Oleh: Doddi Achmad Fawdzy





Sepuluh menit sehabis menyaksikan Inde­pedence Day, Prabu Kresna masih meng­umpat-ngumpat kepada para Punakawan. “Sebel gua, lagi-lagi propaganda Ame­rika. Apa sih maunya Amerika? Dasar Yahudi!”

“Tapi Prabu, saya tidak melihatnya dari sisi itu. Ajakan untuk berdamai dan bersatu me­lawan musuh dari luar angkasa itu sangat me­­narik. Apa salahnya kita ajak Dursasana un­tuk bersatu melawan musuh dari laur ang­kasa, dari Jupiter misalnya?” balas Astra­jing­ga.

“Dalam dunia pewayangan, tak ada makh­luk luar angkasa selain para dewa. Dewa jangan diberontak, mereka sponsor kita kok.”

Sesaat hening. Gerombolan Pandawa berbelok ke arah Kentucky Fried Chicken. Melewati Alun-alun Bandung, tiba-tiba Kres­na, gerombolan Pandawa, dan Punakawan itu merasa dirinya masing-masing kembali men­jadi remaja. Bahkan Arjuna kembali men­jadi ABG, begitu ngepop. Dikenakannya syal berwarna merah dan kacamata hitam. Na­kula dan Sadewa tiba-tiba berlagak seba­gai penyanyi rap yang sladak-sluduk itu. Astra­jingga dan Gareng ikut berlenggak-leng­gok sebagai penari latar sekaligus menjadi Backing vokal, “Kramotak, kramotak!” Ha­nya Dewala yang bisa mengontrol diri dan tam­pak kalem, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk ABG yang modernis itu. Tiba-tiba be­berapa orang merasa lapar dan menuduh Pra­bu Kresna yang mengajak mereka berbelok ke arah Kentucky.

“Siape ni nyang ngulang tahun, mo nrak­tir ceritanya?” hampir berbarengan Nakula dan Sadewa bertanya kepada rombongan.

“Bukan mau nraktir, BM dong!” balas Kres­na.

“Belum begitu laper gua ini, kita masuk pub dulu!” ajak Bima.

“Sambil makan malam, kita perlu merun­dingkan kembali materi untuk peringatan hari ke­merdekaan negeri kita. Aku tiba-tiba ter­ga­gasi oleh film tadi,” sahut Kresna.

“Maksud Prabu?” Yudistira yang dari tadi miring saja, terlihat gairahnya kalau diajak berpikir serius.

“Apa kita hanya akan menampilkan kaba­ret saja untuk perayaan negara. Kan kemarin kita terima faksimil dari seluruh propinsi bah­wa mereka tidak akan menampilkan kesenian daerahnya masing-masing. Malah utusan dari Astina akan menampilkan operet Maria Cinta yang Hilang, apa tidak mem­bingung­kan pikiranku melihat realitas apresiasi ma­sya­rakat sudah turun seperti itu? Rusak Re, Ru­sak!”

“Inilah salahnya Prabu, kita sekarang ter­lalu berjarak dengan wong cilik,” Dewala men­co­ba menjelaskan.

“Jangan sok tahu Kau. Urusanmu me­nge­lola satpam dan tukang parkir.”

Dibentak seperti itu, Dewala mengambil sikap diam seribu bahasa. Punakawan yang lain menyikutnya, bahkan Semar menjewer ku­­pingnya.

Seperti biasa, Gareng kebagian memesan hidangan. Para pen­gunjung tanpa disuruh sege­ra meninggalkan makanannya. Mereka ketakutan dan terbirit-birit keluar setelah membayar makanan. Seorang anak kecil yang biasa mengemis atas suruhan Kurawa, segera bersembunyi ke belakang dan memijit remot re­corder. Rupa­nya dia dan pemilik rumah ma­kan itu bersekongkol sebagai agen mata-ma­ta Astina. Hasil pembicaraan pemerintah Amarta malam itu sampai ke telinga Patih Seng­kuni dan Resi Kombayana.

“Jadi mereka akan mengundang kita untuk menyelenggarakan acara kesenian yang akan melibat­kan personal dari berbagai nega­ra. Kukira ini usulan yang baik dan kita harus menyambutnya. Kita bisa menyusupkan orang-orang kita untuk menyelidiki lebih jauh ren­cana-rencana Pandawa dalam Barata Yudha nanti,” demikian Kombayana punya usul.

“Kukira tidak mesti seperti itu. Barata Yudha adalah sebuah takdir yang mesti kita teri­ma. Takdir kita untuk menerima kekala­han. Apa pun yang kita rencanakan, Dewata telah memutuskannya,” Bisma mengingatkan.

Tiba-tiba rapat di pihak Pandawa menjadi ka­cau balau. Mereka mendengar laporan bahwa Challenger meledak dan Chernobil bocor. Semar hanya gigit jari ketika Gatotkaca me­laporkan kejadian sesungguhnya. Bima menggebrak meja.

“Misi ujicoba kita gagal.”

“Ini kehendak Dewata. Mungkin kita ter­lalu serakah dan ceroboh.” Semar meng­ingat­kan.

“Tidak, Kurawa telah terlalu curang dan tidak bisa dibiar­kan. Karena itu, misi per­damaian lewat kesenian dalam perayaan ulang tahun negara seperti yang diusulkan Dewala hanya omong kosong. Perdamaian ha­nya menghambat rencana Dewata. Tak ada kesenian dalam merebut kemenangan. Pe­rang dan kekerasan adalah dua jalan yang ber­sa­tu menjadi satu arah untuk mencapai ke­me­nan­gan.” Arjuna bersungut-sungut. Tangan­nya masih menggenggam paha ayam.

Bima meraung-raung, suasana rapat menjadi lebih kacau. Nakula dan Sadewa ikut naik pitam. Tapi Yudistira cepat berpikir dan berlaku bijak. Ia membubarkan rapat dan me­mo­hon Prabu Kresna dan Wak Semar me­nyabar­kan yang lain. Acara untuk menyam­but hari ulang tahun kemerdekaan negara akan dipikir­kan. Mungkin bisa jadi kesenian sebagai alternatif untuk mencapai perdamaian. Se­men­­tara kerusakan teknologi akan dise­rah­kan kepada Batara Guru.

Berhari-hari Yudistira menghadapi kom­puter dan mencerna John Naisbitt tentang Ke­bang­kitan Asia. Berhari-hari pula ia men­jauh­kan diri dari ranjang Drupadi, dari kopi dan dari rokok. Keningnya semakin mengerut se­per­ti kening Einstein. Kalau sudah seperti itu, ia biasanya merasa bisa berpikir lebih tepat. Ke­bia­saannya bersemedi diting­gal­­­kan, ia lebih su­ka berhadapan dengan kom­puter dan inter­net. Tapi jalan keluar untuk da­mai belum juga dida­pat­nya. Diam-diam ia ter­tarik dengan usulan Dewala. Dipanggilnya De­wala saat itu juga.

“Saya punya obsesi dari dulu untuk meng­gelar naskah Pandawa Adu Dadu, tapi tidak ada sponsor sampai saat ini. Sekarang ber­teater tidak bisa lagi diberangkatkan dari apa ada­nya. Dulu bambu bisa menebang milik sia­pa saja, sekarang rakyat sudah menjadi ma­te­rialis, segala benda serba diuangkan. Syu­kur­­lah kalau Prabu Yudis mau sponsori obsesi saya.”

“Bagi saya, pokoknya naskah karya siapa pun tak menjadi masalah, tetapi yang bisa mem­­bawa pada aufklarung dan bertemakan per­damaian dunia,” jelas Yudistira.

“Justru naskah ini tepat sekali, Prabu. Kita tahu bahwa Pandawa kalah taruhan. Cerita keka­lahan ini akan sangat menye­nangkan bagi Suyu­dana dan kawan-kawan. Kita harus mengalah dan membahagiakan saudara-saudara kita yang memilih jalur menjadi lawan. Kita mengalah untuk menang, me­nga­pa? karena kita tahu bahwa di Barata Yudha nanti mereka akan kalah, itu sebab­nya baha­giakanlah mereka dari sekarang. De­ngan dibahagiakan, insya Allah deh mereka tidak akan terlalu brutal dan mau menerima putusan Dewata dengan dada yang lapang.”

“Tapi apa justru tidak akan membuat semakin pongah?”

“Sebenarnya ini tergantung dari sum­ber daya manusianya sendiri, kalau me­mang bakatnya membelot ya mem­belot­lah. Akan tetapi kita mesti terus berusaha dengan cara mengingatkan kembali diri kita masing-masing pada sejarah. Sebe­nar­nya waktu Pandawa mau diajak main dadu, mereka tidak tahu bahwa mereka akan dicu­rangi oleh Paman Sengkuni. Ini men­­jadi pelajaran juga bagi kita selaku pe­megang pemerintahan untuk tidak ter­bawa oleh arus dan rayuan gombal musuh. Sa­ya punya teknik, selain nanti para pem­be­sar dari berbagai negara diundang, juga para teaterwannya diajak untuk ikut ber­main dalam pementasan ini. Dengan demi­kian, silatu­rahmi antarseniman pun ter­bina. Konon katanya menurut mitos, seni­man adalah pintu terakhir yang akan men­ja­­ga persaudaraan dan kebersamaan.”

“Tapi saat ini saya ragu, soalnya seni­man di negeri kita sendiri tengah gontok-gon­tokan.”

“Itu wajar karena mereka punya ideo­logi. Tetapi kita juga tahu, bahwa mereka saling menghargai pendapat dan karya seniman lain. Eu begini Prabu, dalam akhir cerita, saya akan membalikkan fakta. Po­kok­­­nya semua serba menye­nang­kan tamu undangan.”

“Apa itu?”

“Ada saja. Pokoknya rahasia. Nanti Pra­­­bu tidak merasa sur­prise lagi kalau saya beritahu dari sekarang.”

***

Singkat cerita, Dewala menjadi sutra­dara. Astrajingga mau menjadi Dursasana karena dibohongi oleh Dewala. Kabarnya yang akan menjadi Drupadi adalah istri­nya Arjuna. Tapi setelah mende­kati pe­men­­­tasan, casting itu diganti oleh As­watama yang baru pulang studi komperatif ten­tang antropologi dari Amerika. Para seni­man raksasa dari Astina menjadi Pan­dawa sedangkan para seni­man dari Amar­ta menjadi Kurawa dalam casting ini.

Dadu dilempar. Untuk lemparan pertama Kurawa kalah. Sengkuni tertawa, “mereka tertipu,” bisiknya. Para tamu undangan dari Astina terutama yang tidak pernah membaca kar­ya sastra dan memba­ca sejarah wayang, tam­pak tegang. Sedang tamu undangan dari fihak Amarta bangga karena Pandawa me­nang dalam lemparan pertama itu. Begitu lem­paran kedua dan selanjutnya, raut muka ke­dua belah pihak berubah. Pandita Durna dan Sengkuni menampakkan senyum keme­nang­an sambil melirik Yudistira yang ter­cenung mengerutkan dahi. Pada lemparan ke-se­puluh Amarta harus menyerahan negara sebagai taruhannya, dan kalah.

“Mustahil,” gumam Arjuna.

Pada lemparan terakhir, bila Pandawa kalah lagi mereka harus menyerahkan Dru­padi sebagai taruhannya. Tentu saja Drupadi keber­atan, tapi tak ada lagi benda yang bisa dipertaruhkan oleh Panda­wa. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, dan seluruh kekayaan telah amblas ke tangan Kurawa. Bagi Dur­sa­sana yang belum beristri, justru taruhan yang paling berarti adalah Drupadi. Untuk apa para kesatria Pandawa itu, untuk apa kerajaan Amarta toh ia sudah bertahta di singgasana As­tina.

Ternyata Drupadi harus direlakan kepada Kurawa. Drupadi sesungguhnya tak percaya dengan kekalahan taruhan dadu ini, tetapi ia bahagia karena ini bisa menjadi kesempatan baginya untuk nyeleweng meskipun hanya dalam dongengan. Drupadi ingin tahu sehebat apa kejantanan Dursasana yang tergila-gila olehnya.

Yudistira menunduk dan memejamkan mata ketika satu persatu pakaian Drupadi ditang­­galkan oleh Dursasana. Brahmana dan seluruh Ksatria Pandawa telah disekap dalam penjara sebagai tawanan taruhan.

Di luar plot cerita yang sesungguhnya, ter­nya­ta Drupadi bisa ditelanjangi oleh Dur­sasana yang diperankan oleh Astrajingga. Pa­da mulanya Astrajingga dengan penuh se­mangat menelanjangi Drupadi. Tetapi ke­mu­dian menjerit dan melompat dari panggung saat harus memperkosanya, karena yang me­meran­kan Drupadi adalah Aswa­tama. As­watama, keturunan homoseks itu mengejar-ngejar Astrajing­ga, “Please, touch me! Touch me!”

Kejar-kejaran terjadi, membuat para penon­ton naik pitam. Resi Kombayana yang me­rasa ditelanjangi tentu saja marah tapi Bi­ma tak kalah gertak.

“Ternyata Aswatama itu seorang homo­seks, Para Penonton.” Tiba-tiba Gareng men­jelas­kan lewat mikropon.

Kurawa merasa tertipu dan dihina habis-ha­bisan. Bodyguard dan pelindung Dursasana lang­sung memberondongkan peluru. Gatotka­ca melesat ke angkasa, dilemparkannya sen­jata kimia. Antareja yang tidak mau menjilat jejak sendiri, melesatkan senjata laser dari jilat­an lidahnya. Tapi justru tentara Pandawa yang mampus, sedang tentara Kurawa men­jadi kebal.

Barata Yudha meledak dengan diawali adu panco antara Bima dengan Puntadewa. Sam­pai saat ini belum ada yang kalah. ***

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda