmah Sarjono
Label: cerpen
Oleh: Tayih Salih
Ketika itu aku pasti masih sangat muda. Aku tidak ingat tepatnya berapa umurku, tetapi aku ingat betul bahwa bila orang melihatku bersama kakekku, mereka akan menepuk kepalaku dan mencubit pipiku — hal-hal yang mereka tidak lakukan pada kakekku. Yang aneh adalah bahwa aku tidak pernah pergi bersama ayahku, kakekkulah yang akan membawaku ke mana pun ia pergi, kecuali pada pagi hari, ketika aku ke mesjid untuk belajar Quran. Mesjid, sungai, dan ladang itu — semua itu adalah hal-hal terpenting dalam kehidupan kami. Sementara kebanyakan anak-anak seusiaku menggerutu kalau harus ke mesjid untuk belajar Quran, aku malah senang melakukannya. Sebabnya, aku cepat menghafal Quran dan Syeh selalu memintaku untuk berdiri dan memperdengarkan ayat dari Sang Maha Pengampun kapan saja ia menerima tamu, yang akan menepuk kepala dan pipiku seperti yang mereka lakukan ketika melihatku bersama kakekku.
Sungguh, aku dulu mencintai mesjid, dan aku juga mencintai sungai itu. Segera setelah selesai membaca Quran pada pagi hari, aku akan melemparkan batu tulis kayuku dan melesat menuju ibuku, cepat seperti jin, dengan tergesa-gesa menelan sarapanku, dan berlari untuk menyelam di sungai. Ketika lelah berenang ke sana-ke mari, aku duduk di pinggir sungai dan memperhatikan patahan air yang mengalir menjauh ke arah Timur, dan bersembunyi di belakang hutan kecil rimbunan pohon akasia yang tebal. Aku suka membiarkan khayalanku dan membayangkan sebuah suku raksasa tinggal di belakang hutan itu, orang-orang tinggi dan kurus dengan janggut putih dan hidung tajam, seperti kakekku. Sebelum kakekku bisa menjawab pertanyaanku yang banyak, ia akan menyeka ujung hidungnya dengan jari telunjuknya, terasa lembut dan tebal dan putih seperti kain wol — belum pernah dalam hidupku aku menyaksikan sesuatu yang lebih putih atau lebih indah. Kakekku pasti juga luar biasa tinggi, karena aku tidak pernah melihat orang di seluruh daerah ini yang menyapanya tanpa harus mendongakkan kepalanya, atau belum pernah kulihat kakekku memasuki rumah tanpa harus membungkukkan badan begitu rendahnya sehingga aku mengingat bagaimana sungai akan mengalir memutar di belakang hutan kecil pepohonan akasia. Aku menyayanginya dan akan membayangkan diriku, pada saat aku sudah menjadi laki-laki dewasa, tinggi dan langsing sepertinya, berjalan dengan langkah-langkah yang lebar.
Aku yakin bahwa aku adalah cucu kesayangannnya, tidak heran, karena sepupu-sepupuku adalah gerombolan anak yang bodoh dan aku — begitu kata orang — adalah anak yang pandai. Aku biasanya tahu saat kakek menginginkan aku tertawa, saat untuk diam; juga aku akan mengingat saat-saat ia berdoa dan akan membawakan untuknya sajadah dan mengisi tempat air untuk wudhunya tanpa perlu ia memintanya. Ketika ia tidak memiliki kegiatan lain, ia suka mendengarkan aku membacakan ayat Quran dengan suara penuh irama, dan aku bisa mengatakan lewat wajahnya bahwa ia tersentuh.
Suatu hari aku bertanya tentang tetangga kami, Masood. Aku berkata pada kakekku, “Menurutku kakek tidak suka pada tetangga kita Masood?”
Yang dijawabnya, sesudah menyentuh ujung hidungnya, “Orang itu culas dan aku tidak suka orang macam itu.”
Aku berkata kepada kakek, “Apa sih orang culas itu?”
Kakekku menundukkan kepalanya sejenak, kemudian, memandangi luasnya ladang, ia berkata, “Kau lihat tanah yang ujungnya di padang pasir sampai ke tepi Sundai Nil? Ratusan feddans. Kau lihat semua pohon kurma itu? Dan pohon-pohon itu — sant, akasia, dan sayal? Semua ini jatuh ke pangkuan Masood, diwarisi olehnya dari ayahnya.”
Memanfaatkan kakekku yang membisu, aku mengalihkan pandanganku darinya ke daerah yang luas yang tadi diterangkan oleh kata-katanya. “Aku tidak peduli,” aku berkata pada diriku sendiri, “siapa yang memiliki pohon-pohon kurma itu, semua pohon itu ataupun tanah hitam yang pecah-pecah ini, yang kutahu itu adalah tempat bagi impian-impianku dan tempatku bermain.”
Kakekku kemudian melanjutkan, “Ya, anakku, empat puluh tahun yang lalu semua ini menjadi milik Masood — dua pertiga dari semua itu sekarang menjadi milikku.”
Ini jadi berita untukku, karena kubayangkan bahwa tanah ini sudah menjadi milik kakek sejak Tuhan menciptakannya.
“Tidak satu feddan pun milikku ketika aku pertama kali menjejakkan kaki di desa ini. Masood saat itu adalah pemilik semua kekayaan ini. Posisinya berubah sekarang, dan kupikir bahwa sebelum Allah memanggilku aku akan membeli sisanya yang sepertiga juga.”
Aku tidak tahu mengapa aku merasakan ketakutan pada kata-kata kakekku — dan rasa kasihan kepada tetangga kami Masood. Aku ingin sekali kakek tidak melakukan apa yang dikatakannya! Aku ingat Masood menyanyi, suaranya yang indah dan tawanya yang keras yang menyerupai suara air yang berdeguk. Kakek tidak pernah tertawa.
Aku bertanya pada kakek mengapa Masood menjual tanahnya.
“Perempuan,” dan dari cara kakek mengatakan kata itu aku merasa bahwa “perempuan” adalah sesuatu yang buruk sekali. “Masood, anakku, adalah lelaki yang doyan kawin. Setiap kali ia kawin ia menjual satu atau dua feddan padaku.” Aku dengan cepat menghitung bahwa Masood pastinya sudah menikahi sekitar sembilan puluh perempuan. Lalu kuingat tiga istrinya, penampilannya yang jorok, keledainya yang lambat dan pelananya yang tak terpelihara, galabia-nya dengan lengan baju yang robek. Aku sudah melakukan semua kecuali membersihkan pikiranku dari pikiran-pikiran yang berdesakan masuk ke kepalaku pada saat aku melihat laki-laki itu mendekati kami, dan kakek dan aku saling bertukar pandangan.
“Kami akan memanen kurma hari ini,” kata Masood. “Kalian tidak ingin ke sana?”
Walaupun begitu, aku merasa bahwa ia tidak betul-betul menginginkan kakek hadir di sana. Namun, kakek melompat berdiri dan aku melihat matanya bersinar sesaat dengan kecerahan yang luar biasa. Ia menarik tanganku dan kami menuju ke tempat panen kurma milik Masood.
Seseorang membawakan kakekku bangku yang ditutupi dengan penutup dari kulit sapi, sementara aku tetap berdiri. Di sana ada begitu banyak orang, tetapi biarpun aku kenal mereka semua, aku punya banyak alasan untuk memperhatikan Masood, jauh dari kerumunan orang banyak ia berdiri seolah itu bukan urusannya, walaupun kenyataannya pohon-pohon kurma yang akan dipanen adalah miliknya. Terkadang perhatiannya tersita pada bunyi rumpun besar kurma yang hancur terjatuh dari ketingggian. Sekali ia meneriaki seorang anak laki-laki yang bertengger di puncak pohon kurma dan ia sudah mulai menggarap rumpunan kurma dengan sabitnya yang panjang dan tajam, “Awas jangan sampai kau potong jantung kurmanya.”
Tak ada yang memperhatikan apa yang dikatakannya dan anak laki-laki itu terus duduk di puncak pohon kurma, dengan cepat dan penuh tenaga, menggarap cabang dengan sabitnya sampai rumpun kurma mulai jatuh seperti sesatu yang turun dari surga.
Namun, aku sudah mulai berpikir tentang kata-kata Masood “jantung kurma.” Aku membayangkan pohon kurma sebagai sesuatu yang punya perasaan, sesuatu yang memiliki jantung yang berdetak. Aku ingat ucapan Masood padaku ketika ia suatu kali melihatku mempermainkan cabang pohon kurma muda, “Pohon kurma, anakku, seperti manusia, merasakan kebahagiaan dan penderitaan.” Dan aku merasakan rasa malu di dalam diri yang tidak beralasan.
Ketika sekali lagi aku memandang luasnya tanah yang membentang di hadapanku, aku melihat teman-temanku berkerumun seperti semut di seputar batang pohon kurma, mengumpulkan kurma dan memakan sebagian besarnya. Kurma-kurma dikumpulkan menjadi tumpukan yang tinggi. Aku melihat orang berdatangan dan menimbang kurma ke dalam wadah timbangan dan menuangnya ke dalam kantung-kantung, yang kuhitung ada tiga puluh. Kerumunan orang bubar, kecuali Hussein si pedagang, Mousa si pemilik ladang di sebelah ladang kami sebelah Timur, dan dua laki-laki yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku mendengar bunyi siulan dan melihat kakek sudah jatuh tertidur. Lalu aku perhatikan Masood tidak mengubah cara berdirinya, kecuali ia memasukkan potongan tangkai ke dalam mulutnya dan sedang mengunyahnya seperti orang membuat perutnya kenyang dengan makanan yang tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan mulut yang masih penuh.
Tiba-tiba kakek bangun, melompat di atas kakinya, dan berjalan menuju kantung-kantung kurma. Ia diikuti Hussein si pedagang, Mousa di pemilik ladang di sebelah ladang kami, dan dua orang yang tak dikenal. Aku melirik Masood dan menyaksikannya sedang mendekati kami dengan luar biasa perlahan, seperti seseorang yang ingin mundur tetapi kakinya memaksa maju. Mereka membentuk lingkaran di seputar kurma dan mulai memeriksanya, beberapa mengambil satu dua kurma untuk dimakan. Kakek memberiku segenggam penuh, yang kemudian kukunyah. Aku melihat Masood memenuhi kedua tangannya dengan kurma dan membawanya ke dekat hidungnya, lalu mengembalikannya.
Kemudian aku menyaksikan mereka membagi kantung-kantung itu di antara mereka. Hussein si pedagang mengambil sepuluh; masing-masing orang tak dikenal itu mengambil lima, Mousa si pemilik ladang di sebelah ladang kami di sisi Timur mengambil lima, dan kakek mengambil lima. Aku yang tak mengerti apa pun melihat kepada Masood dan menyaksikan matanya bergerak ke kanan dan ke kiri layaknya dua ekor kucing kecil yang tidak tahu jalan pulang ke rumah.
“Kau masih berhutang lima puluh pound padaku,” kata kakekku kepada Masood. “Kita bicarakan itu nanti.”
Hussein memanggil pembantu-pembantunya dan mereka menggiring keledai, dua orang asing itu membawa unta, dan kantung-kantung kurma itu dipunggah ke atas punggung binatang-binatang itu. Salah satu keledai mengeluarkan suara ringkikan yang membuat mulut unta-unta itu berbusa dan mengeluh ribut sekali. Aku merasa mendekati Masood, merasakan tanganku mengarah padanya seolah aku ingin menyentuh keliman pakaiannya. Aku mendengarnya mengeluarkan suara di tenggorokannya seperti rintihan domba yang akan dijagal. Untuk alasan yang tak kuketahui, aku merasakan sakit yang teramat sangat di dadaku.
Aku berlari ke kejauhan. Mendengar kakekku memanggilku, aku sedikit ragu, kemudian melanjutkan perjalanan. Aku merasa pada saat itu bahwa aku membencinya. Aku mempercepat langkahku, sepertinya aku membawa di dalam diriku sebuah rahasia yang ingin kuhindari. Aku mencapai tepi sungai di dekat belokan di belakang hutan kecil pohon akasia. Kemudian, tanpa tahu mengapa, aku meletakkan jariku ke dalam tenggorokanku dan memuntahkan kurma yang sudah kumakan.*** Tayeb Salih (Al-Tayeb Salih), dilahirkan pada tahun 1929 di desa Al-Debba di Sudan Tengah. Tentang desanya itu, ia pernah menyatakan bahwa ia masih merasa tinggal di sana mengembara ke mana-mana. Masa kecilnya dihabiskannya di desa itu. Keluarganya adalah petani dan guru. Ia mendapatkan pendidikan tinggi di Universitas Khartoum, yang kemudian dilanjutkannya di beberapa universitas di Inggris. Ia pernah menjadi guru di Sudan, namun sebentar kemudian ia bekerja di BBC sebagai perencana siaran drama dalam bahasa Arab. Salih mulai menulis tahun 1953, tetapi kumpulan cerpennya yang pertama, yang hanya berisi tiga cerpen baru terbit tahun 1968. Cerpen "Segenggam Kurma" ini diambil dari kumpulan tersebut, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Denys Johnson-Davies, yang kemudian bersama sejumlah cerpen Afrika lain dikumpulkan oleh Charles R. Larson dalam Under African Skies. Mo-dern African Stories, 1997, Edinburg: Payback Press. Cerpen ini diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono.
READ MORE - Segenggam Kurma
Ketika itu aku pasti masih sangat muda. Aku tidak ingat tepatnya berapa umurku, tetapi aku ingat betul bahwa bila orang melihatku bersama kakekku, mereka akan menepuk kepalaku dan mencubit pipiku — hal-hal yang mereka tidak lakukan pada kakekku. Yang aneh adalah bahwa aku tidak pernah pergi bersama ayahku, kakekkulah yang akan membawaku ke mana pun ia pergi, kecuali pada pagi hari, ketika aku ke mesjid untuk belajar Quran. Mesjid, sungai, dan ladang itu — semua itu adalah hal-hal terpenting dalam kehidupan kami. Sementara kebanyakan anak-anak seusiaku menggerutu kalau harus ke mesjid untuk belajar Quran, aku malah senang melakukannya. Sebabnya, aku cepat menghafal Quran dan Syeh selalu memintaku untuk berdiri dan memperdengarkan ayat dari Sang Maha Pengampun kapan saja ia menerima tamu, yang akan menepuk kepala dan pipiku seperti yang mereka lakukan ketika melihatku bersama kakekku.
Sungguh, aku dulu mencintai mesjid, dan aku juga mencintai sungai itu. Segera setelah selesai membaca Quran pada pagi hari, aku akan melemparkan batu tulis kayuku dan melesat menuju ibuku, cepat seperti jin, dengan tergesa-gesa menelan sarapanku, dan berlari untuk menyelam di sungai. Ketika lelah berenang ke sana-ke mari, aku duduk di pinggir sungai dan memperhatikan patahan air yang mengalir menjauh ke arah Timur, dan bersembunyi di belakang hutan kecil rimbunan pohon akasia yang tebal. Aku suka membiarkan khayalanku dan membayangkan sebuah suku raksasa tinggal di belakang hutan itu, orang-orang tinggi dan kurus dengan janggut putih dan hidung tajam, seperti kakekku. Sebelum kakekku bisa menjawab pertanyaanku yang banyak, ia akan menyeka ujung hidungnya dengan jari telunjuknya, terasa lembut dan tebal dan putih seperti kain wol — belum pernah dalam hidupku aku menyaksikan sesuatu yang lebih putih atau lebih indah. Kakekku pasti juga luar biasa tinggi, karena aku tidak pernah melihat orang di seluruh daerah ini yang menyapanya tanpa harus mendongakkan kepalanya, atau belum pernah kulihat kakekku memasuki rumah tanpa harus membungkukkan badan begitu rendahnya sehingga aku mengingat bagaimana sungai akan mengalir memutar di belakang hutan kecil pepohonan akasia. Aku menyayanginya dan akan membayangkan diriku, pada saat aku sudah menjadi laki-laki dewasa, tinggi dan langsing sepertinya, berjalan dengan langkah-langkah yang lebar.
Aku yakin bahwa aku adalah cucu kesayangannnya, tidak heran, karena sepupu-sepupuku adalah gerombolan anak yang bodoh dan aku — begitu kata orang — adalah anak yang pandai. Aku biasanya tahu saat kakek menginginkan aku tertawa, saat untuk diam; juga aku akan mengingat saat-saat ia berdoa dan akan membawakan untuknya sajadah dan mengisi tempat air untuk wudhunya tanpa perlu ia memintanya. Ketika ia tidak memiliki kegiatan lain, ia suka mendengarkan aku membacakan ayat Quran dengan suara penuh irama, dan aku bisa mengatakan lewat wajahnya bahwa ia tersentuh.
Suatu hari aku bertanya tentang tetangga kami, Masood. Aku berkata pada kakekku, “Menurutku kakek tidak suka pada tetangga kita Masood?”
Yang dijawabnya, sesudah menyentuh ujung hidungnya, “Orang itu culas dan aku tidak suka orang macam itu.”
Aku berkata kepada kakek, “Apa sih orang culas itu?”
Kakekku menundukkan kepalanya sejenak, kemudian, memandangi luasnya ladang, ia berkata, “Kau lihat tanah yang ujungnya di padang pasir sampai ke tepi Sundai Nil? Ratusan feddans. Kau lihat semua pohon kurma itu? Dan pohon-pohon itu — sant, akasia, dan sayal? Semua ini jatuh ke pangkuan Masood, diwarisi olehnya dari ayahnya.”
Memanfaatkan kakekku yang membisu, aku mengalihkan pandanganku darinya ke daerah yang luas yang tadi diterangkan oleh kata-katanya. “Aku tidak peduli,” aku berkata pada diriku sendiri, “siapa yang memiliki pohon-pohon kurma itu, semua pohon itu ataupun tanah hitam yang pecah-pecah ini, yang kutahu itu adalah tempat bagi impian-impianku dan tempatku bermain.”
Kakekku kemudian melanjutkan, “Ya, anakku, empat puluh tahun yang lalu semua ini menjadi milik Masood — dua pertiga dari semua itu sekarang menjadi milikku.”
Ini jadi berita untukku, karena kubayangkan bahwa tanah ini sudah menjadi milik kakek sejak Tuhan menciptakannya.
“Tidak satu feddan pun milikku ketika aku pertama kali menjejakkan kaki di desa ini. Masood saat itu adalah pemilik semua kekayaan ini. Posisinya berubah sekarang, dan kupikir bahwa sebelum Allah memanggilku aku akan membeli sisanya yang sepertiga juga.”
Aku tidak tahu mengapa aku merasakan ketakutan pada kata-kata kakekku — dan rasa kasihan kepada tetangga kami Masood. Aku ingin sekali kakek tidak melakukan apa yang dikatakannya! Aku ingat Masood menyanyi, suaranya yang indah dan tawanya yang keras yang menyerupai suara air yang berdeguk. Kakek tidak pernah tertawa.
Aku bertanya pada kakek mengapa Masood menjual tanahnya.
“Perempuan,” dan dari cara kakek mengatakan kata itu aku merasa bahwa “perempuan” adalah sesuatu yang buruk sekali. “Masood, anakku, adalah lelaki yang doyan kawin. Setiap kali ia kawin ia menjual satu atau dua feddan padaku.” Aku dengan cepat menghitung bahwa Masood pastinya sudah menikahi sekitar sembilan puluh perempuan. Lalu kuingat tiga istrinya, penampilannya yang jorok, keledainya yang lambat dan pelananya yang tak terpelihara, galabia-nya dengan lengan baju yang robek. Aku sudah melakukan semua kecuali membersihkan pikiranku dari pikiran-pikiran yang berdesakan masuk ke kepalaku pada saat aku melihat laki-laki itu mendekati kami, dan kakek dan aku saling bertukar pandangan.
“Kami akan memanen kurma hari ini,” kata Masood. “Kalian tidak ingin ke sana?”
Walaupun begitu, aku merasa bahwa ia tidak betul-betul menginginkan kakek hadir di sana. Namun, kakek melompat berdiri dan aku melihat matanya bersinar sesaat dengan kecerahan yang luar biasa. Ia menarik tanganku dan kami menuju ke tempat panen kurma milik Masood.
Seseorang membawakan kakekku bangku yang ditutupi dengan penutup dari kulit sapi, sementara aku tetap berdiri. Di sana ada begitu banyak orang, tetapi biarpun aku kenal mereka semua, aku punya banyak alasan untuk memperhatikan Masood, jauh dari kerumunan orang banyak ia berdiri seolah itu bukan urusannya, walaupun kenyataannya pohon-pohon kurma yang akan dipanen adalah miliknya. Terkadang perhatiannya tersita pada bunyi rumpun besar kurma yang hancur terjatuh dari ketingggian. Sekali ia meneriaki seorang anak laki-laki yang bertengger di puncak pohon kurma dan ia sudah mulai menggarap rumpunan kurma dengan sabitnya yang panjang dan tajam, “Awas jangan sampai kau potong jantung kurmanya.”
Tak ada yang memperhatikan apa yang dikatakannya dan anak laki-laki itu terus duduk di puncak pohon kurma, dengan cepat dan penuh tenaga, menggarap cabang dengan sabitnya sampai rumpun kurma mulai jatuh seperti sesatu yang turun dari surga.
Namun, aku sudah mulai berpikir tentang kata-kata Masood “jantung kurma.” Aku membayangkan pohon kurma sebagai sesuatu yang punya perasaan, sesuatu yang memiliki jantung yang berdetak. Aku ingat ucapan Masood padaku ketika ia suatu kali melihatku mempermainkan cabang pohon kurma muda, “Pohon kurma, anakku, seperti manusia, merasakan kebahagiaan dan penderitaan.” Dan aku merasakan rasa malu di dalam diri yang tidak beralasan.
Ketika sekali lagi aku memandang luasnya tanah yang membentang di hadapanku, aku melihat teman-temanku berkerumun seperti semut di seputar batang pohon kurma, mengumpulkan kurma dan memakan sebagian besarnya. Kurma-kurma dikumpulkan menjadi tumpukan yang tinggi. Aku melihat orang berdatangan dan menimbang kurma ke dalam wadah timbangan dan menuangnya ke dalam kantung-kantung, yang kuhitung ada tiga puluh. Kerumunan orang bubar, kecuali Hussein si pedagang, Mousa si pemilik ladang di sebelah ladang kami sebelah Timur, dan dua laki-laki yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku mendengar bunyi siulan dan melihat kakek sudah jatuh tertidur. Lalu aku perhatikan Masood tidak mengubah cara berdirinya, kecuali ia memasukkan potongan tangkai ke dalam mulutnya dan sedang mengunyahnya seperti orang membuat perutnya kenyang dengan makanan yang tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan mulut yang masih penuh.
Tiba-tiba kakek bangun, melompat di atas kakinya, dan berjalan menuju kantung-kantung kurma. Ia diikuti Hussein si pedagang, Mousa di pemilik ladang di sebelah ladang kami, dan dua orang yang tak dikenal. Aku melirik Masood dan menyaksikannya sedang mendekati kami dengan luar biasa perlahan, seperti seseorang yang ingin mundur tetapi kakinya memaksa maju. Mereka membentuk lingkaran di seputar kurma dan mulai memeriksanya, beberapa mengambil satu dua kurma untuk dimakan. Kakek memberiku segenggam penuh, yang kemudian kukunyah. Aku melihat Masood memenuhi kedua tangannya dengan kurma dan membawanya ke dekat hidungnya, lalu mengembalikannya.
Kemudian aku menyaksikan mereka membagi kantung-kantung itu di antara mereka. Hussein si pedagang mengambil sepuluh; masing-masing orang tak dikenal itu mengambil lima, Mousa si pemilik ladang di sebelah ladang kami di sisi Timur mengambil lima, dan kakek mengambil lima. Aku yang tak mengerti apa pun melihat kepada Masood dan menyaksikan matanya bergerak ke kanan dan ke kiri layaknya dua ekor kucing kecil yang tidak tahu jalan pulang ke rumah.
“Kau masih berhutang lima puluh pound padaku,” kata kakekku kepada Masood. “Kita bicarakan itu nanti.”
Hussein memanggil pembantu-pembantunya dan mereka menggiring keledai, dua orang asing itu membawa unta, dan kantung-kantung kurma itu dipunggah ke atas punggung binatang-binatang itu. Salah satu keledai mengeluarkan suara ringkikan yang membuat mulut unta-unta itu berbusa dan mengeluh ribut sekali. Aku merasa mendekati Masood, merasakan tanganku mengarah padanya seolah aku ingin menyentuh keliman pakaiannya. Aku mendengarnya mengeluarkan suara di tenggorokannya seperti rintihan domba yang akan dijagal. Untuk alasan yang tak kuketahui, aku merasakan sakit yang teramat sangat di dadaku.
Aku berlari ke kejauhan. Mendengar kakekku memanggilku, aku sedikit ragu, kemudian melanjutkan perjalanan. Aku merasa pada saat itu bahwa aku membencinya. Aku mempercepat langkahku, sepertinya aku membawa di dalam diriku sebuah rahasia yang ingin kuhindari. Aku mencapai tepi sungai di dekat belokan di belakang hutan kecil pohon akasia. Kemudian, tanpa tahu mengapa, aku meletakkan jariku ke dalam tenggorokanku dan memuntahkan kurma yang sudah kumakan.*** Tayeb Salih (Al-Tayeb Salih), dilahirkan pada tahun 1929 di desa Al-Debba di Sudan Tengah. Tentang desanya itu, ia pernah menyatakan bahwa ia masih merasa tinggal di sana mengembara ke mana-mana. Masa kecilnya dihabiskannya di desa itu. Keluarganya adalah petani dan guru. Ia mendapatkan pendidikan tinggi di Universitas Khartoum, yang kemudian dilanjutkannya di beberapa universitas di Inggris. Ia pernah menjadi guru di Sudan, namun sebentar kemudian ia bekerja di BBC sebagai perencana siaran drama dalam bahasa Arab. Salih mulai menulis tahun 1953, tetapi kumpulan cerpennya yang pertama, yang hanya berisi tiga cerpen baru terbit tahun 1968. Cerpen "Segenggam Kurma" ini diambil dari kumpulan tersebut, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Denys Johnson-Davies, yang kemudian bersama sejumlah cerpen Afrika lain dikumpulkan oleh Charles R. Larson dalam Under African Skies. Mo-dern African Stories, 1997, Edinburg: Payback Press. Cerpen ini diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono.
Oleh: Yus R. Ismail
“Bercerminlah dengan khusuk, maka kamu akan melihat diri sendiri,” kata suara entah dari mana yang selalu bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku ini.
Setiap tengah malam aku terbangun dan mencari-cari cermin. Betapa sunyi keinginan ini. Bukankah setiap hari aku menjadi aku, menjadi diri sendiri, karena aku memang bukan seorang pemain sinetron atau drama. Aku toh bukan Dedi Mizwar yang biasa memerankan Naga Bonar atau apa dan siapa saja.
Tapi sering aku tiba-tiba asing dengan diri sendiri. Begitu banyak perilaku yang tidak bisa dimengerti mengapa pernah aku lakukan. Dan begitu banyak keinginan yang tidak aku lakukan. Aku tidak bebas lagi bergerak, berekspresi, menerjemahkan hati menjadi apa saja.
Aku merasa tubuhku ini bukan lagi rumah pribadiku. Di dalamnya, bisa jadi telah dibangun kamar-kamar yang sadar atau tanpa sadar telah aku kontrakkan kepada entah apa dan siapa. Tubuhku menjadi media ekspresi penghuninya yang bukan aku saja itu. Maka tanganku, mulutku, kakiku, mataku, lidahku, bisa bergerak selain diperintah olehku.
Kesadaran itulah yang mendorongku untuk bercermin, setidaknya untuk mengetahui siapa saja penyatron ruang-ruang tubuhku yang sadar atau tanpa sadar sempat kukosongkan itu. Bila sudah mengetahuinya, aku ingin mengusirnya, dengan kekerasan atau tanpa kekerasan.
Setiap suara entah dari mana itu bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku, aku pontang-panting mencari cermin. Aku memasuki wc-wc umum, mushola, gereja, candi, hotel, diskotik, tapi selalu berakhir dengan kelelahan. Semua cermin yang kutemukan tidak bisa lagi dipergunakan. Semua cermin telah retak dan pecah.
Tapi keinginan yang mencekam itu selalu membangun kelelahanku menjadi orang yang pantang menyerah. Maka aku menemukan cermin itu saat keinginan yang sunyi itu menusuk-nusuk seluruh tubuhku dengan pisau cekamannya. Seluruh anggota tubuhku mengalirkan darah. Aku merasakan suatu kesakitan yang nikmat saat darah itu mengucur setetes demi setetes. Aku teringat masa kecil saat emosi telah memuncak aku melepaskannya dengan tangisan yang keras dan merasa tenang setelah tangis itu berhenti. Teringat kelegaan dari tangisan di waktu kecil itu, tiba-tiba aku tidak bisa yakin apakah cairan yang keluar dari seluruh tubuhku itu benar-benar darah atau air mata.
Keraguan itu menjadikan aku merasa sekali waktu cairan yang keluar dari tubuhku itu benar-benar air mata dan di waktu lain benar-benar sebagai darah. Perubahan keyakinan itu memang begitu menyakitkan. Kesedihan, kepapaan, kesendirian, kesunyiaan, ketakberdayaan, ketaksempurnaan, kepedihan, semuanya menjadi silet-silet yang tanpa henti menoreh-noreh tubuhku. Tapi kesakitan itu pun aku rasakan menjadi kenikmatan yang tiada bandingannya. Barangkali kesakitan dan kenikmatan adalah dua hal yang menempati satu ruang kesadaran.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sebenarnya tidak perlu cermin. Tubuhku telah terpantul di mana-mana. Di tanah, angin, kabut, daun, batang, sampah, air, api, tubuhku terpampang seperti jutaan potret dari yang beragam betuk dan rupa.
***
PANGGIL apa saja maka aku akan menoleh. Namaku memang tidak jelas. Tapi ketidakjelasan itu merupakan kejelasanku. Bila bertemu denganku, di mana saja, jangan ragu-ragu untuk menyapa. Aku suka membicarakan apa saja dengan siapa saja. Tapi bila ingin ngobrol menghabiskan malam atau menghabiskan waktu menjadi tanpa ukuran, temui saja aku di kebun bunga.
Sejak kecil cita-citaku memang menanam bunga. Aku selalu terkenang dengan sebuah lukisan (yang entah di mana dan kapan pernah aku lihat) tentang seseorang sedang menyiram bunga dengan latar belakang langit senja yang kemerahan. Aku tak pernah lupa bagaimana air menetes dari ujung daun, bagaimana angin bergurau dengan tangkai mawar, bagaimana tanah menguapkan bau yang khas, dsb.
Lukisan penyiram bunga dengan latar belakang kemerahan langit senja yang entah di mana dan kapan pernah aku lihat itu terpantul kembali di setiap potret diri yang kulihat di mana-mana dan apa saja yang tiba-tiba kulihat sebagai cermin.
“Mau kamu mencoba menyiram bunga?” tanya si penyiram itu ketika aku begitu takjub dengan matanya. Di matanya, aku melihat berbagai metamorfosa menjadi warna-warna yang artinya tak terjangkau pengetahuan ilmu semiotikku. Ada pucuk yang diam-diam menjadi kesegaran daun menjadi kelelahan daun kering dan menjadi cekaman musim gugur. Ada kuncup yang menjadi keindahan bunga mekar menjadi keresahan kelopak-kelopak yang tanggal dan menjadi kesadaran kesementaraan. Dan begitu banyak lagi metamorfosa lainnya.
“Mau menyiram bunga?” tanya si penyiram itu sekali lagi. Dengan gembira aku mengangguk dan menghampiri. Aku ingin merasakan lebih dalam getaran metamorfosa dari banyak hal itu. Tapi begitu air jatuh dari gayungku, aku lupa dengan metamorfosa itu. Aku telah terbawa air, mengalir ke mana saja yang kumau. Aku menyusuri daun dan batang sambil mengingat kesakitan hutan yang ditebang dan di bakar. Aku meresap ke dalam tanah sambil mengingat hektaran hutan menjadi gurun tandus.
Aku mendengar kesakitan hutan itu seperti jeritan badai yang terus berdebur. Eh, aku tak yakin, ini sebuah jeritan atau geraman dari dendam. Aku tidak bisa membedakan suara keduanya. Sampai aku sadar bahwa badai itu hadir di dalam tubuhku, mengobrak-abrik ruang-ruang tubuhku. Aku banting-banting di tengah lautan yang kuciptakan sendiri. Entah berapa lama aku pingsan, karena tahu-tahu aku berada di pantai yang tenang dan pagi yang anggun. Aku merasa tubuh ini sakit-sakit, begitu lelah. Pantai apakah ini?
“Mau ikut denganku?” tanya seseorang dengan ransel besar di punggungnya yang mengingatkanku akan perjalanan yang panjang dan jauh.
“Pantai apakah ini?” Aku malah balik bertanya.
“Kuta.”
Beberapa jenak aku tercenung. Benarkah ini pantai Kuta? Melihat dari tanda-tandanya aku merasa ini Pantai Panjang.
“Ya, Pantai Panjang juga bisa. Atau Pangandaran. Atau Pelabuhan Ratu.”
Aku memandang orang yang aneh itu.
“Apa perlunya nama. Kamu bisa menamakan pantai apa saja sesukamu. Karena semua nama akan cocok dengan pantai ini.”
Siapa sebenarnya orang ini? Orang gila atau makhluk angkasa luar? Karena aku diamkan cukup lama, orang beransel besar itu terbang. Saat itulah aku yakin bahwa orang itu adalah angin. Aku menyusulnya sambil berteriak, “Aku ikut!”
Kami mendaki bukit menuruni gunung masuk ke lembah menyusup ke lorong-lorong. Bertahun-tahun kami mengembara. Barangkali sepanjang hidup ini akan dihabiskan untuk mengembara. Barangkali hidup memang pengembaraan itu sendiri seperti kata Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah cerpennya yang kubaca di toko buku entah di daerah mana. Setiap kaki melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi.
Barangkali benar bahwa nama-nama tempat tidak penting bagi seorang pengembara. Kami banyak menyaksikan beragam peristiwa di setiap tempat. Kami merasa peristiwa itulah yang lebih penting dibanding dengan nama-nama. Tapi sayang kami tidak mencatat peristiwa-peristiwa itu. Tidak bisa terbayangkan, berapa banyak kertas dan tinta yang akan kami habiskan bila setiap peristiwa dicatat. Tapi kertas dan tinta itu bukanlah alasan yang tepat mengapa kami tidak mencatat. Kami seperti punya kesepakatan bahwa sebaiknya memang tidak dicatat dan dibicarakan. Kami tidak bisa membayangkan, bila seluruh peristiwa itu tercatat, berapa milyar pembaca yang akan sakit.
Peristiwa-peristiwa itu memang penuh dengan darah dan rasa perih. Sepanjang sejarah, rasa sakit barangkali bagian dari hidup. Sungai-sungai mengalirkan air mata. Suara tangis terdengar di mana-mana. Air mata siapa lagi itu kalau bukan milik kita, karena hanya kita yang menghuni dunia ini. Maka kami, aku dan angin, pergi dari tempat yang satu ke tempat yang lain sambil merasakan rasa sakit sendiri-sendiri.
Setiap kaki melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi. Kami tahu tempat-tempat itu pun akan menyediakan hidangan kesakitan-kesakitan lain begitu kami datang, tapi kami tidak bisa tidak mengunjungi tempat-tempat itu. Barangkali merasakan kesakitan-kesakitan di tempat-tempat yang berbeda itu adalah hidup kami.
Keyakinan itu terus berada di hatiku sampai rasa lelah dan sakit tidak bisa lagi aku tahan. Aku sadar bahwa aku tidak seperti angin yang ditakdirkan sebagai pengembara. Aku pingsan entah berapa lama. Dan begitu terbangun, aku berada di sebuah taman yang entah bernama apa dan di mana. Saat kulihat ke sekeliling, aku yakin bahwa taman ini adalah lukisan yang terpantul di potret diri dari cermin-cermin itu.
“Mengapa berhenti menyiram bunga?“ kata seseorang yang sebelumnya kukenal sebagai si penyiram bunga itu. Tapi aku tidak mengacuhkannya. Aku lebih tertarik dengan matahari yang membuat langit memerah itu. Sinar lembutnya disambut hangat lebah-lebah yang tanpa lelah mencari madu dari bunga ke bunga. Eh, aku baru sadar di taman ini pun ada ulat yang terus-terusan memakan daun dan mengerek batang. Memandangnya sambil mencoba memahami kunyahan mulutnya aku merasa begitu dekat dengan ulat. Atau aku pun adalah ulat? Ah, aku tak mau mengikuti pengembaraan yang melelahkan itu. Aku tak mau pergi dengan ulat seperti yang pernah kulakukan dengan air dan angin.
Aku berdiri dan pergi.
“Mengapa tidak menyiram bunga lagi? Dengan menyiram, kamu bisa pergi ke mana saja. Ingatlah, kita tidak bisa tidak pergi. Kita tidak bisa merasa sakit dan perih. Karena sakit dan perih adalah hidup kita....”
Dan entah apa lagi yang diucapkan si penyiram bunga bermata penuh metamorfosa itu. Dia barangkali tidak sadar bahwa kepergianku dari taman itu pun adalah pengembaraan.***
READ MORE - Menyiram Bunga di dalam Cermin
“Bercerminlah dengan khusuk, maka kamu akan melihat diri sendiri,” kata suara entah dari mana yang selalu bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku ini.
Setiap tengah malam aku terbangun dan mencari-cari cermin. Betapa sunyi keinginan ini. Bukankah setiap hari aku menjadi aku, menjadi diri sendiri, karena aku memang bukan seorang pemain sinetron atau drama. Aku toh bukan Dedi Mizwar yang biasa memerankan Naga Bonar atau apa dan siapa saja.
Tapi sering aku tiba-tiba asing dengan diri sendiri. Begitu banyak perilaku yang tidak bisa dimengerti mengapa pernah aku lakukan. Dan begitu banyak keinginan yang tidak aku lakukan. Aku tidak bebas lagi bergerak, berekspresi, menerjemahkan hati menjadi apa saja.
Aku merasa tubuhku ini bukan lagi rumah pribadiku. Di dalamnya, bisa jadi telah dibangun kamar-kamar yang sadar atau tanpa sadar telah aku kontrakkan kepada entah apa dan siapa. Tubuhku menjadi media ekspresi penghuninya yang bukan aku saja itu. Maka tanganku, mulutku, kakiku, mataku, lidahku, bisa bergerak selain diperintah olehku.
Kesadaran itulah yang mendorongku untuk bercermin, setidaknya untuk mengetahui siapa saja penyatron ruang-ruang tubuhku yang sadar atau tanpa sadar sempat kukosongkan itu. Bila sudah mengetahuinya, aku ingin mengusirnya, dengan kekerasan atau tanpa kekerasan.
Setiap suara entah dari mana itu bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku, aku pontang-panting mencari cermin. Aku memasuki wc-wc umum, mushola, gereja, candi, hotel, diskotik, tapi selalu berakhir dengan kelelahan. Semua cermin yang kutemukan tidak bisa lagi dipergunakan. Semua cermin telah retak dan pecah.
Tapi keinginan yang mencekam itu selalu membangun kelelahanku menjadi orang yang pantang menyerah. Maka aku menemukan cermin itu saat keinginan yang sunyi itu menusuk-nusuk seluruh tubuhku dengan pisau cekamannya. Seluruh anggota tubuhku mengalirkan darah. Aku merasakan suatu kesakitan yang nikmat saat darah itu mengucur setetes demi setetes. Aku teringat masa kecil saat emosi telah memuncak aku melepaskannya dengan tangisan yang keras dan merasa tenang setelah tangis itu berhenti. Teringat kelegaan dari tangisan di waktu kecil itu, tiba-tiba aku tidak bisa yakin apakah cairan yang keluar dari seluruh tubuhku itu benar-benar darah atau air mata.
Keraguan itu menjadikan aku merasa sekali waktu cairan yang keluar dari tubuhku itu benar-benar air mata dan di waktu lain benar-benar sebagai darah. Perubahan keyakinan itu memang begitu menyakitkan. Kesedihan, kepapaan, kesendirian, kesunyiaan, ketakberdayaan, ketaksempurnaan, kepedihan, semuanya menjadi silet-silet yang tanpa henti menoreh-noreh tubuhku. Tapi kesakitan itu pun aku rasakan menjadi kenikmatan yang tiada bandingannya. Barangkali kesakitan dan kenikmatan adalah dua hal yang menempati satu ruang kesadaran.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sebenarnya tidak perlu cermin. Tubuhku telah terpantul di mana-mana. Di tanah, angin, kabut, daun, batang, sampah, air, api, tubuhku terpampang seperti jutaan potret dari yang beragam betuk dan rupa.
***
PANGGIL apa saja maka aku akan menoleh. Namaku memang tidak jelas. Tapi ketidakjelasan itu merupakan kejelasanku. Bila bertemu denganku, di mana saja, jangan ragu-ragu untuk menyapa. Aku suka membicarakan apa saja dengan siapa saja. Tapi bila ingin ngobrol menghabiskan malam atau menghabiskan waktu menjadi tanpa ukuran, temui saja aku di kebun bunga.
Sejak kecil cita-citaku memang menanam bunga. Aku selalu terkenang dengan sebuah lukisan (yang entah di mana dan kapan pernah aku lihat) tentang seseorang sedang menyiram bunga dengan latar belakang langit senja yang kemerahan. Aku tak pernah lupa bagaimana air menetes dari ujung daun, bagaimana angin bergurau dengan tangkai mawar, bagaimana tanah menguapkan bau yang khas, dsb.
Lukisan penyiram bunga dengan latar belakang kemerahan langit senja yang entah di mana dan kapan pernah aku lihat itu terpantul kembali di setiap potret diri yang kulihat di mana-mana dan apa saja yang tiba-tiba kulihat sebagai cermin.
“Mau kamu mencoba menyiram bunga?” tanya si penyiram itu ketika aku begitu takjub dengan matanya. Di matanya, aku melihat berbagai metamorfosa menjadi warna-warna yang artinya tak terjangkau pengetahuan ilmu semiotikku. Ada pucuk yang diam-diam menjadi kesegaran daun menjadi kelelahan daun kering dan menjadi cekaman musim gugur. Ada kuncup yang menjadi keindahan bunga mekar menjadi keresahan kelopak-kelopak yang tanggal dan menjadi kesadaran kesementaraan. Dan begitu banyak lagi metamorfosa lainnya.
“Mau menyiram bunga?” tanya si penyiram itu sekali lagi. Dengan gembira aku mengangguk dan menghampiri. Aku ingin merasakan lebih dalam getaran metamorfosa dari banyak hal itu. Tapi begitu air jatuh dari gayungku, aku lupa dengan metamorfosa itu. Aku telah terbawa air, mengalir ke mana saja yang kumau. Aku menyusuri daun dan batang sambil mengingat kesakitan hutan yang ditebang dan di bakar. Aku meresap ke dalam tanah sambil mengingat hektaran hutan menjadi gurun tandus.
Aku mendengar kesakitan hutan itu seperti jeritan badai yang terus berdebur. Eh, aku tak yakin, ini sebuah jeritan atau geraman dari dendam. Aku tidak bisa membedakan suara keduanya. Sampai aku sadar bahwa badai itu hadir di dalam tubuhku, mengobrak-abrik ruang-ruang tubuhku. Aku banting-banting di tengah lautan yang kuciptakan sendiri. Entah berapa lama aku pingsan, karena tahu-tahu aku berada di pantai yang tenang dan pagi yang anggun. Aku merasa tubuh ini sakit-sakit, begitu lelah. Pantai apakah ini?
“Mau ikut denganku?” tanya seseorang dengan ransel besar di punggungnya yang mengingatkanku akan perjalanan yang panjang dan jauh.
“Pantai apakah ini?” Aku malah balik bertanya.
“Kuta.”
Beberapa jenak aku tercenung. Benarkah ini pantai Kuta? Melihat dari tanda-tandanya aku merasa ini Pantai Panjang.
“Ya, Pantai Panjang juga bisa. Atau Pangandaran. Atau Pelabuhan Ratu.”
Aku memandang orang yang aneh itu.
“Apa perlunya nama. Kamu bisa menamakan pantai apa saja sesukamu. Karena semua nama akan cocok dengan pantai ini.”
Siapa sebenarnya orang ini? Orang gila atau makhluk angkasa luar? Karena aku diamkan cukup lama, orang beransel besar itu terbang. Saat itulah aku yakin bahwa orang itu adalah angin. Aku menyusulnya sambil berteriak, “Aku ikut!”
Kami mendaki bukit menuruni gunung masuk ke lembah menyusup ke lorong-lorong. Bertahun-tahun kami mengembara. Barangkali sepanjang hidup ini akan dihabiskan untuk mengembara. Barangkali hidup memang pengembaraan itu sendiri seperti kata Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah cerpennya yang kubaca di toko buku entah di daerah mana. Setiap kaki melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi.
Barangkali benar bahwa nama-nama tempat tidak penting bagi seorang pengembara. Kami banyak menyaksikan beragam peristiwa di setiap tempat. Kami merasa peristiwa itulah yang lebih penting dibanding dengan nama-nama. Tapi sayang kami tidak mencatat peristiwa-peristiwa itu. Tidak bisa terbayangkan, berapa banyak kertas dan tinta yang akan kami habiskan bila setiap peristiwa dicatat. Tapi kertas dan tinta itu bukanlah alasan yang tepat mengapa kami tidak mencatat. Kami seperti punya kesepakatan bahwa sebaiknya memang tidak dicatat dan dibicarakan. Kami tidak bisa membayangkan, bila seluruh peristiwa itu tercatat, berapa milyar pembaca yang akan sakit.
Peristiwa-peristiwa itu memang penuh dengan darah dan rasa perih. Sepanjang sejarah, rasa sakit barangkali bagian dari hidup. Sungai-sungai mengalirkan air mata. Suara tangis terdengar di mana-mana. Air mata siapa lagi itu kalau bukan milik kita, karena hanya kita yang menghuni dunia ini. Maka kami, aku dan angin, pergi dari tempat yang satu ke tempat yang lain sambil merasakan rasa sakit sendiri-sendiri.
Setiap kaki melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi. Kami tahu tempat-tempat itu pun akan menyediakan hidangan kesakitan-kesakitan lain begitu kami datang, tapi kami tidak bisa tidak mengunjungi tempat-tempat itu. Barangkali merasakan kesakitan-kesakitan di tempat-tempat yang berbeda itu adalah hidup kami.
Keyakinan itu terus berada di hatiku sampai rasa lelah dan sakit tidak bisa lagi aku tahan. Aku sadar bahwa aku tidak seperti angin yang ditakdirkan sebagai pengembara. Aku pingsan entah berapa lama. Dan begitu terbangun, aku berada di sebuah taman yang entah bernama apa dan di mana. Saat kulihat ke sekeliling, aku yakin bahwa taman ini adalah lukisan yang terpantul di potret diri dari cermin-cermin itu.
“Mengapa berhenti menyiram bunga?“ kata seseorang yang sebelumnya kukenal sebagai si penyiram bunga itu. Tapi aku tidak mengacuhkannya. Aku lebih tertarik dengan matahari yang membuat langit memerah itu. Sinar lembutnya disambut hangat lebah-lebah yang tanpa lelah mencari madu dari bunga ke bunga. Eh, aku baru sadar di taman ini pun ada ulat yang terus-terusan memakan daun dan mengerek batang. Memandangnya sambil mencoba memahami kunyahan mulutnya aku merasa begitu dekat dengan ulat. Atau aku pun adalah ulat? Ah, aku tak mau mengikuti pengembaraan yang melelahkan itu. Aku tak mau pergi dengan ulat seperti yang pernah kulakukan dengan air dan angin.
Aku berdiri dan pergi.
“Mengapa tidak menyiram bunga lagi? Dengan menyiram, kamu bisa pergi ke mana saja. Ingatlah, kita tidak bisa tidak pergi. Kita tidak bisa merasa sakit dan perih. Karena sakit dan perih adalah hidup kita....”
Dan entah apa lagi yang diucapkan si penyiram bunga bermata penuh metamorfosa itu. Dia barangkali tidak sadar bahwa kepergianku dari taman itu pun adalah pengembaraan.***
Oleh: Abrar Yusra
Langit di atas kepalaku terpentang biru, mengirimkan sinar matahari yang menerobos menyilaukan mata. Dan panas terik seolah membakar udara pantai. Namun di bagian kota lainnya langit digantungi mendung gelap dan bumi di bawahnya mungkin disiram hujan. Pada hari pemakaman ayahku alam pun tidaklah adil.
Ayahku bukan pejabat atau tokoh politik. Namun ia adalah salah seorang tokoh masyarakat yang begitu dihormati di kota pantai yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa itu. Ketika meninggal ia masih pimpinan beberapa yayasan. Lihatlah, di bawah matahari silau para pelayat datang dari mana-mana untuk menghadiri pemakamannya. Maka bukit-bukit kuburan seperti jadi lautan manusia. Walikota pun ikut berjubal di tengah khalayak dan kini di panas terik ia dengan takzim sedang menyampaikan pidato kematian yang panjang dan entah kapan habisnya. Tapi apa peduliku. Siapa tahu, jangan-jangan mereka justru tertawa di hati masing-masing!
Di deretan depan kulihat adik-adikku. Masing-masing memasang muka dan pakaian berkabung yang sedemikian pantas, katakanlah tidak memalukan — termasuk Aditi kecil. Tapi aku tahu hati mereka lebih cerah karena ayah sudah meninggal dunia. Sebab yang paling merisaukan sebenarnya adalah saat-saat ayah bergulat di pembaringan, melawan penderitaan di hari-hari sekaratnya yang panjang. Dengan datangnya kematian ayah kami maka kesedihan besar pun berlalu bagi adik-adikku. Sebaliknya justru merupakan permulaan bagi kesedihan besarku.
Aku menatap matahari. Silau.
Aku memandang khalayak. Gelap. Tidak, silau juga.
Masih berbayang di ingatanku bagaimana mulanya. Tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu terbaring sehat-sehat saja. Ganjilnya, sewaktu-waktu dalam waktu pendek ayah pun berteriak-teriak dan tubuhnya menggelepar-gelepar melawan sakit. Ayah berkata, bagaikan organ-organ di dalam tubuhnya dipelintir tanpa ampun oleh tangan-tangan buas yang tak kelihatan.
“Di sini,” bilang ayah, sambil menepuk perut dan menitikkan airmata kesakitan, “tapi sudah hilang sendiri!”
Ayah malah mencoba tertawa. Seolah hanya diserang penyakit yang lucu. Ya, serangan sakit itu datang sendiri dan hilang pula sendiri. Ayah pun ragu apakah ia betul-betul sakit, perlu diobati atau tidak. Tapi ayah merasa perlu mendatangi sendiri seorang dokter spesialis di pusat kota.
“Tak ada gejala penyakit apa-apa,“ kata dokter.
Kami anak-anak ayah tidak puas dengan hasil pemeriksaan dokter. Sebab seperti semacam misteri, nyatanya serangan sakit demikian datang lagi lantas hilang lagi. Maka ayah kami bawa ke dokter spesialis yang lain dan tak ada hasilnya. Lalu kami mendatangkan sendiri seorang dokter ke rumah di pinggiran kota, juga tanpa hasil apa pun.
Rencana untuk membawa ayah atau mendatangkan dukun ditolak ayah mentah-mentah.
“Jangan,” cemooh ayah tertawa, seolah ia sudah sembuh. “Masa panitia yayasan rumah sakit diobati dukun kampung?”
Serangan penyakit aneh itu mulanya sekali dalam 20 hari. Tapi makin lama makin sering. Baru saja sekali enam hari, lalu sekali tiga hari! Kini sewaktu-waktu ayah bisa terserang rasa sakit, kapan saja di mana saja. Kami benar-benar kalang kabut. Sesudah berlangsung beberapa bulan masih belum ada dokter yang mampu mengenal penyakit ayah, apalagi mengobatinya. Dan sejak ayah mengalaminya di dalam mobil lalu ketika sedang berpidato, maka ayah tidak kami perkenankan keluar rumah sendiri.
“Lebih baiklah kalau ayah di rumah saja,” kataku.
Ayah sendiri sudah mulai menolak berbagai undangan rapat dan ceramah yang biasanya tak pernah dilakukannya.
Berita bahwa ayah sakit segera terbetik ke mana-mana. Maka para pengunjung pun pada berdatangan ke rumah. Ada yang ketawa sebab mendapati ayah biasa-biasa saja. Malah ayah bisa tertawa keras meskipun tubuhnya lebih kurus. Namun jika serangan penyakitnya datang, makin sering saja, tak peduli sedang ada tamu atau tidak, ketika sedang tidur atau lagi ngomong baik-baik, tiba-tiba ayah menggelepar-gelepar dan berteriak-teriak keras kesakitan, lalu mengerang-erang melepaskan kata-kata tak jelas yang berlepotan dari mulutnya.
Makin lama muka tua itu makin berkerumuk. Makin cekung dan sepi. Penyakit itu menganiaya ayah dengan semena-mena benar, sehingga membuatnya capek. Maka hidup ayah jadi aneh. Ia lebih banyak tidur dan makin lama hanya terjaga bila rasa sakit menyerang lagi tanpa ampun.
Malam itu para pengunjung sudah pada pulang. Yang tinggal hanya para tetangga, di antaranya tanpa bersuara main halma atau main kartu. Nampaknya seperti untuk bersenang-senang. Aku suka sikap terbuka para tetangga demikian. Mereka datang memang untuk sekedar menghibur atau menunjukkan rasa akrab pada kami tapi bukan menunggu atau mengharapkan kesembuhan si sakit. Siapa pun maklum bahwa kematian ayah memang tinggal soal waktu saja lagi.
Sudah larut dinihari. Adik-adik sudah pada tidur. Aku di kamar tidur ayah dihinggapi perasaan aneh: aku serasa mau sinting karena ayah tak sembuh-sembuh juga. Dan di ruang tengah kedengaran tamu terakhir yang sebelumnya bersamaku menunggui ayah sedang menutup daun-daun jendela.
Maka kudengar langkah-langkah memasuki pintu kamar. Nah, si kakek itu lagi, rupanya ia sudah selesai menutup jendela-jendela. Konon ia teman ayahku dulu.
“Bagaimana beliau?” ia bertanya. “Kambuh lagi?”
Aku mengangguk. Ia sudah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa malam itu serangan sakit ayah paling menjadi-jadi. Setelah berbulan-bulan maka seakan baru benar-benar kusadari bahwa tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu kini sudah keropos seperti kepompong busuk. Seperti digerogoti setan, tinggal tulang-tulang dibalut kulit keriput. Muka cekung ayah sudah menghitam. Sinar hidup dari matanya sudah padam!
Aku serasa mau gila. Tak tahan menyaksikan tubuh ringkih itu kembali menggelepar-gelepar. Tak ada daya untuk melawan perkosaan penyakitnya. Yah, seolah mataku dapat mengikuti atau membayangkan suatu makhluk tak dikenal bergedencak dalam tubuh ayah seperti seekor binatang liar seradak-seruduk di bawah selimut. Seolah menampik hidup dan penderitaan, maka:
“Jangan!” rintih ayah tak jelas. “Ampun, ampun!”
Lalu dengan sisa-sisa tenaganya yang amat lemah, ayah seperti memohon:
“Biarkan aku mati, mati!”
Maka ayahku menangis, barangkali juga pingsan lagi. Keterlaluan penderitaan orang tua itu. Aku gemas kenapa ayah tidak mati-mati juga. Hanya kematian yang mungkin mengakhiri penderitaannya. Rasanya berdosa membiarkan ayah hidup eh sakit teraniaya demikian. Maka aku berdoa untuk kematian ayahku. Tapi kematian rupanya tidaklah ditentukan oleh permintaan dan desakan seseorang. Ayahku meraung lagi. Seolah raung itu pun menghabiskan cadangan tenaganya.
“Harus kaulakukan sesuatu, Nak!” suara si kakek lagi. “Saya bisa membantumu.”
Aku menatapnya tak berdaya. Seolah mau bilang apa pun akan kulakukan asal ayahku tak dizalimi penyakit yang misterius itu lagi.
Lalu ia bilang dengan suara tenang tapi terang,
“Kamu kenal siapa ayahmu. Bagimu mungkin ia seseorang yang hebat. Yang gereseh-peseh bahasa Inggeris, punya mobil, pemimpin masyarakat yang modern. Tapi aku lebih kenal ayahmu sebab dulu kami pejuang gerilya yang harus mencari senjata dan bertempur. Segala cara kami lakukan untuk itu. Termasuk berguru ilmu-ilmu kebatinan, bahkan ilmu-ilmu hitam, ya ndak! Tahu apa itu ilmu hitam?”
Aku hanya melongo. Tak tahu aku, apakah harus menerima atau membantah kisahnya. Itu seperti dongeng dari dunia dan zaman lain. Ia tersenyum.
“Sederhananya ilmu iblis. Seseorang yang memelihara ilmu hitam sebenarnya memelihara iblis dalam dirinya, itulah yang diseru dalam mantra-mantra dengan nama Si Bujang Hitam atau Si Anjing Hitam!”
Panjang juga uraiannya. Tapi sejauh yang dapat kutangkap, cukuplah di sini kukatakan bahwa ilmu hitam terkutuk itu mengakibatkan maut pun menolak tubuh ayahku, karena iblis yang dengan persumpahan bersarang dalam diri ayahku takkan mati-mati sampai hari kiamat, sebab demikian firman Tuhan tentang iblis. Lalu ditambahkannya dengan suara tenang juga:
“Si iblis itulah yang menzalimi beliau. Maka jalan terbaik bagimu, yah, kaupungut saja Si Hitam. Maka beliau akan meninggal dengan tenteram!”
Ketika tubuh ringkih ayah menggelepar-gelepar lagi maka aku seolah benar-benar sedang dalam cengkeraman mimpi buruk. Sebab kubayangkan, _tidak, seolah kulihat nyata_, Si Hitam sedang sewenang-wenang seradak-seruduk di sana. Tak dapat kubayangkan bahwa iblis itu, benar-benar iblis, akan terus memperkosa ayahku. Tapi Si Hitam terus bergedencak menyiksa ayahku yang terkapar tidak hidup dan tidak mati. Maka tanpa pikir lagi kukatakan pada si kakek bahwa aku mau memungut Si Hitam, jika memang hanya itulah cara agar Si Hitam keluar dari tubuh ayahku — sesuai dengan persumpahan ayahku!
Tak usahlah kukisahkan bagaimana dengan bantuan si kakek itu, kami berhasil membebaskan ayah dari penderitaannya. Maka Si Hitam jahat itu kini mendiami diriku, meskipun aku tak merasakannya! Dan ayah pun, yang sempat sadar pada detik-detik terakhir, akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tubuh capek berkeringat, serta mulut komat-kamit begitu lemah...!
Kini di bawah matahari, di tengah khalayak ramai yang memenuhi bukit-bukit kuburan jelaslah bahwa memang ayahku sudah meninggal dan dihormati penduduk kota selayaknya. Kematian adalah pantas dan wajar bagi setiap orang. Tapi itulah suatu kematian paling ganjil yang pernah kukenal, bahkan paling terkutuk. Aku sendiri, betapa terkutuk, justru tidak sedih atas kematian ayahku. Sebab aku tak pernah membayangkan bahwa kematian ayahku harus kutebus dengan mewarisi keiblisan dan iblis ayahku dalam suatu upacara paling gila malam itu. Cara mati ayahku yang terkutuk itu hanya menjanjikan bahwa masa depanku tidaklah lebih dari pengulangan atau pelanjut kebusukan ayahku sendiri, betapa terkutuk! Ternyata aku tidak siap untuk itu.
Sebelumnya aku selalu mengagumi ayahku dan membayangkannya sebagai tokoh yang terhormat, yang berjuang dengan cara-cara terhormat, apa pun artinya. Bahkan aku ingin seperti itu! Ternyata ayahku memperdayakan orang-orang yang mengaguminya dan menjahanamkan aku, anaknya, karena aku kasihan padanya! Dengan perasaan kosong kulihat mayat ayahku diturunkan ramai-ramai ke lubang kuburan gelap, hina dan memalukan. Kalau aku tidak malu, malah sepertinya aku ingin mencincang-cincang mayatnya dengan pisau, atau kampak atau apa! Apakah Si Hitam mulai membuatku jahat?
Maka matahari yang menyilaukan ini, upacara pemakaman dan khalayak ini pun kurasakan sebagai bagian dari takdirku yang terkutuk sebagai pewaris biang dosa ayahku, benar-benar tidak adil dan menakutkan seperti mimpi buruk! Dalam hati aku menyumpah-nyumpah karena aku kehilangan makna diriku sendiri. Betapa terkutuk nasibku!***
Jakarta, 1992
READ MORE - Upacara Hitam
Langit di atas kepalaku terpentang biru, mengirimkan sinar matahari yang menerobos menyilaukan mata. Dan panas terik seolah membakar udara pantai. Namun di bagian kota lainnya langit digantungi mendung gelap dan bumi di bawahnya mungkin disiram hujan. Pada hari pemakaman ayahku alam pun tidaklah adil.
Ayahku bukan pejabat atau tokoh politik. Namun ia adalah salah seorang tokoh masyarakat yang begitu dihormati di kota pantai yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa itu. Ketika meninggal ia masih pimpinan beberapa yayasan. Lihatlah, di bawah matahari silau para pelayat datang dari mana-mana untuk menghadiri pemakamannya. Maka bukit-bukit kuburan seperti jadi lautan manusia. Walikota pun ikut berjubal di tengah khalayak dan kini di panas terik ia dengan takzim sedang menyampaikan pidato kematian yang panjang dan entah kapan habisnya. Tapi apa peduliku. Siapa tahu, jangan-jangan mereka justru tertawa di hati masing-masing!
Di deretan depan kulihat adik-adikku. Masing-masing memasang muka dan pakaian berkabung yang sedemikian pantas, katakanlah tidak memalukan — termasuk Aditi kecil. Tapi aku tahu hati mereka lebih cerah karena ayah sudah meninggal dunia. Sebab yang paling merisaukan sebenarnya adalah saat-saat ayah bergulat di pembaringan, melawan penderitaan di hari-hari sekaratnya yang panjang. Dengan datangnya kematian ayah kami maka kesedihan besar pun berlalu bagi adik-adikku. Sebaliknya justru merupakan permulaan bagi kesedihan besarku.
Aku menatap matahari. Silau.
Aku memandang khalayak. Gelap. Tidak, silau juga.
Masih berbayang di ingatanku bagaimana mulanya. Tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu terbaring sehat-sehat saja. Ganjilnya, sewaktu-waktu dalam waktu pendek ayah pun berteriak-teriak dan tubuhnya menggelepar-gelepar melawan sakit. Ayah berkata, bagaikan organ-organ di dalam tubuhnya dipelintir tanpa ampun oleh tangan-tangan buas yang tak kelihatan.
“Di sini,” bilang ayah, sambil menepuk perut dan menitikkan airmata kesakitan, “tapi sudah hilang sendiri!”
Ayah malah mencoba tertawa. Seolah hanya diserang penyakit yang lucu. Ya, serangan sakit itu datang sendiri dan hilang pula sendiri. Ayah pun ragu apakah ia betul-betul sakit, perlu diobati atau tidak. Tapi ayah merasa perlu mendatangi sendiri seorang dokter spesialis di pusat kota.
“Tak ada gejala penyakit apa-apa,“ kata dokter.
Kami anak-anak ayah tidak puas dengan hasil pemeriksaan dokter. Sebab seperti semacam misteri, nyatanya serangan sakit demikian datang lagi lantas hilang lagi. Maka ayah kami bawa ke dokter spesialis yang lain dan tak ada hasilnya. Lalu kami mendatangkan sendiri seorang dokter ke rumah di pinggiran kota, juga tanpa hasil apa pun.
Rencana untuk membawa ayah atau mendatangkan dukun ditolak ayah mentah-mentah.
“Jangan,” cemooh ayah tertawa, seolah ia sudah sembuh. “Masa panitia yayasan rumah sakit diobati dukun kampung?”
Serangan penyakit aneh itu mulanya sekali dalam 20 hari. Tapi makin lama makin sering. Baru saja sekali enam hari, lalu sekali tiga hari! Kini sewaktu-waktu ayah bisa terserang rasa sakit, kapan saja di mana saja. Kami benar-benar kalang kabut. Sesudah berlangsung beberapa bulan masih belum ada dokter yang mampu mengenal penyakit ayah, apalagi mengobatinya. Dan sejak ayah mengalaminya di dalam mobil lalu ketika sedang berpidato, maka ayah tidak kami perkenankan keluar rumah sendiri.
“Lebih baiklah kalau ayah di rumah saja,” kataku.
Ayah sendiri sudah mulai menolak berbagai undangan rapat dan ceramah yang biasanya tak pernah dilakukannya.
Berita bahwa ayah sakit segera terbetik ke mana-mana. Maka para pengunjung pun pada berdatangan ke rumah. Ada yang ketawa sebab mendapati ayah biasa-biasa saja. Malah ayah bisa tertawa keras meskipun tubuhnya lebih kurus. Namun jika serangan penyakitnya datang, makin sering saja, tak peduli sedang ada tamu atau tidak, ketika sedang tidur atau lagi ngomong baik-baik, tiba-tiba ayah menggelepar-gelepar dan berteriak-teriak keras kesakitan, lalu mengerang-erang melepaskan kata-kata tak jelas yang berlepotan dari mulutnya.
Makin lama muka tua itu makin berkerumuk. Makin cekung dan sepi. Penyakit itu menganiaya ayah dengan semena-mena benar, sehingga membuatnya capek. Maka hidup ayah jadi aneh. Ia lebih banyak tidur dan makin lama hanya terjaga bila rasa sakit menyerang lagi tanpa ampun.
Malam itu para pengunjung sudah pada pulang. Yang tinggal hanya para tetangga, di antaranya tanpa bersuara main halma atau main kartu. Nampaknya seperti untuk bersenang-senang. Aku suka sikap terbuka para tetangga demikian. Mereka datang memang untuk sekedar menghibur atau menunjukkan rasa akrab pada kami tapi bukan menunggu atau mengharapkan kesembuhan si sakit. Siapa pun maklum bahwa kematian ayah memang tinggal soal waktu saja lagi.
Sudah larut dinihari. Adik-adik sudah pada tidur. Aku di kamar tidur ayah dihinggapi perasaan aneh: aku serasa mau sinting karena ayah tak sembuh-sembuh juga. Dan di ruang tengah kedengaran tamu terakhir yang sebelumnya bersamaku menunggui ayah sedang menutup daun-daun jendela.
Maka kudengar langkah-langkah memasuki pintu kamar. Nah, si kakek itu lagi, rupanya ia sudah selesai menutup jendela-jendela. Konon ia teman ayahku dulu.
“Bagaimana beliau?” ia bertanya. “Kambuh lagi?”
Aku mengangguk. Ia sudah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa malam itu serangan sakit ayah paling menjadi-jadi. Setelah berbulan-bulan maka seakan baru benar-benar kusadari bahwa tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu kini sudah keropos seperti kepompong busuk. Seperti digerogoti setan, tinggal tulang-tulang dibalut kulit keriput. Muka cekung ayah sudah menghitam. Sinar hidup dari matanya sudah padam!
Aku serasa mau gila. Tak tahan menyaksikan tubuh ringkih itu kembali menggelepar-gelepar. Tak ada daya untuk melawan perkosaan penyakitnya. Yah, seolah mataku dapat mengikuti atau membayangkan suatu makhluk tak dikenal bergedencak dalam tubuh ayah seperti seekor binatang liar seradak-seruduk di bawah selimut. Seolah menampik hidup dan penderitaan, maka:
“Jangan!” rintih ayah tak jelas. “Ampun, ampun!”
Lalu dengan sisa-sisa tenaganya yang amat lemah, ayah seperti memohon:
“Biarkan aku mati, mati!”
Maka ayahku menangis, barangkali juga pingsan lagi. Keterlaluan penderitaan orang tua itu. Aku gemas kenapa ayah tidak mati-mati juga. Hanya kematian yang mungkin mengakhiri penderitaannya. Rasanya berdosa membiarkan ayah hidup eh sakit teraniaya demikian. Maka aku berdoa untuk kematian ayahku. Tapi kematian rupanya tidaklah ditentukan oleh permintaan dan desakan seseorang. Ayahku meraung lagi. Seolah raung itu pun menghabiskan cadangan tenaganya.
“Harus kaulakukan sesuatu, Nak!” suara si kakek lagi. “Saya bisa membantumu.”
Aku menatapnya tak berdaya. Seolah mau bilang apa pun akan kulakukan asal ayahku tak dizalimi penyakit yang misterius itu lagi.
Lalu ia bilang dengan suara tenang tapi terang,
“Kamu kenal siapa ayahmu. Bagimu mungkin ia seseorang yang hebat. Yang gereseh-peseh bahasa Inggeris, punya mobil, pemimpin masyarakat yang modern. Tapi aku lebih kenal ayahmu sebab dulu kami pejuang gerilya yang harus mencari senjata dan bertempur. Segala cara kami lakukan untuk itu. Termasuk berguru ilmu-ilmu kebatinan, bahkan ilmu-ilmu hitam, ya ndak! Tahu apa itu ilmu hitam?”
Aku hanya melongo. Tak tahu aku, apakah harus menerima atau membantah kisahnya. Itu seperti dongeng dari dunia dan zaman lain. Ia tersenyum.
“Sederhananya ilmu iblis. Seseorang yang memelihara ilmu hitam sebenarnya memelihara iblis dalam dirinya, itulah yang diseru dalam mantra-mantra dengan nama Si Bujang Hitam atau Si Anjing Hitam!”
Panjang juga uraiannya. Tapi sejauh yang dapat kutangkap, cukuplah di sini kukatakan bahwa ilmu hitam terkutuk itu mengakibatkan maut pun menolak tubuh ayahku, karena iblis yang dengan persumpahan bersarang dalam diri ayahku takkan mati-mati sampai hari kiamat, sebab demikian firman Tuhan tentang iblis. Lalu ditambahkannya dengan suara tenang juga:
“Si iblis itulah yang menzalimi beliau. Maka jalan terbaik bagimu, yah, kaupungut saja Si Hitam. Maka beliau akan meninggal dengan tenteram!”
Ketika tubuh ringkih ayah menggelepar-gelepar lagi maka aku seolah benar-benar sedang dalam cengkeraman mimpi buruk. Sebab kubayangkan, _tidak, seolah kulihat nyata_, Si Hitam sedang sewenang-wenang seradak-seruduk di sana. Tak dapat kubayangkan bahwa iblis itu, benar-benar iblis, akan terus memperkosa ayahku. Tapi Si Hitam terus bergedencak menyiksa ayahku yang terkapar tidak hidup dan tidak mati. Maka tanpa pikir lagi kukatakan pada si kakek bahwa aku mau memungut Si Hitam, jika memang hanya itulah cara agar Si Hitam keluar dari tubuh ayahku — sesuai dengan persumpahan ayahku!
Tak usahlah kukisahkan bagaimana dengan bantuan si kakek itu, kami berhasil membebaskan ayah dari penderitaannya. Maka Si Hitam jahat itu kini mendiami diriku, meskipun aku tak merasakannya! Dan ayah pun, yang sempat sadar pada detik-detik terakhir, akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tubuh capek berkeringat, serta mulut komat-kamit begitu lemah...!
Kini di bawah matahari, di tengah khalayak ramai yang memenuhi bukit-bukit kuburan jelaslah bahwa memang ayahku sudah meninggal dan dihormati penduduk kota selayaknya. Kematian adalah pantas dan wajar bagi setiap orang. Tapi itulah suatu kematian paling ganjil yang pernah kukenal, bahkan paling terkutuk. Aku sendiri, betapa terkutuk, justru tidak sedih atas kematian ayahku. Sebab aku tak pernah membayangkan bahwa kematian ayahku harus kutebus dengan mewarisi keiblisan dan iblis ayahku dalam suatu upacara paling gila malam itu. Cara mati ayahku yang terkutuk itu hanya menjanjikan bahwa masa depanku tidaklah lebih dari pengulangan atau pelanjut kebusukan ayahku sendiri, betapa terkutuk! Ternyata aku tidak siap untuk itu.
Sebelumnya aku selalu mengagumi ayahku dan membayangkannya sebagai tokoh yang terhormat, yang berjuang dengan cara-cara terhormat, apa pun artinya. Bahkan aku ingin seperti itu! Ternyata ayahku memperdayakan orang-orang yang mengaguminya dan menjahanamkan aku, anaknya, karena aku kasihan padanya! Dengan perasaan kosong kulihat mayat ayahku diturunkan ramai-ramai ke lubang kuburan gelap, hina dan memalukan. Kalau aku tidak malu, malah sepertinya aku ingin mencincang-cincang mayatnya dengan pisau, atau kampak atau apa! Apakah Si Hitam mulai membuatku jahat?
Maka matahari yang menyilaukan ini, upacara pemakaman dan khalayak ini pun kurasakan sebagai bagian dari takdirku yang terkutuk sebagai pewaris biang dosa ayahku, benar-benar tidak adil dan menakutkan seperti mimpi buruk! Dalam hati aku menyumpah-nyumpah karena aku kehilangan makna diriku sendiri. Betapa terkutuk nasibku!***
Jakarta, 1992
Oleh: Nh Dini
Pak RT tergesa masuk, bertanya kepada istrinya:
“Mana Iwan?”
“Belum kelihatan.”
“Jum’atan apa tidak dia.”
Istrinya tidak menanggapi, karena Pak RT seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Perempuan itu sibuk menghitung bungkusan gula pasir yang baru selesai dia timbang. Satu on, seperempat, setengah dan satu kilo-an. Kini masing-masing mengelompok, ditata di rak warung. Tetangga lebih banyak membeli kurang dari satu kilo. Maka kantung-kantung plastik kecil lebih banyak terisi di rak-rak itu.
Sudah tiga tahun bapaknya Iwan menjadi RT. Karena dekat dengan Pak Lurah, dia sering mendapat persenan keuntungan menjual tanah atau rumah di kawasan sana. Dia memang mahir mempengaruhi calon pembeli. Lalu bapaknya Iwan menjadi terkenal sebagai makelar tanah dan rumah.
Pada suatu ketika, uang yang dia terima cukup untuk membeli sebuah rumah reyot di pinggir jalan, tidak jauh dari pasar Jatingaleh. Bapaknya Iwan berpatungan dengan Pak Lurah, mendirikan usaha penjualan kayu, paving, ubin, semua keperluan MCK. Dan bila orang memerlukan barang yang tidak nampak di situ, Pak RT sanggup mencarikan. Semua tergantung pada komisi yang disepakati.
Iwan adalah sulung dari empat anak.
Pak RT bukan kepala keluarga teladan, karena anaknya lebih dari dua, lebih dari tiga. Sekarang setelah rezeki semakin deras datang, dia bahkan semakin mengkhianati program pemerintah: dia ingin menambah dua atau tiga anak lagi. Dia pikir, buat apa rezeki kalau tidak untuk membangun keluarga besar! Padahal, tempat yang telah dia miliki itu sudah sangat pas. Dua anak lelaki, dua perempuan. Kebetulan yang perempuan berada di tengah-tengah. orang Jawa bilang: Sendang kapit pancuran.1
Ketika ayahnya menjadi RT, usia Iwan 16 tahun. Dia baru lulus SLTP. Adiknya yang terkecil delapan tahun. Dan sejak ayahnya mempunyai kedudukan tersebut, sekaligus mengurusi muda-mudi kampung, sekaligus selalu repot di toko material bangunan, semuanya berubah bagi Iwan.
Dia merasa hidup lebih leluasa. Dia bebas, karena bisa berbuat apa pun sesuai kemauannya. Karena bapak itu jarang berada di rumah di saat Iwan pulang untuk makan siang. Sore ketika kebanyakan keluarga berkumpul, Pak RT masih mengurusi usahanya. Atau bila tiba-tiba pulang sebelum pukul tujuh, dia bergegas mandi lalu pergi lagi memimpin pertemuan ini atau itu di salah satu ruangan kantor kelurahan.
Jika ada tetangga yang usil bertanya mengapa dia begitu cepat pergi lagi keluar rumah, jawabnya yang paling sering adalah “Saya harus ke pertemuan.”
Atau:
“Muda-mudi itu harus ada yang mengarahkan.”
Adik Iwan sudah berangkat remaja, menjadi gadis kecil dan berani memprotes:
“Bapak pergi-pergi terus! Kalau tidak di toko, selalu di kelurahan!”
Anak-anaknya sangat hafal dengan jawaban Pak RT:
“Di toko aku tidak menganggur! Aku mencari uang buat kalian! Buat kita!”
Yuni, adik Iwan yang paling cerewet menginginkan ayahnya kadangkala datang ke sekolah mengambil rapor seperti orang tua- orang tua lain.
“Aku tidak punya waktu,” itulah jawaban Pak RT. Lalu diteruskan: “Biar ibumu yang pergi.”
Iwan hidup di luar, nyaris menjadi anak jalanan, menggerombol bersama teman-teman sesama seragam SMU di perhentian bis, di warung-warung kopi atau di kios rokok yang juga menyediakan minuman pembakar tenggorokan. Rokok yang dihisap bukan lagi merk dikenal, melainkan lintingan daun kering yang mampu membikin perasaan melayang-layang. Tubuh Iwan kurus kering. Tetapi tak satu pun anggota keluarganya memperhatikan.
Semua nampak bahagia. Keluarga Pak RT kelihatan sejahtera. Penduduk sekitar tetap banyak yang tidak mampu. Tapi mereka menyukai Pak RT yang selalu penuh pengabdian.
Rumah berganti ubin. Kini lantainya keramik putih berkilau. Bagian depan, seluruh kepanjangan dinding tertutup bahan yang sama, sehingga terang memantulkan cahaya hari. Ketika rumah di samping dijual, Pak RT langsung membelinya. Dia bikin sebuah ruangan polos, menjadi bangsal aula cukup besar. Di situ tikar digelar. Lalu dilengkapi meja-meja pendek. Katanya, “Ini untuk pertemuan-pertemuan. Pintu-pintu bisa dipasang atau dicopot. Bapak-bapak, PKK, muda-mudi rapat di sini. Dengan begitu, Mak kalian dan aku tidak akan sering berada di luar.”
Di waktu itulah ibu Iwan berkata kepada suaminya, “Bikinkan aku warung. Sekarang anak-anak sudah besar, aku tidak perlu memngawasinya. Aku ingin mencari uang sendiri. Beri aku modal. Kecil-kecilan saja. Hanya kebutuhan rumah tangga sehari-hari.”
Ternyata dagangan itu pun berjalan lancar. Yang dijajakan di warung bertambah: alat-alat tulis, bahkan perangko, meterai, obat-obatan.
Bapak dan ibu mabok dengan keberhasilan mencari uang. Dan karena rezeki berlimpahan, pembantu yang dua orang ditambah satu lagi. Kadang-kadang menjadi tiga jika saudara ibunya Iwan datang dari lereng gunung Sumbing. Kemenakan, adik atau saudaranya ipar, siapa saja yang berasal dari desa sama. Pembantu itu bisa bertambah lagi di saat tetangga datang mengobrol. Kebanyakan penduduk di sana tidak seberuntung keluarga Pak RT. Mereka selalu kekurangan. Selalu ada yang lewat, lalu singgah, lalu membantu mengerjakan ini atau itu. Kemudian, tiba-tiba, dia ingat harus menanak nasi atau menjemur cucian. Ibunya Iwan tidak lupa menyumpalkan uang dua ribu ke dalam genggaman si tetangga. Di lain waktu, ada tetangga yang berani berkata, “Kalau boleh, minta gula dan kopinya saja sedikit.”
Dan kalau itu sudah diberikan, ada yang sampai hati menunjuk stoples di atas rak, sambil katanya:
“Apa boleh minta tehnya? Buat satu kali cem-ceman2 saja.”
Ibunya Iwan baik hati.
Sama seperti suaminya, dia terkenal sebagai orang yang tidak tega. Pasangan itu banyak menolong dan membantu penduduk sekitar. Itulah salah satu sebab mengapa bapaknya Iwan menjadi RT, dilanjutkan dipasrahi membina kaum muda di sana.
Pada suatu siang, Iwan sengaja memperlihatkan diri, turut bersembahyang Jum’at di belakang ayahnya. Mereka pulang bersama, berjalan kaki menuju rumah yang terletak tidak jauh dari masjid. Kali itu Iwan bahkan makan siang di meja keluarga. Yang terkumpul adalah ibu, ayah dan dua adiknya.
Sambil makan, Iwan mengeluarkan kalimat yang sejak beberapa pekan didiktekan teman-temannya. Dia minta dibelikan kendaraan.
"Tidak usah baru, Pak. Asal masih bagus jalannya. Buat sekolah.”
Pak RT punya sebuah kijang. Untuk toko, semula dia sediakan satu kendaraan bak terbuka. Tapi pekan kemarin dia tambah satu lagi, karena seorang kenalan terdesak kebutuhan uang, menawarkannya kepadanya. Bisa dibayar dua kali. Kebetulan memang bapaknya Iwan sedang berpikir-pikir akan menambah sarana penataran pesanan yang semakin sering datang. Orang terus membangun. Di mana-mana orang memerlukan kayu, batu atau pasir. Sekarang, kendaraan yang kedua itu melulu hanya untuk mengangkut bahan-bahan kotor. Sedangkan yang pertama, selain buat keperluan toko, akan lebih mudah disewakan buah pindahan atau lainnya jika bak belakang selalu kelihatan bersih.
“Apa kamu naik kelas nanti kok minta dibelikan kendaraan,” suara Pak RT tidak bertanya. “Kamu sudah memperbaiki prestasimu di kelas? rapormu yang paling akhir jelek sekali, bukan?”
Rupanya si ayah masih ingat juga bahwa anak sulungnya mencetak empat angka di bawah sedang di catur wulan yang lalu. Hal ini agak mengejutkan Iwan. Karena dalam keseharian, Pak RT tidak pernah menunjukkan kepedulian tentang kehadirannya. Lebih-lebih menyuruhnya belajar.
“Kalau punya kendaraan sendiri, aku bisa mengantarkan Yuni setiap pagi,” Iwan kelihatan tidak was-was mengenai angka-angka di rapornya.
“Itu benar,” tiba-tiba si ibu ikut urun bicara. “Apa lagi ini nanti musim hujan, kendaraan umum selalu datang terlambat karena jalan macet. Anak-anak repot, kena hujan...”.
“Di kelas, tinggal aku yang belum punya kendaraan,” kata Iwan lagi. Dan dia tidak khawatir ayahnya akan menyelidiki kebenarannya. Kebohongan memang sudah mendasari hidup Iwan. Yang dia katakan tadi entah merupakan kebohongan yang keberapa kali yang dia ucapkan sejak pagi hari itu. Karena Iwan semakin sering mengatakan hal yang hanya terjadi di kepalanya. Yang dia inginkan demikian. Kadang-kadang, kenyataan dan harapannya sudah begitu menyatu, sehingga dia sendiri terjerat dalam khayalannya. Mana yang sungguh ada, atau mana yang dia harap ada, ruwet menjadi satu.
Teman-temannya menyuruh Iwan mengambil uang di warung Mak. Kini teman-teman itu menyulut api pemberontakan terhadap Pak RT:
“Ayahmu kaya. Baru saja membeli kendaraan lagi untuk tokonya. Padahal seharusnya kamu yang dibelikan kendaraan! Minta saja! Kalau kamu punya roda dua, kita bisa cari uang. Bisa turut berpacu di Jatidiri,” begitu kata Herman, temannya yang paling menonjol. Di mana ada kegiatan berkelompok, Herman-lah yang mengepalai.
Stadion Jatidiri besar. Sebetulnya merupakan kebanggaan penduduk ibu kota propinsi. Tetapi pemanfaatannya sangat kecil. Rumput ilalang bertumbuhan nyaris setinggi orang. Jika pertandingan akan diselanggarakan di sana, barulah bagian-bagian tertentu dirapikan. Sudut dan selinapan yang dekat pagar dibiarkan, sehingga tanaman dan perdu liar berduri berdesakan menjadi sarang aneka binatang melata. Di sanalah, di waktu malam, terjadi kebut-kebutan. Pemuda-pemuda tanggung memacu kendarasan mewah beroda empat atau dua, sampai mobil-mobil dan kendaraan roda dua lain yang setengah rongsokan. Mereka tidak hanya melampiaskan nafsu mengatasi lawan dengan kecepatan. Di sana mereka juga menghambakan diri pada kemaksiatan berjudi.
“Benar,” kata kawan Iwan yang lain. “Kalau Khodir yang bawa kendaraanmu, pasti kita menang. Lalu kita bisa bikin oplosan lain. Aku mendapat resep baru dari tetangga yang datang dari gunungkidul...,” dan yang disebut Khodir mengangguk-angguk. Dia yang paling lama memiliki kendaraan. Seusai sekolah, menjadi kernet omprengan. Karena badannya lebih tinggi dan besar dari anggota kelompok itu, semua teman Iwan sungkan kepada Khodir.
Iwan termakan oleh gosokan itu.
Tetapi Pak RT tidak termakan oleh rayuan si anak. Dan karena merasa permintaannya tidak bakal terpenuhi, Iwan meninggalkan rumah sebelum keluarga selesai menyunyah pisang. Dia keluar masih mendengar omelan Mak terhadap suaminya, “Sampeyan3 ini bagaimana! Punya anak lelaki, sulung, tidak dimanja. Minta kendaraan saja...”.
Lalu alur keseharian kembali seperti semula, berlanjut biasa.
Hanya, pada suatu pagi ketika Mak akan membuka warung, terkejut bukan kepalang karena uang yang dia selipkan di belakang stoples di rak paling atas hilang. Sampul coklat masih ada tetapi kosong. Terakhir dia masukkan uang kemarin malam, jumlahnya mendekati tujuh ratus ribu.
“Pasti Iwan yang mengambil!” kata Mak seorang diri. Dia mengira anaknya marah karena permintaannya ditolak Pak RT.
Mak tunggu anak sulung itu seharian. Baru muncul hampir petang. Mak takut bicara kasar, dia tunggu lagi sampai anak itu mandi, lalu akan mengenakan baju. Mak turut masuk kamar. Alangkah terkejut dia melihat tulang iga Iwan yang mencuat, dadanya kerempeng. Rupanya baru kali itulah dia menyadari betapa kurusnya si sulung yang dia bangga-banggakan.
Mak bertanya mengapa mengambil uang sebanyak itu. Biasanya, pagi Iwan dan Yuni disuruh mengambil uang sendiri di kotak di dalam laci. Tidak banyak. Paling-paling lima ribu. Kalau ada keperluan sekolah bisa sepuluh atau dua puluh ribu. Mak bertanya lembut, bahkan nyaris merayu si anak, untuk apa uang itu.
Tenang dan tanpa ragu Iwan menyahut, “Kuberikan kepada Herman. Dia mau buka usaha, kasihan tidak punya modal,” lalu dari saku celana seragam yang kembali dia pakai, dia keluarkan gumpalan uang lusuh. Diberikan kepada Mak, meneruskan bicaranya, “Ini sisanya.”
Mak menghitung, dua ratus ribu lebih sedikit.
“Nanti kalau usahanya berjalan, Herman akan mengembalikan. Malahan mungkin dengan bunga,” kata Iwan lagi.
Mak lega.
“Apa usaha temanmu?”
“Bengkel kecil-kecilan, di muka sekolah, bersama tukang pompa ban.”
Lalu Iwan terburu-buru, menutup kancing baju, menggosok rambut dengan kain apa saja yang tersampir di sana.
“Mau ke mana?” Mak bertanya. “Makan dulu! Kamu kurus. Mukamu pucat. Tadi siang kamu juga tidak pulang makan.”
“Aku jajan bakso tadi,” Iwan menyahut, sudah menyambar tas dan melangkah ke pintu kamar akan keluar, berhenti lalu katanya “Minta Rp 10.000, Mak”.
“Ke mana?” Mak masih mengikuti, tangannya mengulurkan satu lembar sepuluh ribuan.
“Mau belajar bersama teman-teman. Besok pagi langsung ke sekolah.”
Mak harus puas dengan jawaban tersebut, karena si sulung sudah berlalu. Rambutnya masih basah dan belum disisir. Tapi tidak apa-apa, Iwan pergi untuk belajar di rumah kawannya. Hati Mak tenang. Di sana tentu disuguhi makanan. Apa lagi, anaknya bawa uang, bisa jajan. Banyak makanan dijajakan di malam begitu. Mak berpikir, lebih baik mengetahui anaknya berada di rumah teman, tidak keluyuran. Itu baik.
Itu memang baik jika memang demikianlah kejadian yang sesungguhnya. Dan yang sesungguhnya terjadi ialah, dua hari kemudian orang tua diminta datang mengambil rapor. Seperti biasa, Mak yang berangkat. Kepala sekolah menemuinya bersama sekelompok orang tua lain di ruang tersendiri. Juga hadir dua guru.
Rupanya, anak-anak mereka tidak naik kelas. Rapor anak-anak itu semakin lama semakin jelek. Khodir berkali-kali mangkir, Herman sudah dua bulan tidak masuk. Iwan sendiri, tidak nampak di sekolah sejak empat hari.
“Dia berangkat sekolah setiap pagi,” istri Pak RT berkata membela anaknya.
Seorang guru melihat ke buku catatan, menanggapi, “Hari Senin masih masuk, tapi Selasa, Rabu sampai hari ini tidak kelihatan.”
Dan yang lebih-lebih mengejutkan para orang tua kedua teman Iwan, ialah anak-anak mereka sudah setengah tahun tidak membayar uang sekolah.
“Kami menerima uang tes, maka kami memberi kelonggaran mengikuti tes untuk akhir catur wulan. Kami kira, ibu-ibu akan melunasi uang sekolah sekarang,” kata kepala sekolah.
“Bukankah Herman membuka usaha di depan sekolah?" Ibu Iwan merasa perlu mengutarakan pengetahuannya.
“Usaha apa?” hampir serempak mereka yang berada di sana bertanya. Yang paling nampak adalah ibu Herman.
Mendengar itu, Maknya Iwan menjadi ragu. Dengan suara terbata-bata, katanya, “Buka reparasi kecil-kecilan bersama tukang ban...” dan Mak itu hampir melepas lanjutan kalimat, bahwa Iwan mengambil uang banyak sekali dari warungnya untuk ‘dipinjamkan’ kepada temannya itu.
Ketika kepala sekolah merasa sudah cukup mengorbankan waktunya untuk mereka, dia memutuskan:
“Sebaiknya ibu-ibu berbicara kepada anak-anak Anda. Jangan sampai terlanjur mendapat pengaruh buruk dari jalanan. Kecuali Anda, Ibunya Iwan. Anak Ibu pulang ke rumah setiap hari, bukan?”
Mak kebingungan, tidak tahu bagaimana harus menjawab secara tepat. Sejak si sulung lulus SLTP, dia menganggapnya sudah besar. Sudah tahu sendiri apa yang harus dikerjakan. Pak RT tidak pernah menyuruh-nyuruh anak itu berbuat begini atau begitu. Jadi Mak juga meniru suaminya. Sekarang, kalau Iwan pulang makan, mandi atau untuk keperluan lain, Mak senang. Tetapi kalau anak itu tidak kelihatan, ya dia pasrahkan saja ke bawah Lindungan Yang Maha Kuasa.
“Dia pulang sore. Katanya banyak tambahan pelajaran,” akhirnya itulah yang dikatakan Mak.
“Memang banyak ekstra kurikuler, Bu. Tetapi saya jarang melihat Iwan mengikuti tambahan pelajaran itu,” sahut seorang guru.
Petang itu Pak RT pulang setelah panggilan shalat Maghrib dikumandangkan. Tergesa-gesa dia mandi dan melunasi tiga rekaat, lalu mengenakan baju berkerah dan sarung.
Sementara itu orang mulai berdatangan memasuki ruang pertemuan. Kaum muda lelaki dan perempuan, pria-pria lajang atau yang telah berumah tangga tapi lebih suka menghindar dari kerepotan anak tak hentinya memasuki pintu di sebelah ruang tamu Pak RT.
Tanpa menunggu lama, masing-masing tamu sudah mendapat jatah teh manis. Gelas-gelas itu diletakkan oleh pembantu di atas meja rendah yang berderet di tengah, mengelilingi tiga atau empat piring berisi kudapan. Para pelayan sudah terdidik. Begitu pula para pendatang. Walaupun tidak semua dari mereka itu aktif mengerjakan sesuatu guna membantu kelancaran organisasi kampung, tetapi semua tahu bahwa mengikuti pertemuan di rumah Pak RT tidak pernah rugi. Selain di situ suasana cerah, juga selalu banyak makanan dan rokok. Mereka pulang berpeluang mengantongi paling sedikit satu pak kretek atau filter, sesuai pilihan masing-masing.
“Maaf! Maaf! Saya terlambat!” kalimat itu selalu mengiringi masuknya Pak RT ke dalam ruangan.
Dan selalu ada yang menjawab, “Tidak apa-apa. Pak RT orang yang sibuk. Kami mengerti.”
Disambut dari sisi lain:
“Ya benar. Kami semua tahu bahwa Pak RT pasti hadir meskipun kami harus menunggu. Pak RT tetap belum pernah terlambat mengikuti rapat kami!”
“Sebetulnya malahan kami yang merepotkan Bu RT. Kami minta maaf, selalu merepotkan ibu. Ini kami sudah mulai menikmati hidangan,” kata-kata lain yang dimaksudkan lebih manis terdengar dari pojok lain.
“Silahkan! Silahkan! Direruskan saja,”tanggap Pak RT sambil menempatkan dirinya di atas tikar, lalu mendongak ke arah dalam, serunya, “Bu! Tehnya ditambah!”
Pembantu-pembantu meyorongkan ceret berisi tambahan minuman.
Untuk beberapa saat terdengar pembicaraan.
“Anu 4, Pak RT, ini kami sedang memperbincangkan berita yang didengar tukang rokok di depan Karangrejo. Ada sopir taksi yang dirampok katanya.”
“Ya, saya juga dengar,” sahut Pak RT, mulutnya mengunyah gorengan bergedel jagung penuh minyak. “Apa beritanya sudah masuk koran atau televisi?”
“Kok belum ada. Padahal katanya, sopir taksinya ditusuk pakai obeng,” seseorang menjelaskan.
“Di mana kejadiannya?” Pak RT bertanya.
“Di situ saja! Di dekat Jatidiri!”
“Wah, dekat sekali! Kok polisi tidak sampai ke sini ya.”
“Yang saya dengar, satu pelaku sudah diringkus. Yang lain-lain kabur!”
“Ya, mengenai itu juga saya dengar. Penjual mi ayam pagi-pagi di depan toko saya yang cerita begitu.” Pak RT mengambil satu bergedel lagi, menyumpalkannya di antara gigi besarnya.
“Ayo kita mulai membicarakan lapangan volly saja! Jangan ngurusi rampokan. Itu biar diurus polisi!” kata seorang lelaki yang duduk tidak jauh dari pintu masuk.
“Betul! Betul! Kalau tidak, kita tidak akan selesai sampai besok pagi,” sahut suara lain.
Rundingan yang disebut rapat pun dimulai. Serius atau santai. Yang penting Pak RT tidak makan lagi. Dia kelihatan sibuk, berbicara, membantah, mengatakan gagasannya. Begitu nampak terpikat dia sehingga sejak melangkahkan kaki ke dalam rumah petang itu, tak satu kali pun ingat apakah dia sudah melihat anak sulungnya hari itu. Dia juga belum diberitahu oleh istrinya bahwa Iwan tidak naik kelas atau pun mangkir sekolah pekan itu.
Pertemuan demikian diusahakan berakhir pukul sembilan. Atau paling lambat setengah sepuluh. Tetapi tidak jarang Pak RT menahan dua atau tiga tetangga. Mereka ngelantur mengobrol. Televisi di sudut ruang dinyalakan, mereka santai menonton, tiduran atau bersandar ke dinding. Pak RT membiarkan pintu terbuka, memanggil penjaja makanan apa saja: mi kopyok, bakso atau sate. Mereka makan dan berbicara, sementara kotak kaca dibiarkan terus menyiarkan tayangan yang dipilih.
Malam itu, tiga tamu belum meninggalkan ruang pertemuan. Mereka bersama Pak RT menikmati sate ayam dengan lontong kenyal.
Sebuah jip memasuki kampung pukul sepuluh lebih sedikit. Satu kali bertanya kepada tukang becak, kemudian berhenti di depan rumah Pak RT. Dua orang turun, langsung menuju pintu yang terbuka. Bau daging bakar berbumbu memenuhi udara malam lembab.
“Selamat malam,” lelaki yang terdekat dengan pintu melongokkan kepala memberi salam.
Pak RT bangkit dari tikar, menemui si pendatang. Mata bapak itu melirik ke kejauhan. Ada tiga lelaki lain. Seorang di tengah-tengah halaman, seorang di pagar, seorang lagi duduk di belakang kemudi.
“Bapak Rajiman?”
“Ya, saya sendiri,” sahut Pak RT.
Terdengar suara bebincang rendah. Kelihatan kepala Pak RT tertegak. Satu kali menengok ke arah dalam rumah. Dia menggandeng lengan orang yang baru datang, menariknya menjauhi pintu.
Dua menit kemudian Pak RT masuk kembali, langsung menuju ke rumah induk. Dia memanggil-manggil. Sesaat berlalu, jelas terdengar bahwa waktu istirahat seisi rumah terganggu. Nama Iwan disebut-sebut. Percakapan yang kacau menyusul perbantahan di antara penghuni. Tiba-tiba ada suara pembantu lain yang lebih jelas, “Sudah hampir seminggu Gus Iwan tidak pulang.”
Lalu Pak RT muncul di pintu, sudah mengenakan celana panjang. Katanya singkat kepada tamunya yang baru menikmati daging sate, “Maaf, saya harus pergi. Silakan Anda pulang. Biar pintu ditutup.”
Lima menit berlalu sejak kedatangan tamu baru itu, Pak RT menyetir kendaraannya mengikuti jip keluar kampung. Seorang tetangga duduk di sampingnya. Dia menawarkan diri menemani Pak RT ke kantor polisi.
Serse memberitahu bapaknya Iwan, bahwa Khodir ditangkap di terminal Jatingaleh. Dia berlari ketika polisi menyelidiki kasus perampokan dan penusukan sopir taksi dinihari sebelumnya. Karena tidak mau berhenti sewaktu dipanggil, kakinya ditembak. Maka ketahuan bahwa dia membawa senjata tajam. Di sakunya terdapat bungkus rokok berisi lintingan ganja siap pakai. Juga sebuah kotak korek api penuh butiran obat terlarang. Belum ketahuan pasti jenis apa.
Khodir mengaku bahwa dia melakukan perampokan dibantu oleh Herman dan Iwan. Pak RT harus memberitahu polisi alamat semua kenalan atau saudara yang mungkin dijadikan tempat bersembunyi kedua remaja itu.
“Saya tidak tahu apa maunya anak-anak ini!” kata Pak RT seperti kepada dirinya sendiri. “Saya dan ibunya membanting tulang memutar otak untuk mencari uang. Supaya mereka hidup layak, bisa sekolah. Tetapi nyatanya... .”
Tetangga di sebelah Pak RT tidak berani mengeluarkan pendapat. Dia adalah satu dari mereka yang selalu dibantu Pak RT supaya bisa hidup berkecukupan. Tugasnya malam itu adalah menemani Pak RT. Bukan untuk berbicara.***
1. Sumber air/telaga terletak di antara dua pancuran.
2. Teh kental
3. Kamu
4. Kata tambahan dalam bahasa Jawa, biasanya dipakai karena gugup atau sungkan
READ MORE - Jati Diri
Pak RT tergesa masuk, bertanya kepada istrinya:
“Mana Iwan?”
“Belum kelihatan.”
“Jum’atan apa tidak dia.”
Istrinya tidak menanggapi, karena Pak RT seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Perempuan itu sibuk menghitung bungkusan gula pasir yang baru selesai dia timbang. Satu on, seperempat, setengah dan satu kilo-an. Kini masing-masing mengelompok, ditata di rak warung. Tetangga lebih banyak membeli kurang dari satu kilo. Maka kantung-kantung plastik kecil lebih banyak terisi di rak-rak itu.
Sudah tiga tahun bapaknya Iwan menjadi RT. Karena dekat dengan Pak Lurah, dia sering mendapat persenan keuntungan menjual tanah atau rumah di kawasan sana. Dia memang mahir mempengaruhi calon pembeli. Lalu bapaknya Iwan menjadi terkenal sebagai makelar tanah dan rumah.
Pada suatu ketika, uang yang dia terima cukup untuk membeli sebuah rumah reyot di pinggir jalan, tidak jauh dari pasar Jatingaleh. Bapaknya Iwan berpatungan dengan Pak Lurah, mendirikan usaha penjualan kayu, paving, ubin, semua keperluan MCK. Dan bila orang memerlukan barang yang tidak nampak di situ, Pak RT sanggup mencarikan. Semua tergantung pada komisi yang disepakati.
Iwan adalah sulung dari empat anak.
Pak RT bukan kepala keluarga teladan, karena anaknya lebih dari dua, lebih dari tiga. Sekarang setelah rezeki semakin deras datang, dia bahkan semakin mengkhianati program pemerintah: dia ingin menambah dua atau tiga anak lagi. Dia pikir, buat apa rezeki kalau tidak untuk membangun keluarga besar! Padahal, tempat yang telah dia miliki itu sudah sangat pas. Dua anak lelaki, dua perempuan. Kebetulan yang perempuan berada di tengah-tengah. orang Jawa bilang: Sendang kapit pancuran.1
Ketika ayahnya menjadi RT, usia Iwan 16 tahun. Dia baru lulus SLTP. Adiknya yang terkecil delapan tahun. Dan sejak ayahnya mempunyai kedudukan tersebut, sekaligus mengurusi muda-mudi kampung, sekaligus selalu repot di toko material bangunan, semuanya berubah bagi Iwan.
Dia merasa hidup lebih leluasa. Dia bebas, karena bisa berbuat apa pun sesuai kemauannya. Karena bapak itu jarang berada di rumah di saat Iwan pulang untuk makan siang. Sore ketika kebanyakan keluarga berkumpul, Pak RT masih mengurusi usahanya. Atau bila tiba-tiba pulang sebelum pukul tujuh, dia bergegas mandi lalu pergi lagi memimpin pertemuan ini atau itu di salah satu ruangan kantor kelurahan.
Jika ada tetangga yang usil bertanya mengapa dia begitu cepat pergi lagi keluar rumah, jawabnya yang paling sering adalah “Saya harus ke pertemuan.”
Atau:
“Muda-mudi itu harus ada yang mengarahkan.”
Adik Iwan sudah berangkat remaja, menjadi gadis kecil dan berani memprotes:
“Bapak pergi-pergi terus! Kalau tidak di toko, selalu di kelurahan!”
Anak-anaknya sangat hafal dengan jawaban Pak RT:
“Di toko aku tidak menganggur! Aku mencari uang buat kalian! Buat kita!”
Yuni, adik Iwan yang paling cerewet menginginkan ayahnya kadangkala datang ke sekolah mengambil rapor seperti orang tua- orang tua lain.
“Aku tidak punya waktu,” itulah jawaban Pak RT. Lalu diteruskan: “Biar ibumu yang pergi.”
Iwan hidup di luar, nyaris menjadi anak jalanan, menggerombol bersama teman-teman sesama seragam SMU di perhentian bis, di warung-warung kopi atau di kios rokok yang juga menyediakan minuman pembakar tenggorokan. Rokok yang dihisap bukan lagi merk dikenal, melainkan lintingan daun kering yang mampu membikin perasaan melayang-layang. Tubuh Iwan kurus kering. Tetapi tak satu pun anggota keluarganya memperhatikan.
Semua nampak bahagia. Keluarga Pak RT kelihatan sejahtera. Penduduk sekitar tetap banyak yang tidak mampu. Tapi mereka menyukai Pak RT yang selalu penuh pengabdian.
Rumah berganti ubin. Kini lantainya keramik putih berkilau. Bagian depan, seluruh kepanjangan dinding tertutup bahan yang sama, sehingga terang memantulkan cahaya hari. Ketika rumah di samping dijual, Pak RT langsung membelinya. Dia bikin sebuah ruangan polos, menjadi bangsal aula cukup besar. Di situ tikar digelar. Lalu dilengkapi meja-meja pendek. Katanya, “Ini untuk pertemuan-pertemuan. Pintu-pintu bisa dipasang atau dicopot. Bapak-bapak, PKK, muda-mudi rapat di sini. Dengan begitu, Mak kalian dan aku tidak akan sering berada di luar.”
Di waktu itulah ibu Iwan berkata kepada suaminya, “Bikinkan aku warung. Sekarang anak-anak sudah besar, aku tidak perlu memngawasinya. Aku ingin mencari uang sendiri. Beri aku modal. Kecil-kecilan saja. Hanya kebutuhan rumah tangga sehari-hari.”
Ternyata dagangan itu pun berjalan lancar. Yang dijajakan di warung bertambah: alat-alat tulis, bahkan perangko, meterai, obat-obatan.
Bapak dan ibu mabok dengan keberhasilan mencari uang. Dan karena rezeki berlimpahan, pembantu yang dua orang ditambah satu lagi. Kadang-kadang menjadi tiga jika saudara ibunya Iwan datang dari lereng gunung Sumbing. Kemenakan, adik atau saudaranya ipar, siapa saja yang berasal dari desa sama. Pembantu itu bisa bertambah lagi di saat tetangga datang mengobrol. Kebanyakan penduduk di sana tidak seberuntung keluarga Pak RT. Mereka selalu kekurangan. Selalu ada yang lewat, lalu singgah, lalu membantu mengerjakan ini atau itu. Kemudian, tiba-tiba, dia ingat harus menanak nasi atau menjemur cucian. Ibunya Iwan tidak lupa menyumpalkan uang dua ribu ke dalam genggaman si tetangga. Di lain waktu, ada tetangga yang berani berkata, “Kalau boleh, minta gula dan kopinya saja sedikit.”
Dan kalau itu sudah diberikan, ada yang sampai hati menunjuk stoples di atas rak, sambil katanya:
“Apa boleh minta tehnya? Buat satu kali cem-ceman2 saja.”
Ibunya Iwan baik hati.
Sama seperti suaminya, dia terkenal sebagai orang yang tidak tega. Pasangan itu banyak menolong dan membantu penduduk sekitar. Itulah salah satu sebab mengapa bapaknya Iwan menjadi RT, dilanjutkan dipasrahi membina kaum muda di sana.
Pada suatu siang, Iwan sengaja memperlihatkan diri, turut bersembahyang Jum’at di belakang ayahnya. Mereka pulang bersama, berjalan kaki menuju rumah yang terletak tidak jauh dari masjid. Kali itu Iwan bahkan makan siang di meja keluarga. Yang terkumpul adalah ibu, ayah dan dua adiknya.
Sambil makan, Iwan mengeluarkan kalimat yang sejak beberapa pekan didiktekan teman-temannya. Dia minta dibelikan kendaraan.
"Tidak usah baru, Pak. Asal masih bagus jalannya. Buat sekolah.”
Pak RT punya sebuah kijang. Untuk toko, semula dia sediakan satu kendaraan bak terbuka. Tapi pekan kemarin dia tambah satu lagi, karena seorang kenalan terdesak kebutuhan uang, menawarkannya kepadanya. Bisa dibayar dua kali. Kebetulan memang bapaknya Iwan sedang berpikir-pikir akan menambah sarana penataran pesanan yang semakin sering datang. Orang terus membangun. Di mana-mana orang memerlukan kayu, batu atau pasir. Sekarang, kendaraan yang kedua itu melulu hanya untuk mengangkut bahan-bahan kotor. Sedangkan yang pertama, selain buat keperluan toko, akan lebih mudah disewakan buah pindahan atau lainnya jika bak belakang selalu kelihatan bersih.
“Apa kamu naik kelas nanti kok minta dibelikan kendaraan,” suara Pak RT tidak bertanya. “Kamu sudah memperbaiki prestasimu di kelas? rapormu yang paling akhir jelek sekali, bukan?”
Rupanya si ayah masih ingat juga bahwa anak sulungnya mencetak empat angka di bawah sedang di catur wulan yang lalu. Hal ini agak mengejutkan Iwan. Karena dalam keseharian, Pak RT tidak pernah menunjukkan kepedulian tentang kehadirannya. Lebih-lebih menyuruhnya belajar.
“Kalau punya kendaraan sendiri, aku bisa mengantarkan Yuni setiap pagi,” Iwan kelihatan tidak was-was mengenai angka-angka di rapornya.
“Itu benar,” tiba-tiba si ibu ikut urun bicara. “Apa lagi ini nanti musim hujan, kendaraan umum selalu datang terlambat karena jalan macet. Anak-anak repot, kena hujan...”.
“Di kelas, tinggal aku yang belum punya kendaraan,” kata Iwan lagi. Dan dia tidak khawatir ayahnya akan menyelidiki kebenarannya. Kebohongan memang sudah mendasari hidup Iwan. Yang dia katakan tadi entah merupakan kebohongan yang keberapa kali yang dia ucapkan sejak pagi hari itu. Karena Iwan semakin sering mengatakan hal yang hanya terjadi di kepalanya. Yang dia inginkan demikian. Kadang-kadang, kenyataan dan harapannya sudah begitu menyatu, sehingga dia sendiri terjerat dalam khayalannya. Mana yang sungguh ada, atau mana yang dia harap ada, ruwet menjadi satu.
Teman-temannya menyuruh Iwan mengambil uang di warung Mak. Kini teman-teman itu menyulut api pemberontakan terhadap Pak RT:
“Ayahmu kaya. Baru saja membeli kendaraan lagi untuk tokonya. Padahal seharusnya kamu yang dibelikan kendaraan! Minta saja! Kalau kamu punya roda dua, kita bisa cari uang. Bisa turut berpacu di Jatidiri,” begitu kata Herman, temannya yang paling menonjol. Di mana ada kegiatan berkelompok, Herman-lah yang mengepalai.
Stadion Jatidiri besar. Sebetulnya merupakan kebanggaan penduduk ibu kota propinsi. Tetapi pemanfaatannya sangat kecil. Rumput ilalang bertumbuhan nyaris setinggi orang. Jika pertandingan akan diselanggarakan di sana, barulah bagian-bagian tertentu dirapikan. Sudut dan selinapan yang dekat pagar dibiarkan, sehingga tanaman dan perdu liar berduri berdesakan menjadi sarang aneka binatang melata. Di sanalah, di waktu malam, terjadi kebut-kebutan. Pemuda-pemuda tanggung memacu kendarasan mewah beroda empat atau dua, sampai mobil-mobil dan kendaraan roda dua lain yang setengah rongsokan. Mereka tidak hanya melampiaskan nafsu mengatasi lawan dengan kecepatan. Di sana mereka juga menghambakan diri pada kemaksiatan berjudi.
“Benar,” kata kawan Iwan yang lain. “Kalau Khodir yang bawa kendaraanmu, pasti kita menang. Lalu kita bisa bikin oplosan lain. Aku mendapat resep baru dari tetangga yang datang dari gunungkidul...,” dan yang disebut Khodir mengangguk-angguk. Dia yang paling lama memiliki kendaraan. Seusai sekolah, menjadi kernet omprengan. Karena badannya lebih tinggi dan besar dari anggota kelompok itu, semua teman Iwan sungkan kepada Khodir.
Iwan termakan oleh gosokan itu.
Tetapi Pak RT tidak termakan oleh rayuan si anak. Dan karena merasa permintaannya tidak bakal terpenuhi, Iwan meninggalkan rumah sebelum keluarga selesai menyunyah pisang. Dia keluar masih mendengar omelan Mak terhadap suaminya, “Sampeyan3 ini bagaimana! Punya anak lelaki, sulung, tidak dimanja. Minta kendaraan saja...”.
Lalu alur keseharian kembali seperti semula, berlanjut biasa.
Hanya, pada suatu pagi ketika Mak akan membuka warung, terkejut bukan kepalang karena uang yang dia selipkan di belakang stoples di rak paling atas hilang. Sampul coklat masih ada tetapi kosong. Terakhir dia masukkan uang kemarin malam, jumlahnya mendekati tujuh ratus ribu.
“Pasti Iwan yang mengambil!” kata Mak seorang diri. Dia mengira anaknya marah karena permintaannya ditolak Pak RT.
Mak tunggu anak sulung itu seharian. Baru muncul hampir petang. Mak takut bicara kasar, dia tunggu lagi sampai anak itu mandi, lalu akan mengenakan baju. Mak turut masuk kamar. Alangkah terkejut dia melihat tulang iga Iwan yang mencuat, dadanya kerempeng. Rupanya baru kali itulah dia menyadari betapa kurusnya si sulung yang dia bangga-banggakan.
Mak bertanya mengapa mengambil uang sebanyak itu. Biasanya, pagi Iwan dan Yuni disuruh mengambil uang sendiri di kotak di dalam laci. Tidak banyak. Paling-paling lima ribu. Kalau ada keperluan sekolah bisa sepuluh atau dua puluh ribu. Mak bertanya lembut, bahkan nyaris merayu si anak, untuk apa uang itu.
Tenang dan tanpa ragu Iwan menyahut, “Kuberikan kepada Herman. Dia mau buka usaha, kasihan tidak punya modal,” lalu dari saku celana seragam yang kembali dia pakai, dia keluarkan gumpalan uang lusuh. Diberikan kepada Mak, meneruskan bicaranya, “Ini sisanya.”
Mak menghitung, dua ratus ribu lebih sedikit.
“Nanti kalau usahanya berjalan, Herman akan mengembalikan. Malahan mungkin dengan bunga,” kata Iwan lagi.
Mak lega.
“Apa usaha temanmu?”
“Bengkel kecil-kecilan, di muka sekolah, bersama tukang pompa ban.”
Lalu Iwan terburu-buru, menutup kancing baju, menggosok rambut dengan kain apa saja yang tersampir di sana.
“Mau ke mana?” Mak bertanya. “Makan dulu! Kamu kurus. Mukamu pucat. Tadi siang kamu juga tidak pulang makan.”
“Aku jajan bakso tadi,” Iwan menyahut, sudah menyambar tas dan melangkah ke pintu kamar akan keluar, berhenti lalu katanya “Minta Rp 10.000, Mak”.
“Ke mana?” Mak masih mengikuti, tangannya mengulurkan satu lembar sepuluh ribuan.
“Mau belajar bersama teman-teman. Besok pagi langsung ke sekolah.”
Mak harus puas dengan jawaban tersebut, karena si sulung sudah berlalu. Rambutnya masih basah dan belum disisir. Tapi tidak apa-apa, Iwan pergi untuk belajar di rumah kawannya. Hati Mak tenang. Di sana tentu disuguhi makanan. Apa lagi, anaknya bawa uang, bisa jajan. Banyak makanan dijajakan di malam begitu. Mak berpikir, lebih baik mengetahui anaknya berada di rumah teman, tidak keluyuran. Itu baik.
Itu memang baik jika memang demikianlah kejadian yang sesungguhnya. Dan yang sesungguhnya terjadi ialah, dua hari kemudian orang tua diminta datang mengambil rapor. Seperti biasa, Mak yang berangkat. Kepala sekolah menemuinya bersama sekelompok orang tua lain di ruang tersendiri. Juga hadir dua guru.
Rupanya, anak-anak mereka tidak naik kelas. Rapor anak-anak itu semakin lama semakin jelek. Khodir berkali-kali mangkir, Herman sudah dua bulan tidak masuk. Iwan sendiri, tidak nampak di sekolah sejak empat hari.
“Dia berangkat sekolah setiap pagi,” istri Pak RT berkata membela anaknya.
Seorang guru melihat ke buku catatan, menanggapi, “Hari Senin masih masuk, tapi Selasa, Rabu sampai hari ini tidak kelihatan.”
Dan yang lebih-lebih mengejutkan para orang tua kedua teman Iwan, ialah anak-anak mereka sudah setengah tahun tidak membayar uang sekolah.
“Kami menerima uang tes, maka kami memberi kelonggaran mengikuti tes untuk akhir catur wulan. Kami kira, ibu-ibu akan melunasi uang sekolah sekarang,” kata kepala sekolah.
“Bukankah Herman membuka usaha di depan sekolah?" Ibu Iwan merasa perlu mengutarakan pengetahuannya.
“Usaha apa?” hampir serempak mereka yang berada di sana bertanya. Yang paling nampak adalah ibu Herman.
Mendengar itu, Maknya Iwan menjadi ragu. Dengan suara terbata-bata, katanya, “Buka reparasi kecil-kecilan bersama tukang ban...” dan Mak itu hampir melepas lanjutan kalimat, bahwa Iwan mengambil uang banyak sekali dari warungnya untuk ‘dipinjamkan’ kepada temannya itu.
Ketika kepala sekolah merasa sudah cukup mengorbankan waktunya untuk mereka, dia memutuskan:
“Sebaiknya ibu-ibu berbicara kepada anak-anak Anda. Jangan sampai terlanjur mendapat pengaruh buruk dari jalanan. Kecuali Anda, Ibunya Iwan. Anak Ibu pulang ke rumah setiap hari, bukan?”
Mak kebingungan, tidak tahu bagaimana harus menjawab secara tepat. Sejak si sulung lulus SLTP, dia menganggapnya sudah besar. Sudah tahu sendiri apa yang harus dikerjakan. Pak RT tidak pernah menyuruh-nyuruh anak itu berbuat begini atau begitu. Jadi Mak juga meniru suaminya. Sekarang, kalau Iwan pulang makan, mandi atau untuk keperluan lain, Mak senang. Tetapi kalau anak itu tidak kelihatan, ya dia pasrahkan saja ke bawah Lindungan Yang Maha Kuasa.
“Dia pulang sore. Katanya banyak tambahan pelajaran,” akhirnya itulah yang dikatakan Mak.
“Memang banyak ekstra kurikuler, Bu. Tetapi saya jarang melihat Iwan mengikuti tambahan pelajaran itu,” sahut seorang guru.
Petang itu Pak RT pulang setelah panggilan shalat Maghrib dikumandangkan. Tergesa-gesa dia mandi dan melunasi tiga rekaat, lalu mengenakan baju berkerah dan sarung.
Sementara itu orang mulai berdatangan memasuki ruang pertemuan. Kaum muda lelaki dan perempuan, pria-pria lajang atau yang telah berumah tangga tapi lebih suka menghindar dari kerepotan anak tak hentinya memasuki pintu di sebelah ruang tamu Pak RT.
Tanpa menunggu lama, masing-masing tamu sudah mendapat jatah teh manis. Gelas-gelas itu diletakkan oleh pembantu di atas meja rendah yang berderet di tengah, mengelilingi tiga atau empat piring berisi kudapan. Para pelayan sudah terdidik. Begitu pula para pendatang. Walaupun tidak semua dari mereka itu aktif mengerjakan sesuatu guna membantu kelancaran organisasi kampung, tetapi semua tahu bahwa mengikuti pertemuan di rumah Pak RT tidak pernah rugi. Selain di situ suasana cerah, juga selalu banyak makanan dan rokok. Mereka pulang berpeluang mengantongi paling sedikit satu pak kretek atau filter, sesuai pilihan masing-masing.
“Maaf! Maaf! Saya terlambat!” kalimat itu selalu mengiringi masuknya Pak RT ke dalam ruangan.
Dan selalu ada yang menjawab, “Tidak apa-apa. Pak RT orang yang sibuk. Kami mengerti.”
Disambut dari sisi lain:
“Ya benar. Kami semua tahu bahwa Pak RT pasti hadir meskipun kami harus menunggu. Pak RT tetap belum pernah terlambat mengikuti rapat kami!”
“Sebetulnya malahan kami yang merepotkan Bu RT. Kami minta maaf, selalu merepotkan ibu. Ini kami sudah mulai menikmati hidangan,” kata-kata lain yang dimaksudkan lebih manis terdengar dari pojok lain.
“Silahkan! Silahkan! Direruskan saja,”tanggap Pak RT sambil menempatkan dirinya di atas tikar, lalu mendongak ke arah dalam, serunya, “Bu! Tehnya ditambah!”
Pembantu-pembantu meyorongkan ceret berisi tambahan minuman.
Untuk beberapa saat terdengar pembicaraan.
“Anu 4, Pak RT, ini kami sedang memperbincangkan berita yang didengar tukang rokok di depan Karangrejo. Ada sopir taksi yang dirampok katanya.”
“Ya, saya juga dengar,” sahut Pak RT, mulutnya mengunyah gorengan bergedel jagung penuh minyak. “Apa beritanya sudah masuk koran atau televisi?”
“Kok belum ada. Padahal katanya, sopir taksinya ditusuk pakai obeng,” seseorang menjelaskan.
“Di mana kejadiannya?” Pak RT bertanya.
“Di situ saja! Di dekat Jatidiri!”
“Wah, dekat sekali! Kok polisi tidak sampai ke sini ya.”
“Yang saya dengar, satu pelaku sudah diringkus. Yang lain-lain kabur!”
“Ya, mengenai itu juga saya dengar. Penjual mi ayam pagi-pagi di depan toko saya yang cerita begitu.” Pak RT mengambil satu bergedel lagi, menyumpalkannya di antara gigi besarnya.
“Ayo kita mulai membicarakan lapangan volly saja! Jangan ngurusi rampokan. Itu biar diurus polisi!” kata seorang lelaki yang duduk tidak jauh dari pintu masuk.
“Betul! Betul! Kalau tidak, kita tidak akan selesai sampai besok pagi,” sahut suara lain.
Rundingan yang disebut rapat pun dimulai. Serius atau santai. Yang penting Pak RT tidak makan lagi. Dia kelihatan sibuk, berbicara, membantah, mengatakan gagasannya. Begitu nampak terpikat dia sehingga sejak melangkahkan kaki ke dalam rumah petang itu, tak satu kali pun ingat apakah dia sudah melihat anak sulungnya hari itu. Dia juga belum diberitahu oleh istrinya bahwa Iwan tidak naik kelas atau pun mangkir sekolah pekan itu.
Pertemuan demikian diusahakan berakhir pukul sembilan. Atau paling lambat setengah sepuluh. Tetapi tidak jarang Pak RT menahan dua atau tiga tetangga. Mereka ngelantur mengobrol. Televisi di sudut ruang dinyalakan, mereka santai menonton, tiduran atau bersandar ke dinding. Pak RT membiarkan pintu terbuka, memanggil penjaja makanan apa saja: mi kopyok, bakso atau sate. Mereka makan dan berbicara, sementara kotak kaca dibiarkan terus menyiarkan tayangan yang dipilih.
Malam itu, tiga tamu belum meninggalkan ruang pertemuan. Mereka bersama Pak RT menikmati sate ayam dengan lontong kenyal.
Sebuah jip memasuki kampung pukul sepuluh lebih sedikit. Satu kali bertanya kepada tukang becak, kemudian berhenti di depan rumah Pak RT. Dua orang turun, langsung menuju pintu yang terbuka. Bau daging bakar berbumbu memenuhi udara malam lembab.
“Selamat malam,” lelaki yang terdekat dengan pintu melongokkan kepala memberi salam.
Pak RT bangkit dari tikar, menemui si pendatang. Mata bapak itu melirik ke kejauhan. Ada tiga lelaki lain. Seorang di tengah-tengah halaman, seorang di pagar, seorang lagi duduk di belakang kemudi.
“Bapak Rajiman?”
“Ya, saya sendiri,” sahut Pak RT.
Terdengar suara bebincang rendah. Kelihatan kepala Pak RT tertegak. Satu kali menengok ke arah dalam rumah. Dia menggandeng lengan orang yang baru datang, menariknya menjauhi pintu.
Dua menit kemudian Pak RT masuk kembali, langsung menuju ke rumah induk. Dia memanggil-manggil. Sesaat berlalu, jelas terdengar bahwa waktu istirahat seisi rumah terganggu. Nama Iwan disebut-sebut. Percakapan yang kacau menyusul perbantahan di antara penghuni. Tiba-tiba ada suara pembantu lain yang lebih jelas, “Sudah hampir seminggu Gus Iwan tidak pulang.”
Lalu Pak RT muncul di pintu, sudah mengenakan celana panjang. Katanya singkat kepada tamunya yang baru menikmati daging sate, “Maaf, saya harus pergi. Silakan Anda pulang. Biar pintu ditutup.”
Lima menit berlalu sejak kedatangan tamu baru itu, Pak RT menyetir kendaraannya mengikuti jip keluar kampung. Seorang tetangga duduk di sampingnya. Dia menawarkan diri menemani Pak RT ke kantor polisi.
Serse memberitahu bapaknya Iwan, bahwa Khodir ditangkap di terminal Jatingaleh. Dia berlari ketika polisi menyelidiki kasus perampokan dan penusukan sopir taksi dinihari sebelumnya. Karena tidak mau berhenti sewaktu dipanggil, kakinya ditembak. Maka ketahuan bahwa dia membawa senjata tajam. Di sakunya terdapat bungkus rokok berisi lintingan ganja siap pakai. Juga sebuah kotak korek api penuh butiran obat terlarang. Belum ketahuan pasti jenis apa.
Khodir mengaku bahwa dia melakukan perampokan dibantu oleh Herman dan Iwan. Pak RT harus memberitahu polisi alamat semua kenalan atau saudara yang mungkin dijadikan tempat bersembunyi kedua remaja itu.
“Saya tidak tahu apa maunya anak-anak ini!” kata Pak RT seperti kepada dirinya sendiri. “Saya dan ibunya membanting tulang memutar otak untuk mencari uang. Supaya mereka hidup layak, bisa sekolah. Tetapi nyatanya... .”
Tetangga di sebelah Pak RT tidak berani mengeluarkan pendapat. Dia adalah satu dari mereka yang selalu dibantu Pak RT supaya bisa hidup berkecukupan. Tugasnya malam itu adalah menemani Pak RT. Bukan untuk berbicara.***
1. Sumber air/telaga terletak di antara dua pancuran.
2. Teh kental
3. Kamu
4. Kata tambahan dalam bahasa Jawa, biasanya dipakai karena gugup atau sungkan
Oleh: Ramadhan KH
“Arigato gozaimasu! Arigato gozaimasu!” (Terima kasih! Terima kasih!), Okayama-san mengucapkan kata-kata itu sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, beberapa kali. Sungguh, dengan perasaan haru dan suara hikmat ia lepaskan isi hatinya itu dengan tulus. Ia merasa benar-benar gembira. Gembira sekali. Wajahnya jadi cerah seperti langit yang ada di atasnya.
Beberapa meter di depannya berdiri Pak Marta yang menerima ucapan terima kasih Okayama itu.
“Massugu! Massugu! Maju lagi! Maju lagi! Ayo, ke sana lagi! Lihat dari sana, dari tepian yang lebih jauh.” Pak Marta menganjurkan Okayama supaya melangkah lebih jauh, melihat lautan itu dari tempat yang lebih dekat ke pantai, sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Hay! Hay!” kata Okayama sambil lari-lari kecil, mengikuti anjuran Pak Marta. Ia senang mengikuti petunjuk Pak Marta, sahabat besannya, orang yang dirasakannya benar menjadi penolongnya di hari tua.
Di sebuah onggokan ia berhenti, lalu menatap ke kejauhan. Nikmat benar dirasakannya menerawang, mengikuti goresan kaki langit, menyapu lautan yang biru dan mengikuti gelombang yang beruntun bergantian sampai ke pantai.
“Tempat ini bagus sekali. Negeri ini indah sekali,” gumamnya, lalu menarik senyum sendirian.
Dari kejauhan ia berteriak dalam bahasa yang jauh daripada dikuasainya, tetapi sudah mulai dipelajarinya dengan tekun: “Bagusu-neh, bagusu-neh,” (Bagus, bagus) sambil melambai-lambaikan tangannya.
Seraya melangkah ia mereka-reka kembali rencananya yang sudah bermalam-malam bersama menantunya, Subarkah, membicarakannya. Dan tentu saja ia pernah merundingkannya juga dengan anaknya, Michiko, yang kali ini tertinggal di Osaka, tidak ikut terbang ke Jakarta.
“Bagusu-neh! Bagusu-neh!” ulangnya di depan Pak Marta.
“Senang? Senang punya tanah ini?” tanya Pak Marta dalam bahasa Jepang.
“Aaahh, senang, senang,” kata Okayama. “Tetapi ... tetapi ... ini bukan tanah saya. Ini tanah Subarkah dan Michiko. Bukan tanah saya.” Ia seperti mau menjelaskan kepada semua pihak, kepada penduduk di kampung itu, kepada pepohonan dan binatang-binatang yang ada di sana, bahwa tanah itu bukan miliknya, melainkan milik anaknya dan menantunya. Tetapi hati kecilnya tidak bisa membohonginya. Ia merasa, ia memilikinya juga, karena uang yang dibelikan tanah itu adalah uang simpanannya. Dan ia gembira, sangat gembira, bahwa Subarkah menetapkan, tanah itu atas nama istrinya, Michiko, di dalam surat-surat jual belinya. Malahan terakhir sudah dicantumkan dalam sertifikatnya, bahwa tanah itu milik Michiko, Nyonya Subarkah.
Pak Marta mengajak bicara Okayama-san dalam bahasa Jepang. Ia masih bisa berbicara dalam bahasa yang dulu pernah dikuasainya dengan benar selama jaman Jepang. Waktu itu ia duduk di sekolah menengah di Bogor dan terkenal di antara sesama teman sekolahnya sebagai murid yang paling pintar bahasa Jepangnya.
Kalau tidak terpatahkan oleh kekalahan Jepang dalam peperangan, kemungkinan besar ia sudah dikirimkan ke Negeri Sakura untuk melanjutkan sekolahnya.
Bicaralah lagi Okayama-san dalam bahasanya. “Saya sekali lagi mesti mengucapkan terima kasih kepada Pak Marta-san, sudah menolong anak-anak saya, sehingga mereka mendapatkan tanah ini. Bagus sekali tanah ini. Kalau terlaksana, anak-anak saya akan mendirikan rumah di sini, dengan kebunnya yang bagus. Apa pohon kaki (kesemek, bahasa Jepang) bisa tumbuh di sini?”
“O, bisa tentu bisa. Disebutnya di sini, pohon kesemek,” jawab Pak Marta.
“Apa bunga anggrek bisa tumbuh di sini?”
“Bisa, bisa,” jawab Pak Marta meyakinkan sambil menatap Okayama. “Semua tanaman bisa hidup di sini. Lihat itu, pohon-pohon kelapa bagus-bagus di sini. Lihat, pohon pisang, pisang yang disukai Okayama-san, pisang raja, pisang ambon, pisang lumut, bisa hidup di sini. Asal diurus. Tanahnya, dicampur sedikit dengan tanah dari kebun saya di Cisaat. Bakal jadi bagus. Tidak ada tanaman yang tidak bisa tumbuh di sini. Tapi jangan minta pohon sakura tentunya. Hahahaha,” Pak Marta tertawa, diikuti oleh Okayama-san. Juga Subarkah, sang menantu yang juga ada di sana mendampingi sang mertua, tertawa lebar. Ia pun senang bisa membuat mertuanya gembira. Bukan spesial karena istrinya jadi pemilik tanah itu di sana, melainkan karena mertuanya bisa mendapat kesibukan yang bakal disukainya: bercocok tanam, di hari tuanya.
Bahwa Okayama-san, kini merasa senang, uangnya bisa dipakai anaknya untuk membeli tanah di tepi pantai di daerah Sukabumi Selatan itu, adalah disebabkan pengetahuannya bahwa di Jepang mustahil ia bisa membeli tanah seluas itu. Di Jepang, apalagi di seputar Tokyo, orang menjual tanah dengan ukuran jengkalan, bukan meteran, karena mahalnya, sejuta Yen sejengkal. Sekarang, di tepi Samudera Hindia yang elok itu, Michiko, anaknya, bisa memiliki tanah seluas satu hektar lebih. “Untuk siapa lagi uangku itu kalau bukan untuk Michiko (anak tunggalnya),” Okayama pernah berpikir. Sebab itu ia berikan uang senilai empat puluh juta rupiah, sebegitu yang diperlukan Michiko, untuk membeli tanah di kampung Sindanglaut, di tepi pantai di Sukabumi Selatan itu. Okayama yang sudah pensiun dan ditinggalkan istrinya meninggal tiga tahun yang lalu, punya rencana berlibur tiga kali dalam setahun, dan setiap kali berada di Sindanglaut untuk barang dua atau tiga bulan.
Di atas tanah seluas satu hektar lebih milik Michiko itu, sekarang sudah ada rumah kecil yang masih sederhana. Tapi nanti rumah tua itu akan diganti dengan bangunan yang bagus. Okayama sudah punya gambar bentuk rumah yang akan dibangunnya di atas tanah milik keturunannya itu. Sebuah rumah potongan Jepang dengan jendela-jendela dan atap potongan khas Jepang. Dan gambaran itu buat Okayama sekarang, dengan uang yang sudah diperhitungkannya cukup, bukan mimpi pagi. Rencananya pun sudah bisa mulai dilaksanakan.
***
Okayama-san bersahabat kental dengan Kakutani-san. Mereka sama-sama duda. Tinggal tidak berjauhan. Dan sewaktu Okayama sudah berada lagi di Osaka, segera ia bercerita kepada Kakutani bahwa ia baru saja membeli tanah di Indonesia. Ia ceritakan dengan terperinci sekali berapa harga tanah yang dibelinya, atas nama siapa, di mana letaknya Sidanglaut itu, pemandangan seputar itu, dan sebagainya dan sebagainya.
“Dan bagusnya, bagusnya pemandangan di sana! Luar biasa! Pasti kamu pun akan suka,” kata Okayama-san kepada Kakutani-san yang juga mempunyai cukup uang simpanannya.
“Dan istimewa lagi,” cerita Okayama kepada Kakutani, “dari tempat itu, selain ada laut yang bagus, ada daerah yang masih dihuni oleh badak, badak yang terkenal. Kesukaan kamu kan masuk hutan, melihat binatang langka?”
“Ya, ya. Apa sungguh begitu?”
“Sungguh!” kata Okayama meyakinkan.
“Tapi, bagaimana saya bisa membeli tanah di sana? Saya kan tidak punya menantu orang Indonesia,” kata Kakutani dengan nada rendah, seperti sudah tidak punya harapan.
“Mengapa kamu tidak punya akal?” kata Okayama. “Kamu kan belum punya istri lagi. Kalau saya seusiamu (--Kakutani lebih muda--), saya akan kawin lagi. Dan... akan mengambil wanita Indonesia. Cantik-cantik lho, hahaha....”
Kakutani seperti kena goncangan yang membuat ia sadar. Ia pun pernah bertemu dengan ibu Subarkah, besan Okayama, waktu datang di Osaka. Dan terkenang sampai sekarang, bahwa wanita itu benar cantik walaupun sudah ada usia. “Pasti ia cantik sekali waktu mudanya,” komentar Kakutani di dalam hatinya waktu ia pertama kali melihatnya. Tetapi ia tidak punya keinginan lebih jauh, karena ayah Subarkah masih ada.
“Cantik-cantik?” Kakutani seperti mau tambah diyakinkan, dengan nada suara seperti berhasrat.
“Beneran. Cantik-cantik. Kalau kita jalan ke Sindanglaut itu, kita bisa lewat di sebuah kampung yang namanya Kadupandak. Saya pernah dibawa oleh kenalan saya lewat di sana. Di Kadupandak itu banyak sekali yang cantik. Sungguh! Kamu bisa bergairah lagi jika lewat di kampung itu. Saya pun waktu lewat di sana, merasa jadi muda kembali. Hahaha! Dan... dengan uangmu yang ada di bank sekarang, kamu bisa dapatkan seorang. Kebiasaan mereka pun baik-baik. Mereka tidak perlu kita ajar lagi supaya tinggal di rumah. Itu sudah kebiasaan mereka.”
Kakutani jadi berpikir beneran. Dan terbetik hasratnya: “Kalau istriku setia, dan mau menerima kebiasaanku, dan bisa membeli tanah yang luas, mengapa pula aku mesti simpan uang itu? Dengan uang cuma sebegitu mustahil aku bisa membeli tanah di negeriku sendiri ini. Kalau istriku menyenangkan, mengapa aku harus kikir dengan tidak memberikan uang kepadanya untuk bisa memiliki tanah yang luas dan bagus, dengan pemandangan yang indah seperti yang diceritakan Okayama? Aku pun tentu bisa menikmatinya.” Ia pun ingat, bahwa ia sekarang sudah sebatang kara.
***
Saatnya pun tiba. Kakutani dan Okayama sudah ada di Jakarta.
Malahan ini yang kedua kalinya sudah. Mereka berdua menginap di sebuah hotel di jalan Thamrin, dan sudah pergi ke Sindanglaut.
Cepat sekali prosesnya, Kakutani memperlihatkan seorang wanita yang lumayan cantiknya kepada Okayama. Ia, pada mulanya, tidak ceritakan bahwa Nurseha, begitu nama perempuan yang dibawanya, ditemukannya di sebuah panti pijat.
“Kami akan kawin,” kata Kakutani kepada Okayama.
Waktu ada kesempatan berdua Kakutani dan Okayama, Kakutani bercerita bahwa Nurseha memenuhi hasratnya dan tidak banyak permintaannya. “Hanya meminta supaya saya masuk agamanya. Dan saya sepakati. Nampaknya agamanya kuat. Cuma keadaan ekonominya saja yang pernah membawa dia ke tempat panti pijat,” kata Kakutani setelah didesak di mana mereka bertemu.
“Kalau sudah begitu, apa bisa ia sekarang tinggal di rumah?” tanya Okayama yang ragu.
“Ia berjanji. Dan kamu yang mengatakan bahwa perempuan Indonesia itu bisa tinggal di rumah, bukan? Nulseha (--ia tidak bisa mengucapkan r--) sendiri sudah janji, cuma kalau bersama saya ia akan ke luar rumah.” Kakutani sudah bisa melupakan apa yang telah terjadi dan dialami Nurseha sebelum ini. Ia bisa menghapus apa yang sudah-sudah. Yang dipentingkannya hari depannya.
“Bagus, bagus kalau begitu,” kata Okayama. ”Dan soal tanah itu, bagaimana?” tanya Okayama lagi setelah ia ingat pada tanah yang sudah diinjaknya bersama, di samping tanah Michiko.
“Jadi. Tentu saja jadi. Itu kan benar bagus. Dan benar murah,” kata Kakutani. “Sesudah kami nikah, saya akan belikan istri saya tanah yang itu.” Kakutani menarik wajah bangga dan serius.
“Kapan akan nikah?” tanya Okayama-san.
“Secepatnya,” jawab Kakutani-san.
***
Benar juga. Tidak lama setelah itu. Kakutani dan Nurseha melangsungkan perhelatan di Sukabumi, disaksikan oleh Okayama. Pernikahan itu dilaksanakan di depan penghulu, setelah Kakutani memenuhi syarat yang diminta oleh Nurseha dan keluarganya.
Tanah di Sindanglaut yang berdempetan dengan milik Michiko pun kemudian dibeli Nurseha atas namanya. Lebih luas daripada yang dimiliki Michiko dan lebih mahal harganya. Tetapi terbeli oleh Nurseha yang membuat surat janji, bahwa kalau sampai ia dan suaminya bercerai, uang senilai pembelian tanah itu akan dikembalikan. Nurseha merasa pintar. Ia sudah menghitung, bahwa nilai tanah akan cepat naik, dan uang rupiah tak akan bisa mengejar harga tanah. Tetapi Kakutani-san merasa pintar juga, ia merasa senang, bahwa ia nanti bisa berlibur di tempat yang bagus itu, di tepi pantai yang lautnya biru, cerah langitnya, dan gelombangnya amat memikat. Apalagi di pagi hari, atau di sore menuju senja. Dan ia pegang surat-surat tanah itu.
“Mustahil aku bisa punya tanah sebagus itu dan seluas itu di negeriku sendiri,” pikir Kakutani. “Aku akan sering saja berada di sana.”
***
Di sebuah organisasi di kotanya, Kakutani punya sahabat akrab, Kanazawa-san, tempat ia menceritakan rahasia hidupnya. Sebab itu pula ia tak beralangan menceritakan tentang tanah yang dibelinya, atas nama Nurseha yang pernah ditemukannya di sebuah panti pijat, tapi sekarang sudah jadi istrinya.
Kanazawa-san, pemborong bangunan, tergerak juga hatinya. Ia pun ingin memiliki tanah sebagus seperti yang diceritakan temannya. “Benar murah,” pikirnya, setelah ia membandingkan dengan harga tanah di negerinya. Soal jarak Jepang - Indonesia, tak dirasakannya jauh. Ia pun sudah beberapa kali membaca brosur-brosur tentang perjalanan ke Indonesia dan apa yang bisa dilihat di negeri di sebelah selatan itu.
“Tapi bagaimana kami bisa membeli tanah di sana?” tanya Kanazawa kepada teman akrabnya.
“Bisa. Pasti bisa. Kata orang di sana, di sana segala bisa diatur. Pasti ada cara-caranya. Apalagi sekarang, segala di sana sudah terbuka. Kita diajak oleh mereka untuk datang ke sana, untuk usaha. Tetapi yang pasti lagi, kita bisa tinggal di sana semusim-semusim. Kalau musim dingin di sini, dan kamu merasa encok di sini, kita bisa tinggal di sana. Di sana kan selalu ada matahari. Percayalah, kamu akan senang tinggal di sana. Pantainya bagus. Lautnya bagus, bagus sekali. Kamu tidak akan bisa membeli tanah seluas itu dengan seluruh kekayaanmu yang kamu miliki di sini. Tentu yang ukurannya luas yah,” kata Kakutani.
***
Kanazawa-san terbang bersama Kakutani dan Okayama ke Jakarta. Lalu mereka pergi ke Sindanglaut. Kanazawa-san takjub melihat daerah pantai Samudera Hindia itu.
“Bagaimana cara membelinya?” tanya Kanazawa.
“Ini, ini orangnya yang bisa membantu kita,” kata Kakutani sambil menunjuk seorang laki-laki yang bekerja di Kecamatan di Sidanglaut, yang tempo hari mengatur pembelian tanah untuk Michiko dan Nurseha.
“Bapak ini, Pak Kosasih, bisa menolong kita,” kata Okayama sambil memegang tangan Kosasih.
Kosasih yang pernah membantu kedua orang itu dengan urusan tanah di sana, dengan kebutuhannya, tersenyum lebar. Ia tentu saja senang. Sudah dua kali ia pernah mengatur jual beli tanah dengan orang- orang Jepang itu dan memasukkan uang ke kantongnya sendiri lebih dari lumayan. Tetapi, sebenamya hati nuraninya pernah goyang, terasa tak menentu, tetapi keuntungan yang diperolehnya menghapus kegelisahannya itu. “Tak ada kesalahan saya,” pikirnya. “Yang satu kali untuk menantunya bersama anaknya. Yang kedua kali untuk istrinya. Orang kita-kita juga. Sah-sah saja,” pikirnya.
Okayama dan Kakutani lalu mengajak bicara Kosasih yang sudah siap untuk membantu. Sudah tergitik juga hati Kosasih oleh gambaran bahwa kali ini ia bisa beruntung banyak lagi. Ia mengetahui, ada sebidang tanah luas yang juga tidak jauh letaknya dari tanah Michiko. Tanah itu bekas perkebunan kecil, tapi sudah tidak terurus. Dan akan dijual. Tetapi terhalang oleh beberapa rumah kampung dari tanah Michiko.
“Tidak jadi soal. Rumah-rumah kampung itu bisa dipindahkan,” kata Kosasih dengan menarik senyum lebar. Ia pun yakin, bahwa yang dikatakannya itu bisa jadi kenyataan. “Apa yang tidak bisa dengan uang?” pikirnya.
Ketiga orang Jepang itu pergi ke tanah bekas perkebunan kecil itu, dibarengi oleh Kosasih dan dua orang kawannya, seorang yang lebih tua, Ramdan, seorang lagi yang lebih muda, Garnida.
Ada kekurangan di tanah bekas perkebunan kecil itu yang terasa oleh Kanazawa-san. Tetapi Kosasih, lewat Okayama yang sudah tambah pintar berbahasa Indonesia, bisa meyakinkan, bahwa kekurangan yang dirasakan oleh Kanazawa itu nanti bisa diatasi. Tanah itu tidak nempel pada pantai.
Kanazawa-san menginginkan membuat semacam hotel di sana.
“Tetapi hotel akan laku kalau menempel pada laut,” kata Kanazawa kepada Okayama dan Kakutani.
Kosasih seperti bisa menangkap apa yang diinginkan oleh Kanazawa. Sebab itu ia cepat berkata kepada Okayama: “Kami bisa atur. Tidak ada yang tidak bisa diatur di sini. Tanah yang menghalang-halangi itu, antara lahan ini dan laut, bisa diatur supaya jadi jalan ke pantai. Supaya nyambung jadi bagian tanah ini,” kata Kosasih sambil menarik wajah senyum dan meyakinkan. Ia pun yakin dengan uang segala bisa beres. Ia merasa, bahwa atasan-atasannya yang ada di Kecamatan dan di Kabupaten akan setuju, sehamparan tanah yang ada di tepi laut itu digabungkan saja dengan tanah bekas perkebunan kecil itu.
Ia berpikir lagi. “Ini jadinya proyek pembangunan.” Kata "pembangunan" itu melintas sejenak saja di kepalanya, tapi menyebabkannya jadi merasa kuat. Kata pembangunan itu mengubah kesulitan yang tadi pernah mengganjal sebentar di hatinya.
“Pasti bisa! Pasti bisa!” kata Kosasih kepada Kanazawa. Kemudian kepalanya digerakkannya menghadap ke arah Kakutani, lalu ke arah Okayama, meminta dukungan. Ia menunggu kepastian.
Ketiga orang Jepang itu mengangguk-angguk. Lalu mereka berbicara dalam bahasa mereka. Kosasih mendengarkan saja, tak mengerti sepatah kata pun, tapi harapan menyelinap di antara perasaannya.
“Ya, asal benar bisa diatur begitu, tuan Kanazawa tertarik," kata Okayama.
***
Selang beberapa waktu, Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san sudah berada di Indonesia lagi. Mereka tidak membuang waktu. Sindanglaut mereka tuju.
Masing-masing mengatur kepemilikannya. Okayama yang sekali ini didampingi Michiko dan suaminya, Subarkah, sudah mulai dengan membangun rumah yang mereka cita-citakan. Rumah tua sudah dibongkar. Tiang-tiang baru sudah dipancangkan. Kakutani-san pun langsung mengukur-ukur tanah yang akan dipakai untuk bangunan rumah yang bakal dihuni bersama Nurseha. Ia tidak kepalang bergerak, segala bahan yang diperlukannya sudah ia siapkan dari dan di negerinya. Tinggallah nanti ia mencari tukang-tukang yang bakal diperbantukan kepada arsitek Jepang yang bakal membangun rumahnya itu.
Kanazawa-san dikerumuni oleh pegawai-pegawai dari Kecamatan Sindanglaut. Beberapa orang pegawai Kabupaten Sukabumi pun ada di sekelilingnya.
Rencana bangunan hotel sudah siap. Soal tanah yang menghalang-halangi sudah terpecahkan. Dengan duit, apa yang tidak bisa dibereskan di kampung ini, pikirnya. Dan ia sudah jadi lebih pandai, atas anjuran penasihatnya ia sudah menggaet orang di Jakarta penguasa penting.
Penghuni beberapa rumah yang menghalang-halangi antara tanah Michiko dan Kanazawa pun sudah sepakat untuk pindah. Entah berapa ongkos memindahkan mereka yang sebenarnya. Orang-orang Jepang itu tidak tahu. Uang siluman tak jelas masuk ke kantong saku siapa. Tanah yang menghalangi-halangi perkebunan kecil dengan laut itu pun sudah diatur oleh orang-orang di kantor Kecamatan, di kantor Kabupaten, malahan di kantor Gubernuran, sehingga bisa dipakai untuk keperluan Kanazawa-san yang punya uang banyak. Kanazawa-san nampak tenang-tenang saja. Sebab memang setelah diperhitungkannya, masih jauh lebih murah daripada jika harus membangun di negerinya.
Maka pembangunan dimulai di daerah itu.
Nampak sekali ada kesibukan di wilayah yang tadinya kampung itu. Dan bertambah lagi kericuhan di daerah itu, karena bukan saja Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san yang membangun di sana, melainkan ada Saito-san, ada Tanaka-san, Takahashi-san dan beberapa lagi orang Jepang yang bukan saja tertarik, melainkan sudah mulai membangun di daerah yang tadinya masih ladang tegalan, sawah musiman dan kebun terlantar itu.
Orang-orang Jepang itu mendengar kemungkinan-kemungkinan itu dari mulut ke mulut. Brosur-brosur pariwisata pun sampai pada mereka. Dan semua menghitung: tanah di Sindanglaut itu benar-benar jauh lebih murah dibandingkan dengan yang ada di Tokyo, atau yang di Osaka atau yang di Okinawa sekalipun. Mereka seperti sudah berpikir, bahwa dunia ini untuk kita semua, untuk semua penghuni bumi. “Untuk siapa saja, untuk kita, yang bisa membelinya dan membangunnya,” pikir mereka. Untuk pihak yang pintar, pikirnya. Ya, semua kedudukan pun bisa kita capai, pikir mereka. Dan mereka ingat pada beberapa kursi yang ada di sejumlah negara di luar negeri mereka yang sudah diduduki oleh bangsa mereka, keturunan mereka.
***
Maka ramailah pembangunan di Sindanglaut. Kebanyakan peralatan dan malahan bahan-bahannya pun didatangkan dari Jepang. Sebab kebanyakan pemilik tanah itu _lewat menantu, istri, sahabat dan pelbagai cara dan ilmu yang tak jelas duduk perkaranya_ memungkinkan rumah-rumah dan bangunan lainnya di sana berbentuk seperti di kampung asal mereka. Sampai-sampai bangunan yang seperti toko dan hotel pun disusun dan berbentuk bangunan Jepang.
***
Pak Marta datang di Sindanglaut. Ia pun sudah mendengar kabar dari orang tua Subarkah, sahabat kentalnya, bahwa di kampung di tepi Samudera Hindia itu sudah berdiri satu daerah enclave, daerah kantong Jepang.
“Siapa yang salah?” pikirnya, lalu ia sebentar merenung.
Ia menjawab sendiri: Okayama-san adalah mertua Subarkah. Michiko adalah istri Subarkah. Nurseha adalah istri Kakutani. Kanazawa-san adalah pengusaha yang diajak datang untuk menanam modal. Ia sudah bergabung dengan anak-anak pembesar di Jakarta. Saito-san idem dito. Okahara-san sami mawon. Anaka-san menempuh jalan yang juga tidak seberapa sulit dirasakannya. Kosasih sudah punya rumah baru dan istri baru di Sukabumi dan keluyuran dengan mobil Suzuki yang paling mutakhir. Garnida sudah naik motor Honda yang paling diidam-idamkannya dan paling disenanginya.
Lebih dari duapuluh orang Jepang sudah membangun di daerah Sindanglaut itu, di atas tanah yang lebih dari dua ratus hektar. Jangan ditanya asal usul tanah itu: tanah wakaf pun sudah berubah catatannya.
Tinggallah Ramdan yang berjongkok menatap orang-orang yang sedang mengangkat-angkat kayu dan besi itu dari kejauhan. Bukan saja hatinya terganggu, gamang, untuk ikut serta dalam pembangunan itu, tetapi ia sudah tua. Melangkah pun sudah sakit-sakitan. Di hatinya ia merasa tertinggal, karena rumahnya pun sudah tergusur.
“Tetapi siapa di daerah ini yang tidak tergusur, Pak Marta?!” kata Ramdan kepada Pak Marta yang duduk di kursi di depannya. Suara Ramdan terdengar melas sekali, menyayat hati orang yang diajaknya bicara.
Pak Marta tidak sanggup menatap wajah Ramdan yang sudah kurus dan keriput itu. Ia arahkan tatapannya ke kejauhan, ke langit yang bersih, ke kaki langit, ke lautan yang biru, ke ombak yang bergelombang.
“Pilihanku benar,” kata Pak Marta kepada Ramdan yang tetap jongkok di dekatnya. “Tempat ini bagus, benar bagus. Tetapi....” Ia tidak meneruskan ingatannya. Ia seperti menelannya.
“Jangan jongkok terus begitu, Bapak,” ajak Pak Marta kepada Ramdan. “Duduklah di sini. Di sini masih ada kursi.”
Ramdan mengikuti ajakan Pak Marta, bangkit dan duduk di kursi.
“Bagaimana perasaan Bapak melihat kampung ini sekarang?” tanya Pak Marta. Ia sendiri diliputi beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Ia gundah, terjepit antara sesal dan senang. Ia ingat, permulaannya amat sederhana. Kelanjutannya jadi amat serius.
Dengan ragu, Ramdan, orang tua itu, menjawab: “Entahlah. Dulu saya pernah benci kepada orang-orang Jepang itu, Pak Marta.”
Pak Marta cepat mengerti.
Sementara itu Kosasih datang. Ia menarik wajah gembira. Mukanya pun nampak licin, bersih. Sudah gemukan bentuk badannya dibanding dengan beberapa bulan yang lalu. Pakaiannya serba baru dan mencolok. Kendaraannya, mobil Suzuki diparkirnya di halaman kantornya. Percakapannya menunjukkan kegembiraan yang luar biasa. Ia merasa berjasa, terutama kepada istri-istrinya, anak-anaknya, orang tuanya, mertua-mertuanya. Ia sudah bisa membelikan mereka pelbagai barang modern yang biasa ditayangkan di televisi yang ia saksikan di rumahnya.
“Berapa umur Bapak?” tanya Pak Marta kepada Kosasih. “Tidak mengalami jaman Jepang?”
“Ah, saya belum lahir waktu itu,” jawab Kosasih.
“Bapak bekerja di Kecamatan, kan?” kata Pak Marta.
“Ya, Pak. Tadinya saya mau dipindahkan ke Sukabumi, tapi saya menolak. Daerah ini mesti dibangun, Pak.” Ia setengah membusungkan dada. Hati kecilnya berbisik jujur. “Di sini lebih menguntungkan.”
Di tengah itu Garnida muncul dengan menaiki motornya.
“Wah, kamu sudah punya motor segala sekarang, yah,” kata Pak Marta.
“Alhamdulillah, Pak,” kata Garnida.
“Maju yah. Hasil kerja di sini?” tanya Pak Marta.
Ramdan mengetahui silsilah pembelian motor itu. Maka ia menyelip menyambung pembicaraan: “Rumahnya, rumah orang tuanya, digusur, Pak. Ia pindah ke kampung di balik bukit itu.”
“Ya, Pak Kosasih membujuk kami, Pak,” kata Garnida. Ia bicara sesungguhnya. Ia tidak menatap ke masa depan, juga tidak pernah berkenalan dengan buku-buku tentang masa lampau. Ia terhitung pemuda masa sekarang yang diusik oleh pelbagai tayangan barang jualan di layar kaca dan hanya memikirkan masa ini, hari ini, saat ini, detik ini.
Sekali Garnida bertatapan muka dengan Ramdan. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Tak ada jembatan penghubung yang mengaitkan pembicaraan serius di antara mereka. Dan yang tua serta yang muda, sudah seperti kelelahan jika harus berpikir.
Suasana pun seperti direka untuk jadi demikian.
Sementara itu pembangunan di daerah enclave berjalan terus, mengikuti pihak yang menginginkan. ***
*) Enclave = Daerah kantong.
(Dimuat dalam Horison, September 1997)
READ MORE - Enclave*
“Arigato gozaimasu! Arigato gozaimasu!” (Terima kasih! Terima kasih!), Okayama-san mengucapkan kata-kata itu sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, beberapa kali. Sungguh, dengan perasaan haru dan suara hikmat ia lepaskan isi hatinya itu dengan tulus. Ia merasa benar-benar gembira. Gembira sekali. Wajahnya jadi cerah seperti langit yang ada di atasnya.
Beberapa meter di depannya berdiri Pak Marta yang menerima ucapan terima kasih Okayama itu.
“Massugu! Massugu! Maju lagi! Maju lagi! Ayo, ke sana lagi! Lihat dari sana, dari tepian yang lebih jauh.” Pak Marta menganjurkan Okayama supaya melangkah lebih jauh, melihat lautan itu dari tempat yang lebih dekat ke pantai, sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Hay! Hay!” kata Okayama sambil lari-lari kecil, mengikuti anjuran Pak Marta. Ia senang mengikuti petunjuk Pak Marta, sahabat besannya, orang yang dirasakannya benar menjadi penolongnya di hari tua.
Di sebuah onggokan ia berhenti, lalu menatap ke kejauhan. Nikmat benar dirasakannya menerawang, mengikuti goresan kaki langit, menyapu lautan yang biru dan mengikuti gelombang yang beruntun bergantian sampai ke pantai.
“Tempat ini bagus sekali. Negeri ini indah sekali,” gumamnya, lalu menarik senyum sendirian.
Dari kejauhan ia berteriak dalam bahasa yang jauh daripada dikuasainya, tetapi sudah mulai dipelajarinya dengan tekun: “Bagusu-neh, bagusu-neh,” (Bagus, bagus) sambil melambai-lambaikan tangannya.
Seraya melangkah ia mereka-reka kembali rencananya yang sudah bermalam-malam bersama menantunya, Subarkah, membicarakannya. Dan tentu saja ia pernah merundingkannya juga dengan anaknya, Michiko, yang kali ini tertinggal di Osaka, tidak ikut terbang ke Jakarta.
“Bagusu-neh! Bagusu-neh!” ulangnya di depan Pak Marta.
“Senang? Senang punya tanah ini?” tanya Pak Marta dalam bahasa Jepang.
“Aaahh, senang, senang,” kata Okayama. “Tetapi ... tetapi ... ini bukan tanah saya. Ini tanah Subarkah dan Michiko. Bukan tanah saya.” Ia seperti mau menjelaskan kepada semua pihak, kepada penduduk di kampung itu, kepada pepohonan dan binatang-binatang yang ada di sana, bahwa tanah itu bukan miliknya, melainkan milik anaknya dan menantunya. Tetapi hati kecilnya tidak bisa membohonginya. Ia merasa, ia memilikinya juga, karena uang yang dibelikan tanah itu adalah uang simpanannya. Dan ia gembira, sangat gembira, bahwa Subarkah menetapkan, tanah itu atas nama istrinya, Michiko, di dalam surat-surat jual belinya. Malahan terakhir sudah dicantumkan dalam sertifikatnya, bahwa tanah itu milik Michiko, Nyonya Subarkah.
Pak Marta mengajak bicara Okayama-san dalam bahasa Jepang. Ia masih bisa berbicara dalam bahasa yang dulu pernah dikuasainya dengan benar selama jaman Jepang. Waktu itu ia duduk di sekolah menengah di Bogor dan terkenal di antara sesama teman sekolahnya sebagai murid yang paling pintar bahasa Jepangnya.
Kalau tidak terpatahkan oleh kekalahan Jepang dalam peperangan, kemungkinan besar ia sudah dikirimkan ke Negeri Sakura untuk melanjutkan sekolahnya.
Bicaralah lagi Okayama-san dalam bahasanya. “Saya sekali lagi mesti mengucapkan terima kasih kepada Pak Marta-san, sudah menolong anak-anak saya, sehingga mereka mendapatkan tanah ini. Bagus sekali tanah ini. Kalau terlaksana, anak-anak saya akan mendirikan rumah di sini, dengan kebunnya yang bagus. Apa pohon kaki (kesemek, bahasa Jepang) bisa tumbuh di sini?”
“O, bisa tentu bisa. Disebutnya di sini, pohon kesemek,” jawab Pak Marta.
“Apa bunga anggrek bisa tumbuh di sini?”
“Bisa, bisa,” jawab Pak Marta meyakinkan sambil menatap Okayama. “Semua tanaman bisa hidup di sini. Lihat itu, pohon-pohon kelapa bagus-bagus di sini. Lihat, pohon pisang, pisang yang disukai Okayama-san, pisang raja, pisang ambon, pisang lumut, bisa hidup di sini. Asal diurus. Tanahnya, dicampur sedikit dengan tanah dari kebun saya di Cisaat. Bakal jadi bagus. Tidak ada tanaman yang tidak bisa tumbuh di sini. Tapi jangan minta pohon sakura tentunya. Hahahaha,” Pak Marta tertawa, diikuti oleh Okayama-san. Juga Subarkah, sang menantu yang juga ada di sana mendampingi sang mertua, tertawa lebar. Ia pun senang bisa membuat mertuanya gembira. Bukan spesial karena istrinya jadi pemilik tanah itu di sana, melainkan karena mertuanya bisa mendapat kesibukan yang bakal disukainya: bercocok tanam, di hari tuanya.
Bahwa Okayama-san, kini merasa senang, uangnya bisa dipakai anaknya untuk membeli tanah di tepi pantai di daerah Sukabumi Selatan itu, adalah disebabkan pengetahuannya bahwa di Jepang mustahil ia bisa membeli tanah seluas itu. Di Jepang, apalagi di seputar Tokyo, orang menjual tanah dengan ukuran jengkalan, bukan meteran, karena mahalnya, sejuta Yen sejengkal. Sekarang, di tepi Samudera Hindia yang elok itu, Michiko, anaknya, bisa memiliki tanah seluas satu hektar lebih. “Untuk siapa lagi uangku itu kalau bukan untuk Michiko (anak tunggalnya),” Okayama pernah berpikir. Sebab itu ia berikan uang senilai empat puluh juta rupiah, sebegitu yang diperlukan Michiko, untuk membeli tanah di kampung Sindanglaut, di tepi pantai di Sukabumi Selatan itu. Okayama yang sudah pensiun dan ditinggalkan istrinya meninggal tiga tahun yang lalu, punya rencana berlibur tiga kali dalam setahun, dan setiap kali berada di Sindanglaut untuk barang dua atau tiga bulan.
Di atas tanah seluas satu hektar lebih milik Michiko itu, sekarang sudah ada rumah kecil yang masih sederhana. Tapi nanti rumah tua itu akan diganti dengan bangunan yang bagus. Okayama sudah punya gambar bentuk rumah yang akan dibangunnya di atas tanah milik keturunannya itu. Sebuah rumah potongan Jepang dengan jendela-jendela dan atap potongan khas Jepang. Dan gambaran itu buat Okayama sekarang, dengan uang yang sudah diperhitungkannya cukup, bukan mimpi pagi. Rencananya pun sudah bisa mulai dilaksanakan.
***
Okayama-san bersahabat kental dengan Kakutani-san. Mereka sama-sama duda. Tinggal tidak berjauhan. Dan sewaktu Okayama sudah berada lagi di Osaka, segera ia bercerita kepada Kakutani bahwa ia baru saja membeli tanah di Indonesia. Ia ceritakan dengan terperinci sekali berapa harga tanah yang dibelinya, atas nama siapa, di mana letaknya Sidanglaut itu, pemandangan seputar itu, dan sebagainya dan sebagainya.
“Dan bagusnya, bagusnya pemandangan di sana! Luar biasa! Pasti kamu pun akan suka,” kata Okayama-san kepada Kakutani-san yang juga mempunyai cukup uang simpanannya.
“Dan istimewa lagi,” cerita Okayama kepada Kakutani, “dari tempat itu, selain ada laut yang bagus, ada daerah yang masih dihuni oleh badak, badak yang terkenal. Kesukaan kamu kan masuk hutan, melihat binatang langka?”
“Ya, ya. Apa sungguh begitu?”
“Sungguh!” kata Okayama meyakinkan.
“Tapi, bagaimana saya bisa membeli tanah di sana? Saya kan tidak punya menantu orang Indonesia,” kata Kakutani dengan nada rendah, seperti sudah tidak punya harapan.
“Mengapa kamu tidak punya akal?” kata Okayama. “Kamu kan belum punya istri lagi. Kalau saya seusiamu (--Kakutani lebih muda--), saya akan kawin lagi. Dan... akan mengambil wanita Indonesia. Cantik-cantik lho, hahaha....”
Kakutani seperti kena goncangan yang membuat ia sadar. Ia pun pernah bertemu dengan ibu Subarkah, besan Okayama, waktu datang di Osaka. Dan terkenang sampai sekarang, bahwa wanita itu benar cantik walaupun sudah ada usia. “Pasti ia cantik sekali waktu mudanya,” komentar Kakutani di dalam hatinya waktu ia pertama kali melihatnya. Tetapi ia tidak punya keinginan lebih jauh, karena ayah Subarkah masih ada.
“Cantik-cantik?” Kakutani seperti mau tambah diyakinkan, dengan nada suara seperti berhasrat.
“Beneran. Cantik-cantik. Kalau kita jalan ke Sindanglaut itu, kita bisa lewat di sebuah kampung yang namanya Kadupandak. Saya pernah dibawa oleh kenalan saya lewat di sana. Di Kadupandak itu banyak sekali yang cantik. Sungguh! Kamu bisa bergairah lagi jika lewat di kampung itu. Saya pun waktu lewat di sana, merasa jadi muda kembali. Hahaha! Dan... dengan uangmu yang ada di bank sekarang, kamu bisa dapatkan seorang. Kebiasaan mereka pun baik-baik. Mereka tidak perlu kita ajar lagi supaya tinggal di rumah. Itu sudah kebiasaan mereka.”
Kakutani jadi berpikir beneran. Dan terbetik hasratnya: “Kalau istriku setia, dan mau menerima kebiasaanku, dan bisa membeli tanah yang luas, mengapa pula aku mesti simpan uang itu? Dengan uang cuma sebegitu mustahil aku bisa membeli tanah di negeriku sendiri ini. Kalau istriku menyenangkan, mengapa aku harus kikir dengan tidak memberikan uang kepadanya untuk bisa memiliki tanah yang luas dan bagus, dengan pemandangan yang indah seperti yang diceritakan Okayama? Aku pun tentu bisa menikmatinya.” Ia pun ingat, bahwa ia sekarang sudah sebatang kara.
***
Saatnya pun tiba. Kakutani dan Okayama sudah ada di Jakarta.
Malahan ini yang kedua kalinya sudah. Mereka berdua menginap di sebuah hotel di jalan Thamrin, dan sudah pergi ke Sindanglaut.
Cepat sekali prosesnya, Kakutani memperlihatkan seorang wanita yang lumayan cantiknya kepada Okayama. Ia, pada mulanya, tidak ceritakan bahwa Nurseha, begitu nama perempuan yang dibawanya, ditemukannya di sebuah panti pijat.
“Kami akan kawin,” kata Kakutani kepada Okayama.
Waktu ada kesempatan berdua Kakutani dan Okayama, Kakutani bercerita bahwa Nurseha memenuhi hasratnya dan tidak banyak permintaannya. “Hanya meminta supaya saya masuk agamanya. Dan saya sepakati. Nampaknya agamanya kuat. Cuma keadaan ekonominya saja yang pernah membawa dia ke tempat panti pijat,” kata Kakutani setelah didesak di mana mereka bertemu.
“Kalau sudah begitu, apa bisa ia sekarang tinggal di rumah?” tanya Okayama yang ragu.
“Ia berjanji. Dan kamu yang mengatakan bahwa perempuan Indonesia itu bisa tinggal di rumah, bukan? Nulseha (--ia tidak bisa mengucapkan r--) sendiri sudah janji, cuma kalau bersama saya ia akan ke luar rumah.” Kakutani sudah bisa melupakan apa yang telah terjadi dan dialami Nurseha sebelum ini. Ia bisa menghapus apa yang sudah-sudah. Yang dipentingkannya hari depannya.
“Bagus, bagus kalau begitu,” kata Okayama. ”Dan soal tanah itu, bagaimana?” tanya Okayama lagi setelah ia ingat pada tanah yang sudah diinjaknya bersama, di samping tanah Michiko.
“Jadi. Tentu saja jadi. Itu kan benar bagus. Dan benar murah,” kata Kakutani. “Sesudah kami nikah, saya akan belikan istri saya tanah yang itu.” Kakutani menarik wajah bangga dan serius.
“Kapan akan nikah?” tanya Okayama-san.
“Secepatnya,” jawab Kakutani-san.
***
Benar juga. Tidak lama setelah itu. Kakutani dan Nurseha melangsungkan perhelatan di Sukabumi, disaksikan oleh Okayama. Pernikahan itu dilaksanakan di depan penghulu, setelah Kakutani memenuhi syarat yang diminta oleh Nurseha dan keluarganya.
Tanah di Sindanglaut yang berdempetan dengan milik Michiko pun kemudian dibeli Nurseha atas namanya. Lebih luas daripada yang dimiliki Michiko dan lebih mahal harganya. Tetapi terbeli oleh Nurseha yang membuat surat janji, bahwa kalau sampai ia dan suaminya bercerai, uang senilai pembelian tanah itu akan dikembalikan. Nurseha merasa pintar. Ia sudah menghitung, bahwa nilai tanah akan cepat naik, dan uang rupiah tak akan bisa mengejar harga tanah. Tetapi Kakutani-san merasa pintar juga, ia merasa senang, bahwa ia nanti bisa berlibur di tempat yang bagus itu, di tepi pantai yang lautnya biru, cerah langitnya, dan gelombangnya amat memikat. Apalagi di pagi hari, atau di sore menuju senja. Dan ia pegang surat-surat tanah itu.
“Mustahil aku bisa punya tanah sebagus itu dan seluas itu di negeriku sendiri,” pikir Kakutani. “Aku akan sering saja berada di sana.”
***
Di sebuah organisasi di kotanya, Kakutani punya sahabat akrab, Kanazawa-san, tempat ia menceritakan rahasia hidupnya. Sebab itu pula ia tak beralangan menceritakan tentang tanah yang dibelinya, atas nama Nurseha yang pernah ditemukannya di sebuah panti pijat, tapi sekarang sudah jadi istrinya.
Kanazawa-san, pemborong bangunan, tergerak juga hatinya. Ia pun ingin memiliki tanah sebagus seperti yang diceritakan temannya. “Benar murah,” pikirnya, setelah ia membandingkan dengan harga tanah di negerinya. Soal jarak Jepang - Indonesia, tak dirasakannya jauh. Ia pun sudah beberapa kali membaca brosur-brosur tentang perjalanan ke Indonesia dan apa yang bisa dilihat di negeri di sebelah selatan itu.
“Tapi bagaimana kami bisa membeli tanah di sana?” tanya Kanazawa kepada teman akrabnya.
“Bisa. Pasti bisa. Kata orang di sana, di sana segala bisa diatur. Pasti ada cara-caranya. Apalagi sekarang, segala di sana sudah terbuka. Kita diajak oleh mereka untuk datang ke sana, untuk usaha. Tetapi yang pasti lagi, kita bisa tinggal di sana semusim-semusim. Kalau musim dingin di sini, dan kamu merasa encok di sini, kita bisa tinggal di sana. Di sana kan selalu ada matahari. Percayalah, kamu akan senang tinggal di sana. Pantainya bagus. Lautnya bagus, bagus sekali. Kamu tidak akan bisa membeli tanah seluas itu dengan seluruh kekayaanmu yang kamu miliki di sini. Tentu yang ukurannya luas yah,” kata Kakutani.
***
Kanazawa-san terbang bersama Kakutani dan Okayama ke Jakarta. Lalu mereka pergi ke Sindanglaut. Kanazawa-san takjub melihat daerah pantai Samudera Hindia itu.
“Bagaimana cara membelinya?” tanya Kanazawa.
“Ini, ini orangnya yang bisa membantu kita,” kata Kakutani sambil menunjuk seorang laki-laki yang bekerja di Kecamatan di Sidanglaut, yang tempo hari mengatur pembelian tanah untuk Michiko dan Nurseha.
“Bapak ini, Pak Kosasih, bisa menolong kita,” kata Okayama sambil memegang tangan Kosasih.
Kosasih yang pernah membantu kedua orang itu dengan urusan tanah di sana, dengan kebutuhannya, tersenyum lebar. Ia tentu saja senang. Sudah dua kali ia pernah mengatur jual beli tanah dengan orang- orang Jepang itu dan memasukkan uang ke kantongnya sendiri lebih dari lumayan. Tetapi, sebenamya hati nuraninya pernah goyang, terasa tak menentu, tetapi keuntungan yang diperolehnya menghapus kegelisahannya itu. “Tak ada kesalahan saya,” pikirnya. “Yang satu kali untuk menantunya bersama anaknya. Yang kedua kali untuk istrinya. Orang kita-kita juga. Sah-sah saja,” pikirnya.
Okayama dan Kakutani lalu mengajak bicara Kosasih yang sudah siap untuk membantu. Sudah tergitik juga hati Kosasih oleh gambaran bahwa kali ini ia bisa beruntung banyak lagi. Ia mengetahui, ada sebidang tanah luas yang juga tidak jauh letaknya dari tanah Michiko. Tanah itu bekas perkebunan kecil, tapi sudah tidak terurus. Dan akan dijual. Tetapi terhalang oleh beberapa rumah kampung dari tanah Michiko.
“Tidak jadi soal. Rumah-rumah kampung itu bisa dipindahkan,” kata Kosasih dengan menarik senyum lebar. Ia pun yakin, bahwa yang dikatakannya itu bisa jadi kenyataan. “Apa yang tidak bisa dengan uang?” pikirnya.
Ketiga orang Jepang itu pergi ke tanah bekas perkebunan kecil itu, dibarengi oleh Kosasih dan dua orang kawannya, seorang yang lebih tua, Ramdan, seorang lagi yang lebih muda, Garnida.
Ada kekurangan di tanah bekas perkebunan kecil itu yang terasa oleh Kanazawa-san. Tetapi Kosasih, lewat Okayama yang sudah tambah pintar berbahasa Indonesia, bisa meyakinkan, bahwa kekurangan yang dirasakan oleh Kanazawa itu nanti bisa diatasi. Tanah itu tidak nempel pada pantai.
Kanazawa-san menginginkan membuat semacam hotel di sana.
“Tetapi hotel akan laku kalau menempel pada laut,” kata Kanazawa kepada Okayama dan Kakutani.
Kosasih seperti bisa menangkap apa yang diinginkan oleh Kanazawa. Sebab itu ia cepat berkata kepada Okayama: “Kami bisa atur. Tidak ada yang tidak bisa diatur di sini. Tanah yang menghalang-halangi itu, antara lahan ini dan laut, bisa diatur supaya jadi jalan ke pantai. Supaya nyambung jadi bagian tanah ini,” kata Kosasih sambil menarik wajah senyum dan meyakinkan. Ia pun yakin dengan uang segala bisa beres. Ia merasa, bahwa atasan-atasannya yang ada di Kecamatan dan di Kabupaten akan setuju, sehamparan tanah yang ada di tepi laut itu digabungkan saja dengan tanah bekas perkebunan kecil itu.
Ia berpikir lagi. “Ini jadinya proyek pembangunan.” Kata "pembangunan" itu melintas sejenak saja di kepalanya, tapi menyebabkannya jadi merasa kuat. Kata pembangunan itu mengubah kesulitan yang tadi pernah mengganjal sebentar di hatinya.
“Pasti bisa! Pasti bisa!” kata Kosasih kepada Kanazawa. Kemudian kepalanya digerakkannya menghadap ke arah Kakutani, lalu ke arah Okayama, meminta dukungan. Ia menunggu kepastian.
Ketiga orang Jepang itu mengangguk-angguk. Lalu mereka berbicara dalam bahasa mereka. Kosasih mendengarkan saja, tak mengerti sepatah kata pun, tapi harapan menyelinap di antara perasaannya.
“Ya, asal benar bisa diatur begitu, tuan Kanazawa tertarik," kata Okayama.
***
Selang beberapa waktu, Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san sudah berada di Indonesia lagi. Mereka tidak membuang waktu. Sindanglaut mereka tuju.
Masing-masing mengatur kepemilikannya. Okayama yang sekali ini didampingi Michiko dan suaminya, Subarkah, sudah mulai dengan membangun rumah yang mereka cita-citakan. Rumah tua sudah dibongkar. Tiang-tiang baru sudah dipancangkan. Kakutani-san pun langsung mengukur-ukur tanah yang akan dipakai untuk bangunan rumah yang bakal dihuni bersama Nurseha. Ia tidak kepalang bergerak, segala bahan yang diperlukannya sudah ia siapkan dari dan di negerinya. Tinggallah nanti ia mencari tukang-tukang yang bakal diperbantukan kepada arsitek Jepang yang bakal membangun rumahnya itu.
Kanazawa-san dikerumuni oleh pegawai-pegawai dari Kecamatan Sindanglaut. Beberapa orang pegawai Kabupaten Sukabumi pun ada di sekelilingnya.
Rencana bangunan hotel sudah siap. Soal tanah yang menghalang-halangi sudah terpecahkan. Dengan duit, apa yang tidak bisa dibereskan di kampung ini, pikirnya. Dan ia sudah jadi lebih pandai, atas anjuran penasihatnya ia sudah menggaet orang di Jakarta penguasa penting.
Penghuni beberapa rumah yang menghalang-halangi antara tanah Michiko dan Kanazawa pun sudah sepakat untuk pindah. Entah berapa ongkos memindahkan mereka yang sebenarnya. Orang-orang Jepang itu tidak tahu. Uang siluman tak jelas masuk ke kantong saku siapa. Tanah yang menghalangi-halangi perkebunan kecil dengan laut itu pun sudah diatur oleh orang-orang di kantor Kecamatan, di kantor Kabupaten, malahan di kantor Gubernuran, sehingga bisa dipakai untuk keperluan Kanazawa-san yang punya uang banyak. Kanazawa-san nampak tenang-tenang saja. Sebab memang setelah diperhitungkannya, masih jauh lebih murah daripada jika harus membangun di negerinya.
Maka pembangunan dimulai di daerah itu.
Nampak sekali ada kesibukan di wilayah yang tadinya kampung itu. Dan bertambah lagi kericuhan di daerah itu, karena bukan saja Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san yang membangun di sana, melainkan ada Saito-san, ada Tanaka-san, Takahashi-san dan beberapa lagi orang Jepang yang bukan saja tertarik, melainkan sudah mulai membangun di daerah yang tadinya masih ladang tegalan, sawah musiman dan kebun terlantar itu.
Orang-orang Jepang itu mendengar kemungkinan-kemungkinan itu dari mulut ke mulut. Brosur-brosur pariwisata pun sampai pada mereka. Dan semua menghitung: tanah di Sindanglaut itu benar-benar jauh lebih murah dibandingkan dengan yang ada di Tokyo, atau yang di Osaka atau yang di Okinawa sekalipun. Mereka seperti sudah berpikir, bahwa dunia ini untuk kita semua, untuk semua penghuni bumi. “Untuk siapa saja, untuk kita, yang bisa membelinya dan membangunnya,” pikir mereka. Untuk pihak yang pintar, pikirnya. Ya, semua kedudukan pun bisa kita capai, pikir mereka. Dan mereka ingat pada beberapa kursi yang ada di sejumlah negara di luar negeri mereka yang sudah diduduki oleh bangsa mereka, keturunan mereka.
***
Maka ramailah pembangunan di Sindanglaut. Kebanyakan peralatan dan malahan bahan-bahannya pun didatangkan dari Jepang. Sebab kebanyakan pemilik tanah itu _lewat menantu, istri, sahabat dan pelbagai cara dan ilmu yang tak jelas duduk perkaranya_ memungkinkan rumah-rumah dan bangunan lainnya di sana berbentuk seperti di kampung asal mereka. Sampai-sampai bangunan yang seperti toko dan hotel pun disusun dan berbentuk bangunan Jepang.
***
Pak Marta datang di Sindanglaut. Ia pun sudah mendengar kabar dari orang tua Subarkah, sahabat kentalnya, bahwa di kampung di tepi Samudera Hindia itu sudah berdiri satu daerah enclave, daerah kantong Jepang.
“Siapa yang salah?” pikirnya, lalu ia sebentar merenung.
Ia menjawab sendiri: Okayama-san adalah mertua Subarkah. Michiko adalah istri Subarkah. Nurseha adalah istri Kakutani. Kanazawa-san adalah pengusaha yang diajak datang untuk menanam modal. Ia sudah bergabung dengan anak-anak pembesar di Jakarta. Saito-san idem dito. Okahara-san sami mawon. Anaka-san menempuh jalan yang juga tidak seberapa sulit dirasakannya. Kosasih sudah punya rumah baru dan istri baru di Sukabumi dan keluyuran dengan mobil Suzuki yang paling mutakhir. Garnida sudah naik motor Honda yang paling diidam-idamkannya dan paling disenanginya.
Lebih dari duapuluh orang Jepang sudah membangun di daerah Sindanglaut itu, di atas tanah yang lebih dari dua ratus hektar. Jangan ditanya asal usul tanah itu: tanah wakaf pun sudah berubah catatannya.
Tinggallah Ramdan yang berjongkok menatap orang-orang yang sedang mengangkat-angkat kayu dan besi itu dari kejauhan. Bukan saja hatinya terganggu, gamang, untuk ikut serta dalam pembangunan itu, tetapi ia sudah tua. Melangkah pun sudah sakit-sakitan. Di hatinya ia merasa tertinggal, karena rumahnya pun sudah tergusur.
“Tetapi siapa di daerah ini yang tidak tergusur, Pak Marta?!” kata Ramdan kepada Pak Marta yang duduk di kursi di depannya. Suara Ramdan terdengar melas sekali, menyayat hati orang yang diajaknya bicara.
Pak Marta tidak sanggup menatap wajah Ramdan yang sudah kurus dan keriput itu. Ia arahkan tatapannya ke kejauhan, ke langit yang bersih, ke kaki langit, ke lautan yang biru, ke ombak yang bergelombang.
“Pilihanku benar,” kata Pak Marta kepada Ramdan yang tetap jongkok di dekatnya. “Tempat ini bagus, benar bagus. Tetapi....” Ia tidak meneruskan ingatannya. Ia seperti menelannya.
“Jangan jongkok terus begitu, Bapak,” ajak Pak Marta kepada Ramdan. “Duduklah di sini. Di sini masih ada kursi.”
Ramdan mengikuti ajakan Pak Marta, bangkit dan duduk di kursi.
“Bagaimana perasaan Bapak melihat kampung ini sekarang?” tanya Pak Marta. Ia sendiri diliputi beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Ia gundah, terjepit antara sesal dan senang. Ia ingat, permulaannya amat sederhana. Kelanjutannya jadi amat serius.
Dengan ragu, Ramdan, orang tua itu, menjawab: “Entahlah. Dulu saya pernah benci kepada orang-orang Jepang itu, Pak Marta.”
Pak Marta cepat mengerti.
Sementara itu Kosasih datang. Ia menarik wajah gembira. Mukanya pun nampak licin, bersih. Sudah gemukan bentuk badannya dibanding dengan beberapa bulan yang lalu. Pakaiannya serba baru dan mencolok. Kendaraannya, mobil Suzuki diparkirnya di halaman kantornya. Percakapannya menunjukkan kegembiraan yang luar biasa. Ia merasa berjasa, terutama kepada istri-istrinya, anak-anaknya, orang tuanya, mertua-mertuanya. Ia sudah bisa membelikan mereka pelbagai barang modern yang biasa ditayangkan di televisi yang ia saksikan di rumahnya.
“Berapa umur Bapak?” tanya Pak Marta kepada Kosasih. “Tidak mengalami jaman Jepang?”
“Ah, saya belum lahir waktu itu,” jawab Kosasih.
“Bapak bekerja di Kecamatan, kan?” kata Pak Marta.
“Ya, Pak. Tadinya saya mau dipindahkan ke Sukabumi, tapi saya menolak. Daerah ini mesti dibangun, Pak.” Ia setengah membusungkan dada. Hati kecilnya berbisik jujur. “Di sini lebih menguntungkan.”
Di tengah itu Garnida muncul dengan menaiki motornya.
“Wah, kamu sudah punya motor segala sekarang, yah,” kata Pak Marta.
“Alhamdulillah, Pak,” kata Garnida.
“Maju yah. Hasil kerja di sini?” tanya Pak Marta.
Ramdan mengetahui silsilah pembelian motor itu. Maka ia menyelip menyambung pembicaraan: “Rumahnya, rumah orang tuanya, digusur, Pak. Ia pindah ke kampung di balik bukit itu.”
“Ya, Pak Kosasih membujuk kami, Pak,” kata Garnida. Ia bicara sesungguhnya. Ia tidak menatap ke masa depan, juga tidak pernah berkenalan dengan buku-buku tentang masa lampau. Ia terhitung pemuda masa sekarang yang diusik oleh pelbagai tayangan barang jualan di layar kaca dan hanya memikirkan masa ini, hari ini, saat ini, detik ini.
Sekali Garnida bertatapan muka dengan Ramdan. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Tak ada jembatan penghubung yang mengaitkan pembicaraan serius di antara mereka. Dan yang tua serta yang muda, sudah seperti kelelahan jika harus berpikir.
Suasana pun seperti direka untuk jadi demikian.
Sementara itu pembangunan di daerah enclave berjalan terus, mengikuti pihak yang menginginkan. ***
*) Enclave = Daerah kantong.
(Dimuat dalam Horison, September 1997)
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan:
Postingan (Atom)