Oleh: Oka Rusmini





Kopag menjatuh-kan pisau ukirnya yang runcing. Hampir saja pisau itu memahat kakinya. Semua gara-gara dia mencium bau yang aneh dari sudut pintu. Seperti bau daun-daun kering dan kayu basah. Aneh, dari mana datangnya bau yang membuatnya begitu gelisah? Bau itu semakin mendekat.

“Siapa itu?”

“Titiang.1 Luh Srenggi.”

“Srenggi? Srenggi siapa?!” Kopag semakin menggigil. Bau itu semakin mendekat dan menyesakkan dadanya. Tangannya jadi lapar. Dia memerlukan alat-alat pahatnya. Pisau-pisau yang runcing tebayang di otaknya. Kopag menggigil ketika bau itu benar-benar menelanjangi wujud laki-lakinya.

Katakan padaku, siapa kau?!”

Titiang yang akan melayani seluruh keperluan, Ratu.2 Mulai hari ini dan seterusnya,” Suara itu terdengar gugup.

"Siapa tadi namamu?” Kopag mulai menenangkan dirinya sendiri.

“Luh Srenggi.” Suara itu terde-ngar bergetar. Suara itu adalah suara perempuan. Apa yang terjadi dengan dirinya? Kopag memaki dirinya sendiri. Aneh sekali, tiba-tiba saja dia seperti ditenggelamkan ke lautan. Suara itu dirasakan penuh dengan keju­juran, kasih sayang, dan sangat tulus. Kopag yakin dugaannya ini tidak meleset. Inilah perempuan itu, perempuan yang dicarinya berabad-abad. Sekarang Hyang Widhi mengirim untuknya. Seorang perempuan, benarkah suara ini milik seorang perempuan?

Ketika Kopag akan mengambil tongkatnya. Luh Srenggi cepat-cepat membantu. Tangan mereka bersentuhan. Kopag semakin gelisah. Kulit perempuan itu terasa seperti kulit kayu. Luar biasa. Perem­puan itu pasti memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan sebatang pohon, atau seonggok kayu yang paling sakral sekalipun.

Baru kali ini Kopag merasakan bisa menikmati hidupnya. Dia bisa memberikan penilaian yang begitu objektif terhadap benda hidup yang bernama manusia. Biasanya dia hanya dijadikan objek, sekedar mendengarkan keputusan orang-orang terdekatnya. Apa pun yang dikatakan orang-orang di sekitarnya, Kopag harus patuh. Kali ini, dia merasa menemukan kebenaran yang berbeda dengan kebenaran yang diyakini oleh orang-orang yang selama ini rajin menanamkan kebenaran yang telah menjadi ukuran mereka.

“Apakah di bumi ini wujud kebenaran itu sudah seragam, Gubreg?” Suara Kopag terdengar getir, “bahkan untuk menilai keindahan itu, aku juga harus memakai kriteria mereka?"

"Kebenaran mereka? Aku tidak yakin mereka mampu melihat seluruh keindahan hidup ini dengan benar!” Suara Kopag terdengar penuh tekanan. Pikirannya kacau!

Kopag sadar, sangat sadar. Dilahirkan sebagai laki-laki buta memang tidak menggairahkan. Karena tak ada perempuan-perempuan yang bisa dilihatnya dengan matanya. Tapi, apakah orang-orang yang memiliki kelengkapan utuh sebagai manusia ketika dilahirkan mampu menangkap seluruh rahasia kehidupan ini? Rahasia yang erat-erat digenggam dan disembunyikan alam? Salahkah kalau tiba-tiba saja Kopag menemukan kecantikan yang luar biasa pada diri Luh Srenggi. Kecantikan yang dia lihat dengan pikiran, perasaan, dan keindahannya sendiri. Salahkah?

Kecantikan perempuan muda itu adalah kecantikan yang sangat luar biasa. Tubuhnya seperti lekukan kayu. Seluruh wajahnya juga lekukan kayu. Dia adalah kayu terindah dan tercantik. Aneh sekali tak ada manusia yang bisa menangkap kecantikannya. Menghar­gai keindahan yang dititipkan alam padanya. Bahkan Gubreg, pelayan tua itu, juga tidak berkomentar ketika Kopag memuji keindahan perempuan delapan belas tahun itu. Apa yang sesungguhnya salah pada kriteria yang telah diberikan Kopag terhadap perempuan?



***

Kehidupan telah memaksa bocah laki-laki itu memakai label Ida Bagus Made Kopag, agar orang-orang mudah mengenalinya dan membedakan dirinya berbeda dengan manusia lainnya. Dia anak laki-laki kedua yang lahir dari keluarga terkaya di Griya. Gelar Ida Bagus menunjukkan bahwa dia adalah anak laki-laki dari golongan Brahmana, kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali. Ayahnya seorang laki-laki sangat terhormat dan memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan. Dia juga memiliki puluhan galeri lukis dan patung. Sayangnya laki-laki itu memiliki mata yang sangat liar. Laki-laki itu adalah binatang yang paling mengerikan. Kata orang, laki-laki itu bisa tidur dengan seluruh perempuan. Dia tidak pernah peduli, cantikkah perempuan itu, sehatkah dia? Bagi Ayah Kopag, setiap makhluk yang memiliki lubang bisa dimasuki. Suatu hari, setelah berbulan-bulan tidak pulang, laki-laki itu pulang dalam kondisi yang menyakitkan. Tubuhnya kurus dan pucat. Belum lagi hutangnya yang tiba-tiba saja menumpuk. Seluruh kekayaan ludes. Dalam kondisi seperti itu, laki-laki itu memaksa perempuan yang dinikahinya untuk bersetubuh. Perempuan itu menolak. Dia tahu, laki-lakinya akan menitipkan daging binatang dirahimnya. Apa artinya kekuatan seorang perempuan? Terlebih, sejak kecil dia terbiasa dididik menjadi perempuan bangsawan yang menghormati laki-lakinya. Dia hamil. Lahirlah seorang laki-laki yang mereng­gut nyawa perempuan itu.

Laki-laki itu harus berperan sebagai laki-laki buta untuk menebus kelahiran dan hidupnya sendiri. Alangkah ajaibnya kalau hidup juga bisa dipermainkan, bisa dibuat sebuah pementasan. Seperti sebatang kayu dengan lekuknya yang begitu menggairahkan, di sanalah dunia itu dibuat untuk laki-laki yang sejak pertama berkenalan dengan aroma bumi dan hidup hanya merasakan kegelapan sebagai bahasanya, hidupnya. Kehidupan yang sering dimaki Kopag ternyata cukup demokratis. Dia memberi Kopag poin, yang tentu saja tidak dimiliki orang-orang. Dia bisa mengubah kayu kering menjadi sebuah karya seni yang memikat para intelektual seni rupa. Kopag telah merekontruksi sejarah seni rupa. Kopag tidak saja memahat kayu, dia memahat pikirannya, otaknya, juga impian-impiannya. Untuk pertama kali, alam menyerah pada kekuasaanya, seperti Kopag juga menyerah pada kebutaan yang harus dia kenakan setiap saat. Kebutaan yang mengikuti dia terus-menerus.



***

Kopag menarik nafasnya dalam-dalam. Disentuhnya kayu kering yang selama ini selalu mengantarnya ke mana dia pergi. Jujur saja, Kopag sangat menyukai kayu yang mengenalkannya pada dunianya. Dunia yang diinginkan. Sebuah kesunyian dengan pagar-pagar kein­dahan. Tanpa teriakan iparnya yang sering menyesakkan kuping.

“Apa bisanya adikmu yang buta itu? Apa? Merepotkan!” Suara perempuan muda itu selalu menggelisahkannya. Ada-ada saja yang diributkannya. Tanaman di halaman samping rusak atau terinjak kakinya, kembang sepatu yang baru ditanam perempuan nyinyir itu tersangkut tongkatnya, atau posisi piring dan gelas berubah di dapur.

Suara iparnya itu akan terus menari-nari di sekitar telinga­nya. Bagaimana mungkin perempuan konon kata orang-orang di desa­nya sangat cantik dan santun itu bisa berkata begitu kasar. Teriakannya saja bisa memandulkan pisau pahatnya. Nama perempuan itu Ni Luh Putu Sari. Karena dia bukan kaum Brahmana, perempuan itu harus mengubah namanya menjadi Jero Melati. Karena perempuan Sudra, perempuan kebanyakan itu telah menikah dengan kakaknya dan menjadi keluarga Griya.

Orang-orang di luar hanya tahu bentuk tubuhnya yang konon sangat luar biasa, kulitnya yang sering jadi pujian, pokoknya seluruh tubuh perempuan itu selalu jadi pembicaraan kaum laki-laki. Aneh sekali, Kopag sering berpikir, bagaimana sesungguhnya sebuah penilaian yang objektif dalam hubungan antarmanusia di bumi ini. Iparnya yang luar biasa kasar dan cerewetnya jadi pujian dan pembicaraan seluruh laki-laki di Griya.

Bagi Kopag, perempuan itu adalah pemain sandiwara yang ulung. Saat ini dia sangat mengikuti ambisinya untuk masuk dalam lingkungan keluarga Brahmana. Perempuan itu benar-benar serius untuk memasuki perannya sebagai istri laki-laki Brahmana, dia harus menunjukkan pada seluruh manusia di desa ini bahwa dirinya berhak masuk dalam lingkungan keluarga bangsawan. Itu yang dira­sakan Kopag, ketika untuk pertama kali iparnya itu menyalaminya. Getaran tangannya sudah seperti tangan-tangan mayat yang membu­suk. Kopag juga merasakan setiap mulut perempuan itu terbuka, dia mencium bau darah. Anyir. Bau itu seolah berlomba-lomba meloncat dari bibirnya yang konon sangat mungil, merah, dan sangat pas. Bahkan Gubreg, parekan, pelayan setia yang merawat Kopag sejak kecil, selalu berkata bahwa beruntunglah kakaknya bisa mendapat­kan perempuan tercantik di desa.

Masih kata Gubreg, Ni Luh Putu Sari yang sejak menikah dan masuk menjadi keluarga Gria bernama Jero Melati itu memiliki kulit yang sangat indah. Postur tubuhnya seperti putri-putri raja Bali.

“Luar biasa kecantikan Jero Melati, Ratu.”

“Seperti apa perempuan cantik itu, Gubreg? Tolong kau kata­kan seluruhnya. Aku ingin tahu, aku juga ingin merasakan. Saat ini aku mencoba percaya pada matamu.”

Laki-laki tua itu terdiam. Dipandangnya mata Kopag dalam-dalam. Ada rasa sakit mengelus dada tuanya. Ida Bagus Made Kopag memiliki tubuh yang sangat bagus. Tinggi, dan tangannya juga sangat cekatan memahat patung-patung. Sejak kecil kakeknya hanya mengajari Kopag bersentuhan dengan kayu-kayu untuk berkenalan dengan kehidupan. Atau sesekali mendatangkan guru yang mengajari­nya membaca.

“Anak itu buta, Gubreg. Menanggung dosa ayahnya. Pertumbu­hannya selalu mengingatkanku pada perbuatan-perbuatan yang dila-kukan anakku. Karmanya jatuh pada anaknya sendiri. Kegelapan itu jadi milik cucuku yang paling abadi. Aku masih percaya kehidupan itu bisa diajak bicara. Kau bisa lihat, kan? Kehidupan sendiri memberinya hadiah yang luar biasa. Cucuku memiliki seluruh mata manusia yang ada di bumi ini. Lihat, dia mampu membuat pa­tung-patung dengan ukiran sangat sempurna. Juga dia baik-baik, Gubreg. Anggap dia anakmu!” Itu pesan Ida Bagus Rai, sebelum berpulang.

“Gubreg, kau belum jawab pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu? Apa seperti bongkahan kayu beringin ini? Dingin, tapi mampu memikatku. Lihat, Gubreg, aku selalu tersentuh. Gubreg, rasa apa yang sering membuatku meluap, apa ini rasa yang dimiliki laki-laki? Ini wujud kelelakian itu?” suara Kopag terdengar pelan.

Hyang Widhi! Penguasa jagat! Kopag memang sudah besar, sudah menjelang dua puluh lima tahun. Dia juga rajin membaca buku-buku dengan huruf braile. Atau sesekali dia dikunjugi orang asing dari Prancis, Frans Kafkasau.

Laki-laki setengah baya itulah yang membuat Gubreg, jengkel! Ada-ada saja yang dibawanya. Kadang-kadang dia bacakan buku-buku bahasa asing, yang diterjemahkannya, tentang Michelangelo Buo­norrty, yang konon, kata Frans, pematung jaman Renaisans.

Susah. Susah. Sejak bergaul dengan Frans ada-ada saja yang ditanyakan Kopag padanya.

“Kau tidak ingin menjawabnya, Gubreg?”

“Jangan bertanya yang aneh-aneh pada titiang, Ratu. Titiang tidak bisa menjelaskan seperti Frans. Tanyakan pada laki-laki bule itu!” Suara Gubreg terdengar penuh nada kecemburuan.

Laki-laki tua itu sekarang ini jadi cepat marah. Dadanya sering mendidih. Rasanya baru mendengar satu huruf keluar dari bibir laki-laki Perancis itu seluruh isi perutnya seperti keluar. Jengkel! Waktu Kopag sekarang habis untuk diskusi. Laki-laki bule itu telah memberinya didikan yang baru, perhatian yang lain. Kopag tidak lagi membutuhkannya. Ada yang hilang dalam tubuh laki-laki tua itu. Kehilangan yang dalam. Bagi Gubreg, Kopag sudah bagian dari nafasnya. Sejak kecil, dialah yang mengajari Kopag mempelajari tekstur kayu. Seluruh ilmu memahat dia alirkan dalam tubuh bocah kecil yang tidak berdaya itu. Dia juga yang mengajarinya bahwa semua benda punya jiwa, termasuk rangkaian pisau-pisau pahatnya. Gubreg pun mengajari Kopag menelanjangi tubuh pisau-pisau pahat, dan menikmati aroma ketajamannya yang luar biasa indahnya. Dia ingat teriakan Kopag ketika pertama kali menyentuh tubuh-tubuh pisau yang telanjang itu. Waktu itu umur Kopag tujuh tahun.

“Gubreg, tubuhku gemetar setiap menyentuh pisau-pisau ini. Keruncingannya, ketajamannya, begitu indah. Begitu penuh misteri. Luar biasa, Gubreg.”

Kilatan matahari menjilati keruncingan pisau pahat itu. Gubreg menyaksikan, betapa sinar matahari yang perkasa itu menja­di patah dan tak berdaya ketika menyentuh sedikit saja keruncin­gannya. Pisau justru seperti menantang matahari untuk bersabung. Di tangan Kopag pisau itu jadi begitu dingin, angkuh dan selalu lapar.

Sampai menjelang tengah malam, Gubreg belum juga bisa menja­wab arti menjadi laki-laki. Perasaan apa yang sedang bertarung dalam tubuh Kopag? Gubreg takut. Takut sekali menjawab perta­nyaan tentang esensi menjadi laki-laki.



***

Pagi-pagi sekali, Kopag sudah membuka jendela studionya.

“Aku ingin bercerita padamu,” suara Kopag terdengar penuh rasa ingin tahu.

“Tentang apa lagi, Ratu?”

“Kecantikan perempuan.”

“Titiang...Titiang tidak bisa menceritakan kecantikan perem­puan pada Ratu. Semua orang, Ratu, memiliki penilaian khusus tentang hal itu. Perempuan itu....”

Suara Gubreg terdengar patah. Berkali-kali dia menarik nafas. Dia mengerti. Sangat paham. Dia juga laki-laki, dia juga pernah merasakan seperti apa percikan nafsu itu ketika pertama kali menampar wujud manusianya. Begitu parah, dan teramat mengge­lisahkan ketika tubuhnya mulai lapar dan memerlukan tubuh lain untuk santapan. Rasa itu tiba-tiba saja muncul kembali dalam otak, dan tulang-tulangnya yang mulai rapuh membantunya merangkai masa lalunya kembali.

Waktu itu Gubreg seorang laki-laki kumal empat belas tahun. Sering sekali dia disuruh mengantar Dayu Centaga mandi di sungai Badung. Tubuh perempuan itu seperti ular yang melingkar dan menjepit batang-batang tubuhnya. Kakinya kram setiap melihat tubuh basah itu naik ke atas dengan kain yang hanya sebatas dada. Kaki perempuan itu putih, dan mampu meledakkan otaknya. Terlebih, Dayu Centaga selalu menyuruh Gubreg menggosok punggungnya dengan batu kali. Aroma tubuh perempuan itu sampai hari ini masih mele­kat erat di tubuhnya. Aroma itu tak bisa dihapus oleh usia yang dipinjam Gubreg pada hidup. Lama-lama Gubreg merasakan sakit yang luar biasa menyerang tubuhnya. Dia gelisah, dia luka, karena kelaparannya adalah kelaparan yang tidak pada tempatnya. Sebagai laki-laki Sudra, kebanyakan, dia sadar tubuhnya tidak boleh melahap tubuh perempuan Brahmana. Perempuan junjungannya, perem­puan yang sangat dihormatinya. Tak ada yang bisa diceritakan kegelisahannya, dia adalah laki-laki tak berguna, yang hidup dari belas kasihan keluarga Dayu Centaga. Setiap mengingat batas yang ada antara dirinya dan Dayu Centaga, Gubreg selalu merasakan tubuhnya dilubangi. Dia sering terjaga tengah malam dengan nafas yang memburu. Hyang Widhi, Gubreg sadar rasa laparnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Tubuhnya jadi pucat. Keluarga Griya mencari­kan dia seorang Balian, dukun.

Balian tua itu memberinya jampi-jampi. Tubuhnya dilingkari asap yang sangat menyesakkan aliran pernafasannya. Kata Balian itu, Gubreg sempat membuang kotoran di pinggir sungai. Kebetulan si penunggu sungai sedang beristirahat. Masih kata Balian tua itu, tadinya penunggu sungai itu juga ingin mengganggu Dayu Centaga. Berkat kekuatan Gubreg, Dayu Centaga tidak terkena. Justru Gubreglah yang kena kemarahan si penunggu sungai. Untuk mengembalikan kesehatan Gubreg, keluarga Griya membawa sesaji untuk penunggu sungai.

Gubreg tidak bisa bercerita tentang kelaparan tubuh laki-lakinya. Dia pasrah ketika Balian tua...memandikan tubuhnya di pinggir sungai. Katanya agar roh jahat tidak mengenai keluarga Griya. Untuk menghormati kebaikan keluarga Griya, Gubreg bersedia menjalankan runtutan upacara itu.

Tak seorang pun tahu, komunikasi Balian tua itu dengan dunia gaib salah. Gubreg tidak sakit, tidak juga kesambet setan. Dia rasakan perubahan pada tubuhnya, karena aliran sungai dalam tubuhnya bukan lagi aliran sungai kecil, tetapi sudah menyerupai air bah. Dan Gubreg tahu air dalam tubuhnya memerlukan muara. Demi Hyang Widhi, dia merasakan cinta yang dalam pada Dayu Centa­ga. Cinta yang tidak mungkin dihapus. Cinta yang membuatnya jadi batu, dingin, tidak lagi bisa menikmati kegairahan manusiawi sebagai manusia. Sampai sekarang, menjelang tujuh puluh lima, Gubreg masih setia mengabdi di Griya. Tanpa istri, tanpa kegaira­han sebagai laki-laki.

Kalau sekarang Kopag bertanya seperti apa kecantikan itu, Gubreg paham. Sesuatu yang dahsyat telah dititipkan alam pada tubuhnya.

Gubreg menatap tajam tubuh Kopag yang sedang merampungkan pahatannya.

“Gubreg, kau belum juga jawab pertanyaanku,” suara Kopag terdengar pelan. Dia menarik nafas berkali-kali, "Gubreg, kau ingat kata-kata Frans?”

“Yang mana?”

“Frans mengatakan keliaranku membentuk tubuh-tubuh manusia dalam kayu mengingatkan dia pada lukisan Pablo Picasso, Guemica. Pada dasarnya aku selalu penasaran, Gubreg. Kenapa kayu-kayu ini selalu mengajakku berdiskusi, mengajakku bicara, berdialog, dan berpikir. Aku selalu ingin tahu, selalu ingin mengupas dan melu­kai kayu-kayu itu. Rasa ingin tahu yang begitu besar, sampai menguliti otakku, tanganku, tubuhku. Aku juga ingin tahu arti setiap impian. Impian-impian yang dimiliki oleh pohon ketika dia membesarkan ranting-rantingnya, membesarkan tubuhnya, sampai akhirnya potongan-potongan tubuh itu ada di tanganku. Aku juga memiliki impian-impian sendiri pada patahan tubuh pohon itu. Suatu hari Frans dan seorang temannya mengatakan, pahatanku tentang perempuan sangat sempurna. Kata mereka, sangat surealis. Kecantikan perempuan yang kuterjemahkan lewat kayu-kayu itu mengingatkan Frans pada keliaran Martha Graham, yang memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk mewujudkan jati diri tokoh yang dimainkan. Gubreg, aku merasakan kecantikan perempuan itu melalui jari-jariku. Kayu-kayu dan pisau telah memberiku mata yang lain.”

Gubreg tetap diam. Dia mencoba memahami sesuatu yang sangat rahasia dan begitu dalam ingin disampaikan Kopag, seorang anak yang dibesarkan dengan cara-caranya, diajar memahami kehidupan. Gubreg bahkan rela bocah laki-laki itu mencuri lembar demi lembar rahasia perjalanan dan rasa sakitnya sebagai laki-laki yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi.

Berkat Kopag, keluarga besar ini kembali bisa hidup. Patung-patung Kopag laku keras dan diminati oleh kolektor dari dalam dan luar negeri. Sekarang ini keluarga ini tentram. Jero Melati tidak pernah ceriwis, perempuan itu bebas menggunakan uang Kopag semau­nya. Bahkan, kakak Kopag sendiri bisa membuka galeri patung yang besar. Saat ini galeri itu sudah tumbuh besar dan menjadi satu-satunya galeri yang paling diakui di Bali karena karya patung yang masuk harus melalui seleksi dan pertimbangan yang teliti. Bulan kemarin, ada bantuan dana dari Jerman dan Perancis.

Gubreg tahu tak ada yang diinginkan Kopag. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa arti ada uang atau tidak ada uang. Hanya satu yang ditangkap Gubreg, Kopag memerlukan perempuan.



***

“Kita harus carikan seorang istri untuk Ratu,” suara Gubreg terdengar sangat hati-hati. Mendengar komentar itu, Jero Melati tersenyum.

“Bagaimana kalau dia kawin dengan calon yang telah kusiap­kan.”

“Jero sudah punya calon?”

“Ya. Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari.”

“Siapa?”

“Adik perempuanku,” jawab perempuan itu serius. Gubreg menatap mata perempuan itu tajam. Untuk pertama kali dia merasa­kan hawa jahat berendam dan menguasai tubuh cantik itu. Benar kata Kopag, perempuan satu ini memang bukan perempuan baik-baik. Otaknya hanya berisi kehormatan.

“Kau harus bisa meyakinkan dia bahwa adikku layak menjadi istrinya.” Suara perempuan itu terdengar mirip perintah dan pemaksaan. Gubreg diam. Dia tahu, adik Jero Melati adalah perem­puan paling liar dan nakal. Kata orang-orang kampung, adik Jero Melati bisa menjual tubuhnya. Mengerikan! Padahal perempuan itu sangat cantik. Sayang, dia tidak tahan miskin. Padahal kemiskinan kalau dihayati memiliki keindahan tersendiri.

***

“Gubreg. Aku ingin bicara!” Kali ini suara Kopag terdengar serius. Gubreg mencoba memahami ke mana kira-kira arah pembicaraan Kopag. Lima menit tanpa hasil. Kopag seperti linglung, dia terus mengelilingi studionya.

“Ratu. Ratu ingin apa lagi? Jangan menakuti titiang. Ratu terlihat sangat gelisah.”

“Ya. Aku ingin kawin, Gubreg.” Suara Kopag terdengar sangat serius.

“Maaf Ratu, titiang juga sudah membicarakan dengan Jero dan kakak Ratu.”

“Apa kata mereka.”

“Mereka setuju. Bahkan merekalah yang akan memilihkan calon istri untuk Ratu.” Gubreg mengangkat wajahnya, ingin sekali dili­hatnya wajah Kopag berseri. Aneh! Wajah itu tetap seperti batu.

“Aku sudah memiliki calon. Kali ini pilihanku tidak bisa diubah!”

“Siapa?”

“Luh Srenggi.”

“Ratu...?!” Gubreg seperti tercekik. Luh Srenggi, apakah kuping tuanya tidak salah dengar? Bukankah Luh Srenggi adalah perempuan yang menyiapkan seluruh keperluan Kopag, membersihkan studionya menyiapkan makan, dan mengambilkan pisau-pisau pahat­nya? Perempuan itu bukan perempuan, dia lebih mirip makhluk yang mengerikan, kakinya pincang, punggungnya bongkok, ada daging besar tumbuh di atasnya, matanya yang kiri bolong, dia hanya memiliki satu mata. Wajahnya juga rusak berat. Kulitnya begitu kasar. Hyang Widhi! Dewa apa yang ada dalam tubuh Kopag. Sadarkah dia, tahukah dia makna kecantikan? Gubreg menarik nafas memegang dadanya kuat-kuat.

“Aku telah menidurkan perempuan itu setiap malam, Gubreg. Tubuhnya benar-benar lekukan kayu. Kulitnya juga kulit kayu. Kau tahu, ketika kujatuhkan tubuhku memasuki tubuhnya, aku tenggelam dan habis. Dia adalah perempuan tercantik. Perempuan yang menga­lahkan kecantikan kayu-kayuku. Ketika dia telanjang, tak ada sebuah pisau pun bisa menandingi ketajamannya. Perempuan itu telah mengasah tubuh laki-lakiku.”

Gubreg ambruk. Sebuah pisau pahat menembus dadanya yang tipis. ***



1. Saya

2. Panggilan kehormatan untuk bangsawan Bali



Horison, April 2000





Mayat

Oleh: Putu Wijaya



Mayat itu mengeluh.

“Aku yang mati. Aku yang terdera. Aku yang menjadi korban. Aku menderita. Aku yang sudah kesakitan. Aku yang menanggung seluruh kerugian. Aku diberitakan, diperdebatkan, dipergunjing­kan, diselidiki dan dipakai sebagai contoh, sebagai obyek untuk berbagai penyelidikan, analisa-analisa yang menyebabkan banyak orang menjadi terkenal dan kaya. Aku yang sudah mencetak duit buat banyak orang yang memanfaatkan dengan cerdik seluruh peris­tiwa yang dahsyat ini, sehingga mereka menjadi terkenal, terke­muka, memegang posisi puncak dan akhirnya menang. Tetapi aku sama sekali tak kebagian apa-apa. Aku tetap saja hanya sebuah mayat yang sepi. Yang akhirnya tak lebih penting dari segala manipulasi orang-orang tersebut. Ini sama sekali tidak adil!”

Ia bangkit dari kebisuan dan kekakuannya dan mulai menyusun protes. Ia menggugat perilaku yang semena-mena tersebut yang jelas sekali memperlihatkan keserakahan manusia.

“Peradaban sudah merosot. Kebudayaan tidak lagi membuahbudi­kan keluhuran, tetapi membuat manusia semakin tamak dan tipis rasa kemanusiaannya. Dunia sudah menjadi sebuah pasar besar. Semua orang berdagang. Dan dagang sendiri bukan lagi menjadi ajang tukar-menukar jasa dengan saling menguntungkan, saling bergotong-royong, tetapi sudah menjadi perang siasat untuk menipu dan membuat bangkrut orang lain. Kehidupan sudah rusak. Aku menginginkan ada pencerahan atas kabut hitam yang akan membuat dunia dan kehidupan serta segala manusia isinya ini kiamat kubra,“ kata mayat itu.

Ia berdiri di pinggir jalan. Lalu mulai mengganggu setiap orang lewat dengan berbagai keluhan, kemudian sindiran-sindiran dan akhirnya menjadi umpatan-umpatan yang terdengar tidak bedanya dengan kutukan.

“Aku yang mati, kamu yang enak. Aku yang kejepit, kamu yang melejit. Kamu semua kelihatan saja menangis, meringis, tapi sebetulnya kamu semua tertawa, kamu terus hidup ngakak. Kematian­ku sudah menghasilkan lebih banyak uang lagi ke dalam bisnismu. Air matamu hanya kelambu untuk menutup segala kebahagiaan dan keuntunganmu menjual berita-berita perih, menciptakan esai-esai, elegi-elegi, balada-balada dan orasi-orasi yang meratapi dan menggugat kematianku. Kamu tidak punya malu lagi mengeruk keun­tungan dari orang yang mati!”

Mayat itu mengetuk pintu sebuah media massa yang mengalami cetak ulang ketika memuat secara lengkap cerita dan foto-foto kematiannya. Para wartawan yang ditemuinya semua menghindar, menutupi hidungnya, mengangkat bahu dan menunjuk atasannya.

“Tanya Bapak, aku kan hanya menjalankan assignment.”

Sedang atasannya yang paling atas sibuk menunjuk wakilnya supaya meladeni mayat yang cerewet itu.

Akhirnya sekretaris redaksi, terpaksa membatalkan niatnya untuk pulang lebih dulu. Ia menghadapi mayat itu dengan senyum ramah. Sama-sama wanita, mungkin dapat diselesaikan secara baik-baik.

“Silakan menuliskan semua keberatan Anda terhadap pemberi­taan kami. Kalau memang ada yang salah, meskipun kami sudah sangat berhati-hati, kami bersedia untuk meralatnya untuk kebaha­giaan dan ketenangan Anda di sana,” katanya mempersilahkan mayat itu menumpahkan semua sumpah-serapahnya.

Mayat itu langsung duduk di depan komputer. Seperti bendun­gan ambrol, ia menembakkan seluruh unek-unek perutnya. Apa saja yang sudah menyakitkan, apa saja yang sudah menyinggung, semua yang tidak adil, seluruh ketidak-benaran, kesalahkaprahan, bahkan yang mungkin akan menyiksanya di kemudian hari, ia beber­kan dengan kata-kata yang tajam dan berbisa. Ia menguras seluruh dendam, luka, prasangka dan kesakitannya.

Berjam-jam mayat itu mencurahkan segala tuntutannya. Komput­er penuh dengan kata-kata kotor. Dalam uraian mayat itu dunia menjadi pabrik kejahatan yang hanya dihuni oleh bandit-bandit tengik. Moral, susila, tata krama, kepatutan, keluhuran budi apalagi kemanusiaan yang dikibar-kibarkan selama ini, ternyata hanya sebuah koteka, untuk membungkus kebiadaban.

“Semuanya busuk,” erang mayat itu. Ia kemudian lebih banyak mengeram-ngeram seperti kata-kata tak mampu lagi menampung sumpah-serapahnya. Akhirnya ia menggigit kursi sampai cabik-cabik, untuk menahan lonjakan perasaannya yang tertampung oleh layar komputer.

Sekretaris panik. Tetapi ketika ia mau lari mengadukan itu kepada atasannya, telepon berbunyi. “Biarkan saja, dia memerlukan ventilasi untuk menyalurkan emosinya. Nanti setelah kempes dia kan pergi sendiri.”

“Tapi kursinya rusak, Pak. Itu kan baru dibeli. Bagaimana kalau dia menghancurkan komputer.”

“Biar saja. Tapi suruh anak-anak siap untuk menjepret. Ini justru bagus untuk publikasi kita!”

Sekretaris bengong. Mayat itu berdiri, karena mencabik kursi itu, juga tidak bisa mengurangi tegangan dadanya. Ia lalu menumbukkan kepalanya ke dinding. Sekretaris menutup matanya, lalu lari keluar.

Mayat itu membentur dinding begitu kerasnya sehingga foto-foto di dinding berjatuhan. Di antaranya ada gambar garuda. Moncong garuda itu menancap di atas kepalanya. Mayat itu baru menjadi sedikit tenang. Dengan garuda yang masih bertengger di kepalanya, ia kembali ke kursi. Di situ ia menangis tersedu-sedu.

Setelah menangis tersedu-sedu nampaknya sebagian unek-unek tuntutannya berhasil ia lemparkan keluar dari perut, hati dan otaknya. Ia menoleh kembali ke layar komputer dengan lebih san­tai. Seperti balon kempes, ia menggepeng di atas kursi. Nampak begitu lelah namun damai.

Penjaga kantor yang tua bangka menghampirinya menanyakan apakah ia memerlukan sesuatu. Minuman panas, air dingin untuk penyegar. Mungkin juga makanan, semacam roti bakar yang masih bisa disamber dari perempatan jalan di malam yang selarut itu. Sekaligus mengingatkan bahwa subuh sebentar lagi akan menyundul di langit timur.

Mayat itu menggelengkan kepalanya. Ia tidak menginginkan apa-apa lagi. Seluruhnya mampetan pikirannya sudah tersalurkan. Kini ia memerlukan sebuah tidur yang panjang. Barangkali sepotong dua potong mimpi yang benar-benar mimpi.

Penjaga kantor itu mengerti. Tetapi sebelum pergi meninggal­kan tamu eksklusif yang diwanti-wanti oleh sekretaris supaya diperlakukan ekstra istimewa itu, ia sempat mengerling ke atas layar komputer. Ia berdecak-decak kagum. Seakan-akan ikut menik­mati kepuasan mayat tersebut. Ini menyebabkan kantuk mayat itu hilang. Ia menoleh pada penjaga malam yang sudah lancang itu dengan mata berkilat-kilat.

“Kamu mengerti?”

“Ya, saya mengerti sekali.”

“Kamu bisa merasakan.”

“Kenapa tidak? Jelas sekali.”

“Apa kamu menganggap semua ini neko-neko?”

“Tidak. Itu memang benar.”

Mayat itu menjadi amat girang, menemukan untuk pertama kali­nya, orang yang mampu memahami segala tuntutannya.

“Jadi kamu percaya sekarang betapa tidak adilnya semua ini?”

“Saya percaya.”

Mayat itu mengulurkan tangannya. Penjaga malam itu juga mengulurkan tangannya. Keduanya berjabatan tangan, seperti orang yang mau bersekongkol. Tapi tangan penjaga malam itu dingin seperti beku. Mayat itu terkejut.

“Kenapa tanganmu dingin sekali? Kamu takut?”

“Tidak.”

“Kamu heran atau kaget karena membaca semua ini?”

“Tidak.”

“Lalu kenapa tanganmu lebih dingin dari es?”

“Ya memang begini keadaannya?”

“Tapi kenapa?”

“Karena inilah hidup saya.”

Mayat itu terkejut. Ia curiga kalau-kalau bukan menghadapi seorang penjaga malam. Siapa tahu itu agen polisi. Paling sedikit mata-mata yang diutus oleh kepala kantor. Tetapi ketika ia meman­dangi mata penjaga itu, ia hampir terpekik. Karena di kedua mata nampak ruang kosong.

“Astaga kamu tidak punya mata lagi?”

“Tidak.”

“Tapi kenapa kamu masih bisa melihat?”

“Saya harus bisa melihat meskipun tidak punya mata.”

“Kenapa?”

“Karena itu kewajiban saya.”

Mayat itu bergidik. Bulu kuduknya meremang.

“Apa lagi kewajiban kamu?”

“Semuanya!”

Mayat itu tercengang.

“Kewajiban? Kewajiban apa? Kamu ngomong seperti seorang budak?!”

“Ya memang.”

“Apa? Kamu budak?”

“Betul. Saya budak.”

“Budak apa? Budak siapa?”

“Budak segala-galanya. Saya budak komplit.”

Mayat itu bingung. Dia berdiri dan memperhatikan penjaga itu lebih cermat. Tak puas hanya melihat, ia lalu menyentuh, kemudian meraba-raba, selanjutnya merogoh tubuh penjaga malam itu. Tiba-tiba ia terpekik ngeri.

“Wow! Badan kamu seperti tak punya tulang. Daging kamu bo­nyok!”

“Memang!”

“Bukan cuma itu, aku jadi curiga, jangan-jangan kamu, maaf boleh aku kobok sekali lagi?”

“Silakan.”

Mayat itu mendekat, lalu ngobok sekali badan penjaga malam itu. Ia terpekik kembali dan meloncat keluar. Matanya sampai tumpah keluar karena takjub.

“Ya Tuhan, kamu kok sepertinya tidak punya hati dan juga tidak punya otak.”

“Memang begitu.”

“Apa? Kamu betul-betul tidak punya perasaan dan pikiran?”

“Betul.”

“Edan!”

“Ya. Jangankan perasaan dan pikiran. Apa pun saya tidak punya. Lihat kemaluan juga tidak ada lagi. Maaf ya... .”

Penjaga malam itu membuka seluruh pakaiannya. Mayat itu menggigil. Orang itu memang sudah dikebiri total. Seluruh kema­luannya, termasuk kedua biji buah ampulurnya sudah dicomot. Ia tak punya segala-galanya.

“Kamu sudah bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. Kamu tidak punya apa-apa kamu sudah kalah komplit. Apa kamu bukan manusia?”

“Saya manusia.”

“Apa kamu sakti?”

“Tidak!”

“Lha kenapa kamu bisa hidup?”

“Ya begitulah. Saya harus hidup, meskipun tidak punya semua itu lagi.”

“Tidak mungkin!”

“Memang tidak mungkin, tetapi apa boleh buat, wong ini harus, kok. Ini kewajiban saya.”

Mayat itu berpikir keras. Lalu menggeleng-gelengkan kepala­nya.

“Siapa sih sebenarnya kamu?”

“Boleh panggil saya siapa saja, saya tidak pilih-pilih nama. Terserah orang, suka manggil saya apa saja, silahkan, saya manut-manut saja.”

“Itu namanya pasrah. Apa kamu orang Jawa?”

Penjaga malam itu berpikir.

“Nah sekarang kamu berpikir!”

“Bukan begitu. Saya memang telmi, telat mikir.”

“Coba ceritakan sedikit kehidupan kamu. Gaji kamu berapa sih. Pasti besar sekali karena kewajiban kamu begitu berat. Berapa?”

“Tiga puluh.”

“Tiga puluh juta?”

“Bukan tiga puluh saja.”

“Maksud kamu gaji kamu seperak satu hari?”

“Ya.”

“Gila! Bagaimana kamu bisa hidup hanya dengan gaji begitu?”

“Itu juga dianggap sudah terlalu banyak. Bukan hanya saya yang harus hidup. Istri saya dan sepuluh orang anak saya juga harus hidup.”

Mayat itu ternganga. Ia pelan-pelan duduk kembali. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang yang bergaji seperak satu hari dengan tanggungan istri dan 10 anak bisa hidup. Pasti penjaga malam itu korupsi.

“Kamu pasti korupsi?”

“Tidak, Pak. Saya hanya jualan kertas-kertas kantor yang sudah tidak terpakai.”

“Kalau begitu kamu ngobyek!”

“Terserah, Pak.”

“Kamu korupsi!”

“Apa itu korupsi, Pak?”

“Jelas!”

“Ya sudah.”

Mayat itu termenung. Ia lupa pada masalahnya sendiri dan mulai kagum. Memang pada orang kecil sering muncul sifat-sifat luhur yang dahsyat.

"Kamu luar biasa," gumam mayat itu terpesona. “Orang lain sudah mati kalau kondisinya seperti kamu ini.”

“Memang saya sudah mati.”

“Ah! Apa?”

“Kata saya, saya sudah mati.”

“Kamu sudah mati.”

“Ya.”

“Jadi kamu ini mayat?”

“Betul sekali.”

“Mayat seperti gua ini?”

“Benar!”

“Wow! Kalau begitu kita sama dong!” teriak mayat itu kegi­rangan karena merasa mendapat seorang teman secara tiba-tiba, sambil mengulurkan tangannya mau berjabatan.

Tetapi sekali ini, penjaga malam itu tak menyambut uluran tangannya.

“Ayo salaman, kita sama! Tadinya kukira aku sendirian. Sekarang aku tahu masih ada orang lain. Sedikitnya kita bisa berbagi kemalangan. Ayo salaman!”

Penjaga malam itu menggeleng.

“Tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa? Kamu tidak mau salaman? Ini hanya ek­spresi bukan kolusi, jangan takut, tidak akan dituntut.”

“Tidak bisa. Saya tidak bisa salaman. Jangan keliru.”

“Keliru bagaimana?”

“Saya bukan mayat seperti situ.”

“Lho tadi kamu bilang kamu mayat?”

“Betul.”

“Tetapi bukan?”

“Betul sekali. Saya memang mayat, tetapi bukan.”

“Kenapa bukan?”

“Karena meskipun saya mayat, tempat saya tidak di kuburan. Tetapi di kantor ini.”

“O kalau begitu kamu hantu?”

“Apa saya hantu?”

“Ya kamu hantu kalau begitu!”

“Ya sudah. Boleh juga saya disebut begitu.”

Mayat itu berpikir.

“Kamu jangan main-main. Ini bukan waktunya untuk guyonan.”

“Tidak. Sumpah, saya sungguh-sungguh. Boleh saja tidak percaya. Tidak apa. Saya sudah biasa tidak dipercayai. Saya tidak boleh tersinggung atau sakit hati. Dipercaya atau tidak, memang beginilah saya. Saya mayat yang harus hidup. Harus. Saya tidak boleh istirahat. Mati pun saya tetap harus bertugas."

Mayat itu bengong.

"Jadi kamu mayat hidup?"

"Ya itu."

"Kenapa kamu mau?"

"Kalau tidak, siapa yang harus melakukan pekerjaan yang jahanam tidak menguntungkan dan menyakitkan ini. Baik, Pak. Saya tidak boleh bicara terlalu banyak. Mayat kok banyak bicara. Selamat beristirahat, kalau perlu apa-apa jangan ragu-ragu memanggil saya. Saya tidak tidur, mayat kan sudah tidak perlu tidur lagi, saya hanya parkir di situ supaya tidak mengganggu.”

Penjaga malam itu pasang tabek, lalu berjalan ke sudut yang tadi ditunjuknya, lalu ditangkap oleh gelap.

Mayat itu terpesona.

“Ya Tuhan, kalau begitu, kalau begitu, nasibku tidak terlalu jelek. Ada yang lebih jelek. Bahkan aku boleh dikata agak mendin­gan dibandingkan dengan penjaga malam itu,” desis mayat itu. Ia mencuri-curi melirik ke sudut. Remang-remang dalam kegelapan, ia melihat tubuh penjaga malam itu mencair dalam gelap.

“Kasihan...”.

Penjaga malam itu tiba-tiba keluar dari gelap dengan tergo­poh-gopoh menghampiri.

“Maaf, memanggil saya, perlu sesuatu?”

Mayat itu terkejut.

“O tidak, tidak, sudah cukup. Aku tidak perlu apa-apa lagi!”

Penjaga malam itu mengangguk, lalu kembali lagi ke tempat­nya. Waktu itu mayat itu merasa malu hati. Diliriknya komputer yang penuh dengan tumpahan tuntutannya. Setelah melihat nasib penjaga malam itu, apa yang dirasanya sebagai kesakitan, seperti tidak ada artinya sama sekali. Ia merasa sudah terlalu cengeng.

Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan sudah berbuat kekeliruan yang fatal, mayat itu lalu kembali kepada komputernya. Disertai penyesalan penuh, hanya dengan satu gera­kan, ia menyentuh keybord komputer untuk menghapus semua keluh-kesahnya.

Tetapi apa daya, seluruh tulisan di dalam komputer itu sudah diprotek, sama sekali tidak bisa dihapus lagi. Ia abadi.***



Jakarta, 3 - 11 – 1997

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda