Oleh: Ode Barta Ananda



Dor! Tak ada yang terkejut ketikatembakan itu menembus sasaran. Mlah..., dor! Dor! Dor! Tembakan yang lain seperti saling susul untuk menembus sasaran. Ada yang menembus kepa­la. Ada yang menusuk jantung. Ada yang mengelupaskan bahu. Tapi tidak ada satu pun yang meleset.

“Bagus!” Instruktur menepuk bahu seorang peserta kursus menembak yang baru saja berhasil menembus jantung sasaran. “Selain pintar mengejar berita, sebagai wartawan, ternyata Bapak sangat jitu juga dalam membidik sasaran.”

Wartawan mendengus. Menghapus peluh pada hidung. Dan berdehem, “Mudah-mudahan bukan hanya kebetulan, Pak. Dan mudah-mudahan juga bidikan saya kali ini bisa secepatnya membukakan mata Bapak, untuk mengeluarkan izin penggunaan pistol buat saya.”

“Tentu..., tentu..., asal tahu saja....” Pelatih menge­dipkan sebelah mata.

***

“Jadi izin yang membolehkan wartawan menggunakan pis­tol, benar berasal atas usul Bapak?” salah seorang dari kerumunan wartawan menanyai seorang pejabat.

Pejabat yang berdasi kuning, berkemeja putih dan berce­lana abu-abu itu, tersenyum lebar sebelum menjawab, “Begitu­lah. Aku tak ingin rekan wartawan kembali menjadi korban dalam gejolak suasana yang sedang memanas sekarang ini.”

“Apakah pejabat yang berkedudukan lebih tinggi juga sudah memberikan izin?”

“Secara prinsip sudah.”

“Apakah Bapak telah siap mengantisipasi segala kemung­kinan-kemungkinan buruk? Seperti pemanfaatan pistol untuk penodongan oleh oknum wartawan, misalnya?”

Pejabat tergelak. Dan tawa itu ternyata telah cukup untuk jawaban.

“Tapi, hampir seluruh kawan-kawan sangat menyayangkan biaya latihan menembak yang cukup tinggi. Harga pistol yang mahal. Dan....”

Belum selesai pertanyaan itu, sudah ditukas pertanyaan lain, “Padahal menurut selentingan kabar, sarana latihan dan pistol ternyata disediakan oleh koperasi?”

“Mungkinkah koperasi mematok harga setinggi itu?” menyusul tukasan lain.

“Atau ada oknum-oknum tertentu yang sengaja menangguk di air keruh?”

Pejabat mengerutkan kening, “Mana yang harus saya jawab lebih dulu?!” dia kesal dan langsung memasuki mobil sambil membanting pintu.



***

Dor! Tembakan wartawan meleset.

“Tak biasanya tembakan kau meleset?” seorang rekan tercengang.

“Saya sedang tidak konsentrasi.”

“Kenapa? Memikirkan pekerjaan? Atau gadis simpanan itu?”

“Jangan terus bercanda. Bisa-bisa kutembak kau!” dia mendelik sambil pura-pura marah.

“Silahkan,” sang rekan merentangkan tangan. Lalu men­gangguk-angguk, memasang wajah serius, “OK. Apa yang telah merusak konsentrasimu?”

“Pembayaran pajak pistol ini. Pembayaran harus lunas tiga hari lagi. Padahal, menurut perkiraan dokter, istri saya juga akan melahirkan tiga hari yang akan datang.”

Sang rekan hanya bisa kembali mengangguk-angguk sambil berusaha mancari jalan keluar.

Namun wartawan telah kembali berujar, “Dan sebagian tabungan juga baru saja saya belikan alat perekam baru. Kau sudah lihat kan?”

“Wow! Canggih, Yung! Bentuknya yang unik dan hasil rekamannya bersih sangat seimbang dengan harganya yang mahal.”

“Untuk melunasi kreditnya, saya harus menggadaikan pistol ini.”

***

Saat panas menukik terik. Ketika sinar matahari seakan berniat mencabik-cabik. Waktu angin mencubit kelopak yang akan menghasilkan putik. Saat itulah para pencari berita berhasil mencegat pejabat yang baru saja keluar dari kantorn­ya.

“Kelihatannya biaya latihan, harga pistol, nilai pajak, dan biaya administrasi lainnya, semakin tak menentu, Pak?”

Pejabat tak mengangguk dan tak juga menggeleng. Malah semakin menekan gas mobilnya sambil menginjak rem. Melihat para wartawan tidak mengerti, dia beralih membunyikan klak­son.

“Atau izin penggunaan pistol bagi wartawan ini memang untuk mencari untung?”

“Jelas tidak!” Pejabat menekan gas lebih keras.

Wartawan pemilik alat perekam baru yang berbentuk unik, yang terlambat datang, menyeruak kerumunan, dan memberikan pertanyaan sambil menodongkan alat perekam, “Apakah Bapak, akan mengusahakan perbaikan semua masalah itu, sesuai dengan jabatan Bapak?”

Pejabat terbelalak. Dia langsung mengangguk keras-keras. Menutup kaca jendela mobil. Dan menekan gas dalam-dalam.

***

Ketika embun jantan belum selesai membasuh pagi. Saat fajar bergerak sembunyi. Waktu matahari baru saja bersiap menghangatkan bumi. saat itulah wartawan dan pejabat, asyik berbincang-bincang dekat telepon umum.

“Kau kan sudah menelepon tadi malam. Kenapa sekarang masih mengganggu lari pagiku?” Pejabat tersenyum sambil meninju perut wartawan dengan akrab.

Wartawan tergelak, “Tak enak rasanya, kalau tak lang­sung berhadapan dengan Bapak, untuk minta maaf,” diulurkan tangan untuk berjabat.

“Harus kuakui, ternyata aku masih ketakutan dengan sebuah alat perekam,” pejabat tergelak juga. Perut buncitnya terguncang-guncang menertawakan kebodohannya sendiri.

"Setibanya di rumah, saya baru menyadari, ternyata alat perekam saya yang mirip pistol ini,” wartawan mengeluarkan alat perekam itu, “yang membuat Bapak ketakutan dan tergesa meninggalkan kami kemarin?”

Pejabat mengangguk. tapi belum sempurna anggukannya, wartawan telah menukas sambil mengacungkan alat perekam yang benar-benar mirip pistol, “Benarkah tidak ada keterlibatan oknum tertentu, yang sengaja mendongkrak segala biaya yang berhubungan dengan pistol? Atau....”

Pejabat melambaikan tangan ke arah belakang wartawan. Wajahnya memucat, “Jjjangan! Dddia bukan mengancam!”

Dor! Sebuah peluru buas langsung menikam punggung wartawan. Dia tertelungkup. Dan darah mempermerah jaketnya yang sudah merah.***

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda