Oleh: Seno Gumira Ajidarma



Kami, 10.000 pasukan berkuda, akhirnya keluar dari hutan itu. Di hadapan kami kini terbentang padang stepa yang begitu luas bagaikan tiada bertepi. Setelah hampir berminggu-minggu hanya merayapi jalan setapak di antara pohon-pohon dan semak belukar, padang yang terbuka itu bagaikan pelepasan yang lebih dari memadai untuk melampiaskan kerinduan kami akan kebebasan, lepas dari kungkungan jurang dan tebing yang serba menjulang dan mencekam.

“Pacu!”

Orang-orang yang berada paling depan sebenamya tidak usah menunggu diperintah untuk memacu ku­da­nya, bahkan kuda-kuda itu sendiri bagaikan tidak lagi menunggu perin­tah untuk segera memacu diri me­reka, melesat secepat-cepatnya bagaikan berpacu de­ngan angin dingin yang bertiup begitu kencang menggigilkan tulang.

“Pacu! Pacu! Pacu!”

Kami semua berpacu sepanjang padang stepa yang terbuka sambil berteriak-teriak menuntaskan kegem­bi­raan kami. Kuda-kuda kami berpacu dengan riang, de­ngan tenaga baru yang seolah-olah begitu saja da­tang dari langit. Kuda-kuda kami menggebu, melesat dan menggebu, seperti mengerti betapa jiwa kami te­lah lama begitu tertekan dalam perjalanan berat me­­nempuh hutan yang rapat, gelap, dan penuh de­ngan rintangan. Kami menggebu begitu laju, seolah-olah bahkan jiwa kami kalau bisa lepas dari belenggu badan, mendesing menuju kebebasan. Namun se­ka­rang, cuma inilah yang bisa kami lakukan, berpacu me­lawan angin, dan berteriak-teriak meluapkan ke­gem­­biraan kami.

“Huuuu! Huuuuu! Huuuu!”

Satu per satu penunggang kuda yang keluar dari hu­tan segera melaju. Kami, 10.000 pa­sukan berkuda, ber­­­de­rap me­laju menuju cakrawala. Padang stepa di­se­limuti salju yang tipis, dingin angin bagaikan me­ngi­ris wajah-wajah kami yang sebetulnya toh cuma tampak matanya saja. Seluruh tubuh ka­mi terbungkus jubah bulu bi­na­tang yang tebal dan berat. Kami juga mengenakan topi dan se­pa­tu dari kulit binatang ber­bulu te­bal. Semuanya terbungkus, be­­gitu juga ta­ngan kami yang me­me­gang kendali. Para pembawa pan­ji, bendera, dan umbul-umbul kini membuka jalan ke depan. Bendera raksasa yang berkibar dan menyibak angin itu terlihat menggetarkan. Kuda-kuda kami sa­ling berpacu dengan perkasa, bumi bergetar oleh de­rap pasukan yang melaju dan menggebu.

Kaki-kaki kuda kami bagaikan tak mengenal lelah, berpacu dan berpacu, surai kuda-kuda kami yang te­bal melambai-lambai dengan megah dan seluruh ge­rak tubuh mereka bagaikan menari dengan indah. La­ngit hanya biru. Cahaya matahari menyiram padang. Setiap orang memacu kudanya ke cakrawala yang me­­lingkar 360 derajat. Hutan di belakang kami kini ba­­gaikan titik-titik hitam, dan segera lenyap di balik ka­ki langit. Kami bagaikan ber­pa­cu di atas per­ma­da­ni tanpa te­pi. Selama berjam-jam kami akan ber­pacu dan kami akan ta­hu bahwa pemandangan ini ti­­dak akan pernah berubah. Di te­li­nga kami angin bersiut dan men­deru. Kami terus-menerus ber­derap sepanjang padang. Ka­mi bersedia membayar se­ga­la­nya untuk perasaan merdeka yang kami dapatkan. Jangankan berpacu yang begitu meng­gem­bi­rakan, bah­kan perjalanan ber­ming­gu-minggu di dalam hu­tan yang melelahkan pun kami lakukan asalkan kami bisa mencapai tempat tujuan. Kami tahu, perjalanan kami masih jauh lagi, ki­ni kami mengambil peluang untuk meraih kegem­bi­raan.

Kuda-kuda kami terus berpacu dengan laju. Ku­da-kuda memang lebih dari sekadar bagian hidup ka­mi. Tanpa kuda, apalah artinya kami? Kuda-kuda ka­mi selalu mengerti apa yang kami inginkan, dan me­re­ka selalu memenuhi segala kehendak kami dengan memuaskan. Kami tidak mengerti apa jadinya hidup kami tanpa kuda. Kami selalu bepergian, selalu ber­pin­dah, selalu bertualang. Kami selalu berpindah se­suai dengan pergantian musim, perjalanan angin, dan per­edaran bintang. Semua ini tak bisa lancar tanpa ku­da sepanjang pengembaraan. Kini kami semua su­dah siap menempuh perjalanan yang terakhir, dan ku­da-kuda kami tetap setia mengikuti sampai akhir tu­juan. Kuda-kuda kami masih terus berderap, bagai ber­­pacu dengan angin. Telinga ka­mi semua penuh de­ngan de­sau, yang kadang-kadang ter­de­ngar seperti sebuah percakapan, namun yang maknanya seperti selalu menghindari kepastian.

Sampai di manakah suatu per­jalanan berakhir? Apa­kah mung­kin suatu perjalanan ber­akhir? Apakah mesti suatu per­ja­lanan berakhir? Sudah ber­ta­hun-ta­hun kami mengembara dan kami tidak pernah merasa ya­kin kapan suatu perjalanan bi­sa berakhir. Kami me­ngembara dan menjelajah se­ge­nap per­mu­kaan bumi untuk mencari suatu akhir, namun sampai se­karang tia­­da satu alasan pun bisa meng­hentikan ka­mi. Kami me­­­­­nyeberangi sungai, ka­mi mendaki celah-celah gu­nung, kami mengarungi gurun pasir, dan kini kami ber­­­­­­­pacu di tengah padang tanpa tepi, tapi kami tidak ju­ga ingin berhenti. Kami bi­sa berhenti dan menetap di suatu tempat untuk satu, dua, bahkan bisa lima ta­­­hun, namun kami selalu be­rangkat kembali. Rumah kami sekarang adalah perjalanan itu sendiri.

Padang stepa yang terbuka masih tidak mem­per­li­­hatkan apa-apa kecuali hamparan rumput kering yang kelabu dengan polesan salju. Begitu luasnya pa­dang gurun ini sehingga kami me­rasa berjalan di tem­pat. Apa­kah yang terjadi di tempat-tem­pat lain ketika ka­mi berpacu? Pa­nah seorang pemburu sedang me­lesat ke jantung seekor rusa ke­tika kami berpacu. Bu­rung-bu­rung kondor beterbangan me­ling­kar di langit mengincar pe­ngem­­bara yang sekarat ke­haus­an ketika kami berpacu. Seekor ikan salmon me­nang­kap umpan dan tersendal pancing ke udara ketika kami berpacu. Benarkah se­ekor gajah menegakkan belalainya dan me­leng­king­kan bunyi terompetnya nun entah di mana ketika ka­mi berpacu? Seseorang mendayung perahu menuju ma­tahari terbenam ketika kami berpacu.

Kami berpacu, berpacu, dan berpacu.

“Huuuuu! Huuuuuu! Huuuuuuu!”

Kami berderap dan berpacu memburu matahari yang terbenam ke balik cakrawala. Langit yang tadi ba­gai tempurung raksasa membiru kini semburat me­rah terbakar. Matahari terasa betapa berat, menancap kemerahan bagai kuil yang menanti penziarah dari se­genap penjuru bumi. Kami berderap dan berpacu me­nuju matahari itu. Langit masih membara. Kami, 10.000 pasukan berkuda, menjadi bayang-bayang ke­hitam­an yang melesat ke suatu arah. Kalau matahari itu menghilang di balik cakrawala, kami harus mem­burunya ke balik cakrawala.



***

Tempat itu dinamakan Lembah Sepuluh Rem­bu­lan. Ada sepuluh danau di lem­bah yang luas mem­ben­tang itu dan seharusnya ada sepu­luh rembulan meng­apung di atas sepuluh danau. Namun, ketika ka­­­­­mi akhir­nya sampai ke lembah itu, musim dingin be­­lum ber­a­khir sehingga sepuluh danau itu masih men­­jadi dataran salju. Bila bulan yang perak itu mun­cul di langit malam, caha­ya­nya dipantulkan kem­ba­li oleh permukaan danau yang diselimuti salju. Di se­tiap danau itu setiap 1.000 orang dari kami berkemah. Di Lem­bah Sepuluh Rem­bu­lan inilah kami akan me­nunggu 100.000 saudara-saudara kami.

Seseorang dari kami tam­pak meniup seruling di ke­jau­h­an itu. Ia meniup seru­ling sambil duduk di se­buah batu di atas tebing, seolah-olah berhadapan de­ngan rem­bulan - bahkan rem­bulan se­perti turun ke bu­mi hanya untuk mendengarkannya me­niup seru­ling.

Tapi apakah rembulan me­ngerti arti lagu seruling itu? Seruling itu berkisah tentang riwayat kami yang panjang dengan bahasa kami sendiri. Apakah rem­bu­­lan bisa memahami, betapa nun di sebuah benua yang jauh bertahun-tahun yang silam suku kami ber­ke­mas untuk sebuah perjalanan yang tak kami ketahui ka­pan akan berakhir? Apakah rembulan mengerti, be­tapa berat penderitaan su­­­ku kami sepanjang per­ja­­lan­an mengarungi benua itu, menghadapi segenap rin­­tangan alam maupun suku-suku musuh kami? Apa­kah rembulan mampu me­nang­kap gelora sema­ngat pe­­­­­ngem­­­­­­­­­­baraan kami? Tak te­r­­hi­tung lagi berapa orang te­lah mati dan berapa bayi te­lah dilahir­kan se­pan­­jang per­ja­lanan dari kampung ke kampung, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit, semenjak begitu banyak ta­hun yang telah lama berlalu.

Ia meniup seruling di atas tebing. Berkisah ten­tang kafilah panjang yang me­­nyeberangi gurun, orang-orang yang mengendarai ku­da dengan tertunduk, dan anak-anak yang tidur de­ngan­ gelisah di dalam ge­ro­bak-gerobak penuh barang dan bahan makanan, se­me­ntara seorang nenek tua ber­s­­­e­nandung dengan suara bu­ruk tentang tanah air yang su­dah mereka ting­galkan.

Lembah Sepuluh Rem­bu­lan adalah suatu lembah ger­sang dengan dataran yang sangat luas. Kami mem­­­­­biar­kan kuda kami men­jilati lelehan salju dan me­­rum­put di sana-sini. Ka­mi siapkan kantung-kan­tung tidur dan selimut ka­mi. Bukit-bukit batu yang men­ju­lang dan membentuk lembah ini melindungi kami dari angin sehingga kami bisa menyalakan api ung­gun. Di setiap api unggun ma­sih tampak orang-orang membakar sisa-sisa daging per­bekalan mereka dan me­­­­­ngunyahnya dengan la­hap. Beberapa orang ma­sih mi­num susu hangat yang ber­aroma teh, dan men­de­ngar­kan seseorang ber­ce­rita.

"Maka sang raja pun ja­tuh cinta kepada wanita dari negeri seberang itu...."

Kami selalu mem­bu­tuh­kan cerita, seruling, dan kuda. Kami me­mu­ja rem­bu­­lan dan matahari. Kami me­­­­nyem­bah langit, kami me­­nyembah bumi. Ka­mi men­­­­cintai keindahan se­per­ti men­cin­tai kehidupan itu sendiri.

Apakah yang akan kami lakukan selama hari-hari penantian kami? Tidur tanpa ten­da adalah suatu sik­saan yang berat bagi ka­mi, karena musim dingin yang se­lalu ber­angin akan terus-menerus menguji ke­ta­bah­­­an hati kami. Barangkali kami akan me­man­­faat­kan waktu untuk berburu, bu­kan hanya karena daging bi­na­tang buruan kami pe­r­lu­kan untuk menimbun per­be­kalan yang mulai me­ni­pis, tapi juga karena kulit ber­­­bulunya yang tebal kami butuhkan un­tuk membuat tenda. Apabila 100.000 sau­­­­­­­dara-saudara kami tiba, me­reka yang sebagian terdiri dari wanita, anak-anak, dan orang tua, akan mem­butuhkan tenda-tenda itu. Tenda-tenda kami ada­­lah­ tenda yang besar dan hangat, sudah berabad-a­bad bentuk tenda kami ti­dak pernah berubah. Di da­lam tenda itu kami bisa me­masak sekaligus meng­ha­ngat­­­kan diri kami.

Ketika kami semua ber­siap tidur dan memandang bi­n­tang gemintang di la­ngit, peniup seruling itu ma­sih di sana, melanjutkan ke­rinduannya yang panjang akan kampung halaman ka­mi yang terletak di sebuah da­­tar­an tinggi di tepi su­ngai, dengan latar belakang pe­­gunungan yang menjulang megah. Seruling itu meng­ingat­­kan kami kembali kepada kampung hala­man leluhur kami yang sungainya tidak pernah mem­beku, di mana bila senja tiba di tepi sungai akan ter­de­ngar derai tawa ce­ria gadis-gadis yang mandi, se­men­­tara di kejauhan terdengar gemerincing anting-anting dari daun telinga yang panjang itu di­cuci. Suara-suara itu dibawa angin ke bukit-bu­kit di mana anak-anak gembala me­main­kan serulingnya sambil tiduran di atas ker­bau -- inikah sebabnya suara se­ru­ling itu mem­buat kami diam? Kami sedih. Kami pas­rah. Kadang kami tidak tahu apa yang ha­rus kami perbuat.

Kemudian, ketika suara seruling itu le­nyap ke ba­lik malam barangkali kami masih mendengarnya di dalam mimpi-mimpi ka­mi, menjelma gambar-gambar yang ber­ke­le­bat dari masa lalu kami. Betapa selalu masa la­lu ber­ada dalam diri kami, dan kami menyu­kai­nya ka­re­­na memang tidak pernah ingin kehilangan masa lalu ka­mi yang semakin hari serasa semakin in­dah.

Kami sudah menempuh perjalanan yang panjang dan kini kami ingin tidur. Angin masih terus bertiup dan tak akan pemah berhenti. Kami mengerti betapa angin akan mengembara ke segenap penjuru bumi, ba­h­kan ia menyeberangi samudera mahaluas, meng­hu­bungkan kami dengan segenap unsur kehidupan. Betapa segala hal di muka bumi ini saling berkaitan.

Kemudian, tinggal kesunyian di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami, 10.000 pasukan berkuda, tertidur dengan pulas, tiada yang mendengkur sama sekali. Di Lembah Sepuluh Rembulan hanya terdengar desau angin. Gemeretak api unggun segera berakhir. Tinggal bara api menyala diam-diam, makin lama makin menghilang. Maka terlihatlah gerak cahaya rembulan yang memantul di dinding-dinding batu. Rupa-rupanya bulan yang turun mendengarkan suara seruling mengangkasa kembali. Bertengger di atas sana. Sesekali tertutup awan.



***

Setahun kemudian seorang pengawal di atas te­bing berteriak.

“Hooooiiiii! Mereka sudah datang!”

Kami semua segera melompat ke atas kuda, dan memacunya ke tempat-tempat yang tinggi. Sebagian yang lain malah langsung keluar dari celah lembah, dan terbentanglah di hadapan kami pemandangan yang menggembirakan itu, pemandangan yang kami nan­tikan. Tak kurang dari 100.000 saudara-saudara kami muncul dengan meyakinkan dari balik kaki la­ngit.

Hari sudah menjelang senja, langit bagai tenda rak­sasa berwarna ungu. Saudara-saudara kami masih merupakan sosok-sosok hitam yang seolah-olah ber­jalan di tempat. Dengan perasaan yang sangat tidak sabar dan menggebu-gebu, kami berlari-lari turun dari bukit, langsung melompat ke atas kuda kami. De­ngan segera, kami menggebu menyambut 100.000 sau­dara-saudara kami yang masih merupakan sosok-so­sok hitam di kaki langit itu. Ketika saudara-saudara kami melihat kami datang menyambut mereka, se­ba­­gian dari mereka yang mengendarai unta dan ber­kuda segera melesat ke depan ingin segera bertemu de­ngan kami.

Senja itu langit yang ungu serasa begitu cerah. Tia­da yang lebih menggairahkan selain kehendak yang menggebu menjumpai orang-orang tercinta. Mereka semua telah menempuh perjalanan yang panjang di jalan yang telah kami rintis. Tentulah jumlah mereka sudah tidak genap 100.000 orang lagi. Tentu ada yang mati dan lahir sepanjang perjalanan, seperti yang sudah-sudah, kami baru akan mengetahuinya nanti.

Kemudian kami melihat panji, bendera, dan um­bul-umbul yang sama. Ber­­­kibar dengan megah, ber­ge­tar-getar dalam tiupan angin. Se­mua ini meng­ge­tar­kan jiwa kami dan kami merasa betapa setiap detik dalam hidup ka­mi sangat mem­­­­­­­punyai arti. Ka­­mi meng­gebu dengan pe­ra­­saan rindu dan penuh de­ngan cinta. Seperti apakah mereka kini?

“Huuu! Huuuu! Huuuu!”

Kaki-kaki kuda, berderap dan berpacu. Sosok-so­sok hi­tam itu makin lama makin mem­besar. Mereka yang ter­depan akhirnya bertemu mu­ka dengan kami. Masing-ma­sing dari kami kemudian ber­henti dan ber­hadapan. Rom­bong­an yang terdepan itu ma­sih me­nan­ti mereka yang ter­seok di belakang, dengan ge­ro­bak, kereta, gajah dan unta. Lebih banyak lagi yang ber­ja­lan kaki.

Kami semua turun dari kuda.

“Akbar!"

“Abdul!”

Kami semua berpelukan dengan penuh rindu dan penuh dendam. Kami tahu hari-hari akan menjadi lebih berat, namun kami juga tahu hari-hari kami akan lebih menggembirakan. Suku kami telah bersatu kem­­bali di bawah langit dan bumi yang sama. Wajah-wa­jah mereka tampak lelah dan kuyu, seluruh pa­kai­an mereka usang dan kelabu, penuh dengan debu, na­mun betapa dari sinar mata mereka terpancar jiwa pas­­rah dan ikhlas, siap me­nem­­­­­­­­­­puh perjalanan untuk ma­­­­­ti. Kami menyatu kembali da­lam gairah kehidupan yang pa­nas. Angin begitu dingin, na­­­mun tiada akan ada satu pun halangan kini bagi kami untuk meng­ung­kapkan suka­cita kami.

Begitulah kami akan mem­baca puisi di tepi danau, me­na­ri di atas perahu, memetik kecapi di puncak bu­­kit, dan melakukan meditasi bersama dari malam sampai pagi di ba­wah rembulan dan mata­ha­ri. Kami menatap saudara-sau­dara kami yang baru tiba dan merasa sedih meskipun gem­bira. Betapa mereka be­gitu tabah, dan kini begitu ku­­rus. Wanita dan anak-anak kami berambut kasar dan merah. Semua orang tam­pak tak terurus, tapi siapakah yang akan bisa tam­pak terurus dalam perjalanan panjang, menyeberang dari benua ke benua hanya untuk selalu pergi dan tak akan pernah kembali?

Kami terus-menerus saling berpelukan dengan je­rit dan tangis yang makin menjadi-jadi.

“Sarita!”

“Maneka!”

Mengapa kita bisa terus-menerus memikirkan se­se­orang meskipun kita berjarak begitu jauh dari se­se­orang itu dan telah berpisah begitu lama sehingga kadang-ka­dang se­benamya susah mem­­­­­­­­­­­­­­per­ta­han­kan ingatan atas seseorang itu dari hari ke hari dalam su­atu perjalanan yang terus-me­nerus berubah warna? Na­mun, betapa tiada jarak lagi ki­ni bagi kami. Ka­mi semua menemukan ma­sing-masing keluarga, kami berjalan kem­bali ke Lembah Sepuluh Rem­bu­lan sambil me­­­nye­nan­dung­kan lagu syu­kur dari hati. La­ngit mem­ber­kati kami. Pa­du­an suara lagu kami dipan­tul­kan kembali oleh dinding-din­ding tebing dan se­mua ini hanya meng­ingat­kan be­tapa kami sebagai ma­nusia sungguh memiliki nilai yang hakiki.

Kami membagi diri kami berdasarkan pemukiman di sepuluh danau sehingga setiap 10.000 orang dari sau­dara-saudara kami yang baru tiba akan bergabung dengan setiap 1.000 orang dari pasukan berkuda ka­mi. Kami tahu kami akan menyanyi dan menari malam ini. Kami akan membakar daging rusa dan kami akan memakannya sepuas hati. Kami akan membagi arak dan anggur dan kami akan menuangkannya ke atas daging bakar yang merah berasap membangkitkan lapar.

Kami begitu siap untuk ba­hagia, tapi kami me­na­han ke­gembiraan meluap kami se­ba­gai bekal me­na­han pen­de­ri­taan pada masa-masa yang akan datang. Ka­mi tidak ber­ma­buk-mabukan dan lupa da­rat­an, kami menyalurkan ke­ba­hagiaan kami dengan suatu cara yang hanya kami bisa melakukannya. Maka begitu­lah kami segera bekerja begitu tiba di Lembah Sepuluh Rem­bulan. Kami mendirikan ten­da bagi orang-orang yang sa­kit, kami mengatur pe­nge­lom­pokan sesuai dengan asal-usul setiap keluarga di kampung kami. Saudara-saudara kami yang baru da­tang itu begitu lelah dan begitu kurus se­hing­ga agaknya kami masih akan bertahan beberapa lama lagi di sini sebelum kelak ber­kemas dan berangkat kembali.

Kini semuanya sudah berada di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami yang telah tinggal di sini selama setahun, bisa melihat bagaimana sepuluh rembulan itu mengapung di atas sepuluh danau selama musim pa­nas yang tetap saja dingin. Saudara-saudara kami yang 100.000 orang itu datang pada musim dingin, ja­di mereka hanya melihat sepuluh danau yang mem­beku. Bahkan ketebalan es di atas danau itu mampu menahan beban gajah yang berjalan di atasnya. Ga­jah-gajah yang kami bawa berbulu tebal, begitu juga un­ta dan kuda-kuda kami. Mereka begitu jinak, begitu mengerti, dan begitu penurut sehingga kami sungguh berterima kasih dengan segala pengorbanan mereka da­lam perjalanan kami.

Dalam perjalanan itu 53 orang dari kami me­ning­gal, dan kami menguburkannya di tengah jalan, se­men­tara itu 53 bayi dilahirkan sehingga jumlah sau­dara-saudara kami yang baru datang itu tetap genap berjumlah 100.000 orang. Adapun pasukan berkuda yang merintis jalan masih tetap berjumlah 10.000 orang.

Begitulah selama beberapa bulan yang tenang ka­mi tinggal di Lembah Sepuluh Rembulan. Pada musim semi danau masih membeku, namun rerumputan men­jadi lebih hijau. Ketika tiba musim panas, kami se­mua, 110.000 orang, berkemas dan bersiap me­lan­jutkan perjalanan.

Kami berangkat pada pagi subuh. Bulan masih meng­gantung di langit. Dari atas tebing kami me­no­leh untuk terakhir kalinya ke Lembah Sepuluh Rem­bu­lan. Kami melihat sepuluh rembulan mengapung di atas sepuluh danau, dan setiap orang yang me­li­hat­nya tersenyum dalam hati.



***

Sudah berbulan-bulan kami terus berjalan. Ketika matahari terbenam kami semua beristirahat dan tidur. Sebelum matahari terbit kami sudah berangkat lagi. Kami semua, 110.000 orang, melangkah perlahan-lahan menapaki jalan yang telah dikodratkan bagi kami. Begitulah kami berjalan, berjalan, dan berjalan mengarungi gurun, menempuh ngarai, menembus badai, dan menyeberangi sungai. Kami tidak pernah memacu kuda kami kecuali jika kami putuskan ber­henti sebentar untuk berburu. Kami terus-me­ne­rus berjalan dengan hati yang terpaut kepada cahaya. Ada semacam cahaya dari langit dalam hati yang terus-menerus bergerak setiap kali kami me­lang­kah mendekatinya. Kami, 110.000 anak manusia terus-menerus melang­kah, kuda dan unta melangkah pelan tapi pasti seperti doa yang diucapkan perl­a­han, khusyuk dan meyakinkan.

Kami jarang bercakap-cakap di an­tara kami karena hati kami sekarang ha­nya berisi penyerahan diri kepada ke­hi­dup­an. Bayi-bayi seperti tahu diri untuk ti­dak menangis, bahkan mata mereka pun bagai menatap sesuatu yang penuh dengan pesona. Barang­k­ali mereka juga melihat cahaya itu yang hanya bisa dita­tap dengan mata hati di langit jiwa ma­sing-masing yang mengerti dari mana hi­dup ini datang dan ke mana hidup ini per­gi. Kami berjalan menapaki jalur di an­ta­ra lembah, mendaki gunung-gunung batu, dan me­na­paki gigir-gigirnya yang mengerikan. Kami, 110.000 orang, de­ngan bayi di gendongan, orang sa­kit da­lam tanduan, dan hewan-hewan peliharaan yang tak bo­leh ditinggalkan, merayap di jurang yang curam, jalanan setapak berlumut yang begitu licin dan terlalu se­ring memelesetkan.

Kadangkala tiba saatnya seorang wanita harus me­la­hirkan di tengah jalan, maka sebagian dari kami pun berhenti mengurusnya, sementara yang lain me­ne­ruskan perjalanan. Rombongan kami membentuk ba­ris­an yang panjang bila melewati celah yang curam, menyebar seperti semut bila tiba di padang terben­tang. Mereka yang telah menjadi tua, lemah, dan lum­puh kami naikkan ke atas gajah-gajah kami yang ma­sih setia. Gajah-gajah ini berbadan besar, namun se­perti tidak mendapat halangan jika berjalan di dalam hutan, kaki mereka yang besar menapak dengan lin­cah di jalan setapak dan keseimbangan gajah-gajah ini sangat baik dalam pendakian dinding-dinding yang curam. Tentu mereka tahu jalan yang terbaik buat ga­jah sehingga kadang-kadang mereka harus me­mi­sah­­kan diri untuk bertemu lagi di suatu tempat lain. Kadang-kadang perpisahan ini bisa sampai berhari-hari lamanya, tapi kami rombongan 110.000 orang dengan segala hewan peliharaan tidak pernah benar-benar saling terpisah.

Begitulah di antara kami kemudian ada yang me­ninggal dan kami pun segera menguburnya tanpa me­ninggalkan upacara yang diharuskan. Semua orang yang pergi mendahului mati dalam pelukan cahaya. Mata mereka mengatakannya. Mereka yang mati da­lam perjalanan ini sebenarnyalah mati dalam ke­ba­ha­giaan. Arwah mereka membubung menyusuri ca­ha­ya, menuju sebuah dunia di alam sana yang hanya bisa dihayati setelah kematian. Itulah dunia yang kami rin­dukan, dunia yang kami impikan dari abad ke abad, dari dongeng ke dongeng, dari segala keinginan dan ke­hendak yang sejak lama terlukis di gua-gua leluhur ka­mi yang begitu gelap di mana mereka merindukan cahaya keabadian.

Kami melangkah, menapak pelan, terus-menerus ber­jalan, dengan kepastian bahwa jalan cahaya itu akan kami temukan. Setelah bertahun-tahun me­nem­puh perjalanan yang serasa alangkah panjang dari be­nua ke benua, kami kemudian merasa terbimbing oleh tan­da-tanda cahaya dalam jiwa kami yang penuh de­ngan keyakinan. Dari gurun ke gurun rombongan ka­mi berjalan, sudah lama juga kami tidak menjumpai tem­pat pemukiman maupun binatang. Dalam ke­nang­an kami masih tergambar dengan jelas betapa di tem­pat-tempat yang kami lewati pemandangan ter­pam­pang begitu indah sehingga kami kadangkala merasa terkecoh karena mengira inilah tempat yang kami rin­dukan. Namun kami tahu, meskipun matahari ter­be­­nam yang jingga itu begitu memukau di latar langit yang ungu, ini bukanlah tempat yang dimaksudkan dalam mimpi-mimpi kami tentang tempat yang ter­in­dah untuk menuju kematian karena tempat itu me­mang tidak terletak di muka bumi ini.

Tentu saja kami masih selalu teringat betapa pada awal keberangkatan segalanya terasa meng­gem­par­kan. Kami berangkat meninggalkan sebuah negeri di sebuah pulau yang segera menjadi kosong. Kami me­lewati desa dan kota yang penduduknya melihat ka­mi lewat bagai pawai panjang dari sebuah tontonan yang mengherankan. Sebegitu buruknyakah kehi­dup­an sehingga kematian bisa menjadi impian terindah bagi 110.000 orang yang tadinya hidup tenteram di tepi sebuah sungai dengan latar belakang pegunungan biru yang menjulang bagai tempat persemayaman dewa-dewa dari suatu dunia entah di mana bagai ne­geri yang hanya ada dalam dongengan? Kami pergi me­­ninggalkan kampung halaman kami dengan me­ning­galkan segala kebahagiaan yang telah kami da­pat­kan demi panggilan dari cahaya dalam mimpi-mim­pi kami.

Dunia kami memang berubah semenjak menerima tanda-tanda yang begitu memikat untuk diberi tang­gap­an. Kami semua bisa mengalami mimpi-mimpi yang sama dari malam ke malam yang penuh ke­aneh­an di mana bunyi genderang terdengar dari langit dan dari seberang sungai bagaikan terdengar paduan suara yang mengalun merdu dan menyejukkan. Kami se­mua terpana dan terpesona dan merasa segala-galanya tiada berarti lagi selain keinginan untuk menuju sum­ber suara dan mimpi-mimpi itu. Dari hari ke hari, se­­makin banyak tanda-tanda dalam mimpi-mimpi ma­lam kami dan betapa kami semua semakin merasa bahwa hanya dengan menuju tempat yang kami ingin­­­kan itulah terletak arti kehidupan kami. Maka begitulah hidup kami berubah ketika mendadak kami semua harus berkemas mempersiapkan sebuah per­ja­lanan yang belum bisa diketahui berapa lama dan ka­pan akan berakhir. Orang-orang tua di kampung me­ngatakan bahwa suku kami selalu mengalami hal-hal yang demikian semenjak abad-abad yang telah la­ma silam. Kami tak lagi mengerti apakah mimpi-mimpi kami merupakan warisan darah yang ditu­run­kan ataukah memang datang dari langit malam yang penuh dengan khayalan.

Langit merah di kaki langit. Kami, 110.000 anak manusia, masih terus-menerus berjalan di atas bumi yang fana.



***



Kemudian, tibalah kami pada suatu pagi di mana kami setelah bangun dari tidur yang panjang merasa tidak usah berjalan ke mana-mana lagi. Kami tahu betapa ketika kami menutup mata dan kemudian mem­bukanya lagi, kami telah melakukan perjalanan bersama cahaya ke suatu tempat yang tiada tertera da­­­lam peta mana pun di muka bumi. Memang masih se­perti gunung-gemunung tapi bukan gunung-ge­munung, memang masih seperti hamparan salju yang ter­poles di sana-sini dengan hewan-hewan ternak ber­bu­lu tebal tapi bukan hamparan salju yang terpoles-po­les di sana-sini dengan hewan-hewan ternak ber­bu­lu tebal, memang, memang, memang langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi tapi bu­kan langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi.

Garis cahaya yang meluncur sepanjang kaki langit melingkari kami. Tanpa diperintah setiap orang lantas melakukan semua persiapan untuk menanti saat itu. Ka­mi membasuh wajah dan telapak tangan kami dengan segantang air dari masing-masing perbekalan kami. Kami menanak sarapan pagi kami dengan per­ca­kapan sesedikit mungkin dan kami makan per­la­han-lahan tapi pasti untuk meyakinkan betapa kami akan menyambut saat-saat terbaik dalam hidup kami de­­ngan perut terisi. Semua orang mempersiapkan di­ri­nya tanpa kata tanpa angan-angan tanpa pertanyaan karena semua ini telah mengisi jiwa dan pikiran kami selama melakukan perjalanan bertahun-tahun meng­ikut­i cahaya di dalam langit jiwa kami.

Inilah pagi yang berembun dan berkabut yang per­lahan-lahan berpendar menampakkan siapa berada di selatan dan siapa berada di utara. Dari balik kabut itu, tampak kuda-kuda kami yang perkasa menatap kami dengan pandangan seolah-olah mengerti ten­tang segala hal yang akan terjadi. Pastilah dunia ini begitu luas dan begitu penuh kemungkinan sehingga jalan cahaya dalam impian ternyata mampu me­nam­pung 110.000 orang seketika lengkap dengan hewan-hewan peliharaan dan itu pun ternyata belum apa-apa. Kemudian kabut menjadi semakin tipis, me­ngam­bang, dan pergi. Kami tahu semuanya akan pergi dan berlalu seperti juga berakhimya perjalanan kami yang terlalu sulit untuk bisa diceritakan dengan kata-kata.

Langit ungu muda. Tiada mega di langit -- kami me­rasa saat-saat itu memang segera akan sampai. Sembari berjalan kian kemari setelah mengenakan busana terbaik yang kami miliki, kami menikmati setiap detik dari saat-saat kebahagiaan kami yang fa­na. Kami belum lagi mengerti kebahagiaan macam apakah yang masih bisa kami dapatkan lagi dalam ke­hidupan yang abadi. Hewan-hewan peliharaan ka­mi pun seperti tampak mempersiapkan diri. Gajah-ga­jah, unta-unta, dan kuda-kuda, mereka pun banyak yang mati sepanjang perjalanan, namun kami selalu men­dapatkan gantinya. Kami merasa sangat ber­te­ri­ma kasih kepada hewan-hewan peliharaan kami dan ka­mi merasa lebih dari layak bisa membawanya mem­bubung ke Negeri Cahaya.

Maka langit pun terkuak dan kami terkesiap. Kami hanya bisa menunduk dan merendahkan diri, hanya tegak di atas lutut kami. Tubuh kami bergetar dengan hebat dan kami merasa kecut. Tiada suara yang meng­ge­legar, namun dada kami berdebar bagaikan ter­de­ngar suara yang menggelegar. Cahaya yang terang me­nyi­laukan segera memutihkan dunia kami. Kami te­tap menunduk dengan perasaan tercekat, namun kami me­lihat segala-galanya memutih diserap cahaya. Pa­dang rumput memutih, panji, bendera dan umbul-um­bul kami yang berwarna merah pun memutih, se­gala-galanya memutih. Kami mencoba mengingat se­ga­la sesuatu yang berwarna dari kenangan dan mim­pi-mimpi kami, namun cahaya itu menembus dunia angan-angan kami sehingga segala sesuatu yang kami pandang dengan mata terbuka maupun tertutup ber­war­na putih. Kulit hewan peliharaan kami pun me­mu­tih, seperti juga seluruh busana terbaik yang kami ke­nakan, sepatu, kulit dan rambut kami, segalanya me­mutih lantas mengertap berkilauan seperti cahaya itu sendiri.

Begitulah kami semua, kemudian tidak bisa saling melihat karena di sekitar kami hanya cahaya yang ber­denyar-denyar menyilaukan membuat kami ma­sing-masing untuk pertama kalinya merasa sangat sen­­diri setelah dari hari ke hari hampir selalu bers­a­ma-sama semenjak dilahirkan di kampung kami. Tia­da lagi angin bertiup, tiada lagi debu mengepul, kuda-kuda berpacu, bayi menangis, dan suara seruling dari atas tebing pada malam bulan purnama. Sungguh se­mua ini terlalu menarik untuk ditinggalkan, namun se­perti juga air sungai dari sebuah sumber mata air di puncak gunung yang mengalir menuju lautan, be­gitu pula kami jalani kodrat kehidupan kami dengan tulus dan penuh keyakinan dengan perasaan bahwa semua ini memang suatu anugerah yang ter­lalu me­nye­nangkan. Begitulah kami menyerahkan diri de­ngan segala dosa dalam tubuh dan jiwa untuk disu­ci­­kan oleh cahaya itu sebelum kami berangkat ke akhir tujuan kami.

Lantas kami alami bagaimana jiwa kami dilun­cur­kan. Dari kelam ke kelam, dari cahaya ke cahaya, ke­­lak-kelok labirin yang memusingkan, gua pelangi yang menyilaukan.

Kami berangkat melewati tujuh rembulan, tujuh ma­tahari, dan berdoa di dalam tujuh kuil di atas awan. Langit yang berlapis-lapis memeluk jiwa kami dan ka­­mi kemudian merasa mampu berada di segala arah, dari barat sampai ke timur, dari selatan sampai ke uta­ra, secara serentak tanpa harus merasa berada di tem­­pat yang berlain-lainan. Begitulah rombongan ka­mi, 110.000 anak manusia, bangkit kembali dari tumpuan lutut kami dan kembali menaiki kuda-kuda ka­mi menyusuri jalan cahaya di langit yang telah ter­hampar di hadapan kami.

Kini kami semua telah menjadi anak cahaya yang memutih dan tidak saling mengenal perbedaan-per­be­daan kami karena kami semua hanyalah anak-anak ca­­haya yang saling menyilaukan dan saling me­lu­pa­kan. Hanya zat yang hanya bisa merasa bahagia di ja­­l­an yang terindah menuju kematian. Tiada lagi yang bi­sa kami lakukan selain meneruskan perjalanan, de­ngan atau tanpa badan, sendiri-sendiri maupun be­r­sama rombongan. Tiada yang lebih penting lagi kini se­­lain perjalanan menuju ketiadaan. Tiada yang lebih berharga lagi selain keindahan dalam kematian.



***

Kulihat di sepanjang langit, kemah-kemah awan. Apakah aku harus berhenti, atau meneruskan per­ja­lanan? Setelah bertahun-tahun menjadi bagian dari sua­tu perjalanan panjang ke satu tujuan kurindukan di­riku sendiri yang selalu berbisik perlahan-lahan. Se­makin jauh aku berjalan, semakin aku terikat kepada ke­nangan, semakin aku merasa diriku bukan bagian dari rombongan. Sudah begitu jauh aku berjalan, de­ngan segala derita dan pengabdian, dalam penyucian cahaya berkilatan, betapa bisa cahaya kesaksian tiada melihat kebohongan?

Kulihat satu per satu dari kami, 109.999 anak ca­ha­ya, ditelan gua-gua kebahagiaan di atas awan. Ba­rangkali ini memang tempat yang terindah untuk ma­ti. Aku melihat seribu cahaya berenang dan ber­ke­le­bat­an. Kulihat 109.999 anak cahaya melebur ke da­lam cahaya gemerlapan. Tinggal aku sendirian, me­nai­ki kuda putih di atas awan, melihat-lihat pe­man­dang­an.***



Ulaanbaatar - Jakarta, Maret-Juni 1996



(Dimuat dalam Horison, Juli 1996)

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda