Oleh: Yus R. Ismail



“Bercerminlah dengan khusuk, maka kamu akan melihat diri sendiri,” kata suara entah dari mana yang selalu bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku ini.

Setiap tengah malam aku terbangun dan mencari-cari cermin. Betapa sunyi keinginan ini. Bukankah setiap hari aku menjadi aku, menjadi diri sendiri, karena aku memang bukan seorang pemain sinetron atau drama. Aku toh bukan Dedi Mizwar yang biasa memerankan Naga Bonar atau apa dan siapa saja.

Tapi sering aku tiba-tiba asing dengan diri sendiri. Begitu banyak perilaku yang tidak bisa dimengerti mengapa pernah aku lakukan. Dan begitu banyak keinginan yang tidak aku lakukan. Aku tidak bebas lagi bergerak, berekspresi, menerjemahkan hati menjadi apa saja.

Aku merasa tubuhku ini bukan lagi rumah pribadiku. Di dalamnya, bisa jadi telah dibangun kamar-kamar yang sadar atau tanpa sadar telah aku kontrakkan kepada entah apa dan siapa. Tubuhku menjadi media ekspresi penghuninya yang bukan aku saja itu. Maka tanganku, mulutku, kakiku, mataku, lidahku, bisa bergerak selain diperintah olehku.

Kesadaran itulah yang mendorongku untuk bercermin, setidaknya untuk mengetahui siapa saja penyatron ruang-ruang tubuhku yang sadar atau tanpa sadar sempat kukosongkan itu. Bila sudah mengetahuinya, aku ingin mengusirnya, dengan kekerasan atau tanpa kekerasan.

Setiap suara entah dari mana itu bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku, aku pontang-panting mencari cermin. Aku memasuki wc-wc umum, mushola, gereja, candi, hotel, diskotik, tapi selalu berakhir dengan kelelahan. Semua cermin yang kutemukan tidak bisa lagi dipergunakan. Semua cermin telah retak dan pecah.

Tapi keinginan yang mencekam itu selalu membangun kelelahanku menjadi orang yang pantang menyerah. Maka aku menemukan cermin itu saat keinginan yang sunyi itu menusuk-nusuk seluruh tubuhku dengan pisau cekamannya. Seluruh anggota tubuhku mengalirkan darah. Aku merasakan suatu kesakitan yang nikmat saat darah itu mengucur setetes demi setetes. Aku teringat masa kecil saat emosi telah memuncak aku melepaskannya dengan tangisan yang keras dan merasa tenang setelah tangis itu berhenti. Teringat kelegaan dari tangisan di waktu kecil itu, tiba-tiba aku tidak bisa yakin apakah cairan yang keluar dari seluruh tubuhku itu benar-benar darah atau air mata.

Keraguan itu menjadikan aku merasa sekali waktu cairan yang keluar dari tubuhku itu benar-benar air mata dan di waktu lain benar-benar sebagai darah. Perubahan keyakinan itu memang begitu menyakitkan. Kesedihan, kepapaan, kesendirian, kesunyiaan, ketakberdayaan, ketaksempurnaan, kepedihan, semuanya menjadi silet-silet yang tanpa henti menoreh-noreh tubuhku. Tapi kesakitan itu pun aku rasakan menjadi kenikmatan yang tiada bandingannya. Barangkali kesakitan dan kenikmatan adalah dua hal yang menempati satu ruang kesadaran.

Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sebenarnya tidak perlu cermin. Tubuhku telah terpantul di mana-mana. Di tanah, angin, kabut, daun, batang, sampah, air, api, tubuhku terpampang seperti jutaan potret dari yang beragam betuk dan rupa.



***

PANGGIL apa saja maka aku akan menoleh. Namaku memang tidak jelas. Tapi ketidakjelasan itu merupakan kejelasanku. Bila bertemu denganku, di mana saja, jangan ragu-ragu untuk menyapa. Aku suka membicarakan apa saja dengan siapa saja. Tapi bila ingin ngobrol menghabiskan malam atau menghabiskan waktu menjadi tanpa ukuran, temui saja aku di kebun bunga.

Sejak kecil cita-citaku memang menanam bunga. Aku selalu terkenang dengan sebuah lukisan (yang entah di mana dan kapan pernah aku lihat) tentang seseorang sedang menyiram bunga dengan latar belakang langit senja yang kemerahan. Aku tak pernah lupa bagaimana air menetes dari ujung daun, bagaimana angin bergurau dengan tangkai mawar, bagaimana tanah menguapkan bau yang khas, dsb.

Lukisan penyiram bunga dengan latar belakang kemerahan langit senja yang entah di mana dan kapan pernah aku lihat itu terpantul kembali di setiap potret diri yang kulihat di mana-mana dan apa saja yang tiba-tiba kulihat sebagai cermin.

“Mau kamu mencoba menyiram bunga?” tanya si penyiram itu ketika aku begitu takjub dengan matanya. Di matanya, aku melihat berbagai metamorfosa menjadi warna-warna yang artinya tak terjangkau pengetahuan ilmu semiotikku. Ada pucuk yang diam-diam menjadi kesegaran daun menjadi kelelahan daun kering dan menjadi cekaman musim gugur. Ada kuncup yang menjadi keindahan bunga mekar menjadi keresahan kelopak-kelopak yang tanggal dan menjadi kesadaran kesementaraan. Dan begitu banyak lagi metamorfosa lainnya.

“Mau menyiram bunga?” tanya si penyiram itu sekali lagi. Dengan gembira aku mengangguk dan menghampiri. Aku ingin merasakan lebih dalam getaran metamorfosa dari banyak hal itu. Tapi begitu air jatuh dari gayungku, aku lupa dengan metamorfosa itu. Aku telah terbawa air, mengalir ke mana saja yang kumau. Aku menyusuri daun dan batang sambil mengingat kesakitan hutan yang ditebang dan di bakar. Aku meresap ke dalam tanah sambil mengingat hektaran hutan menjadi gurun tandus.

Aku mendengar kesakitan hutan itu seperti jeritan badai yang terus berdebur. Eh, aku tak yakin, ini sebuah jeritan atau geraman dari dendam. Aku tidak bisa membedakan suara keduanya. Sampai aku sadar bahwa badai itu hadir di dalam tubuhku, mengobrak-abrik ruang-ruang tubuhku. Aku banting-banting di tengah lautan yang kuciptakan sendiri. Entah berapa lama aku pingsan, karena tahu-tahu aku berada di pantai yang tenang dan pagi yang anggun. Aku merasa tubuh ini sakit-sakit, begitu lelah. Pantai apakah ini?

“Mau ikut denganku?” tanya seseorang dengan ransel besar di punggungnya yang mengingatkanku akan perjalanan yang panjang dan jauh.

“Pantai apakah ini?” Aku malah balik bertanya.

“Kuta.”

Beberapa jenak aku tercenung. Benarkah ini pantai Kuta? Melihat dari tanda-tandanya aku merasa ini Pantai Panjang.

“Ya, Pantai Panjang juga bisa. Atau Pangandaran. Atau Pelabuhan Ratu.”

Aku memandang orang yang aneh itu.

“Apa perlunya nama. Kamu bisa menamakan pantai apa saja sesukamu. Karena semua nama akan cocok dengan pantai ini.”

Siapa sebenarnya orang ini? Orang gila atau makhluk angkasa luar? Karena aku diamkan cukup lama, orang beransel besar itu terbang. Saat itulah aku yakin bahwa orang itu adalah angin. Aku menyusulnya sambil berteriak, “Aku ikut!”

Kami mendaki bukit menuruni gunung masuk ke lembah menyusup ke lorong-lorong. Bertahun-tahun kami mengembara. Barangkali sepanjang hidup ini akan dihabiskan untuk mengembara. Barangkali hidup memang pengembaraan itu sendiri seperti kata Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah cerpennya yang kubaca di toko buku entah di daerah mana. Setiap kaki melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi.

Barangkali benar bahwa nama-nama tempat tidak penting bagi seorang pengembara. Kami banyak menyaksikan beragam peristiwa di setiap tempat. Kami merasa peristiwa itulah yang lebih penting dibanding dengan nama-nama. Tapi sayang kami tidak mencatat peristiwa-peristiwa itu. Tidak bisa terbayangkan, berapa banyak kertas dan tinta yang akan kami habiskan bila setiap peristiwa dicatat. Tapi kertas dan tinta itu bukanlah alasan yang tepat mengapa kami tidak mencatat. Kami seperti punya kesepakatan bahwa sebaiknya memang tidak dicatat dan dibicarakan. Kami tidak bisa membayangkan, bila seluruh peristiwa itu tercatat, berapa milyar pembaca yang akan sakit.

Peristiwa-peristiwa itu memang penuh dengan darah dan rasa perih. Sepanjang sejarah, rasa sakit barangkali bagian dari hidup. Sungai-sungai mengalirkan air mata. Suara tangis terdengar di mana-mana. Air mata siapa lagi itu kalau bukan milik kita, karena hanya kita yang menghuni dunia ini. Maka kami, aku dan angin, pergi dari tempat yang satu ke tempat yang lain sambil merasakan rasa sakit sendiri-sendiri.

Setiap kaki melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi. Kami tahu tempat-tempat itu pun akan menyediakan hidangan kesakitan-kesakitan lain begitu kami datang, tapi kami tidak bisa tidak mengunjungi tempat-tempat itu. Barangkali merasakan kesakitan-kesakitan di tempat-tempat yang berbeda itu adalah hidup kami.

Keyakinan itu terus berada di hatiku sampai rasa lelah dan sakit tidak bisa lagi aku tahan. Aku sadar bahwa aku tidak seperti angin yang ditakdirkan sebagai pengembara. Aku pingsan entah berapa lama. Dan begitu terbangun, aku berada di sebuah taman yang entah bernama apa dan di mana. Saat kulihat ke sekeliling, aku yakin bahwa taman ini adalah lukisan yang terpantul di potret diri dari cermin-cermin itu.

“Mengapa berhenti menyiram bunga?“ kata seseorang yang sebelumnya kukenal sebagai si penyiram bunga itu. Tapi aku tidak mengacuhkannya. Aku lebih tertarik dengan matahari yang membuat langit memerah itu. Sinar lembutnya disambut hangat lebah-lebah yang tanpa lelah mencari madu dari bunga ke bunga. Eh, aku baru sadar di taman ini pun ada ulat yang terus-terusan memakan daun dan mengerek batang. Memandangnya sambil mencoba memahami kunyahan mulutnya aku merasa begitu dekat dengan ulat. Atau aku pun adalah ulat? Ah, aku tak mau mengikuti pengembaraan yang melelahkan itu. Aku tak mau pergi dengan ulat seperti yang pernah kulakukan dengan air dan angin.

Aku berdiri dan pergi.

“Mengapa tidak menyiram bunga lagi? Dengan menyiram, kamu bisa pergi ke mana saja. Ingatlah, kita tidak bisa tidak pergi. Kita tidak bisa merasa sakit dan perih. Karena sakit dan perih adalah hidup kita....”

Dan entah apa lagi yang diucapkan si penyiram bunga bermata penuh metamorfosa itu. Dia barangkali tidak sadar bahwa kepergianku dari taman itu pun adalah pengembaraan.***

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda