Nuh

Oleh: Isworo Haris Sunardi



"Nuuuh …! Kaukah itu? Yang berlayar dengan sabar mengarungi lautan tiada berpantai?" tanyaku ketika melintas sesosok wajah di depan mataku. Kuusap-usap dengan keras dan kuucek-ucek kelopak di bawah alis ini, tapi wajah itu terus saja berdiri tenang menatapku. Wajah putih berjenggot panjang itu masih menampakkan guratan ketegaran di pipinya. Aku jadi teringat cerita bapakku tentang laki-laki yang tidak disetiai istrinya di atas kapal kayu besar, di bawah angin besar mem­ba­dai dan guyuran hujan menabrak-nabrak tap kapalnya.

"Kaukah itu? Jawablah!"

Lelaki itu tetap diam. Bisukah? Tanyaku dalam hati. Tapi dia me­man­dang­ku terus dan tersenyum mengejek. Di atas batu pualam hitam begitu tegar dia berdiri. Tongkat penyangganya menebar harum bau cendana, tapi (anehnya) warnanya hitam mengkilap. Oh! Hidungku mengendus wewangian hingga meranggas mengalir dalam rongga dada. Mengapa tidak menjawab? Bisikku dalam hati.

"Kaukah itu? Tanyaku sekali lagi.

Lelah rasanya aku memanggil, tapi rasa ingin tahuku menggebu mengelucak di gejolak kalbu menoreh-noreh dinding hati yang keheranan. Barangkali dia tidak tahu bahasaku yang berasal dari Indonesia, bahasa yang sangat asing ditelinganya. Ataukah senyumnya itu yang menawarkan jalinan komunikasi yang harus diresapkan maknanya dalam hati? Anehnya dia tahu kalau aku sedang menerka-nerka.

Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lebar.

"Ya. Akulah Nuh! Nuh yang diceritakan oleh bapak-bapak kamu," jawabnya tenang. Aku hampir saja melompat kegirangan saat tahu kalau dia benar-benar Nuh.

"Benarkah? Benarkah kau Nuh seperti yang aku angankan?"

"Ya," dia mengangguk. "Tapi aku takkan bisa menolong kalian."

"Kalian?" aku heran. Kulihat di sekelilingku, tapi yang kutemui hanya diriku sendiri.

"Ya . Kalian! Kau dan rakyatmu yang lupa akan hidup dan per­ja­lanannya. Aku berlayar di lautan tia­da berpantai itu, seperti katamu, ha­nya untuk umatku. Tugasku telah selesai dan tinggal santai. Bukan untuk kalian. Lagi pula lautan yang kau renangi adalah lautan waktu yang berisi ketololan dan keteledoran. Beda sekali dengan lautan yang aku layari," katanya menjelaskan.

"Tapi Engkau bisa memberi nasihat buat kami, Nuh! Bagaimana sebaiknya bangsa ini berjuang berenang di lautan yang bergelombang duka ini, Nuh? Aku mohon?"

Kabut hitam menggumpal di wajah tua itu. Ada guratan gelombang di keningnya. Alis putihnya mengumpul, seperti dia sedang serius berfikir. Lama aku menunggu jawabannya.

"Tidak, tidak …tidak! Aku tak bisa menasihatimu," katanya menggeleng. Aku sangat kecewa.

"Kenapa?"

"Kronologi perjalanannya berbeda. Dulu bangsaku lalai tidak mau menjalankan perintah Tuhan dan nasihatku. Berkali-kali aku dicaci dan dipecundangi. Bahkan tahi, bahkan tahi dilemparkan ke muka ini. Istriku sendiri yang mengajari. Karena lamanya aku membuat kapal, aku jadi kebal. Tapi bangsamu adalah bangsa yang telah lama mengenal Tuhan. Di antara mereka banyak yang saleh-saleh. Kau dan rakyatmu lupa pada titian waktu bangsa sendiri. Mereka ingin menelusur pada masa lalu dengan menerapkan di masa sekarang. Jembatan waktu yang kau tuju, telah berubah arah. Semua karena hanya ingin mengikuti kata hati tanpa kau fikirkan. Kau lupa pada orang yang suka memuja hingga kau turuti kemauan mereka. Apalagi kau suka pelihara bunglon-bunglon yang dengan cepat mengecat warna."

Aku terdiam. Kutelusuri lagi perjalanan hidupku di saat masih kecil yang digeluti oleh lapar yang sangat. Aku terjungkal dalam kesendirian di lembah papa. Setiap kali kutapaki jalan sambil memanggul sepi. Aku rindu harapan. Aku berjalan di bawah penindasan. Dan matahari yang seharusnya hangat di setiap pagi berubah jadi resah yang menyengat-nyengat pikiranku.

Akhirnya aku harus memilih jalan, ketika menemukan sela-sela perjuangan di antara perang dan perang. Aku merayap-rayap mencari-cari musuh yang lengah. Sementara di atasku beribu peluru mendesing memburu. Kusergap sebisanya dan kuhancurkan. Kukejar dan terus kukejar lawanku hingga jurang beku dan ternyata aku dan anak buah setiaku berhasil menang.

Lalu aku berjalan di antara saudara-saudara sendiri yang bertongkatkan politik. Aku sering mendiamkan atau mendamaikan. Habis itu kubiarkan berbuat apa saja. Saat kuketahui mereka curang dan membahayakan, mereka kusikat. Kubabat tanpa sisa. Akhirnya sampai juga aku menguasainya. Kucari-cari bayanganku dengan harapan-harapan sambil meraba-raba bangunan, dengan tanah-tanah yang kubangun rumah, juga kuda-kuda liar yang bisa kutundukkan.

Aku dan anak buahku, juga familiku, aku bagi kebahagiaan. Mereka bebas makan, berpakaian, kadang rumah yang berlebihan. Tapi lama-lama setelah aku tua dan mulai banyak lupa, mereka sering pura-pura dengan cara memuja selayaknya seorang raja. Mereka punjung kata dengan emas. Aku ditandu dan dielu-elu, kedua tanganku mengepak se­ru­pa sayap. Kulambaikan tangan pa­da orang-orang.

Kunyuk semprul! Ternyata di antara mereka itu ada beberapa mu­suh main petak umpet dan perang-pe­rangan. Mereka tampak me­nyongsong, tapi di belakang disiapkan membokong. Lalu mendorong hingga terjerembab di lubang nista. Aku jadi sendiri, tepekur melebur diri dalam keheningan dan kesunyian. Hari-hari kuakrabi sepi bagai mimpi.

Berjalan menyusuri ujung pe­nan­tian.

"Nuh! Dimana kau? Kenapa kau pergi lagi? Nuh! Nuh! Nuuuh­…!­­" teriakku memanggil-manggil orang yang kukagumi itu. Orang tabah itu akan kumintai nasihatnya. Orang yang sabar berlayar itu akan kupungut hati­nya. Dan dia yang berjiwa peno­long itu akan kucari petunjuknya.

Lama kucari-cari dan kunanti, tapi tak juga muncul dalam benakku. Kureka-reka dalam khayalku sambil menyusuri lorong-lorong pabrik-pabrik dan mobil-mobil mewah siapa tahu ada di sana. Lalu aku melesat di antara manusia-manusia pakar pe­na­sihatku, tapi malah tersasar da­lam lem­bah kurang ajar. Aku berlari di hu­tan-hutan, tapi hutan itu malah ter­ba­­kar, dan gunung-gunung yang ku­pi­­jak meledak. Bencana-bencana be­r­un­tun melanda. Tapi yang kucari tak ketemu juga.

Untunglah dia datang saat aku ham­pir terpagut rasa putus asa. Ke­su­nyian-kesunyian yang kutelan se­­ba­gai pelepas dahagaku telah me­nge­nyangkanku.

Nuh! Kau datang lagi saat aku terlompat. Sambil berlari Dia kuham­piri. Kuulurkan tangan agar aku da­pat meraih kelembutan telapak ta­ngan­­nya. Tapi layaknya sekat, betapa sedih ketika dia ulurkan tangan untuk menggapaiku tidak pernah sampai. Aku gagal menyentuhnya.

"Ketegaranmu, Nuh, akan kutempuh!" kataku.

Dia tersenyum.

"Jangan mengejek, Nuh."

Nuh yang tua itu menggeleng. Di wajahnya ada teduh bulan purnama. Bibirnya lembut mengurai suara.

"Tabah," katanya. Dia julurkan telunjuknya ke arah langit. "Tanpa ke­­ta­bahan kau takkan mungkin mam­pu mengarungi lautan duka resah ini hing­ga sekarang. Ketabahan yang kau pelihara sejak kecil itu membuat hati­mu kuat."

Lalu dia menegakkan jari te­ngah­nya ke arah langit hingga berjajar de­ngan telunjuknya.

"Tegarkan jiwamu!" katanya de­ngan menekankan suaranya. "Kau pas­ti akan merdeka seperti engkau ber­juang mati-matian memperoleh kata itu."

"Lalu, Nuh?" tanyaku tak sabar. Dia julurkan jari manisnya menunjuk ke arah langit. Aku jadi berfikir saat dia menjurus-juruskan jarinya ke atas.

"Tenang!" katanya. Tak terasa reflek jariku ikut menirukan gerak­an­nya. "Ya, ke sana!" katanya men­je­las­kan. Dia menyuruhku me­man­dang ke atas.

"Jadikan tiga itu tonggak kekuatan di hatimu untuk menetralisir kekalutanmu. Kendali emosi dari dendam pada orang-orang yang telah menjatuhkan kau sebagai kekuatan."

Aku termangu dalam buaian na­sihat­nya. Mataku terus saja me­na­tap­nya. Tapi Nuh tiba-tiba pamit per­gi setelah meninggalkan nasihatnya de­ngan menghunjamkan dalam hati­ku. Aku terdiam tenang. Sambil mem­beri salam dia pergi melambaikan ta­ngan. Kupandangi dia saat berjalan me­ninggalkan.

"Terima kasih Nuh, terima kasih!" kataku sambil berlari melewati senja waktu malam yang mulai merayap meranggas gelap.***





Pada Sebuah Taman, Mei

Oleh: Moch. Hasymi Ibrahim





Di taman kota, senja beringsut perlahan, lamban, bahkan nyaris lunglai. Senja yang kemarin juga, tapi. Mungkin karena burung-burung sudah mengungsi entah ke mana.

Pagi sekali, mereka yang hanya mengenal canda dan birahi, telah bergegas pergi dari situ. Terbang ke tempat-tempat yang jauh, mungkin ke wilayah-wilayah yang belum dikenalnya. Asing. Tapi adakah sesuatu yang asing bagi sebuah kemutlakan bernama naluri? Kukira tak ada. Ning juga pernah bilang begitu, dulu, ketika kami tidur bersama pertama kali, pada sebuah flat sederhana di Brooklynn, NY.

Dan burung-burung itu telah mengungsi meninggalkan taman di mana senja yang bisanya bersemangat menjemput malam, turun amat perlahan, lesu, meninggalkan gerah – juga kesal lantaran langit kota telah penuh asap. Kota sedang terbakar. Revolusi, mungkin, sedang bermula.

Usai mengantar Ning, aku segera terbang ke sini. Bau tubuhnya masih tersisa dalam ketergesaan langkahku: asin, berkeringat, beraroma perempuan dengan keliaran tersembunyi di balik kecerdasan dan pendidikan yang baik. Bukan hal mudah mencapai taman ini. Gelombang masa yang bergulung-gulung bagai bah telah menyapu pertokoan, perkantoran dan meninggalkan nyala api yang perlahan-lahan makin membesar. Jalan raya yang melintang membelah-belah kota menjadi senyap, lenggang, menyisakan cungkup-cungkup api dari mobil-mobil terbakar.

Lalu di sini, senja mulai nyungsep, dan Yogo telah datang.

“Kita evaluasi perkembangan, di sana. Pergilah,” ungkapnya tadi subuh sebelum berpisah. Malam yang teramat meletihkan telah kami lewatkan dan sekarang adalah tahap menunggu. Kekuasaan, kekuatan dan ambisi adalah aura yang memancar dari tubuh tegap Yogo, sepanjang malam, tadi. Dia hanya mengenakan T-shirt polos, sepatu karet dan celana jeans. Atribut perwira yang selama ini menjadi citranya di depan publik, lenyap sama sekali. Sambil mengontrol radio, memberi komando, mematangkan dan memberi perintah “start”, dia bagai berada dalam situasi ekstase. Persis ketika suatu malam, nun beberapa tahun lampau, ketika kami duduk di sebuah café di pinggir Champs Elessye, Paris, meneguk perlahan hangat tequilla. “Perjumpaan dengan calon presiden,” aku menyebut pertemuan malam itu. Dia datang dari jauh, pedalaman Irian, usai membebaskan sandera. Bau hutan tropis masih lekat di wajahnya. Urat-urat kesadaran yang memancarkan kharisma dari seorang prajurit lapangan, juga terekam dalam kalimat-kalimatnya yang cerdas. ”Anda bantu saya. Tak perlu kontak, kukira. Anggap ini sebagai ekspresi persaudaraan, persahabatan. Juga keagungan sebuah cita-cita. Kamu pasti setuju, persahabatan adalah ikatan kita.” Singkat, simpel, khas orang lapangan yang pernah mengenyam pendidikan menengah di negeri-negeri asing.

Dan malam tadi, hingga subuh ketika kami pisah, Yogo tampak angker. Lambaian tangan kekuasaan semakin mengentalkan darah ambisinya. Persahabatan itu, segera akan terbukti, kelak, tapi rencana masih sedang berlangsung. Belum perlu ada kalkulasi menang atau kalah. Presiden memang sudah terpojok, tapi ada saja hal yang tak dapat diduga. Juga kedatangan Yogo yang telat.

Malam kemudian tiba dengan diam. Malam yang sepi.

Ning menelepon.

“Bang, Presiden mundur besok. Yogo tak mungkin datang. Pulanglah,” katanya simpel. Tak ada basa-basi, seperti irama tubuhnya: simpel, langsung, tegas dan banal.

Aku kontan diserang frustasi. Lesu, habis, pupus. Sebuah persilatan virtual telah berlangsung mulai tadi subuh – bahkan sudah dua hari sebelumnya, bahkan dua tahun sebelumnya ketika ketekunan di depan mesin komputer menjadi aktivis menggairahkan. Aku telah membaca jutaan bit dari laporan intelejen, mengamati penampilan sekian ratus tokoh di depan publik dari waktu ke waktu, menganalisis arah perkembangan berbagai kelompok. Bahkan untuk beberapa tokoh kunci, sampai ke gelagat seksualnya di ranjang, telah aku rekam di luar kepala. Dan sebagian besar kerja keras itu sudah berhasil. Para pemain valas telah terkuasai. Beberapa buah bank sudah ambruk. Markas keuangan sudah terbakar, diliputi misteri. Para aktivis telah diamankan. Sabotase, demonstrasi, dan berbagai upaya pembusukan telah terjadi. Bahkan picu massa telah berhasil melalui eksekusi mahasiswa. Presiden yang ternyata sangat lemah, masih mampu tampil sebagai satu-satunya pilar penentu. Pendek kata semua berjalan sesuai rencana. Demi Yogo, demi kesan pada sebuah malam di sebuah kaki lima di Paris, dan demi keagungan. Oh, betapa menggairahkan.

Di ufuk, bayang kegagalan mulai tampak. Tapi apa mungkin? Yogo memang bukan panglima. Dia berada satu level di bawah, tapi aku punya keyakinan, juga kepercayaan atas nama keagungan, bahwa dia takkan menyerah begitu saja. Langkah presiden selamanya memang tak terduga. Mundur mendadak tentu akan membuyarkan rencana. Akan menyetop aksi, akan memuaskan semua orang dan segera akan berbalik menyerang kami. Ini harus dicegah. Kebebalan presiden untuk bersikukuh pada kursi kekuasaan, rupanya tak dapat dipercaya; dia memilih mengalah sebelum bertempur. Dia ternyata bukan prajurit sejati seperti senantiasa dicitrakan di depan publik. Dia tak lebih seorang tua pikun yang sedang kehabisan cita-cita, —lampu teplok kehabisan minyak; faktor yang kami tak hitung selama ini.

“Ning, kamu masih di situ?” kataku menjawab Ning.

“Ia. Kamu kok diam saja?”

“Aku bingung. Ada kontak dengan Yogo?”

“Belum, tapi kuusahakan. Mungkin dia sedang di istana.”

“Pulanglah segera, pulang. Di sini kita bisa berpikir jernih.”

Suara Ning tetap empuk. Menggairahkan. Memanggil. Tak ada kegetiran, apalagi kegentaran. Dia memang lebih matang. Mungkin kematangan yang datang dari daya-daya seksualnya yang tak pernah surut dan padam. Sebaliknya, aku yang justru panik dan gamang. Bukan karena risiko yang mesti datang, balas dendam kalangan militer, bukan. Melainkan kepanikan seorang penulis skenario yang gagal mementaskan lakonnya dengan sempurna. Lakon yang berjalan tak sampai klimaks, lantaran aktornya bermain tak terkendali. Juga kepanikan dan kegamangan seorang yang tumbuh berkembang bersama ilusi revolusi, seperti Che Guevara, Castro, dan mungkin Kaddafi – hadir untuk berperanan menumbangkan tiran dan eksis atas nama cita-cita dan keagungan. Aku benar-benar frustasi, kini.

"Kamu masih di situ?" tanya Ning. Kali ini suaranya bernada khawatir.

“Iya,” balasku memencet “off” pada hand-phone.

Malam sudah bertahta. Udara gerah berbau asap. Taman benar-benar muram. Durja. Reranting tampak seram memantulkan malam hari. Kota masih terbakar, menghanguskan sisa rencana.

Hand-phoneku bertulilit. Suara Yogo; “Tunggu sampai besok,” katanya singkat.

Tak ada besok, Yogo: gumamku membatin. Seperti yang sering kamu katakan, sekarang atau tidak sama sekali. Kenyataan yang tak diperhitungkan akhirnya terjadi, dan tak ada rencana ulang.

Di sini, di taman tempat burung-burung bersenggama, bertelur dan berkembang biak –dan kini telah mengungsi entah ke mana— semuanya telah berakhir. Keagungan itu memang ilusi, kini. Bagi Yogo, utamanya. Sementara bagiku? Masih ada Ning. Kami akan segera terbang ke negeri lain, di sana prarencana sudah tersusun. Sasaran tembak: Perdana Menteri yang terlampau cerdas dan sedang berkilau di dunia internasional, alumni Oxford, almamaterku. Ini tentu akan lebih menggairahkan. Biarlah persahabatan dengan Yogo berakhir. Atau bisa lanjut di masa yang datang. Dia terlampau cerdas untuk dihentikan. Tapi tidak malam ini.

“Ning, kamu masih di situ?”

“Ya, aku sudah mandi.”

“Sekarang pakai handuk?”

‘Ya, cuma handuk. Duduk menunggumu.”

“Sebentar lagi aku datang. Aku ingin berendam.”

“Kalau begitu aku mandi lagi.”

“Berendam bersama-sama.”

“Iya.”

“Terus?”

“Terus larut seperti biasa.”

“Aku meresapkan bau mulutmu, kini.”

“Aku juga.”

“Tunggu, ya!”

“Cepat.”

Malam, di taman ini, kurasakan gairah yang lain. Gairah bulan Mei. Seperti gairah sebuah musim panas, di Brooklynn, NY, nun bertahun lampau.***



Jakarta, Juni 1998

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda