Oleh: Abrar Yusra



Langit di atas kepalaku terpentang biru, me­ngi­rim­­kan sinar matahari yang menerobos menyilaukan mata. Dan panas terik seolah membakar udara pantai. Namun di bagian kota lainnya langit digantungi men­dung gelap dan bumi di bawahnya mungkin di­si­ram hu­jan. Pada hari pemakaman ayahku alam pun tidaklah adil.

Ayahku bukan pejabat atau tokoh politik. Namun ia adalah salah seorang tokoh masyarakat yang begitu dihormati di kota pantai yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa itu. Ketika meninggal ia masih pimpinan beberapa yayasan. Lihatlah, di bawah matahari silau para pelayat datang dari mana-mana untuk menghadiri pemakaman­nya. Maka bukit-bukit kuburan seperti jadi lautan manusia. Walikota pun ikut berjubal di tengah khalayak dan kini di panas terik ia dengan takzim sedang menyampaikan pidato kematian yang panjang dan entah kapan habisnya. Tapi apa peduliku. Siapa tahu, jangan-jangan mereka justru tertawa di hati masing-masing!

Di deretan depan kulihat adik-adikku. Masing-masing memasang muka dan pakaian berkabung yang sedemikian pantas, katakanlah tidak memalukan — termasuk Aditi kecil. Tapi aku tahu hati mereka lebih cerah karena ayah sudah meninggal dunia. Sebab yang paling merisaukan sebenarnya adalah saat-saat ayah bergulat di pembaringan, melawan pende­ritaan di hari-hari sekaratnya yang panjang. Dengan datangnya kematian ayah kami maka kesedihan besar pun berlalu bagi adik-adikku. Sebaliknya justru merupakan permulaan bagi kesedihan besarku.

Aku menatap matahari. Silau.

Aku memandang khalayak. Gelap. Tidak, silau juga.

Masih berbayang di ingatanku bagaimana mulanya. Tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu terbaring sehat-sehat saja. Ganjilnya, sewaktu-waktu dalam waktu pendek ayah pun berteriak-teriak dan tubuhnya menggelepar-gelepar melawan sakit. Ayah berkata, bagaikan organ-organ di dalam tubuhnya dipelintir tanpa ampun oleh tangan-tangan buas yang tak kelihatan.

“Di sini,” bilang ayah, sambil menepuk perut dan menitikkan airmata kesakitan, “tapi sudah hilang sendiri!”

Ayah malah mencoba tertawa. Seolah hanya diserang penyakit yang lucu. Ya, serangan sakit itu datang sendiri dan hilang pula sendiri. Ayah pun ragu apakah ia betul-betul sakit, perlu diobati atau tidak. Tapi ayah merasa perlu mendatangi sendiri seorang dokter spesialis di pusat kota.

“Tak ada gejala penyakit apa-apa,“ kata dokter.

Kami anak-anak ayah tidak puas dengan hasil pemeriksaan dokter. Sebab seperti semacam misteri, nyatanya serangan sakit demikian datang lagi lantas hilang lagi. Maka ayah kami bawa ke dokter spesialis yang lain dan tak ada hasilnya. Lalu kami mendatangkan sendiri seorang dokter ke rumah di pinggiran kota, juga tanpa hasil apa pun.

Rencana untuk membawa ayah atau mendatangkan dukun ditolak ayah mentah-mentah.

“Jangan,” cemooh ayah tertawa, seolah ia sudah sembuh. “Masa panitia yayasan rumah sakit diobati dukun kampung?”

Serangan penyakit aneh itu mulanya sekali dalam 20 hari. Tapi makin lama makin sering. Baru saja sekali enam hari, lalu sekali tiga hari! Kini sewaktu-waktu ayah bisa terserang rasa sakit, kapan saja di mana saja. Kami benar-benar kalang kabut. Sesudah berlangsung beberapa bulan masih belum ada dokter yang mampu mengenal penyakit ayah, apalagi mengobatinya. Dan sejak ayah mengalaminya di dalam mobil lalu ketika sedang berpidato, maka ayah tidak kami perkenankan keluar rumah sendiri.

“Lebih baiklah kalau ayah di rumah saja,” kataku.

Ayah sendiri sudah mulai menolak berbagai undangan rapat dan ceramah yang biasanya tak pernah dilakukannya.

Berita bahwa ayah sakit segera terbetik ke mana-mana. Maka para pengunjung pun pada berdatangan ke rumah. Ada yang ketawa sebab mendapati ayah biasa-biasa saja. Malah ayah bisa tertawa keras meskipun tubuhnya lebih kurus. Namun jika serangan penyakitnya datang, makin sering saja, tak peduli sedang ada tamu atau tidak, ketika sedang tidur atau lagi ngomong baik-baik, tiba-tiba ayah menggelepar-gelepar dan berteriak-teriak keras kesakitan, lalu mengerang-erang melepaskan kata-kata tak jelas yang berlepotan dari mulutnya.

Makin lama muka tua itu makin berkerumuk. Makin cekung dan sepi. Penyakit itu menganiaya ayah dengan semena-mena benar, sehingga membuatnya capek. Maka hidup ayah jadi aneh. Ia lebih banyak tidur dan makin lama hanya terjaga bila rasa sakit menyerang lagi tanpa ampun.

Malam itu para pengunjung sudah pada pulang. Yang tinggal hanya para tetangga, di antaranya tanpa bersuara main halma atau main kartu. Nampaknya seperti untuk bersenang-senang. Aku suka sikap terbuka para tetangga demikian. Mereka datang memang untuk sekedar menghibur atau menunjukkan rasa akrab pada kami tapi bukan menunggu atau mengharapkan kesembuhan si sakit. Siapa pun maklum bahwa kematian ayah memang tinggal soal waktu saja lagi.

Sudah larut dinihari. Adik-adik sudah pada tidur. Aku di kamar tidur ayah dihinggapi perasaan aneh: aku serasa mau sinting karena ayah tak sembuh-sembuh juga. Dan di ruang tengah kedengaran tamu terakhir yang sebelumnya bersamaku menunggui ayah sedang menu­tup daun-daun jendela.

Maka kudengar langkah-langkah memasuki pintu kamar. Nah, si kakek itu lagi, rupanya ia sudah selesai menutup jendela-jendela. Konon ia teman ayahku dulu.

“Bagaimana beliau?” ia bertanya. “Kambuh lagi?”

Aku mengangguk. Ia sudah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa malam itu serangan sakit ayah paling menjadi-jadi. Setelah berbulan-bulan maka seakan baru benar-benar kusadari bahwa tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu kini sudah keropos seperti kepompong busuk. Seperti digerogoti setan, tinggal tulang-tulang dibalut kulit keriput. Muka cekung ayah sudah menghitam. Sinar hidup dari matanya sudah padam!

Aku serasa mau gila. Tak tahan menyaksikan tubuh ringkih itu kembali menggelepar-gelepar. Tak ada daya untuk melawan perkosaan penyakitnya. Yah, seolah mataku dapat mengikuti atau membayangkan suatu makhluk tak dikenal bergedencak dalam tubuh ayah seperti seekor binatang liar seradak-seruduk di bawah selimut. Seolah menampik hidup dan penderitaan, maka:

“Jangan!” rintih ayah tak jelas. “Ampun, ampun!”

Lalu dengan sisa-sisa tenaganya yang amat lemah, ayah seperti memohon:

“Biarkan aku mati, mati!”

Maka ayahku menangis, barangkali juga pingsan lagi. Keterlaluan penderitaan orang tua itu. Aku gemas kenapa ayah tidak mati-mati juga. Hanya kematian yang mungkin mengakhiri penderitaannya. Rasanya berdosa membiarkan ayah hidup eh sakit teraniaya demikian. Maka aku berdoa untuk kematian ayahku. Tapi kematian rupanya tidaklah ditentukan oleh permintaan dan desakan seseorang. Ayahku meraung lagi. Seolah raung itu pun menghabiskan cadangan tenaganya.

“Harus kaulakukan sesuatu, Nak!” suara si kakek lagi. “Saya bisa membantumu.”

Aku menatapnya tak berdaya. Seolah mau bilang apa pun akan kulakukan asal ayahku tak dizalimi penyakit yang misterius itu lagi.

Lalu ia bilang dengan suara tenang tapi terang,

“Kamu kenal siapa ayahmu. Bagimu mungkin ia seseorang yang hebat. Yang gereseh-peseh bahasa Inggeris, punya mobil, pemimpin masyarakat yang modern. Tapi aku lebih kenal ayahmu sebab dulu kami pejuang gerilya yang harus mencari senjata dan bertempur. Segala cara kami lakukan untuk itu. Termasuk berguru ilmu-ilmu kebatinan, bahkan ilmu-ilmu hitam, ya ndak! Tahu apa itu ilmu hitam?”

Aku hanya melongo. Tak tahu aku, apakah harus menerima atau membantah kisahnya. Itu seperti dongeng dari dunia dan zaman lain. Ia tersenyum.

“Sederhananya ilmu iblis. Seseorang yang memelihara ilmu hitam sebenarnya memelihara iblis dalam dirinya, itulah yang diseru dalam mantra-mantra dengan nama Si Bujang Hitam atau Si Anjing Hitam!”

Panjang juga uraiannya. Tapi sejauh yang dapat kutangkap, cukuplah di sini kukatakan bahwa ilmu hitam terkutuk itu mengakibatkan maut pun menolak tubuh ayahku, karena iblis yang dengan persumpahan bersarang dalam diri ayahku takkan mati-mati sampai hari kiamat, sebab demikian firman Tuhan tentang iblis. Lalu ditambahkannya dengan suara tenang juga:

“Si iblis itulah yang menzalimi beliau. Maka jalan terbaik bagimu, yah, kaupungut saja Si Hitam. Maka beliau akan meninggal dengan tenteram!”

Ketika tubuh ringkih ayah menggelepar-gelepar lagi maka aku seolah benar-benar sedang dalam cengkeraman mimpi buruk. Sebab kubayangkan, _tidak, seolah kulihat nyata_, Si Hitam sedang sewenang-wenang seradak-seruduk di sana. Tak dapat kubayangkan bahwa iblis itu, benar-benar iblis, akan terus memperkosa ayahku. Tapi Si Hitam terus bergedencak menyiksa ayahku yang terkapar tidak hidup dan tidak mati. Maka tanpa pikir lagi kukatakan pada si kakek bahwa aku mau memungut Si Hitam, jika memang hanya itulah cara agar Si Hitam keluar dari tubuh ayahku — sesuai dengan persum­­pahan ayahku!

Tak usahlah kukisahkan bagaimana dengan bantuan si kakek itu, kami berhasil membebaskan ayah dari penderitaannya. Maka Si Hitam jahat itu kini mendiami diriku, meskipun aku tak merasakannya! Dan ayah pun, yang sempat sadar pada detik-detik terakhir, akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tubuh capek berkeringat, serta mulut komat-kamit begitu lemah...!

Kini di bawah matahari, di tengah khalayak ramai yang memenuhi bukit-bukit kuburan jelaslah bahwa memang ayahku sudah meninggal dan dihormati penduduk kota selayaknya. Kematian adalah pantas dan wajar bagi setiap orang. Tapi itulah suatu kematian paling ganjil yang pernah kukenal, bahkan paling terkutuk. Aku sendiri, betapa terkutuk, justru tidak sedih atas kematian ayahku. Sebab aku tak pernah membayangkan bahwa kematian ayahku harus kutebus dengan mewarisi keiblisan dan iblis ayahku dalam suatu upacara paling gila malam itu. Cara mati ayahku yang terkutuk itu hanya menjanjikan bahwa masa depanku tidaklah lebih dari pengulangan atau pelanjut kebusukan ayahku sendiri, betapa terkutuk! Ternyata aku tidak siap untuk itu.

Sebelumnya aku selalu mengagumi ayahku dan membayangkannya sebagai tokoh yang terhormat, yang berjuang dengan cara-cara terhormat, apa pun artinya. Bahkan aku ingin seperti itu! Ternyata ayahku memperdayakan orang-orang yang mengaguminya dan menjahanamkan aku, anaknya, karena aku kasihan padanya! Dengan perasaan kosong kulihat mayat ayahku diturunkan ramai-ramai ke lubang kuburan gelap, hina dan memalukan. Kalau aku tidak malu, malah sepertinya aku ingin mencincang-cincang mayatnya dengan pisau, atau kampak atau apa! Apakah Si Hitam mulai membuatku jahat?

Maka matahari yang menyilaukan ini, upacara pemakaman dan khalayak ini pun kurasakan sebagai bagian dari takdirku yang terkutuk sebagai pewaris biang dosa ayahku, benar-benar tidak adil dan menakutkan seperti mimpi buruk! Dalam hati aku menyumpah-nyumpah karena aku kehilangan makna diriku sendiri. Betapa terkutuk nasibku!***



Jakarta, 1992

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda