Oleh: Günter Grass ( 1927 - ... )

1 9 1 4

Akhirnya, setelah dua rekan di lembaga penelitian kami sudah berulang kali dan sia-sia berusaha, pada pertengahan tahun enam puluhan saya berhasil menggugah kedua pengarang lanjut usia itu —Juenger dan Remarque— agar mau bertemu. Mungkin saya lebih beruntung karena saya perempuan dan masih muda, apalagi saya warga negara Swiss - suatu negara yang netral. Meskipun saya menggambarkan garis besar rencana penelitian kami hanya sesuai ketentuan umum, mungkin surat-surat saya didengar sebagai ketukan takut-takut lembut di pintu; dalam waktu beberapa hari dan hampir bersamaan datang dua surat jawaban yang menyatakan bahwa undangan saya diterima.

Perihal kedua tokoh mengesankan yang sudah “is bitzeli fossil” inilah saya beritakan kepada rekan-rekan di lembaga penelitian. Saya telah memesan kamar-kamar yang tenang di hotel “Zum Storchen”. Biasanya kami duduk-duduk di serambi restoran roti dan kue, sambil memandang sungai Limnat, balai kota dan hotel “Zum Rueden”. Remarque—waktu itu usianya enam puluh tujuh tahun—datang dari arah kota Locarno. Ia jelas kelihatan sebagai seorang yang menikmati kesenangan hidup; tampaknya lebih tua dan lemah daripada Juenger yang kelihatan gagah meskipun baru saja telah melampaui usia tujuh puluhan dan menampilkan diri sebagai seorang suka olah raga. Karena tinggal di daerah Wuerttemberg, Juenger datang liwat kota Basel, sesudah berjalan kaki mendaki bukit Vogesen menuju ke Hartmannsweilerkopf, yaitu daerah yang dulu diperebutkan dengan sengit, dengan banyak pertumpahan darah.

Pada pertemuan pertama, percakapan mereka sangat kaku dan tersendat. Tamu-tamu kehormatanku—keduanya saksi zaman dan pelaku sejarah—berbincang-bincang sambil beradu pengetahuan tentang jenis-jenis anggur yang dihasilkan di Swiss: Remarque memuji berbagai jenis anggur yang berasal dari daerah Tessin, sedangkan Juenger lebih suka welsche Dole. Kelihatan betul bahwa keduanya sangat berusaha memperlihatkan sopan santun dan daya pikat mereka masing-masing. Usaha mereka “uff Sehwyzerduetsch zu schwaetze” amat lucu, akan tetapi sekaligus menyusahkan. Namun, ketika saya mengutip awal sebuah lagu yang selama Perang Dunia I sering dinyanyikan dan tidak diketahui penciptanya, yaitu “Flandrischer Totentanz”, pertama-tama Remarque mulai bersenandung; tidak lama kemudian juga Juenger turut menyanyikan lagu yang melodinya sangat sedih dan mencekam. Keduanya masih mengetahui larik-larik yang mengakhiri tiap bait: “Flandern in Not, in Flandern reitet der Tod” (“Flandern dilanda bahaya, di Flandern maut merajalela”). Kemudian keduanya memandang ke arah gereja Grossmuenster; puncak-puncak menara gereja itu menjulang tinggi di atas rumah-rumah penduduk kawasan Schiffslaende.

Sesudah perenungan beberapa saat diselingi dehem-mendehem, Remarque mulai bercerita bahwa pada musim gugur tahun empat belas ia masih di bangku sekolah di kota Osnabrueck, ketika dekat Bixschoote dan Ypern terjadi pertempuran seru yang mengakibatkan pertumpahan darah habis-habisan di pihak resimen-resimen tentara sukarela Jerman; juga, bahwa legenda kepahlawanan di Langemarck, yang mengabarkan bahwa berondongan tembakan senapan mesin dari pihak Inggris dibalas sambil menyanyikan lagu kebangsaan*, memberi kesan yang sangat mendalam kepadanya. Barangkali sebab itu, juga karena disemangati oleh para guru, banyak murid sekolah menengah umum ramai-ramai mendaftarkan diri sebagai tentara sukarela. Dari tiap dua orang, satu tidak kembali. Dan mereka yang kembali, seperti Remarque sendiri, yang tidak berkesempatan masuk sekolah menengah umum, sampai sekarang hancur jiwa raganya. Setidak-tidaknya Remarque memandang dirinya sendiri sebagai “mayat hidup”. Juenger sambil tersenyum halus menceritakan beberapa pengalaman masa sekolah kepada Remarque; meskipun Juenger menamakan kultus kepahlawanan Langemarck “bualan kaum nasionalis”, ia mengakui juga bahwa lama sebelum permulaan perang, ia sudah sangat ingin mengalami keadaan bahaya dan sangat tertarik pada petualangan-petualangan luar biasa dan “bahkan ingin masuk Legiun Asing Prancis”. Lalu ia melanjutkan: “Ketika akhirnya perang meletus, kami merasa dilebur menjadi satu kekuatan besar. Meskipun perang itu kemudian membawa penderitaan, pertempuran sebagai pengalaman jiwa tetap memikat saya, bahkan sampai pada hari-hari terakhir sebagai komandan pasukantempur. Akui sajalah, Remarque, bahkan dalam novel Im Westen nichts Neues—novel pertama Anda yang memang hebat—Anda bercerita penuh perasaan dan gejolak batin tentang persahabatan sehidup semati di antara para prajurit.” Novel ini, kata Remarque, isinya bukan kumpulan pengalaman pribadi, melainkan pengalaman di garis depan dari suatu generasi yang diperalat. “Dinas di rumah sakit tentara sudah cukup sebagai sumber ilham saya.”

Kedua pengarang tua itu memang tidak mulai berselisih, akan tetapi mereka menekankan bahwa pandangan mereka mengenai perang berbeda, bahwa gaya penulisan mereka berlawanan, dan bahwa juga titik tolak mereka berlainan. Kalau yang satu masih tetap memandang dirinya sebagai seorang “pencinta damai yang tidak dapat berubah ataupun diubah”, yang lain menuntut dimengerti dan dipahami sebagai “anarkis”.

“Omong kosong!” teriak Remarque. “Dalam Stahlgewittern, sampai serangan terakhir yang diperintahkan Ludendorff, Anda tetap berpetualang seperti preman bajingan. Tanpa pikir panjang dan tanpa rasa bersalah Anda telah mengerahkan satu pasukan tempur, hanya guna menangkap satu-dua orang musuh—sekedar untuk melampiaskan nafsu sadis dan sekaligus guna menjarah sebotol Cognac!” Namun kemudian ia mengakui bahwa di buku hariannya Juenger telah menggambarkan pertempuran parit, bahkan juga ciri-ciri pertempuran yang membawa banyak korban dan kerugian itu, dengan sangat teliti.

Menjelang akhir pertemuan pertama—kedua pengarang itu masing-masing telah menghabiskan sebotol anggur merah—Juenger berbicara tentang Flandern lagi: “Ketika dua tahun kemudian kami masuk ke dalam parit-parit di garis depan daerah Langemarck, kami menemukan senapan, kopelrim dan selongsong peluru yang berasal dari pertempuran tahun empat belas. Bahkan juga Pickelhauben ditemukan, perlengkapan tentara sukarela yang dalam kekuatan resimen telah maju ke garis depan …”



1 9 1 5

Pertemuan berikutnya berlangsung di Odeon, sebuah kafe yang sejak dulu sudah terkenal. Di sinilah dulu Lenin menunggu keberangkatannya ke Rusia —perjalanan yang dikawal tentara kekaisaran Jerman— sambil membaca-baca Neue Zuercher Zeitung dan surat kabar lain serta diam-diam merencanakan revolusi. Sebaliknya pikiran kami bertiga bukan mengenai masa depan, melainkan seputar masa lalu. Namun, pertama-tama kedua tamu saya sepakat bahwa pertemuan ini akan dimulai dengan sarapan pagi yang disertai minuman anggur. Disetujui pula bahwa saya diizinkan minum air jeruk.

Seakan-akan menjadi saksi, kedua buku yang pernah menyulut perdebatan sengit antara kubu pro dan kontra perang, terletak di atas meja marmer di antara roti croissant dan keju. Namun Im Westen nichts Neues tiras penerbitannya jauh lebih tinggi daripada In Stahlgewittern. “Betul,” kata Remarque, “buku itu laris. Padahal buku saya dalam tahun 1933 termasuk buku yang dibakar secara resmi, sehingga selama dua belas tahun terpaksa berhenti beredar di pasaran buku Jerman; terjemahannya ke dalam beberapa bahasa asing mengalami nasib yang sama, sedangkan madah perang karangan Anda jelas tidak pernah terhambat penerbitannya.”

Juenger tidak menjawab. Kemudian saya berhasil mengalihkan pembicaraan ke perang parit di Flandern dan di tanah kapur daerah Champagne, sambil meletakkan beberapa bagian peta medan perang di meja yang sudah agak kosong setelah perangkat sarapan pagi disingkirkan. Ketika serangan dan pertahanan di pinggir sungai Somme mulai diperbincangkan, Juenger langsung melontarkan sebuah kata yang tidak lepas dari pembicaraan selanjutnya: “Pickelhaube yang amat menjengkelkan ini, yang sudah tidak dipakai lagi ketika Anda jadi tentara, Remarque! Pelindung kepala itu dalam divisi kami di garis depan sudah sejak lima belas Juni diganti dengan helm baja. Helm baja itu hasil percobaan seorang kapten arteleri bernama Schwerd setelah percobaan-percobaan sebelumnya tidak memberi hasil yang memuaskan. Kami berlomba dengan orang Prancis yang juga mulai memakai helm baja. Karena Krupp tidak mampu menemukan campuran logam yang cocok untuk menghasilkan baja anti karat, perusahaan-perusahaan lain yang mendapat ordernya, antara lain pabrik besi Thale. Mulai enam belas Februari semua divisi di garis depan memakai helm baja. Semua pasukan di depan kota Verdun dan di pinggir sungai Somme mendapat prioritas, yang berada di front Timur terpaksa palinglama menunggu. Andaikan Anda tahu, Remarque, berapa banyak korban jiwa telah jatuh karena helm kulit yang tidak ada gunanya itu, apalagi dalam pertempuran parit! Bahkan karena kekurangan kulit, bahannya kadang-kadang diganti dengan bahan campuran wol dan serat lain yang dipres. Setiap tembakan jitu, berkurang satu orang. Setiap pecahan peluru tembus.”

Kemudian ia berbicara langsung kepada saya. Juga Schweizerhelm yang sampai sekarang dipakai militer, bahkan juga penyangga yang diberi lubang ventilasi, pada dasarnya mengikuti model helm baja kami, meskipun bentuknya agak diubah.”

Sanggahan saya “Untung helm kami tidak terpaksa diuji coba dalam pertempuran-pertempuran yang membawa pengorbanan dahsyat dan kerugian besar seperti yang Anda gambarkan dengan kekuatan bahasa yang begitu meyakinkan” diabaikannya. Remarque sengaja tetap membisu. Selanjutnya Juenger menghujani Remarque dengan berbagai keterangan rinci; mulai dari proses anti karat yang menghasilkan permukaan luar yang kusam berwarna kelabu, sampai ke bagian yang mencuat ke belakang guna melindungi tengkuk dan lapisan dalam berupa bantalan berisi rambut kuda atau terbuat dari campuran wol dan serat-serat lain yang dipres. Lalu ia mengeluh tentang hambatan penglihatan di waktu pertempuran parit; hal itu disebabkan oleh lebarnya bagian dahi yang mencuat ke depan, karena bagian depan helm itu harus memberi perlindungan sampai ke ujung hidung. “Nah, Anda tentu tahu bahwa pada saat-saat manuver selama serangan gempur, topi baja yang hebat ini sangat mengganggu. Meskipun harus diakui sebagai tindakan ceroboh, saya lebih suka memakai peci letnan saya yang sudah tua - sutera lagi lapisan dalamnya!” Lalu ia teringat pada sesuatu yang dianggapnya lucu: “O ya, di meja tulis saya ada kenang-kenangan, sebuah helm Inggris yang bentuknya sama sekali lain, hampir pipih; ada lubang bekas peluru tentu.”

Setelah agak lama tidak ada yang berbicara—kedua pengarang itu sedang menikmati Pfluemli dan kopi hitam—akhirnya Remarque mengatakan: “Helm baja jenis M 16, sesudah itu M 17, jauh terlalu besar untuk pasukan pengganti yang terdiri dari prajurit-prajurit muda yang baru direkrut dan yang kadang-kadang bahkan belum selesai dilatih. Melorot terus. Wajah-wajah mereka yang masih lugu seperti anak sama sekali tertutup oleh helm itu, yang tinggal kelihatan cuma bibir mereka yang meringis ketakutan dan dagu mereka yang gemetar. Lucu dan memelas sekaligus. Bahwa peluru yang ditembakkan oleh pasukan infanteri dan bahkan pecahan-pecahan kecil peluru meriam tetap menembus topi baja itu, mestinya Anda ketahui juga... .”

Ia memanggil pelayan dan memesan Pfluemli lagi. Juenger juga. Saya, si none, dipesankan air jeruk yang baru diperas segelas lagi.*** Diterjemahkan oleh Dewi Noviami.





Jak, Sang Calo

Oleh: Heinrich Böll (1917 - 1985)



Bersama petugas pengantar makanan, dia datang pada malam hari untuk menggantikan Gornizek yang berjaga di belakang, di pos komando. Malam-malam itu begitu gelap dan rasa takut seperti hujan badai berguntur di bumi yang muram dan asing. Aku berdiri di depan, di pos pengintaian, dan mendengarkan ke arah belakang di mana terdengar suara-suara yang ditimbulkan petugas pengantar makanan itu, juga ke arah depan yang gelap dan sunyi, di mana orang-orang Rusia berada.

Gerhard, dialah yang mengantarkan orang itu, dan selain membawa peralatan makan, dia pun membawa rokok. "Kau mau roti ini juga?" tanya Gerhard, "atau kusimpankan sampai besok pagi?" Dari nada suaranya, aku tahu bahwa dia terburu-buru untuk kembali ke pos komando.

"Tidak usah," kataku, "kemarikan, semuanya akan segera kumakan."

Dia menyerahkan roti dan daging kalengan dalam bungkusan kertas minyak, sebungkus permen Drops dan lemak mentega dalam kertas karton. "Ini... ."

Selama itu, si orang baru berdiri di samping sambil menggigil dan membisu.

"Dan ini," kata Gerhard, "orang baru yang menggantikan Gornizek ... Letnan mengirim dia kepadamu, untuk pos pengintaian... ."

"Ya," kataku; adalah hal yang biasa mengirim orang baru ke pos yang tersulit. Gerhard kemudian menyelinap kembali ke pos komando.

"Ayo, ke mari," kataku perlahan, "jangan terlalu keras, sialan!" Peralatan kopelrimnya, sekop dan masker gas berdentingan dengan bodohnya. Dengan canggung dia masuk ke lobang perlindungan dan hampir saja menyenggol rantang makanku. "Idiot," gumamku dan bergeser untuk memberinya tempat. Lebih dengan pendengaranku daripada dengan penglihatan, aku tahu bagaimana dia, sesuai dengan aturan, melepaskan kopelrimnya, meloloskan lalu meletakkan sekopnya ke samping, masker gas di sebelahnya dan pada tanggul lobang perlindungan diletangkannya senapan teracung ke arah musuh, dan bagaimana dia kemudian mengaitkan kopelrimnya lagi. Sop buncis sudah dingin, dan bagus juga bahwa dalam kegelapan aku tidak bisa melihat ulat-ulat yang keluar dari buncis waktu dimasak. Di dalamnya ada banyak potongan-potongan daging empuk yang kukunyah dengan nikmat. Dan daging kalengan itu pun kumakan, begitu saja dari kertas pembungkusnya, kemudian roti kutekan-tekankan pada rantang yang sudah kosong. Orang itu berdiri dengan sangat membisu di sampingku, dengan muka selalu menghadap ke musuh, dan dalam kegelapan aku melihat sebuah profil, dan jika dia menoleh ke samping, terlihat dari tengkuknya bahwa dia masih muda, helm bajanya hampir seperti tameng punggung seekor kura-kura. Orang yang masih sangat muda itu punya sesuatu yang sangat khas pada tengkuknya yang mengingatkan pada permainan perang-perangan di sebuah lapangan di pinggiran kota. "Saudara merahku, Winnetou," tampaknya itulah yang selalu mereka ucapkan. Bibir mereka gemetar karena takut dan hati mereka keras karena berani. Anak-anak muda yang malang itu ...

"Duduklah yang tenang," kataku pelan-pelan, dengan tekanan yang sudah kupelajari dengan susah payah. Tekanan yang bisa dimengerti orang dengan baik tapi hampir tidak bisa terdengar dalam jarak satu meter.

"Sini," tambahku sambil menarik pinggiran mantelnya dan dengan setengah memaksanya untuk menduduki bangku. "Bagaimanapun kamu kan tidak bisa terus-terusan berdiri... ."

"Tapi di pos," kata sebuah suara yang lemah. Suara yang rapuh seperti seorang penyanyi tenor yang sentimental.

"Diam!" aku membentaknya.

"Di pos," bisiknya, "kan tidak boleh duduk."

"Tak ada yang boleh, juga tidak boleh memulai peperangan."

Walaupun aku hanya bisa melihat siluetnya, tapi aku tahu bahwa dia duduk seperti seorang prajurit baru di sebuah kelas, tangan di lutut, sangat tegak dan setiap detik siap meloncat berdiri mengambil sikap siap seperti orang sinting. Aku membungkuk, menarik kerah mantel tinggi-tinggi sampai menutupi tengkuk dan menyalakan pipa rokok.

"Kamu mau merokok juga?"

"Tidak." Aku heran bahwa dia sudah bisa berbisik dengan baik.

"Kemari," kataku, "minum seteguk."

"Tidak," katanya lagi, tapi aku memegang kepalanya dan menyorongkan leher botol ke mulutnya - sabar seperti seekor anak sapi yang mendapatkan botol pertamanya, dia membiarkan beberapa tegukan tertelan, lalu dia bergidik dengan keras sampai-sampai aku harus melepaskannya.

"Tidak enak?"

"Enak," katanya menggagap, "tapi aku tersedak."

"Kalau begitu, minum sendiri."

Dia mengambil botol dari tanganku dan meneguk dengan baik.

"Terima kasih," gumamnya.

Aku pun minum.

"Sekarang lebih baik, kan?"

"Ya ... jauh lebih baik ..."

"Tidak begitu takut lagi, kan?"

Dia malu untuk mengakui bahwa tadi dia ketakutan, tapi memang begitulah mereka semua.

"Aku juga takut," kataku karenanya, "selalu malah... oleh sebab itu aku mencari keberanian dari botol ini... ."

Aku merasakan bagaimana dia berpaling dengan cepat ke arahku, dan aku membungkuk ke arahnya untuk dapat melihat parasnya. Tapi aku tak melihat apapun kecuali sinar kilatan matanya yang menurutku tampak berbahaya, dan hanya siluetnya yang buram dan gelap, tapi aku bisa mencium baunya. Dia menyebarkan bau ruang penyimpanan pakaian, bau keringat, lalu ruang penyimpanan pakaian lagi, lalu sisa-sisa sop, juga sedikit berbau minuman keras. Dia sangat ... sangat diam, juga di pos komando di belakang kami, tampaknya mereka telah selesai dengan pembagian makanan. Dia menoleh lagi ke arah musuh. "Ini untuk yang pertama kalinya bertugas di luar?"

Dia malu lagi, aku merasakannya, tapi lalu dia berkata: "Ya."

"Sudah berapa lama jadi tentara?"

"Delapan minggu."

"Kalian datang dari mana?"

"Dari St. Avold."

"Dari mana?"

"St. Avold, Lothringen, kamu tahu..."

"Berapa lama di perjalanan?"

"Empat belas hari."

Kami diam beberapa saat, dan dengan pandanganku aku berusaha untuk menembus kegelapan yang meliputi di depan kami. Ah, kalau saja hari menjadi siang, pikirku, kalau saja bisa melihat sesuatu, setidaknya remang-remang atau berkabut, sedikitnya sesuatu, melihat sesuatu, agak terang... Tetapi kalau terang, aku pasti akan berpikir: kalau saja gelap, kalau saja sedikitnya remang-remang, atau kalau saja tiba-tiba kabut datang; selalu begitu...

Di bagian depan tidak ada apapun. Di kejauhan terdengar derum halus motor kendaraan. Juga orang-orang Rusia itu mendapatkan makanan mereka. Di suatu tempat, di depan sana, terdengar suara kicauan orang Rusia yang sekonyong-konyong tertahan, seolah seseorang membungkam mulut itu. Tetapi itu bukan apa-apa... .

"Kamu tahu apa tugas kita?" tanyaku kepadanya. Ah, betapa indahnya bahwa aku tidak sendirian lagi. Betapa indahnya mendengar nafas seorang manusia, merasakan bau apeknya, bau seorang manusia yang kita tahu bahwa dalam detik berikutnya dia tidak berniat membunuh kita.

"Ya," katanya, "pos pengintaian." Lagi-lagi aku heran, betapa baiknya dia bisa berbisik, hampir lebih baik daripada aku. Tampaknya itu adalah hal enteng untuknya, untukku hal itu selalu memakan tenaga. Aku paling senang kalau bisa meraung, berteriak atau berseru sehingga malam membuyar seperti busa hitam, untukku hal itu melelahkan dan bikin sinting. Berbisik, untuk mengekang suaraku. Yang paling menyenangkan adalah bernyanyi, membuat suara gemuruh atau berteriak histeris... .

"Bagus," kataku, "pos pengintaian. Artinya, kita harus mengawasi bila orang-orang Rusia itu datang, menyerang. Lalu kita menembakkan peluru asap merah, menembak-nembak sedikit dengan senapan kita lalu pergi, ke pos komando, mengerti? Tapi kalau yang datang hanya beberapa orang saja, pasukan pengintai, maka kita harus tutup mulut, biarkan mereka lewat, kemudian salah seorang dari kita harus ada yang balik ke belakang dan memberitahukan kepada yang lain, kepada Letnan. Kamu sudah bertemu dia, kan?"

"Ya," katanya dengan suara bergetar.

"Bagus dan kalau pasukan pengintai itu menyerang kita, kita harus membunuh mereka, sampai mampus, mengerti? Kita tidak boleh lari dari pasukan pengintai, mengerti kan?"

"Ya," katanya, dan suaranya bergetar lagi, lalu aku mendengar suara yang mengerikan: giginya bergemelutuk.

Aku pun minum lagi...

"Kalau ... ini kalau ...," gagapnya, "kalau kita tidak melihat mereka datang..."

"Habislah kita. Tapi tenang, kita pasti melihatnya, mendengarnya..."

"Dan kalau kita mencurigai sesuatu, bolehkah kita menembakkan roket isyarat, supaya bisa melihat..."

Dia diam lagi; sungguh mengerikan bahwa dia tidak sekalipun memulai percakapan.

"Tapi mereka tidak datang," omongku terus, "mereka tidak datang pada malam hari, paling-paling pagi hari. Dua menit sebelum fajar..."

"Dua menit sebelum fajar?" dia memotong omonganku.

"Dua menit sebelum fajar mereka mulai jalan, artinya mereka sampai di sini ketika hari mulai menjadi terang..."

"Tapi kan itu sudah terlambat?"

"Maka itu artinya kita harus cepat menembakkan isyarat merah, lalu pergi ... jangan takut, artinya kita bisa berlari cepat-cepat seperti seekor kelinci. Dan sebelumnya kita toh bisa mendengar mereka. Ngomong-ngomong, siapa namamu?" Benar-benar menjengkelkan, setiap kali kalau mau berbicara dengannya, aku harus menyikut tulang rusuknya, itu artinya aku harus mengeluarkan tanganku dari saku yang hangat dan dengan susah-payah memasukkannya lagi, supaya menjadi hangat lagi...

"Aku," katanya, "aku bernama Jak..."

"Seperti orang Inggris, ya?"

"Tidak," katanya. "Dari Jakob ... J...A....K, bukan Jeck, Jak, Jak saja."

"Jak," tanyaku lagi, "sebelum ini kamu kerja apa?"

"Aku," katanya, "jadi calo."

"Apa?"

"Calo."

"Jadi calo apa sih?"

Dia memalingkan lagi mukanya ke arahku, dengan sangat tiba-tiba, dan aku merasakan bahwa dia sangat heran.

"Calo apa ... calo apa ... yah, calo saja..."

"`Gimana," tanyaku. "Kamu kan pasti jadi calo untuk sesuatu."

Dia diam sesaat, melihat lagi ke depan, lalu dalam kegelapan, kepalanya dipalingkannya lagi kepadaku.

"Yah," katanya, "...calo apa...," dia mengeluh dalam-dalam, "aku berdiri di stasiun, setidaknya hampir selalu... dan kalau seseorang datang, seseorang dari rombongan orang-orang yang lewat, seseorang yang aku pikir cocok, biasanya tentara, jadi kalau seseorang datang, lalu aku bertanya kepadanya dengan sangat pelan, sangat pelan, kamu mengerti? Tuan, ingin bersenang-senang...? Begitulah aku bertanya.…" suaranya bergetar lagi dan mungkin kali ini bukan karena takut tetapi karena terkenang sesuatu... .

Karena tegang aku lupa meneguk minuman. "Dan," kataku parau, "kalau orang itu mau bersenang-senang?"

"Lalu," katanya dengan susah payah, dan sekali lagi tampaknya kenangan menguasainya lagi, "lalu aku membawanya kepada salah satu perempuan ... yang sedang kosong... ."

"Ke tempat pelacuran, kan...?"

"Bukan," katanya datar, "aku tidak bekerja untuk tempat pelacuran, aku punya beberapa perempuan tidak terikat, kamu mengerti, beberapa perempuan bebas yang menghidupiku. Tiga orang, mereka tidak punya surat izin, Käthe, Lili dan Gottliese..."

"Siapa?" potongku...

"Ya, dia bernama Gottliese. Aneh ya? Dia selalu bilang kepadaku bahwa ayahnya menginginkan seorang anak laki-laki daripada perempuan, karena kalau anak laki-laki maka bisa dinamainya Gottlob, tetapi karena dia perempuan jadi dinamai Gottliese. Aneh, ya...?" dia benar-benar tertawa sedikit...

Kami berdua lupa untuk apa kami nongkrong di tempat sialan ini. Dan sekarang aku tidak perlu bersusah payah membuka tutup gentong yang macet, dia mengoceh hampir dengan sendirinya.

"Gottliese," sambungnya, "adalah yang paling baik. Dia selalu murah hati dan melankolis dan sebenarnya juga yang paling cantik ... dan."

"Dan," potongku, "dan artinya kamu dulu seorang germo, kan?"

"Bukan," katanya dengan nada yang untukku agak menggurui, "bukan, ah...," dia berkesah lagi, "germo adalah tuan-tuan besar, tiran, dengan paksa mereka mengutip uang banyak-banyak dan masih juga meniduri mereka... ."

"Dan kamu tidak mencicipi mereka?"

"Tidak, aku kan hanya seorang calo. Aku yang harus memancing ikannya untuk kemudian mereka bakar dan makan, dan aku lalu mendapat tulang-tulang sisanya... ."

"Tulang-tulang ?"

"Ya," dia tertawa lagi sedikit, "tepatnya uang persen, mengerti, dan dari itu aku hidup, sejak ayahku gugur dan ibuku hilang. Aku kan tidak mampu bekerja karena paru-paruku. Tidak, perempuan-perempuan itu, untuk siapa aku bekerja, tidak punya germo, syukurlah! Kalau punya, aku pasti harus berkelahi dengan yang lain. Tidak, mereka bekerja mandiri, lepas, kamu mengerti, tanpa izin apa pun. Karena itu mereka tidak boleh memamerkan diri di jalan seperti yang lain ... terlalu berbahaya, dan karena itu aku jadi calo untuk mereka, ya," dia mendesah lagi, "eh, boleh aku minum lagi?"

Ketika aku membungkuk untuk meraih botol, dia bertanya, "Ngomong-ngomong, siapa namamu?"

"Hubert," kataku sambil memberikan botol kepadanya.

"Enak sekali," katanya, tapi aku tidak bisa menjawab, soalnya aku sedang meneguk dari botol itu. Sekarang, botol itu kosong, lalu aku menggelindingkannya dengan lembut ke samping.

"Hubert," katanya kemudian, dan suaranya sekarang bergetar hebat. "Lihat itu!" Dia menarik aku ke depan, ke tanggul di mana dia sedang tiarap. "Lihat!" Kalau diperhatikan dengan sangat ... sangat sungguh-sungguh, di suatu tempat yang sangat ... sangat jauh, terlihat sesuatu seperti horison, sebuah garis hitam pekat. Di atas garis itu kelihatan agak terang. Dan di dalam kegelapan di atas garis hitam pekat yang agak terang itu, sesuatu bergerak ... jauh, jauh sekali, betul-betul jauh sekali ... seperti ayunan lembut jerami ... itu bisa juga manusia yang diam-diam mendekat, manusia dalam jumlah yang sangat banyak yang sedang mendekat diam-diam, sama sekali tanpa suara...

"Ayo, tembakkan peluru isyarat yang putih!" bisiknya dengan suara yang makin menghilang.

"Anak muda," kataku sambil meletakkan tangan di pundaknya. "Jak, itu bukan apa-apa; itu perasaan takut kita yang sedang bergerak, itu neraka, itu perang, itu setumpuk tahi yang bikin kita gila ... itu ... itu bukan sesuatu yang nyata..."

"Tapi lihatlah, itu pasti sesuatu ... sesuatu yang nyata ... mereka datang ... mereka datang..." lagi-lagi terdengar giginya bergemelutuk.

"Ya," kataku, "diamlah. Itu sesuatu yang nyata. Itu tangkai-tangkai bunga matahari, besok pagi-pagi kamu akan melihatnya dan tertawa. Kalau hari sudah sangat terang, kamu akan melihatnya dan tertawa, itu tangkai-tangkai bunga matahari yang jauhnya mungkin satu kilometer dari sini, dan itu terlihat ada di ujung dunia, kan? Aku tahu itu tangkai-tangkai bunga matahari yang mengering, hitam -- kotor dan sebagian hancur tertembak. DDan bunganya sudah dipetiki oleh orang-orang Rusia itu, dan bikin kita takut karena tangkai-tangkai itu bergoyang-goyang..."

"Ah ... tembakkan yang putih ... tembakkan yang putih ... aku melihatnya ..."

"Aku kan kenal mereka, Jak."

"Tembakkan yang putih. Satu saja..."

"Ah, Jak," balasku berbisik, "kalau mereka benar-benar datang, kita bisa juga mendengarnya, coba dengarkan?" Kami menahan nafas dan mendengarkan; sepi, sepi sekali, dan tak ada sesuatu apapun yang terdengar kecuali suara sepi yang mengerikan.

"Ya," bisiknya, dan aku mendengar dari suaranya bahwa dia menjadi pucat seperti sang maut, "ya, aku bisa mendengar mereka... mereka datang.... mereka mengendap-endap... mereka merangkak di tanah... ada sedikit suara gemerincing ... dengan sangat pelan-pelan mereka datang, dan kalau mereka sudah dekat, maka sudah terlambat..."

"Jak," kataku, "aku tidak bisa menembakkan yang putih. Aku hanya punya dua peluru, mengerti? Dan satu aku perlukan untuk besok pagi-pagi, subuh, kalau pesawat pembom kita datang, supaya mereka bisa tahu di mana kita berada. Supaya mereka tidak membom kita ... dan peluru yang lainnya aku perlukan kalau situasinya betul-betul serius. Besok pagi kamu akan tertawa... ."

"Besok pagi," katanya dengan sangat dingin, "besok pagi aku sudah mati."

Sekarang aku yang berpaling tiba-tiba kepadanya dengan heran, aku begitu kaget. Dia mengatakan hal itu dengan pasti dan mantap.

"Jak," kataku, "kamu gila."

Dia diam, dan kami duduk lagi menyandar. Begitu ingin aku melihat wajahnya. Wajah seorang calo tulen, dari dekat. Setiap kali, aku hanya mendengar mereka berbisik, di pojokan-pojokan dan di stasiun-stasiun kereta api di semua kota-kota di Eropa dan selalu aku memalingkan muka dengan perasaan takut yang hebat yang tiba-tiba muncul di hatiku... .

"Jak," aku ingin mulai... .

"Tembakkanlah yang putih," bisiknya seperti seorang sinting.

"Jak," kataku, "kamu akan mengutuki aku kalau aku menembakkan yang putih, kita masih punya waktu empat jam, kamu tahu, dan suara tembakannya akan keras sekali, aku tahu itu. Sekarang tanggal 21, artinya hari ini, orang-orang Rusia itu mendapat jatah minuman keras mereka. Barusan tadi, mereka mendapatkan makanan dan jatah minuman keras mereka, kamu mengerti? Dalam setengah jam, mereka akan mulai berteriak dan bernyanyi dan menembak; dan mungkin sesuatu akan terjadi. Besok pagi-pagi, kalau pesawat pembom kita datang, baru keringat dinginmu mengucur deras, pesawat-pesawat itu akan menjatuhkan bom sangat dekat di depan kita, baru kemudian aku harus menembakkan yang putih, karena kalau tidak, bisa-bisa kita jadi selai. Dan kamu akan mengutuki aku kalau aku menembakkan yang putih sekarang, ketika tidak terjadi apa-apa, percayalah kepadaku; lebih baik kamu cerita lagi. Di mana kamu terakhir kali .... jadi calo?"

Dia mendesah dalam-dalam. "Di Köln," katanya.

"Di Stasiun Pusat?"

"Tidak," sambungnya dengan suara capek, "tidak selalu. Kadang-kadang di Stasiun Selatan. Yah, itu lebih praktis, karena perempuan-perempuan itu tinggal di dekat daerah itu. Lili di dekat Gedung Opera, Käthe dan Gottliese di Barbarossaplatz. Ya, kamu tahu," suaranya sekarang lamban seolah mulai tertidur, "kalau aku kadang-kadang mendapatkan seseorang di Stasiun Pusat, di jalan menuju rumah perempuan-perempuan itu, mereka suka melarikan diri. Dan itu bikin jengkel. Di tengah jalan, karena ketakutan atau karena sesuatu yang lain, tak tahulah aku, mereka suka pergi begitu saja tanpa berkata apa pun. Jarak dari Stasiun Pusat ke daerah selatan memang terlalu jauh, karena itu aku sering nongkrong di Stasiun Selatan. Juga karena banyak tentara yang turun di situ karena mereka berpikir bahwa itu sudah Köln, Stasiun Pusat maksudku. Dan dari Stasiun Selatan ke rumah perempuan-perempuan itu jaraknya pendek, karena itu orang tidak cepat jadi panik. Awalnya," dia membungkuk lagi ke arahku, "awalnya aku selalu mengantarkan mereka kepada Gottliese, dia tinggal di sebuah gedung apartemen yang di dalamnya ada cafe, kemudian cafe itu terbakar. Gottliese, kamu tahu, dia yang paling baik. Dia yang selalu paling banyak memberiku uang. Tapi itu bukan alasan kenapa aku selalu pergi kepadanya terlebih dahulu, betul bukan, kamu pasti tidak mempercayainya. Ah, kamu tidak percaya bahwa aku pergi dulu kepadanya bukan karena dia yang memberi terbanyak, kamu percaya?" Sekarang dia bertanya dengan nada yang begitu mendesak, sehingga aku terpaksa untuk menjawab ya.

"Tetapi Gottliese sering mendapat tamu, aneh kan? Dia sangat sering mendapat tamu. Dia punya banyak langganan tetap, dan kadang-kadang dia turun juga ke jalan kalau lama tidak mendapat tamu. Dan kalau Gottliese mendapat tamu, aku sedih, lalu aku pergi kepada Lili. Lili juga orangnya tidak menyebalkan, tapi dia sering minum. Dan perempuan yang mabuk sungguh mengerikan; tidak bisa ditebak, kadang kasar, kadang ramah. Tapi Lili selalu lebih baik daripada Käthe. Käthe orangnya sangat dingin. Dia memberi aku sepuluh persen... sudah, itu saja. Sepuluh persen! Sementara, aku kadang harus berjalan setengah jam dalam malam yang dingin, berdiri berjam-jam di stasiun atau nongkrong di bar minum bir murahan, menghadapi bahaya ditangkap polisi, dan hanya mendapat sepuluh persen! Tahi, aku bilang sama kamu. Maka Käthe selalu yang terakhir. Dan uang persenannya baru kuterima di hari berikutnya, ketika aku membawa tamu lagi untuk dia. Kadang hanya lima puluh sen, sekali waktu bahkan cuma sepuluh sen, kamu mengerti, sepuluh sen... ."

"Sepuluh sen?" tanyaku terkejut.

"Ya," katanya, "dia hanya mendapat satu Mark. Laki-laki itu tidak punya uang lagi."

"Seorang tentara?"

"Bukan, seorang sipil, tambahan lagi sudah tua. Dan Käthe masih juga memakiku. Ah, Gottliese berbeda. Dia selalu memberi banyak kepadaku, setiap kali setidaknya dua Mark. Juga kalau pun dia tidak mendapatkan uang sama sekali. Dan kemudian... ."

"Jak," tanyaku, "dia tidak meminta uang sama sekali?"

"Ya, kadang-kadang dia tidak meminta uang sama sekali. Aku percaya bahkan sebaliknya. Dia malah menghadiahi tentara-tentara itu rokok atau roti atau sesuatulah."

"Menghadiahi?"

"Ya. Menghadiahi. Dia sangat pemurah. Seorang perempuan yang sungguh melankolis. Dan dia pun lumayan mengurus aku. Bagaimana tempat tinggalku, apa aku punya rokok dan lain-lain, kamu mengerti. Dan dia cantik. Sebenarnya, yang paling cantik."

"Bagaimana," aku ingin bertanya, "bagaimana rupanya?"

Tapi pada saat itu, orang Rusia pertama mulai berteriak seperti orang gila. Suaranya membumbung seperti sebuah tangisan dan bergabung dengan suara-suara lain. Dan tembakan pertama pun meletus. Aku masih bisa menangkap pinggiran mantel Jak, dengan satu loncatan saja dia pasti sudah di luar lobang persembunyian, lalu akan menjadi sasaran tembak orang-orang Rusia itu. Semua orang yang lari seperti itu pasti menjadi sasaran tembak. Aku menarik mundur orang yang gemetar itu, sangat dekat ke arahku. "Diamlah, itu bukan apa-apa. Mereka hanya sedikit mabuk, lalu mereka berteriak dan akan menembaki tanggul persembunyian dengan membabi-buta. Kamu harus menunduk, karena tembakan seperti itu malah kadang-kadang akan mengena... ."

Sekarang kami mendengar suara seorang perempuan, dan walaupun kami tidak mengerti sepatah kata pun, kami tahu pasti bahwa dia bernyanyi dan meneriakkan sesuatu yang jorok. Lengking tawa perempuan itu merobek malam sampai berkeping-keping... .

"Tenanglah," kataku pada anak muda yang bergerak-gerak gelisah dan mengerang-ngerang itu, "tidak akan lama, paling hanya beberapa menit, sampai komisar mereka mengetahuinya, lalu dia akan menonjok mulut mereka. Mereka kan tidak boleh begitu, dan apa-apa yang tidak boleh akan dihukum berat, persis seperti pada kita... ."

Tapi teriakan itu tidak berhenti, juga lengkingan liar itu. Dan yang paling sial, salah seorang dari kami di pos komando di belakang juga menembak. Aku berpegang erat pada anak muda yang ingin mendorongku dan melarikan diri itu. Di depan terdengar teriakan lalu jeritan ... sekali lagi teriakan ... tembakan dan sekali lagi suara mengerikan perempuan yang mabuk. Lalu sangat sepi, betul-betul sepi... .

"Kamu lihat," kataku...

"Sekarang ... sekarang mereka datang... ."

"Tidak ... dengarkan dong!"

Kami mendengarkan lagi, dan tak terdengar apa pun selain kesepian yang mengiang-ngiang menakutkan.

"Ayo, pakai otak dong," sambungku, karena setidaknya aku ingin mendengar suaraku sendiri. "Apa kamu tidak melihat api letusan senjata itu, sedikitnya mereka dua ratus meter dari sini, dan kalau mereka datang, kamu akan mendengarnya, sangat pasti bahwa kamu akan mendengarnya."

Sekarang tampaknya dia tidak mengacuhkan apa pun. Dia berjongkok kaku sambil membisu di sampingku.

"Bagaimana," sekarang aku bertanya, "bagaimana parasnya, Gottliese itu... ."

Dengan segan dia menjawab, "Cantik," katanya pendek. "Rambut hitam dan dengan mata yang besar dan terang. Dia sangat mungil, sungguh mungil, kamu tahu," tiba-tiba dia bisa bicara lagi, "dan sedikit gila. Tidak bisa lain. Sering dia memakai nama lain ... Inge Simone, Kathlene, entah siapa lagi, setiap hari nama baru ... atau Susemarie. Dia sedikit gila, dan dia sering tidak meminta bayaran... ."

Aku mencengkeram lengannya kencang-kencang, "Jak," kataku, "sekarang aku akan menembakkan yang putih. Aku pikir, aku mendengar sesuatu."

Nafasnya tersendat. "Ya," bisiknya, "tembakkanlah yang putih, aku mendengar mereka datang, kalau tidak aku bisa gila... ."

Aku memegang erat lengannya, menyiapkan pistol isyarat yang sudah diisi peluru, mengacungkannya di atas kepala lalu menembak; suara gemuruhnya seperti kiamat, dan ketika cahayanya menyebar seperti cairan perak yang lembut - seperti kelap-kelip hujan salju di Hari Natal, seolah bulan mencair dan menyatu pasrah dengan bumi - aku tidak punya waktu lagi untuk melihat wajahnya. Sebenarnya aku tidak mendengar apa pun, sama sekali, dan aku menembakkan isyarat putih itu hanya untuk melihat wajahnya, wajah seorang calo tulen. Tetapi aku tidak punya waktu lagi untuk itu, karena dari tempat di mana tadi terdengar suara teriakan dan lengkingan seorang perempuan yang mabuk itu, di situ, dalam terang, muncul kerumunan sosok-sosok bisu yang menunduk ke tanah dan kemudian tiba-tiba dengan suara "Hurra" yang bikin gila, mereka menyerbu maju. Aku pun tidak sempat lagi untuk menembakkan isyarat merah, karena di belakang dan di depan kami, menyibak tirai perang menyelimuti kami... .

Aku harus menarik Jak dari lobang itu dan ketika dengan susah payah aku berhasil menariknya, sambil berteriak karena rasa takut aku membungkuk padanya, supaya setidaknya dalam maut masih bisa melihat wajahnya, dia berbisik pelan: "Tuan, ingin bersenang-senang...?" Lalu dengan keras dan sekonyong-konyong aku jatuh di atas tubuhnya oleh hentakan tangan liar yang mengerikan. Tetapi mataku tidak melihat apa pun lagi kecuali darah, lebih hitam dari pada malam, dan wajah seorang pelacur yang menghadiahkan dirinya tidak untuk apa pun, malah masih memberi sesuatu....*** Judul asli: "Jak, der Schlepper", diterjemahkan oleh Dewi Noviami.

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda