Oleh: Budi Darma



Sungguh menakjubkan, bahwa ketika hari sudah petang dan lampu jalanan mulai dinyalakan, perempuan itu membuka jendela dan memandang keluar. Alis perempuan itu hitam tebal, melindungi matanya, dan mata itu tajam dan sebentar bergerak-gerak. Ketika melihat laki-laki bertubuh kurus jangkung berdiri di pinggir jalan, mata perempuan itu bergerak-gerak cepat ke kanan dan ke kiri.



Laki-laki bertubuh kurus jangkung memang sudah menantikan saat-saat seperti ini, kemudian meloncat ke pekarangan melalui pagar tanaman, pagar tanaman yang sebetulnya tidak begitu tinggi.

Beberapa saat kemudian mereka berdua sudah berada di dalam kamar. Dengan tangan gemetar, perempuan itu menutup jendela dengan hati-hati, dengan sebelumnya menyelidik cepat-cepat apakah perbuatannya terintai oleh orang lain. Laki-laki bertubuh kurus jangkung itu juga gemetar.

Lampu di dalam kamar sudah menyala, tapi sangat samar. Dengan tidak memandang ke arah laki-laki itu, perempuan itu menuding ke arah dinding sebelah kanan. Di bawah potret ada sebuah gelas, terletak di se­buah rak buku kecil. Dan di dalam rak terdapat beberapa buku, dan judul buku-buku itu tidak mung­kin dibaca karena sinar lampu sangat samar.

Laki-laki itu mengangguk mengerti. Dia men­de­kati dinding di sebelah kanan. Matanya berganti-ganti melihat potret laki-laki itu, kemudian gelas, dan ke­mu­­dian beberapa buku. Tubuhnya agak mem­bong­kok manakala dia melihat-lihat buku-buku di dalam rak.

Ketika perempuan itu menjawil tangan kirinya, perhatian laki-laki bertubuh kurus jangkung itu masih terlarut ke dalam potret laki-laki di dinding. Agak ter­kejut juga dia ketika dia merasa dijawil. Dan ta­hulah dia sekarang, bahwa perempuan itu sedang me­nuding-nuding ke arah sebuah tempat tidur kecil.

Ada sebuah meja kecil dengan bunga segar di dekat tempat tidur itu. Di dekat tempat tidur ada pula se­bu­ah kursi. Dan yang mengherankan laki-laki itu ada­lah, mengapa di dekat tempat tidur tidak ada potret se­orang la­ki-laki, misalnya saja potret laki-laki yang ter­gan­tung di dinding sebelah kiri. Tapi laki-laki itu ti­dak bertanya, karena perempuan itu sudah menje­laskan:

"Dia tidak mau potretnya dipasang di sini."

Belum sempat bertanya apa-apa, laki-laki itu su­dah ditarik oleh perempuan itu untuk mendekati sebuah almari. Dan ketika perempuan itu membuka almari, terasalah bau enak menebar di dalam kamar remang-remang itu. Dan laki-laki itu tidak terkejut melihat, beberapa pakaian laki-laki di dalam almari.

Laki-laki itu terus diam ketika perempuan itu meng­udal-udal beberapa pakaian dari dalam almari. Meskipun demikian, laki-laki itu agak terkejut, ketika melihat pakaian di sebelah dalam almari itu ternyata penuh cipratan darah. Dan segeralah perempuan itu mengguyurkan minyak wangi dengan khidmat dan hormat ke pakaian itu.

Setelah perempuan itu menutup almari dan laki-laki itu duduk dekat tempat-tidur, perempuan itu berjalan ke arah tombol listrik, dan mematikan lampu bercahaya lemah itu.

"Apakah yang tadi kau lihat pada potret yang tergantung di dinding itu?" tanya perempuan itu.

"Saya tidak pernah melihat laki-laki seagung itu. Sungguh agung dia. Jengkal demi jengkal wajahnya menunjukkan keagungan luar biasa."

"Apa lagi?"

"Apa lagi? Ya, apa lagi? Tentu saja saya menga­gum­i dia. Matanya sungguh menakjubkan. Alangkah se­nangnya kau menjadi istrinya."

"Apa lagi?"

"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya yakin dia laki-laki gagah, kendatipun nampaknya tubuhnya hanyalah kurus jangkung. Dia pasti laki-laki ramah."

"Apa lagi?"

"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya kagum pada raut wa­jahnya. Dia pasti mempunyai wibawa besar, wi­ba­wa tinggi. Saya mengaguminya."

"Hanya itu?"

Laki-laki itu kehabisan akal dan kehabisan kata. Maka berbicaralah dia asal berbicara, tentunya tanpa mengetahui apa yang dikatakannya:

"Tentu saja tidak. Saya heran mengapa laki-laki semulia ini bisa mati terganyang kanker. Heran. Saya heran mengapa takdir tidak memberinya umur pan­jang, untuk memberikan kesempatan kepadanya guna lebih memuliakan cita-citanya dalam mengangkat har­kat, martabat, dan derajat sesamanya."

"Siapa yang mengatakan dia dihabisi kanker?"

Laki-laki itu diam. Dia ingat, pada suatu malam dia melihat seorang anak perempuan kecil memotret di­rinya. Kalau tidak keliru, dia dipotret sekitar tiga bulan lalu, di Balai Wartawan ketika diadakan per­te­muan antara beberapa pedagang dengan wartawan. Begitu cepat anak perempuan itu memotretnya, ke­mu­dian berjalan bergegas dan menyelinap di antara sekian banyak orang. Akhirnya laki-laki itu tahu, bahwa anak perempuan itu datang bersama seorang perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam. Ketika laki-laki itu berusaha menemui anak perem­puan itu, pertemuan dinyatakan bubar. Dan karena dia harus menemui beberapa temannya, perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam serta anak pe­rem­puan itu terlepas dari tangannya.

"Laki-laki itulah yang saya cintai," kata perem­puan itu. "Karena itulah potretnya saya pasang di situ. Dan karena itu pulalah gelas peninggalannya sa­ya taruh di bawah potretnya. Dia selalu minum dari gelas itu setiap kali dia datang ke sini. Bekas-be­kas bibirnya masih ada di situ. Dan setiap kali saya merindukannya, selalu saya usap-usap mulut gelas itu dengan pinggiran mulut saya. Sering mulut gelas itu saya lumat-lumat dengan bibir saya seperti pada waktu saya melumat-lumat bibirnya. Dan sering juga mulut gelas itu saya gosok-gosokkan ke payudara sa­ya, seperti dia sendiri dahulu sering mengagumi pa­yu­­dara saya. Dan buku-buku dalam rak itu adalah buku-buku kegemarannya. Setiap kali dia ke sini selalu dia membuka-buka halaman-halaman buku itu. Begitu gemar dia membuka-bukanya, segemar dia membuka-buka lembar demi lembar pakaian yang saya kenakan."

Laki-laki itu diam. Dia tidak tahu mengapa se­ko­nyong-konyong siang tadi dia menemukan sebuah su­rat tergeletak di meja kerjanya di kantor. Ketika dia menanyakan kepada sekretarisnya, beberapa ba­wah­annya, dan juga beberapa pesuruh siapa ge­rang­an yang menaruhkan surat itu di atas mejanya, tidak seorang pun tahu. Laki- laki itu hanya tahu bah­wa sudah beberapa hari ini ada seorang laki-laki men­cu­rigakan secara berkala mengitari kantornya. Setiap kali laki-laki itu akan masuk kantor, laki-laki men­cu­ri­gakan selalu menghadangnya dekat pintu, ke­mu­dian mengawasinya dengan pandangan tidak enak. Dan setiap laki-laki itu akan meninggalkan kantor, laki-laki mencurigakan selalu menghadangnya di de­kat pintu dengan menggumamkan suara tidak jelas. Ke­mudian dia sering melihat laki-laki mencurigakan berseliweran tidak jauh dari jendela kaca yang me­mi­sahkan kantornya dengan kebun kacang. Dan se­tiap kali pandangan mata mereka bertemu, laki-laki men­curigakan selalu memandanginya dengan sikap tertegun.

Surat itulah, yang mungkin telah disampaikan oleh laki-laki mencurigakan itu, yang telah meng­an­tar­kannya ke rumah perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam.

"Dari sekian banyak laki-laki yang saya ke­nal, dialah laki-laki yang saya cintai," kata perempuan itu lagi. Dan kemudian pe­rempuan itu bercerita mengenai gelas itu lagi, mengenai buku-buku itu lagi, dan akhir­nya mengenai payudaranya.

"Rupanya laki-laki lain yang pernah saya kenal tidak begitu menyukai payudara saya. Hanya dialah yang sering membisikkan kata-kata aneh ke payudara saya segera setelah dia menjelek-jelekkan sekian banyak pe­rem­­puan lain. Senang sekali dia memban­ding-bandingkan payudara saya dengan payu­da­ra mereka, dan tentu saja tubuh saya de­ngan tubuh mereka. Dia bercerita menge­nai perem­puan-perempuan dan dengan sangat terbuka, dengan nada sangat melecehkan me­reka, dan tentu saja de­ngan nada mengagung-agung­kan saya. Betul yang kau ka­ta­kan tadi, dia laki-laki me­ng­agumkan, sangat me­nga­gum­kan. Bagi saya, mungkin dia jauh lebih agung dan jauh lebih meng­a­gum­kan dibanding dengan Nabi Yusuf. Ingat, Nabi Yusuf tidak suka merayu, semen­ta­ra dia suka merayu, ya­itu merayu sekian banyak pe­­­rem­puan, sampai akhirnya dia jatuh di hadapan sa­­­ya, menjilati kaki sa­ya. Setiap kali didekati pe­rem­puan, Nabi Yu­suf selalu mengingatkan perempuan yang men­de­katinya dan juga dirinya sendiri akan masa depan ma­nusia, apabila manusia telah mati kelak. Ketika seorang perempuan berusaha merayu­nya dan me­nga­ta­­kan bahwa rambut Nabi Yusuf sangat indah, ber­ka­talah Nabi Yusuf, 'Rambut inilah yang pertama kali akan berhamburan dari tubuh saya setelah nyawa saya meloncat dari tubuh saya.' Dan ketika seorang perem­puan merayunya lagi, berkatalah Nabi Yusuf, 'Kelak tanah akan melumatkan wajah saya.'

Laki-laki yang potretnya di sana itu sangat ber­be­da. Dia selalu melihat ke depan, tanpa mau me­nger­ti bahwa pada suatu saat maut akan menjemputnya. Dia selalu membisikkan kata-kata indah mengenai kegunaan dan kenikmatan hidup. Tanpa per­nah mengatakannya, dia selalu berpikir un­tuk memanfaatkan detik demi detik untuk berjasa, memberi kenikmatan bagi orang lain, dan juga bagi di­ri­nya sendiri. Sering dia bercerita menge­nai mimpi-mimpi indah, seperti misalnya memperluas usaha-usa­ha dagangannya kalau perlu dengan menak­luk­kan musuh-musuhnya, kemudian membangun ru­mah-rumah yatim piatu, mendirikan sekolah-seko­lah, membantu rumah sakit-rumah sakit, dan entah apa ­lagi. Dia sangat suka membantu orang-orang papa dan orang-orang yang ingin maju, tapi sekaligus sa­ngat membenci orang-orang malas dan tidak mem­pu­nyai otak. Dalam keadaan lelah dia men­datangi saya, untuk menikmati tubuh saya dan sekaligus meng­­­­­­­­hidangkan kenikmatan bagi saya. Dia datang untuk mencari gairah hidup, agar dia menjadi lebih segar, lebih bersemangat, dan lebih mampu beribadah dalam bentuk kerja keras. Setiap inci tubuhnya ada­lah pertanda keagungannya, demikian pula setiap de­ngan nafasnya."

"Dan manakah anak perempuan yang memotret dahulu?"

"Ciumlah tangan saya sebelum saya menjawab pertanyaanmu."

Belum selesai dia mencium tangan kanan perem­puan itu, perempuan itu sudah menyodorkan tangan kirinya.

"Ulangilah pertanyaanmu tadi."

"Manakah anak perempuan yang memotret da­hulu?"

"Anak perempuan? Maaf, saya tidak tahu ke arah mana pembicaraanmu. Andaikata kau bermaksud un­tuk menanyakan apakah saya mempunyai anak pe­rem­puan, saya dapat menjawab bahwa saya tidak mem­punyai anak perempuan. Ketahuilah anak pe­rem­­puan suka rewel, demikianlah kata laki-laki yang saya cintai. Dan andaikata saya mempunyai anak, saya tidak akan mengijinkannya memotret."

"Mengapa?"

"Menurut laki-laki yang saya cintai itu, memotret hanyalah menghabiskan uang. Setiap orang harus ber­hemat. Dan mungkin karena itu pulalah dia tidak su­ka anak perempuan, sebab dia sering mengatakan bah­wa anak perempuan hanya memboroskan saja. Dia juga tidak suka potret, karena potret hanyalah menghabiskan uang."

"Benarkah laki-laki seagung itu mempunyai jalan pikiran demikian?"

"Memang saya sering menemui kesulitan dalam me­ngorek apa yang sebenarnya berkelebat di dalam nuraninya. Sering kata-katanya melompat demikian saja dari puncak otaknya, sementara kelebat hati nuraninya yang sesungguhnya tidak terucapkannya. Saya sendiri yakin dia sama sekali tidak pelit. Dia pas­ti menyimpan rahasia mengapa dia tidak menyukai anak perempuan. Dan saya pernah berhasil mengo­rek­­nya, ketika dia mengigau dalam tidurnya. Mes­ki­pun demikian, kata-katanya hanyalah pendek dan ti­dak jelas, sehingga sulit bagi saya untuk menaf­sir­kan­­nya. Tapi saya tahu, dia berhati agung.

Bagi dia, laki-laki tidak bisa bebas dari perem­pu­an, dan perempuan pada dasarnya adalah beban. Eva sengaja diciptakan Tuhan untuk menemani Adam, tapi sekaligus untuk melancarkan wahyu-wahyu se­tan. Istri paman Nabi Muhammad, Ummu Jamil na­ma­nya, justru akan mencelakakan keponakan suami­nya sendiri. Siapa yang akan mencelakakan Nabi Nuh, tidak lain dan tidak bukan adalah istrinya sendiri. Ne­geri Sodom juga hancur lebur, setelah istri Nabi Luth, nabi yang dipercaya oleh Tuhan untuk me­ne­gak­kan ketaqwaan di negeri itu, mengkhianati sua­mi­nya habis-habisan. Adalah pula Siti Qodariah, se­orang wanita, yang berusaha mencelakakan Nabi Yu­suf setelah usahanya untuk menikmati keindahan tubuh Nabi Yusuf gagal. Belasan tahun perang di Tro­ya adalah juga perang untuk memperebutkan perem­­puan. Laki-laki sudah ditakdirkan untuk tidak mam­pu mengalahkan nafsunya sendiri, dan perempuan ter­lanjur sudah diciptakan untuk memperbudak nafsu laki-laki."

Belum sempat laki-laki itu bertanya, perempuan itu menyuruhnya berjongkok di lantai dan menjilati kakinya.

"Setiap laki-laki harus menjilati kaki saya," ka­ta­nya.

Se­telah selesai menjilati seluruh bagian tubuh pe­rem­puan itu dan setelah selesai mengucapkan selamat ting­gal, laki-laki itu keluar lewat pintu, dan pintu itu se­gera ditutup dari dalam, kemudian laki-laki itu me­lon­cat keluar melalui pagar tanaman.

Laki-laki itu merasa bahwa malam telah larut be­nar. Ketika memasuki sebuah gang, dia berjalan agak sempoyongan. Bau wangi tubuh perempuan yang ba­ru saja ditinggalkannya masih melekat pada seluruh bagian tubuhnya sendiri. Dan keringat dari celah-ce­lah kulitnya terasa begitu asing, karena yang ter­cium olehnya adalah keringat perempuan itu.

Heran benar laki-laki itu, mengapa tadi dia tidak menanyakan siapa nama perempuan itu. Hapal-hapal ingat kalau tidak salah perempuan itu menamakan di­rinya Maemunnah. Atau mungkin Robinggah. Mung­­­­­­­­­kin juga dia Jurbbah. Bukankah dia Immlah? Ya, pokoknya pakai "ah", entah itu Siffiah, entah Monissah, atau Markammah.

Dia ingat, perempuan itu tidak pernah menyebut-nyebut nama laki-laki yang potretnya tergantung di dinding. Dan laki-laki yang potretnya tergantung di dinding itu bukanlah suami perempuan itu. Laki-laki itu hanya kadang-kadang datang ke sana untuk me­­nyibuk-nyibukkan dirinya. Ini sudah berlangsung selama beberapa tahun, ujar perempuan itu.

Ketika laki-laki itu menanyakan siapa yang mem­bu­at potret di dinding itu, perempuan itu hanya men­ce­ritakan bahwa pada suatu hari dalam sebuah mu­sim kemarau panjang ada seorang anak perempuan me­ngan­tarkan bingkisan besar ke rumahnya, dan ternyata bingkisan itu adalah potret itu. Anak pe­rem­puan itu sama sekali tidak pernah datang ke­ sa­na lagi.

Laki-laki itu terus berjalan tergontai-gontai. Ke­ti­ka seekor kucing hitam melintas di gang dan me­mo­tong jalannya, dia tidak menahan langkahnya. Kucing itu pun tidak perduli bahwa dia sedang ber­pa­pasan dengan seorang laki-laki. Tetapi, ketika ku-cing itu melompat ke tempat agak tinggi dan menyo­rotkan matanya ke arah laki-laki itu, laki-laki itu me­rasa keringatnya keluar lebih deras. Dan keringat itu rasanya bukan keringatnya sendiri, karena baunya sama benar dengan bau keringat perempuan tadi.

Sementara rasa hausnya memuncak sampai ke ubun-ubun kerongkongannya, laki-laki itu terus ber­jalan. Kata perempuan tadi, setiap kali laki-laki itu min­ta minum karena merasa haus. Dan setiap kali akan pulang, pasti laki-laki itu minta minum lagi un­tuk meninggalkan bekas bibir pada mulut gelas. Dan gelas itu masih tergeletak di rak buku.

Tiba-tiba laki-laki itu merasa salah jalan. Ketika masih berada di jalan besar tadi, seharusnya dia ber­jalan terus, kemudian membelok ke kiri. Ternyata tadi dia membelok ke kanan sebelum waktunya. Dia membelok ke kiri. Setelah tertegun sejenak, dia me­mu­­tuskan untuk kembali menyusuri gang, dan untuk kemudian memasuki jalan yang benar.

Laki-laki itu masih berdiri tertegun ketika seekor kucing hitam kecil meloncat dari dinding di atas sana, lalu lari cepat memintasi jalannya. Ternyata kucing itu lari ke sebuah lorong di sebelah kanan. Dan ketika laki-laki itu melihat ke arah lorong, nampaklah olehnya sebuah lampu ke­cil, menerangi sesuatu yang tidak asing baginya, yaitu sumur. Mengapa dia ti­dak ke sana seben­tar, me­­­­­­­­nim­­­­ba, dan mi­num?

"Maka berjalanlah dia agar cepat menuju ke su­mur. Namun, sebelum dia benar-benar dekat de­­­­­ngan sumur, seorang la­ki-laki menegor dia.

"Mengapa malam-ma­­­­lam begini kamu ber­ada di sini?"

Dengan cepat dia me­nge­nal siapa laki-laki itu: kedua matanya bulat se­per­ti mata burung hantu, lehernya kurus panjang dengan buah kuldi men­dong­kol dan selalu naik tu­run, sementara urat-urat tangannya mem­beng­kak me­nutupi ke­dua ta­ngan­nya, dan tangan-tangan itu be­nar-benar ku­rus. Dialah laki-laki mencurigakan, dan dialah yang selalu me­nga­wasinya di kantor.

"Mengapa malam-malam begini kamu berada di sini?" tanya laki-laki mencurigakan sekali lagi.

Dia tidak dapat menjawab. Matanya menangkap buah kuldi laki-laki mencurigakan, dan ingatannya melompat ke payudara perempuan tadi. Benar-benar payudara perempuan tadi memberinya kenikmatan, dan benar-benar buah kuldi laki-laki mencurigakan itu memuakkan. Dia seolah-olah melihat Adam, pada waktu mata Adam mendelik karena buah terlarang yang dimakannya menyangkut di kerongkongannya. Tiba-tiba dia merasa sedang berhadapan dengan iblis. Adam di hadapannya adalah iblis, demikian juga perempuan tadi. Payudara perempuan tadi, tidak lain adalah buah terlarang yang terlanjur tersangkut, ke­mu­­dian menawarkan kenikmatan dan sekaligus tin­dak-tindak maksiat.

Rasa haus makin menggorok kerongkongannya. Dan ketika dia mengelus-elus kerongkongannya sen­diri, sadarlah dia bahwa buah kuldinya sangat be­sar, naik turun, dan sangat menjijikkan. Tiba-tiba dia sadar, bahwa dia sendiri dan perempuan tadi tidak lain dan tidak bukan adalah sepasang iblis juga. Dan dia merasa benci terhadap perempuan itu, karena tadi dia tidak diijinkannya minum, karena, katanya, dia tidak mempunyai gelas lain kecuali gelas di atas rak buku itu. Dan gelas itu, katanya lebih lanjut, hanyalah untuk menghidupkan kenang-kenangan.

Ketika laki-laki mencurigakan menegurnya lagi, dia terus berjalan ke arah sumur. Dan tepat ketika dia memegang tali tim­ba, laki-laki mencuri­ga­kan berkata:

"Minumlah sepuas-pu­­­as­mu, kalau perlu sam­­­­­­pai meletus perut­mu, karena sumur ini ada­­­­lah milik saya."

Dia melemparkan tim­­ba ke dalam sumur, dan ternyata sumur sa­ngat dalam. Ketika laki-laki mencurigakan men­ce­ritakan perihal dirinya sendiri, dia sama sekali ti­dak mendengarkannya. Perlahan-lahan dan hati-hati sekali dia mengulur ta­li ke bawah, sampai akhir­nya timba me­nyen­tuh air. Kemudian perla­han-lahan pula dia me­narik tali timba ke atas.

Laki-laki men­curi­ga­kan terus bercerita. Beberapa waktu lalu dia membeli kebun kacang tidak jauh dari kantor laki-laki ber­tu­buh kurus jangkung. Setelah melalui beberapa per­ke­lahian, barulah pemilik lama mau menyerahkan ke­bun kacang itu meskipun uang­nya telah lama di­te­rima sebelumnya. Belum lama laki-laki men­cu­rig­akan itu berhasil memiliki tanah milik­nya sendiri, ter­dengar berita bahwa kebun ka­cang itu akan di­caplok oleh laki-laki bertubuh kurus jang­kung untuk per­luas­an kantornya. Laki-laki men­curi­gakan ini belum mau percaya, dan karena itu ber­usa­ha mencari pen­je­lasan. Setiap kali dia mendekati kantor untuk men­cari kabar, selalu dia diolok-olok oleh orang-orang kantor itu.

Selesailah sudah laki-laki bertubuh kurus jang­kung minum. Tubuhnya merasa agak segar, namun tidak satu kata pun dari laki-laki mencurigakan ini yang masuk ke telinganya. Dia hanya berpikir, alang­kah enaknya seandainya tadi dia diijinkan minum da­ri gelas di atas rak buku, sebab, setiap kali perem­pu­­an itu merindukannya, pastilah bekas bibirnya akan di­ji­lat-jilat.

Masih sempat dia me­lihat laki-laki men­cu­rigakan, sebelum dia melangkah untuk kem­bali ke gang tadi. Dia me­rasa benar-benar ji­jik melihat laki-laki men­­curigakan. Mata la­ki-laki mencurigakan itu, bulat dan besar, me­nyem­bunyikan keli­cikan tanpa tara. Leher laki-laki mencurigakan itu, yaitu leher yang pan­­­­jang, meng­ingat­kannya pada leher bu­rung onta yang dira­cun­nya sewaktu dia ber­jalan-jalan di kebun binatang. Dan buah kul­di itu, bagaikan bu­ah kuldinya sendiri, adalah pertanda dosa Adam, yaitu dosa yang me­nurunkan siksa ba­gi manusia entah sam­pai kapan.

Ingin sekali dia ce­pat-cepat mening­gal­kan laki-laki mencuri­ga­kan. Namun, belum sem­pat dia melangkahkan kakinya lebih lanjut, laki-laki mencurigakan berlari-lari kecil ke arahnya, ke­mu­dian menghadangnya. Rasa jijiknya makin me­le­dak. Sam­bil berusaha keras mengibaskan rasa jijiknya, dia meng­ambil jalan ke samping kiri.

Dia mempercepat langkah, tapi terpaksa terhenti ketika sekonyong-konyong terasa punggungnya pa­tah. Ketika laki-laki mencurigakan berdiri di ha­dap­an­­nya lagi, dia terpaksa membongkokkan tubuhnya ke depan, karena terasa olehnya bahwa tubuhnya akan patah menjadi dua bagian. Ketika akhirnya re­bah ke tanah, masih sempat dia membalik tubuhnya, dan melihat ke arah bulan. Memang bulan masih tetap di sana, di langit sana. Laki-laki mencurigakan mem­bong­kok, sementara dia merasa makin jijik. Dia ingin muntah. Memang akhirnya dia muntah, tapi yang dimuntahkannya adalah darah.

Dengan tenang, laki-laki mencurigakan meng­gu­mam:

"Ketahuilah, masalah kebun kacang hanyalah ma­sa­lah permukaan. Perkelahian dengan pemilik lama mengenai kebun kacang juga bukan masalah berat, Memang saya sering berkelahi, tapi perkelahian-per­ke­lahian itu, sekali lagi, bukan apa-apa bagi saya. Bagi musuh-musuh saya segala macam perkelahian sebenarnya juga bukan apa-apa. Saya hanya menik­ma­ti satu hal, yaitu kenyataan bahwa saya me­nyim­pan jiwa iblis. Dan saya bangga akan jiwa iblis saya. Kamu pun sebenarnya iblis. Ketahuilah, sesama iblis belum tentu bisa bersekutu. Sesama iblis bisa saling mengganyang. Sudah semenjak pertama kali saya me­lihat kamu, saya yakin bahwa iblis di dalam ji­wamu jauh lebih kuat daripada jiwa iblis kebang­gaan saya. Benar-benar saya merasa takut terhadap kamu. Dan se­tiap kali merasa takut, pasti saya ber­tin­dak terlebih dahulu, tentu saja dengan persiapan cermat agar saya menang."

Dia menggumam dengan kesadaran penuh, bahwa laki-laki itu sudah tidak mungkin lagi mendengarnya. Meskipun demikian, laki-laki itu masih sempat mengingat beberapa kata-kata perempuan tadi:

"Laki-laki yang saya cintai itu tidak mati karena kanker seperti yang sering dipergunjingkan. Dia mati dibunuh dekat sumur tidak berapa jauh dari sini. Saya selalu menyimpan pakaiannya yang berlumuran darah."

Bulan tetap berputar-putar di atas sana.***



(Dimuat dalam Horison, Juli 1990)

Jaring-jaring Merah

Oleh: Helvy Tiana Rosa



Apakah kehidupan itu? Cut Di­ni, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup ada­lah cabikan luka. Serpihan tan­pa mak­na. Hari-hari yang me­rang­gas lara.

Ya, sebab aku hanya bisa me­men­­­dam amarah. Bukan, bukan pa­­da rembulan yang mengikutiku sa­­at ini atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal se­batas luka. Seperti juga hidup itu.

Dan kini hari telah semakin gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan se­­panjang tiga kilometer dari Seu­rue­­ke, menuju Buket Tangkurak, be­­­bukitan penuh belukar dan pepo­hon­an ini. Dadaku telah amat se­sak, tetapi langkahku makin ku­per­cepat. Lolong anjing malam ber­sa­hut-sahutan, seiring darah yang te­rus menetes dari kedua kakiku. Perih. Airmataku berderai-derai.

“Ugh!”

Aku tersandung gundukan ta­nah. Dalam remang malam, ku­li­hat dua ekor anjing hutan me­ngo­rek-ngorek sesuatu, dan pergi sam­bil menyeret potongan mayat ma­nu­sia. Mereka menatap­ku seolah aku akan berteriak kengerian.

Ngeri?

Oi, tahukah anjing-anjing bu­duk itu, aku melihat tiga sampai tu­juh mayat sehari mengambang di su­­ngai dekat rumahku! Aku juga per­nah melihat Yunus Burong dite­bas lehernya dan kepalanya diper­ton­tonkan pada penduduk desa. Aku melihat orang- orang ditem­bak di atas sebuah truk ku­ning. Darah me­reka muncrat ke ma­na-mana. Aku melihat te­tang­–gaku Rohani di­te­lanjangi, diper­ko­sa beramai-ra­mai, sebelum ru­mah dan suaminya dibakar. Aku me­lihat saat Geuchik Harun diikat pa­da sebuah pohon dan ditembak ber­ulangkali. Aku me­lihat semua itu! Ya, semuanya. Ju­ga saat mere­ka membantai … ke­luar­ga­ku, tan­pa alasan.

Ffffffhuuih, kutarik napas pan­jang. Jangan me­na­ngis­ lagi, Inong! Ke­ring airmatamu nanti. Meski le­lah, lebih baik meniru anjing-anjing itu.

Aku merangkak dan maju per­lahan. Dengan ta­­ngan kosong ku­ra­up gundukan tanah me­rah di ha­da­panku. Terus tanpa henti ku­gu­nakan kedua cakar tangan ini. Ke­ri­ngatku meng­u­cur deras, wajah dan badanku terkena serpihan ta­nah merah. Sedikit pun tak kuhi­rau­­kan bau bang­kai manusia yang me­nyengat hidung.

Tiba-tiba tanganku meraba se­su­atu. Kudekatkan benda dingin itu ke mukaku. Tulang. Ba­nyak tulang. Ca­karku terus menggali. Ku­te­mu­kan beberapa teng­korak, lalu re­mah-remah da­ging manusia. Ah, di ma­na? Di mana tangan kurus Mak?­­ Mana jari manis dengan cin­cin khas itu? Juga cincin tembaga ber­batu hijau dan arloji tua yang dike­nakan ayah saat orang-orang ber­sen­­jata itu membawanya da­lam keadaan luka parah. Di ma­na? Di ma­­na tangan-ta­ngan mereka? Di ma­na tu­lang-tulang mereka di ta­nam? Di mana wajah tampan Ham­­­­zah? Yang mana teng­korak­nya?

Se­kujur tubuhku gemetar me­na­han buncahan duka. Aku meng­gali, terus meng­gali. Hing­ga aku se­ma­kin le­mas dan akhirnya kembali terisak pilu. Meratapi orang-orang yang kukasihi, yang beberapa wak­tu lalu digiring ke bukit ini.

Sssssssttt!

Tiba-tiba, di antara suara se­rang­­­­­ga malam, ku­ping­ku men­de­ngar langkah-langkah orang. Se­pa­tu-sepatu lars yang menginjak ranting dan daun kering. Mereka me­nu­ju ke arahku!

Aku harus menyanyi. Ya, me­nya­­nyi nyaring, dengan iringan da­wai kepedihan dari sanubari sendiri.

“Perempuan gila itu!” suara se­se­orang gusar.

“Sayang, dulu ia cantik…,” ujar yang lain.

“Ya, juga sangat muda. Ah, su­dahlah, biarkan saja,” kata yang ketiga. “Ia tak berbahaya. Hanya ter­ta­wa dan menangis. ”

Aku pura-pura tidak mendengar perkataan si lo­reng-loreng itu. Me­re­ka gila karena mengira aku gila. Tak tahukah mereka bahwa aku tak menyanyi sendiri? Aku ber­nyanyi ber­sama bulan, awan dan udara ma­lam. Bersama desir angin, bu­rung hantu dan lolong an­jing hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e dan Agam. Kami me­nyanyi, kami menari bungong jeum­pa. Lalu aku tersenyum malu, saat Ham­zah yang telah me­mi­nang­ku, melintas di depan rumah de­ngan se­pe­danya. Dahulu. Ya, dahulu….

***



“Inong….”

Aku menggeliat. Cahaya men­tari masuk dari ce­lah-celah bilik. Ha­ngat. Ah, di mana aku? Dipan ini penuh kutu busuk. Berarti…, ya, aku di rumah. Aku bangkit, men­co­ba duduk.

“Dari mana, Inong? Aku men­cari­­mu seharian. Ureung-ureung menemukanmu di tepi jalan ke Bu­ket Tangkurak, subuh tadi.”

Kutatap seraut wajah dalam khe­­­rudoung putih di hadapanku. Cut Dini. Tangannya lembut mem­be­lai kepalaku.

“Aku cuma jalan-jalan. Aku ti­dak mengganggu orang," jawabku sekenanya.

“Aku tahu. Kau anak ba­ik. Kau tak akan meng­gang­gu­ siapa pun…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau bahkan ke rumoh geudong lagi. Ber­ba­ha­ya. Lagi pula kau seorang muslimah. Tidak baik pergi sen­­dirian,” kata Cut Dini sam­­­bil mem­beri­ku minum.

Kugaruk-garuk kepalaku. “The­ri­moung… ghaseh…,” kuteguk minuman itu.

Cut Dini. Ia sangat pe­duli. Ma­ta­­­nya pun selalu me­na­tapku penuh pancaran ka­sih.

Aku kembali merebahkan ba­dan di atas dipan. Sebe­nar­nya aku tak tahu banyak ten­tang Cut Dini. Aku be­lum begitu lama menge­nalnya. Orang-orang bilang ia ang­go­ta … apa itu … LSM? Juga akti­vis masjid. Ia kem­bali ke Aceh sete­lah tamat kuliah di Jakarta. Dan … cuma dia, di an­tara para te­tangga, yang sudi ber­teman de­nganku. Ia mem­be­ri­ku ma­kan, mem­perhatikanku, men­ceritakan banyak hal. Aku senang se­kali.

Dulu, setelah keluargaku diban­tai dan aku dice­mari beramai-ra­mai, aku seperti terperosok dalam ku­bangan lumpur yang dalam. Se­kuat tenaga kucoba un­tuk mun­cul, menggapai-gapai permu­ka­an. Na­mun tiada tepi. Aku tak bi­sa bang­kit, bahkan me­nyen­­­tuh apa pun, ke­cua­li semua yang ber­na­ma kepa­hit­an. Aku memakan dan memi­num nyeri setiap hari. Sampai aku ber­temu Cut Dini dan bisa menjadi bu­rung. Segalanya te­­rasa lebih ri­ngan.

Tetapi tetap saja aku senang ber­­­­­­­teriak-teriak. Aku melempari atau memukul orang-orang yang le­­­wat. Hingga suatu hari orang-orang desa akan me­ma­sungku. Ka­­ta mereka aku gila! Hah, dasar orang- orang gila! Cut Dini-lah yang me­­larang. Cut Dini juga yang meng­ingatkanku untuk mandi dan ma­kan. Ia menyisir rambutku, me­ng­ajak­­ku ke dokter, ke pe­nga­jian, atau sekedar jalan-jalan.

“Baju yang koyak itu jangan dipa­kai lagi,” kata Cut Dini suatu ketika.

“Aku suka,” kataku pen­dek. “Ini baju yang di­ja­hitkan Mak. Aku memakainya ketika orang-orang jahat itu datang.”

“Itu baju yang tak pantas dilihat. Nanti orang-orang itu bisa menya­kiti­mu lagi,” ka­ta­nya pelan.

Kupandang baju ungu mu­da yang kupakai. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di dekat perut, di ­belakang…, bahkan ada sisa-sisa darah ke­­ring di sana.

“Aku ingin memakainya,” lirih­ku. “Apa aku gila?” ta­nyaku.

Cut Dini menatap bola ma­­­­­­­­­­­­­­­­­taku dalam. “Menurut­mu?”

Aku menggeleng kuat-ku­at. Meng­garuk-garuk ke­pa­la­ku.

“Kau sakit. Kau sangat ter­pu­kul,” ujar Cut Dini. Kulihat ia meng­gi­git bibirnya sesaat. Lalu dengan cekatan mem­bung­kus baju itu de­ngan ko­ran.

Aku mengangguk-angguk. Te­rus mengangguk-angguk, sambil meng­goyang-go­yang­kan kedua ka­kiku. Aku suka membantah orang, tetapi tidak Cut Dini.

“Sudahlah.”

Lalu seperti biasanya Cut Dini mengambil Al- Quran mungilnya dan membacanya deng­an syahdu. Sua­ranya kadang berubah. Aku se­perti mendengar Hamzah me­ng­a­ji —lewat pe­nge­ras suara— di mu­sala.

Ah, meski tak mengerti, aku ingin menangis setiap mendengar ba­­­caan Al-Quran.



***



Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku ter­bang tinggi dan ka­dang menukik seke­tika. Aku hinggap di ranting-ranting po­hon belakang dan me­matuki buah-bu­ah di sana. Huh, se­mu­anya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi merah si loreng dan kubakar. Hua…­ha…ha, aku tertawa gelak-ge­lak.

“Siapa kalian?” tiba-tiba ku­de­ngar suara Cut Dini ber­getar, di ru­ang tamu yang merangkap ka­mar ti­durku.

Aku terbang dan hinggap pada meja kusam di samping rumah, lalu meng­intip ke da­lam le­wat jendela yang ra­puh. Dua lelaki tegap de­ngan ram­but cepak me­nyo­dor­kan se­su­atu pada Cut Di­ni.

“Kami orang ba­ik-baik. Kami ha­nya ingin mem­be­ri­kan sum­bang­an sebesar li­ma ra­­­­­tus ri­bu rupiah pa­da Inong.”­

Aku nyengir. Li­ma ratus ri­bu? Horeeee! Apa bisa bu­at be­li sa­yap?

“Kami minta ia tidak me­nga­­ta­kan apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda se­ba­gai walinya me­nan­da­ta­ngani kertas bermaterai ini.”

Cut Dini membaca kertas itu. Kulihat wajahnya marah. Menga­pa? Kugerak-gerakkan kepalaku me­natap mimiknya, lebih lekat dari jendela.

“Tidak!! Bagaimana de­ngan pe­merkosaan dan pe­nyik­­saan se­lama ini, pen­jagal­an di rumoh geu­dong, mayat-mayat yang ber­se­rakan di Bu­ket Tangkurak, Jem­ba­tan Ku­ning, Sungai Tamiang, Cot Pang­­lima, Hutan Krueng Cam­pli…dan di mana-mana!” suara Cut Dini meninggi. “La­­­lu per­­kam­pungan tiga ribu janda, anak-anak yatim yang terlantar…, keji that! Tidak!”

Kedua orang itu tampak gugup dan sesaat saling ber­pan­­dangan. “Kami hanya menindak para GPK. Ini daerah operasi militer. Kami menjaga keamanan ma­sya­ra­­­kat.”

“Oh ya?” Nada Cut Dini sinis. “Ke­nyataannya ma­­syarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yang ter­paksa menjadi cuak, memata-matai dan meng­ang­gap teman sen­diri sebagai pengikut Hasan Tiro da­ri Ge­ra­kan Aceh Merdeka. Te­tapi sekarang semua usai. Tak ada tempat bagi orang seperti kalian di sini.”

“Sudahlah, ambil saja uang ini buat anda. Lu­pa­kan saja gadis gila itu.”

Apa? Gadis gila?? Kukepakkan sayapku dan me­nu­kik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka de­­­ngan apa pun yang kutemui di meja dan di lantai. Aku berlari ke dapur, dan kembali menimpuki mereka de­ngan panci dan peng­gorengan. Me­reka berteriak-teriak seper­ti anak ke­cil dan berebutan ke luar ru­mah. Pas­ti itu ayah orang yang mem­perkosaku! Pasti ia te­man para pem­­bunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yang suka menakut-na­kuti or­­­ang! Paling tidak mereka cu­ak! Aku benci cuak!

“Inong….”

Aku berhenti melempar. Aku berhenti jadi burung ajaib. Orang-orang itu kini hanya titik di ke­ja­uh­an.

“Masya Allah, nanti perabotan itu rusak,” suara Cut Dini, tetap lembut. “Benahi yang rapi lagi, ya. Aku mau shalat lohor dulu,” kata­nya.

“Mengapa aku tak pernah di­ajak salat?” protesku. “Dulu aku sha­lat bersama keluargaku, se­be­lum aku bisa jadi burung,” tukasku.

“Jangan menjadi burung, bila ingin shalat seperti manusia,” kata Cut Dini tersenyum.



***



“Keluar, Zakariaaa! Ke­lu­ar! Atau kami bakar rumah ini!!”

Aku terbangun dan meng­ucek kedua mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-ge­dor. Ayah berjalan ke arah pin­tu diikuti Mak. Lalu Ma’e dan Agam, abang dan adikku.

Ketika pintu dibuka, tiba-tiba saja Ayah diseret ke luar, juga Agam dan Ma’e! Beberapa orang meng­­­­angkat Mak dan memba­wa­nya pergi! Sebelum aku berteriak, beberapa tangan kekar merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus berdzikir. Dzi­kir itu lebih mirip jeritan yang menyayat hati.

“Ini pelajaran bagi anggota GPK!” teriak seorang lelaki ber­­­­se­ra­gam. Kurasa ia seorang pe­mim­pin. “Zakaria dan ke­lu­ar­ga­nya membantu anak buah Hasan Tiro se­jak la­ma!”

Warga desa menunduk. Me­re­ka tak mampu mem­bela kami. Dari kejauhan kulihat api berkobar. Pu­luh­­an orang ini telah membakar be­berapa rumah!

“Jangan ada yang menunduk!”

Aku gemetar mendengar ben­tak­an itu.

“Ayo lihat mereka. Kali­an sama dengan warga Ma­ne… beker­ja­sa­ma de­ngan GPK!” suaranya la­gi.

“Kami bukan GPK!”­su­a­ra Ma’e. Ulon hana teup­heu sapheu!”

“Lepaskan mereka. Ka­lian sa­lah sasaran!” Ya Allah, itu suara Ham­zah!

“Angkut orang yang bicara itu!”

Aku melihat Hamzah dipukul bertubi-tubi hingga limbung, la­lu…ia diinjak-injak! Dan diseret per­gi. Air­ma­ta­ku menderas.

“Siapa lagi yang mau mem­be­la?”tantang lelaki penyiksa itu po­ngah.

“Kami tidak membela, mereka memang bukan orang jahat,” suara Geuchik Harun. “Pak Zakaria ha­nya seorang muadzin. Jiiban­dum ureung biasa.” Sa­mar-samar ku­lihat kepala de­sa kami itu diikat pa­da se­batang pohon.

Serentetan tembakan segera menghunjam tubuh Geuchik Harun, lalu Ma’e abangku! Aku histeris. Tak jauh, kulihat Agam tersungkur dan tak bergerak lagi, lalu Ayah yang berlumuran darah! Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.

“Bawa mereka ke bukit dekat jalan buntu! Juga gadis itu!”

Aku meronta, me­nen­dang,­ meng­­gigit, mencakar, hing­ga aku letih sendiri. Dan aku tak ingat apa-apa lagi, saat tak lama kemudian, nyeri yang amat sangat me­rejam-rejam tubuhku!

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”aku berteriak se­kuat-kuatnya.

“Astaghfirullah, Inong! Inong, bangun!”dua tangan meng­gon­cang-goncang ba­dan­ku.

Air­mataku menganak su­ngai, tetapi aku tak bisa ba­ngun, sebab aku berada di da­­­lam jaring! Banyak orang se­pertiku di sini, di dalam ja­ring-jaring merah ini.

“Inong, istighfar….”

Tangan-tangan raksasa itu meng­­­­ayun-ayunkan jaring. Aku dan kumpulan manusia di sini ber­jatuhan ke sana ke ma­ri. Kami tak bisa keluar dari sini! Tolong! Toloo­o­o­o­ong! Di mana sayapku? Di ma­na? Di mana tangan Mak de­ngan cin­cin khas di jari ma­nisnya? Aku ingin menggeng­gamnya. Di mana Ayah, Agam dan Ma’e? Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana tengkoraknya?

Tangan-tangan raksasa itu meng­­­gerakkan jaring ke sana ke ma­­ri. Aku jatuh lagi. Merah. Silau. Pusing. Pedih. Wajah-wajah dalam jaring pias. Wajah-wajah itu retak, ter­kelupas dan berdarah. Aku men­jerit-jerit dalam perang­kap. Di ma­na sayapku? Aku ingin ter­bang dari sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di tanah ke­banggaanku hanya tersisa nes­ta­pa!!

Tak ada yang mendengar. Se­buah pelukan yang sangat erat ku­rasakan. Lalu airmata seseorang yang menetes-netes dan ber­cam­pur dengan aliran air di pipiku.

“Allah tak akan mem­biarkan mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sem­buh, Inong! Semua sudah ber­lalu. Peristiwa empat tahun lalu dan rezim ini. Te­gar, Inong! Tegar! La hawla wala quwwata illa bi 'l-Lah….”

Ka­bur. Samar kulihat Cut Dini. Wajah tulus de­ngan kerudung putih itu. Ia me­­ngusap airmataku.

Lalu tak jauh di hada­pan­ku, ku­lihat beberapa o-rang. Di antara­nya ber­se­ra­gam. Tiba-tiba takutku na­ik lagi ke ubun-ubun. Aku meng­­gi­gil dan men­de­kap Cut Dini erat-erat.

“Ia hanya satu dari ribu­an kor­ban kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami kea­dil­an. Bapak sudah lihat sen­­diri. Oknum-oknum itu men­­jarah segalanya dari pe­­rem­puan ini!”

Takut-takut kuintip lela­ki tegap yang sedang me­na­tap­­ku ini. Apa­kah ia mem­­bawa jaring-jaring un­tuk menangkapku lagi?

“Pergiiiii! Pergiiii se­mua­aaa!” te­riakku. “Per­gii­ii­iiii!” aku menjerit seku­at-kuatnya. "Pergiiiiii!" aku men­­­­­ceracau. Sekujur ba­dan­­ku ber­ge­tar, terasa ber­pu­­tar. Orang-orang ini ter­sen­tak, me­na­tapku kasih­an. Hah, apa peduliku?! Aku ingin ber­te­riak, me­nga­­muk, mem­porak­po­ran­­­dakan apa dan siapa pun yang a­da di hadapanku! Aku….

Tiba-tiba suaraku hilang. Aku ber­­teriak, tak ada suara yang kelu­­­ar. Aku menangis tersedu-se­du, tak ada airmata yang mengalir. A­ku mengamuk panik, teta­pi kaku. A­ku mencari bunyi, men­cari bening, men­­­­cari gerak. Tak ada apa pun. Cu­ma luka nga­nga.

“Inong…, mereka akan mem­ban­tu kita….”

Aku terkapar kembali. Meng­gele­par. Berdarah da­lam jaring.***



Cipayung, 1998





Referensi:

- Data yang diterbitkan oleh Forum LSM Aceh, 5 Agustus 1998.

- Gatra, Republika, Terbit, Kompas ( semua terbitan Agustus 1998).

- Buletin Kontras no 1/Agustus 1998.



Daftar istilah:

Buket Tangkurak : Bukit Tengkorak

Geuchik : Kepala Desa

Cuak : orang yang jadi mata-mata tentara

Ma’e : panggilan untuk Ismail

Mak : Mak

rumoh geudong : rumah gedung (tempat penjagalan)

Mane : nama desa di Pidie

ureung-ureung : orang-orang

that : sekali

ulon hana teupheu sapheu : saya hanya orang biasa

therimoung ghaseh : terima kasih

kherudoung : kerudung



(Dimuat dalam Horison, April 1999)



Pemahat Abad

Oleh: Oka Rusmini



Kopag menjatuhkan pisau ukirnya yang runcing. Hampir saja pisau itu memahat kakinya. Semua gara-gara dia mencium bau yang aneh dari sudut pintu. Seperti bau daun-daun kering dan kayu basah. Aneh, dari mana datangnya bau yang membuatnya begitu gelisah? Bau itu semakin mendekat.

“Siapa itu?”

“Titiang.1 Luh Srenggi.”

“Srenggi? Srenggi siapa?!” Kopag semakin menggigil. Bau itu semakin mendekat dan menyesakkan dadanya. Tangannya jadi lapar. Dia memerlukan alat-alat pahatnya. Pisau-pisau yang runcing terbayang di otaknya. Kopag menggigil ketika bau itu benar-benar menelanjangi wujud laki-lakinya.

"Katakan padaku, siapa kau?!”

"Titiang yang akan melayani seluruh keperluan Ratu.2 Mulai hari ini dan seterusnya.” Suara itu ter­de­ngar gugup.

“Siapa tadi namamu?” Kopag mulai menenangkan dirinya sendiri.

“Luh Srenggi.” Suara itu terdengar bergetar. Suara itu adalah suara perempuan. Apa yang terjadi dengan dirinya? Kopag memaki dirinya sendiri. Aneh sekali, tiba-tiba saja dia seperti ditenggelamkan ke lautan. Suara itu dirasakan penuh dengan keju­juran, kasih sa­yang, dan sangat tulus. Kopag yakin dugaannya ini tidak meleset. Inilah perempuan itu, perempuan yang dicarinya berabad-abad. Sekarang Hyang Widhi me­ngirim untuknya. Seorang perempuan, benarkah sua­ra ini milik seorang perempuan?

Ketika Kopag akan meng­ambil tongkatnya, Luh Srenggi cepat-cepat membantu. Ta­ngan mereka bersentuhan. Ko­pag semakin gelisah. Kulit pe­rem­puan itu terasa seperti kulit kayu. Luar biasa. Perem­puan itu pasti memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan se­ba­tang pohon, atau seonggok ka­yu yang paling sakral se­ka­li­pun.

Baru kali ini Kopag me­ra­sa­kan bisa menikmati hidup­nya. Dia bisa memberikan pe­ni­laian yang begitu objektif ter­ha­dap benda hidup yang ber­na­­ma manusia. Biasanya dia ha­nya dijadikan objek, sekedar mendengarkan keputusan orang-orang terdekatnya. Apa pun yang dikatakan orang- orang di sekitarnya, Kopag ha­rus patuh. Kali ini, dia merasa me­nemukan kebenaran yang berbeda dengan kebenaran yang diyakini oleh orang-orang yang selama ini rajin me­na­nam­kan kebenaran yang telah menjadi ukuran mereka.

“Apakah di bumi ini wujud kebenaran itu sudah seragam, Gubreg?” Suara Kopag terdengar getir, “bahkan untuk menilai keindahan itu, aku juga harus memakai kriteria mereka?”

“Kebenaran mereka? Aku tidak yakin mereka mampu melihat seluruh keindahan hidup ini dengan benar!” Suara Kopag terdengar penuh tekanan. Pikir­an­nya kacau!

Kopag sadar, sangat sadar. Dilahirkan sebagai laki-laki buta memang tidak menggairahkan. Karena tak ada perempuan-perempuan yang bisa dilihatnya dengan matanya. Tapi, apakah orang-orang yang me­mi­liki kelengkapan utuh sebagai manusia ketika di­la­hir­kan mampu menangkap seluruh rahasia ke­hi­dup­an ini? Rahasia yang erat-erat digenggam dan di­sem­bunyikan alam? Salahkah kalau tiba-tiba saja Ko­pag menemukan kecantikan yang luar biasa pada diri Luh Srenggi. Kecantikan yang dia lihat dengan pi­­kiran, perasaan, dan keindahannya sendiri. Salah­kah?

Kecantikan perempuan muda itu adalah ke­can­tik­an yang sangat luar biasa. Tubuhnya seperti le­kuk­­an kayu. Seluruh wajahnya juga lekukan kayu. Dia adalah kayu terindah dan tercantik. Aneh sekali tak ada manusia yang bisa menangkap ke­can­tik­an­nya­. Menghar­gai keindahan yang dititipkan alam padanya. Bah­kan Gubreg, pelayan tua itu, juga tidak berkomentar ke­tika Kopag memuji keindahan perempuan delapan belas tahun itu. Apa yang sesungguhnya sa­lah pada kriteria yang telah di­be­rikan Kopag terhadap pe­rem­puan?



***

Kehidupan telah memaksa bocah laki-laki itu memakai label Ida Bagus Made Kopag, agar orang-orang mudah menge­nali­nya dan membedakan dirinya ber­­beda dengan manusia lain­nya. Dia anak laki-laki kedua yang lahir dari keluarga terkaya di Griya. Gelar Ida Bagus me­nun­jukkan bahwa dia adalah anak laki-laki dari golongan Brah­­­mana, kasta tertinggi da­lam struktur masyarakat Bali. Ayah­nya seorang laki-laki sa­ngat ter­hor­mat dan memiliki ke­du­dukan tinggi di peme­rin­tah­an. Dia juga memiliki puluhan galeri lukis dan patung. Sayangnya laki-laki itu memiliki mata yang sangat liar. Laki-laki itu adalah binatang yang paling mengerikan. Kata orang, laki-laki itu bisa tidur dengan seluruh perem­puan. Dia tidak pernah peduli, cantikkah perempuan itu, sehatkah dia? Bagi ayah Kopag, setiap makhluk yang memiliki lubang bisa dimasuki. Suatu hari, se­te­lah berbulan-bulan tidak pulang, laki-laki itu pulang dalam kondisi yang menyakitkan. Tubuhnya kurus dan pucat. Belum lagi hutangnya yang tiba-tiba saja me­num­puk. Seluruh kekayaan ludes. Dalam kondisi seperti itu, laki-laki itu memaksa perempuan yang di­nikahinya untuk bersetubuh. Perempuan itu me­no­lak. Dia tahu, laki-lakinya akan menitipkan daging binatang di rahimnya. Apa artinya kekuatan seorang perempuan? Terlebih, sejak kecil dia terbiasa dididik menjadi perempuan bangsawan yang menghormati laki-lakinya. Dia hamil. Lahirlah seorang laki-laki yang mereng­gut nyawa perempuan itu.

Laki-laki itu harus berperan sebagai laki-laki buta untuk menebus kelahiran dan hidupnya sendiri. Alang­­kah ajaibnya kalau hidup juga bisa diper­main­kan, bisa dibuat sebuah pementasan. Seperti sebatang kayu dengan lekuknya yang begitu menggairahkan, di sanalah dunia itu dibuat untuk laki-laki yang sejak pertama berkenalan dengan aroma bumi dan hidup hanya merasakan kegelapan sebagai bahasanya, hi­dup­nya. Kehidupan yang sering dimaki Kopag ter­nya­ta cukup demokratis. Dia memberi Kopag poin, yang tentu saja tidak dimiliki orang-orang. Dia bisa mengubah kayu kering menjadi sebuah karya seni yang memikat para intelektual seni rupa. Kopag telah merekonstruksi sejarah seni rupa. Kopag tidak saja memahat kayu, dia memahat pikirannya, otaknya, ju­­ga impian-impiannya. Untuk pertama kali, alam me­­­­­­­­­­­­nyerah pada kekuasaannya, seperti Kopag juga me­nyerah pada kebutaan yang harus dia kenakan se­tiap saat. Kebutaan yang mengikuti dia terus-me­ne­rus.



***

Kopag menarik nafasnya dalam-dalam. Dise­n­tuh­nya kayu kering yang selama ini selalu mengantarnya ke mana dia pergi. Jujur saja, Kopag sangat menyukai kayu yang mengenalkannya pada dunianya. Dunia yang diinginkan. Sebuah kesunyian dengan pagar-pa­gar kein­dahan. Tanpa teriakan iparnya yang sering me­nyesakkan kuping.

“Apa bisanya adikmu yang buta itu? Apa? Me­re­pot­kan!” Suara perempuan muda itu selalu meng­ge­li­­sahkannya. Ada-ada saja yang diributkannya. Ta­na­­man di halaman samping rusak atau terinjak ka­ki­nya, kembang sepatu yang baru ditanam pe­rem­puan nyinyir itu tersangkut tongkatnya, atau posisi piring dan gelas berubah di dapur.

Suara iparnya itu akan terus menari-nari di sekitar telinga­nya. Bagaimana mungkin perempuan konon kata orang-orang di desa­nya sangat cantik dan santun itu bisa berkata begitu kasar. Teriakannya saja bisa me­mandulkan pisau pahatnya. Nama perempuan itu Ni Luh Putu Sari. Karena dia bukan kaum Brahmana, perempuan itu harus mengubah namanya menjadi Je­ro Melati. Karena perempuan Sudra, perempuan kebanyakan itu telah menikah dengan kakaknya dan menjadi keluarga Griya.

Orang-orang di luar hanya tahu bentuk tubuhnya yang konon sangat luar biasa, kulitnya yang sering jadi pujian, pokoknya seluruh tubuh perempuan itu selalu jadi pembicaraan kaum laki-laki. Aneh sekali, Kopag sering berpikir, bagaimana sesungguhnya se­buah penilaian yang objektif dalam hubungan antar­manusia di bumi ini. Iparnya yang luar biasa ka­sar dan cerewetnya jadi pujian dan pembicaraan se­l­uruh laki-laki di Griya.

Bagi Kopag, perempuan itu adalah pemain san­di­wara yang ulung. Saat ini dia sangat mengikuti ambisinya untuk masuk dalam lingkungan keluarga Brahmana. Perempuan itu benar-benar serius untuk memasuki perannya sebagai istri laki-laki Brahmana, dia harus menunjukkan pada seluruh manusia di desa ini bahwa dirinya berhak masuk dalam lingkungan ke­luarga bangsawan. Itu yang dira­sakan Kopag, ketika untuk pertama kali iparnya itu menyalaminya. Getar­an tangannya sudah seperti tangan-tangan mayat yang membu­suk. Kopag juga merasakan setiap mulut perempuan itu terbuka, dia mencium bau darah. Anyir. Bau itu seolah berlomba-lomba meloncat dari bi­birnya yang konon sangat mungil, merah, dan sangat pas. Bahkan Gubreg, parekan, pelayan setia yang merawat Kopag sejak kecil, selalu berkata bahwa ber­untunglah kakaknya bisa mendapat­kan perempuan tercantik di desa.

Masih kata Gubreg, Ni Luh Putu Sari yang sejak menikah dan masuk menjadi keluarga Griya bernama Jero Melati itu memiliki kulit yang sangat indah. Postur tubuhnya seperti putri-putri raja Bali.

“Luar biasa kecantikan Jero Melati, Ratu.”

“Seperti apa perempuan cantik itu, Gubreg? Tolong kau kata­kan seluruhnya. Aku ingin tahu, aku juga ingin merasakan. Saat ini aku mencoba percaya pada matamu.”

Laki-laki tua itu terdiam. Dipandangnya mata Ko­pag dalam-dalam. Ada rasa sakit mengelus dada tua­nya. Ida Bagus Made Kopag memiliki tubuh yang sa­­­­­­­­­­ngat bagus. Tinggi, dan tangannya juga sangat ce­katan memahat patung-patung. Sejak kecil kakek­nya hanya mengajari Kopag bersentuhan dengan ka­yu-kayu untuk berkenalan dengan kehidupan. Atau se­sekali mendatangkan guru yang mengajari­nya mem­baca.

“Anak itu buta, Gubreg. Menanggung dosa ayah­nya. Pertumbu­hannya selalu mengingatkanku pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan anakku. Kar­ma­nya jatuh pada anaknya sendiri. Kegelapan itu jadi milik cucuku yang paling abadi. Aku masih percaya kehidupan itu bisa diajak bicara. Kau bisa lihat, kan? Kehidupan sendiri memberinya hadiah yang luar biasa. Cucuku memiliki seluruh mata ma­nu­sia yang ada di bumi ini. Lihat, dia mampu mem­buat pa­tung-pa­tung dengan ukiran sangat sempurna. Jaga dia baik-baik, Gubreg. Anggap dia anakmu!” Itu pesan Ida Bagus Rai, sebelum ber­pulang.

“Gubreg, kau belum jawab pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu? Apa seperti bongkahan kayu beringin ini? Dingin, tapi mampu memikatku. Lihat, Gubreg, aku selalu tersentuh. Gubreg, rasa apa yang sering membuatku meluap, apa ini rasa yang di­miliki laki-laki? Ini wujud kelelakian itu?” suara Kopag terdengar pelan.

Hyang Widhi! Penguasa jagat! Kopag memang sudah besar, sudah menjelang dua puluh lima tahun. Dia juga rajin membaca buku-buku dengan huruf braile. Atau sesekali dia dikunjungi orang asing dari Prancis, Frans Kafkasau.

Laki-laki setengah baya itulah yang membuat Gubreg, jengkel! Ada-ada saja yang dibawanya. Kadang-kadang dia bacakan buku-buku bahasa asing, yang diterjemahkannya, tentang Michelangelo Buo­norrty, yang konon, kata Frans, pematung jaman Renaisans.

Susah. Susah. Sejak bergaul dengan Frans ada-ada saja yang ditanyakan Kopag padanya.

“Kau tidak ingin menjawabnya, Gubreg?”

“Jangan bertanya yang aneh-aneh pada titiang, Ratu. Titiang tidak bisa menjelaskan seperti Frans. Tanyakan pada laki-laki bule itu!” Suara Gubreg ter­dengar penuh nada kecemburuan.

Laki-laki tua itu seka­rang ini jadi cepat marah. Dadanya sering mendidih. Rasanya baru mendengar satu huruf keluar dari bibir laki-laki Prancis itu se­luruh isi perutnya seperti ke­luar. Jengkel! Waktu Ko­pag sekarang habis un­tuk diskusi. Laki-laki bule itu telah memberinya di­dik­an yang baru, perhatian yang lain. Kopag tidak lagi membutuhkannya. Ada yang hilang dalam tubuh laki-laki tua itu. Kehilangan yang dalam. Bagi Gubreg, Kopag sudah bagian dari nafasnya. Sejak kecil, dialah yang mengajari Kopag mempelajari tekstur kayu. Seluruh ilmu memahat dia alirkan dalam tubuh bocah kecil yang tidak berdaya itu. Dia juga yang mengajarinya bahwa semua benda punya jiwa, ter­masuk rangkaian pisau-pisau pahatnya. Gubreg pun mengajari Kopag menelanjangi tubuh pisau-pisau pahat, dan menikmati aroma ketajamannya yang luar biasa indahnya. Dia ingat teriakan Kopag ketika pertama kali menyentuh tubuh-tubuh pisau yang telanjang itu. Waktu itu umur Kopag tujuh tahun.

“Gubreg, tubuhku gemetar setiap menyentuh pisau-pisau ini. Keruncingannya, ketajamannya, begitu indah. Begitu penuh misteri. Luar biasa, Gub­reg.”

Kilatan matahari menjilati keruncingan pisau pa­hat itu. Gubreg menyaksikan, betapa sinar ma­ta­hari yang perkasa itu menja­di patah dan tak berdaya ke­tika menyentuh sedikit saja keruncin­gannya. Pisau justru seperti menantang matahari untuk bersabung. Di tangan Kopag pisau itu jadi begitu dingin, angkuh dan selalu lapar.

Sampai menjelang tengah malam, Gubreg belum juga bisa menja­wab arti menjadi laki-laki. Perasaan apa yang sedang bertarung dalam tubuh Kopag? Gub­reg takut. Takut sekali menjawab perta­nyaan tentang esensi menjadi laki-laki.

***



Pagi-pagi sekali, Kopag sudah membuka jendela studionya.

“Aku ingin bercerita padamu,” suara Kopag ter­de­ngar penuh rasa ingin tahu.

“Tentang apa lagi, Ratu?”

“Kecantikan perempuan.”

“Titiang...titiang tidak bisa menceritakan kecan­tikan perem­puan pada Ratu. Semua orang, Ratu, me­mi­liki penilaian khusus tentang hal itu. Perempuan itu....”

Suara Gubreg ter­de­ngar patah. Berkali-kali dia menarik nafas. Dia me­nger­­­­ti. Sangat paham. Dia juga laki-laki, dia juga per­nah merasakan seperti apa percikan nafsu itu ketika pertama kali menampar wu­jud manusianya. Begitu parah, dan teramat meng­ge­­lisahkan ketika tubuh­nya mulai lapar dan me­mer­lukan tubuh lain untuk santapan. Rasa itu tiba-ti­ba saja muncul kembali da­­lam otak, dan tulang-tulangnya yang mulai rapuh membantunya merangkai masa lalunya kembali.

Waktu itu Gubreg seorang laki-laki kumal empat belas tahun. Sering sekali dia disuruh mengantar Da­yu Centaga mandi di sungai Badung. Tubuh perem­puan itu seperti ular yang melingkar dan menjepit ba­tang-batang tubuhnya. Kakinya kram setiap me­lihat tubuh basah itu naik ke atas dengan kain yang hanya sebatas dada. Kaki perempuan itu putih, dan mampu meledakkan otaknya. Terlebih, Dayu Cen­ta­­­ga selalu menyuruh Gubreg menggosok pung­gung­nya dengan batu kali. Aroma tubuh perempuan itu sampai hari ini masih mele­kat erat di tubuhnya. Aro­ma itu tak bisa dihapus oleh usia yang dipinjam Gub­reg pada hidup. Lama-lama Gubreg merasakan sakit yang luar biasa menyerang tubuhnya. Dia geli­sah, dia luka, karena kelaparannya adalah kelaparan yang tidak pada tempatnya. Sebagai laki-laki Sudra, ke­­ba­nyakan, dia sadar tubuhnya tidak boleh melahap tu­buh perempuan Brahmana. Perempuan junjungan­nya, perem­puan yang sangat dihormatinya. Tak ada yang bisa diceritakan kegelisahannya, dia adalah laki-laki tak berguna, yang hidup dari belas kasihan ke­luar­­ga Dayu Centaga. Setiap mengingat batas yang ada an­tara dirinya dan Dayu Centaga, Gubreg selalu me­rasakan tubuhnya dilubangi. Dia sering terjaga tengah malam dengan nafas yang memburu. Hyang Widhi, Gubreg sadar rasa laparnya sudah tidak bisa diben­dung lagi. Tubuhnya jadi pucat. Ke­luarga Griya mencari­kan dia seorang Balian, dukun.

Balian tua itu memberinya jampi-jampi. Tubuhnya dilingkari asap yang sa­ngat menyesakkan aliran pernafasannya. Ka­ta Balian itu, Gubreg sempat membuang kotoran di pinggir sungai. Kebetulan si penunggu sungai sedang beristirahat. Masih kata Balian tua itu, tadinya penunggu sungai itu juga ingin mengganggu Dayu Centaga. Berkat kekuatan Gubreg, Dayu Centaga tidak terkena. Justru Gubreglah yang kena ke­­­marahan si penunggu sungai. Untuk me­ngem­­­balikan kesehatan Gubreg, keluarga Griya membawa sesaji untuk penunggu sungai.

Gubreg tidak bisa bercerita tentang kela­par­an tubuh laki-lakinya. Dia pasrah ketika Balian tua...memandikan tubuhnya di pinggir sungai. Kata­nya agar roh jahat tidak mengenai keluarga Griya. Untuk menghormati kebaikan keluarga Griya, Gubreg bersedia menjalankan runtutan upacara itu.

Tak seorang pun tahu, komunikasi Balian tua itu dengan dunia gaib salah. Gubreg tidak sakit, tidak juga kesambet setan. Dia rasakan perubahan pada tu­buhnya, karena aliran sungai dalam tubuhnya bukan lagi aliran sungai kecil, tetapi sudah menyer­upai air bah. Dan Gubreg tahu air dalam tubuhnya memer­lu­kan muara. Demi Hyang Widhi, dia merasakan cin­ta yang dalam pada Dayu Centa­ga. Cinta yang tidak mungkin dihapus. Cinta yang membuatnya jadi batu, dingin, tidak lagi bisa menikmati kegairahan manu­sia­wi sebagai manusia. Sampai sekarang, menjelang tujuh puluh lima, Gubreg masih setia mengabdi di Griya. Tanpa istri, tanpa kegaira­han sebagai laki-laki.

Kalau sekarang Kopag bertanya seperti apa ke­can­tikan itu, Gubreg paham. Sesuatu yang dahsyat te­lah dititipkan alam pada tubuhnya.

Gubreg menatap tajam tubuh Kopag yang sedang merampungkan pahatannya.

“Gubreg, kau belum juga jawab pertanyaanku,” suara Kopag terdengar pelan. Dia menarik nafas berkali-kali, “Gubreg, kau ingat kata-kata Frans?”

“Yang mana?”

“Frans mengatakan keliaranku membentuk tubuh-tubuh manusia dalam kayu mengingatkan dia pada lukisan Pablo Picasso, Guemica. Pada dasarnya aku se­lalu penasaran, Gubreg. Kenapa kayu-kayu ini se­la­lu mengajakku berdiskusi, mengajakku bicara, ber­dialog, dan berpikir. Aku selalu ingin tahu, selalu ingin mengupas dan melu­kai kayu-kayu itu. Rasa ingin tahu yang begitu besar, sampai menguliti otak­ku, tanganku, tubuhku. Aku juga ingin tahu arti se­tiap impian. Impian-impian yang dimiliki oleh po-hon ketika dia membesarkan ranting-rantingnya, mem-besarkan tubuhnya, sam­pai akhir­nya potongan-po­tongan tubuh itu ada di tanganku. Aku juga memiliki impian-impian sendiri pada patahan tubuh pohon itu. Sua­tu hari Frans dan seorang temannya mengatakan, pahatanku tentang pe­rem­­puan sangat sempurna. Kata mereka, sangat surealis. Kecantikan perempuan yang kuterjemahkan lewat kayu-kayu itu mengingatkan Frans pada ke­liar­an Martha Graham, yang memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk mewujudkan jati diri tokoh yang dimainkan. Gubreg, aku merasakan kecantikan pe­rem­puan itu melalui jari-jariku. Kayu-kayu dan pisau te­l­ah memberiku mata yang lain.”

Gubreg tetap diam. Dia mencoba memahami se­suatu yang sangat rahasia dan begitu dalam ingin di­sam­paikan Kopag, seorang anak yang dibesarkan de­ngan cara-caranya, diajar memahami kehidupan. Gub­reg bahkan rela bocah laki-laki itu mencuri lembar de­­mi lembar rahasia perjalanan dan rasa sakitnya se­ba­gai laki-laki yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi.

Berkat Kopag, keluarga besar ini kembali bisa hidup. Patung-patung Kopag laku keras dan diminati oleh kolektor dari dalam dan luar negeri. Sekarang ini keluarga ini tentram. Jero Melati tidak pernah ce­ri­wis, perempuan itu bebas menggunakan uang Ko­pag semau­nya. Bahkan, kakak Kopag sendiri bisa mem­buka galeri patung yang besar. Saat ini galeri itu sudah tumbuh besar dan menjadi satu-satunya galeri yang paling diakui di Bali karena karya patung yang masuk harus melalui seleksi dan pertimbangan yang teliti. Bulan kemarin, ada bantuan dana dari Jerman dan Prancis.

Gubreg tahu tak ada yang diinginkan Kopag. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa arti ada uang atau tidak ada uang. Hanya satu yang ditangkap Gubreg, Kopag memerlukan perempuan.



***

“Kita harus carikan seorang istri untuk Ratu,” suara Gubreg terdengar sangat hati-hati. Mendengar komentar itu, Jero Melati tersenyum.

“Bagaimana kalau dia kawin dengan calon yang telah kusiap­kan.”

“Jero sudah punya calon?”

“Ya. Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari.”

“Siapa?”

“Adik perempuanku,” jawab perempuan itu serius. Gubreg menatap mata perempuan itu tajam. Untuk per­tama kali dia merasa­kan hawa jahat berendam dan menguasai tubuh cantik itu. Benar kata Kopag, perempuan satu ini memang bukan perempuan baik-baik. Otaknya hanya berisi kehormatan.

“Kau harus bisa meyakinkan dia bahwa adikku layak menjadi istrinya.” Suara perempuan itu ter­dengar mirip perintah dan pemaksaan. Gubreg diam. Dia tahu, adik Jero Melati adalah perem­puan paling liar dan nakal. Kata orang-orang kampung, adik Jero Melati bisa menjual tubuhnya. Mengerikan! Padahal perempuan itu sangat cantik. Sayang, dia tidak tahan miskin. Padahal kemiskinan kalau dihayati memiliki keindahan tersendiri.



***

“Gubreg. Aku ingin bicara!” Kali ini suara Kopag terdengar serius. Gubreg mencoba memahami ke ma­na kira-kira arah pembicaraan Kopag. Lima menit tanpa hasil. Kopag seperti linglung, dia terus me­nge­­lilingi studionya.

“Ratu. Ratu ingin apa lagi? Jangan menakuti titiang. Ratu terlihat sangat gelisah.”

“Ya. Aku ingin kawin, Gubreg.” Suara Kopag terdengar sangat serius.

“Maaf Ratu, titiang juga sudah membicarakan dengan Jero dan kakak Ratu.”

“Apa kata mereka.”

“Mereka setuju. Bahkan merekalah yang akan me­milihkan calon istri untuk Ratu.” Gubreg meng­ang­­kat wajahnya, ingin sekali dili­hatnya wajah Kopag berseri. Aneh! Wajah itu tetap seperti batu.

“Aku sudah memiliki calon. Kali ini pilihanku ti­dak bisa diubah!”

“Siapa?”

“Luh Srenggi.”

“Ratu...?!” Gubreg seperti tercekik. Luh Srenggi, apa­kah kuping tuanya tidak salah dengar? Bukankah Luh Srenggi adalah perempuan yang menyiapkan se­luruh keperluan Kopag, membersihkan studionya me­nyiapkan makan, dan mengambilkan pisau-pisau pahat­nya? Perempuan itu bukan perempuan, dia lebih mirip makhluk yang mengerikan, kakinya pincang, pung­gungnya bongkok, ada daging besar tumbuh di atasnya, matanya yang kiri bolong, dia hanya memiliki satu mata. Wajahnya juga rusak berat. Kulitnya be­gitu kasar. Hyang Widhi! Dewa apa yang ada dalam tubuh Kopag. Sadarkah dia, tahukah dia makna ke­can­tikan? Gubreg menarik nafas memegang da­da­nya kuat-kuat.

“Aku telah menidurkan perempuan itu setiap ma­lam, Gubreg. Tubuhnya benar-benar lekukan kayu. Ku­litnya juga kulit kayu. Kau tahu, ketika kujatuhkan tubuhku memasuki tubuhnya, aku tenggelam dan habis. Dia adalah perempuan tercantik. Perempuan yang menga­lahkan kecantikan kayu-kayuku. Ketika dia telanjang, tak ada sebuah pisau pun bisa menan­dingi ketajamannya. Perempuan itu telah mengasah tubuh laki-lakiku.”

Gubreg ambruk. Sebuah pisau pahat menembus dadanya yang tipis.***



1. Saya

2. Panggilan kehormatan untuk bangsawan Bali



(Dimuat dalam Horison, Maret 2000)

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda