Oleh: Erich Kästner ( 1899 - 1974 )



Bel pintu sudah berbunyi lagi. Yang kesembilan kalinya dalam satu jam terakhir ini! Hari ini, begitulah tampaknya, para pencinta tombol bel pada berkeliaran di jalanan. Dengan murung aku merangkak menuju pintu dan membukanya.

Bayangkan, siapa yang berdiri di luar? Sinterklas pribadi! Dalam pakaian kebesarannya yang bersejarah dan terkenal itu. "Oh," kataku. "Sinterklas yang terburu-buru!"

"Yang kudus, kalau saya boleh minta." Nadanya sedikit tersinggung.

"Ketika masih muda aku selalu menyebut Anda sebagai Sinterklas yang terburu-buru. Aku pikir itu lebih masuk akal."

"Jadi, Andalah orangnya?"

"Anda masih ingat hal itu?"

"Tentu saja! Anak laki-laki kecil yang lucu, begitulah Anda waktu itu!"

"Sekarang pun aku masih tetap kecil."

"Dan sekarang Anda tinggal di sini?"

"Betul sekali." Kami tersenyum pasrah dan mengenang masa-masa yang telah berlalu. "Mampirlah sebentar!" pintaku. "Marilah minum secangkir kopi bersamaku!" Jujur saja, sebenarnya aku merasa kasihan kepadanya.

Apa yang harus kukatakan? Dia tidak pergi. Dia berkenan untuk singgah. Pertama-tama dia membersihkan sepatu botnya di keset depan pintu, lalu meletakkan karungnya di samping gantungan mantel, menggantungkan ranting pelecutnya di sebuah gantungan, dan akhirnya dia minum kopi bersamaku di kamar tamu.

"Anda mau cerutu?"

"Aku tidak akan menolaknya."

Kuambil kotak cerutu. Dia mengambil sebatang. Aku memberinya api. Lalu dengan bantuan sepatu bot yang kiri dia melepaskan sepatu botnya yang kanan dan menghembuskan nafas dengan lega.

"Ini gara-gara ganjalan untuk telapak kakiku yang rata. Ganjalan ini sama sekali tidak nyaman."

"Kasihan sekali Anda! Apalagi dengan pekerjaan Anda yang seperti itu."

"Tetapi dibandingkan dulu, sekarang hanya ada sedikit pekerjaan. Dan itu baik untuk kakiku. Sekarang sinterklas-sinterklas palsu itu tumbuh seperti jamur saja layaknya."

"Suatu hari anak-anak akan berpikir bahwa Anda, Sinterklas yang asli, sama sekali tak ada lagi."

"Itu juga betul! Orang-orang itu merusak pekerjaanku! Kebanyakan dari mereka yang memakai mantel bulu, memakai jenggot dan meniruku itu, tidak mempunyai bakat barang sedikit pun! Mereka adalah orang-orang yang tidak profesional!"

"Karena kita sedang berbicara tentang pekerjaan Anda," kataku, "aku punya pertanyaan kepada Anda, pertanyaan yang sudah sejak masa kecilku menyibukkanku. Dulu aku tidak berani bertanya. Tetapi sekarang aku sudah lebih berani karena aku menjadi wartawan."

"Tidak apa-apa," katanya dan menambah kopi lagi. "Apa yang Anda sudah ingin tahu sejak waktu kecil?"

"Begini," aku memulai dengan ragu-ragu, "pekerjaan Anda itu sebenarnya sejenis bisnis musiman yang tidak tetap, bukan? Pada bulan Desember, Anda punya banyak sekali pekerjaan. Semuanya bertumpuk hanya pada beberapa minggu saja. Pekerjaan itu bisa disebut sebagai bisnis dadakan. Lalu..."

"Hm?"

"Lalu, aku benar-benar ingin tahu, apa yang Anda kerjakan pada bulan-bulan lainnya!"

Sinterklas tua yang baik itu memandangku dengan terpana. Kelihatannya, tidak ada seorang pun yang pernah mengajukan pertanyaan yang begitu mudah dimengerti itu kepadanya. "Kalau Anda tak mau membicarakannya... ."

"Mau, mau kok," katanya dengan suara seperti menggeram. "Kenapa tidak?" Dia minum seteguk kopi dan mengepulkan asap rokok berbentuk lingkaran. "Pada bulan November, tentu saja aku sibuk dengan pengadaan bahan-bahan. Di beberapa negara tiba-tiba tidak ada coklat lagi. Tak seorang pun tahu mengapa. Atau apel ditimbun oleh para petani. Lalu segala macam masalah dengan pemeriksaan bea cukai. Dan setumpuk dokumen untuk transportasi barang-barang. Dan kalau berjalan seperti itu terus, nanti aku harus memulainya sejak bulan Oktober. Sebetulnya, sampai sekarang pada bulan Oktober aku menarik diri dan dengan tenang membiarkan janggutku tumbuh."

"Anda hanya berjanggut dalam musim dingin saja?"

"Tentu saja. Aku `kan tidak bisa sepanjang tahun pergi ke sana-ke mari sebagai Sinterklas. Anda pikir, aku memakai mantel buluku terus menerus? Dan selama 365 hari menyeret-nyeret karung dan ranting pelecutku ke mana-mana? Nah, begitulah. Di bulan Januari aku membereskan pembukuan. Sungguh mengerikan. Dari abad ke abad, Hari Natal menjadi semakin mahal!"

"Tentu saja."

"Lalu, aku membaca surat-surat yang datang pada bulan Desember. Terutama surat dari anak-anak. Pekerjaan yang sungguh memakan waktu, tetapi penting. Karena kalau tidak, kontak dengan langganan akan terputus."

"Logis."

"Awal Februari aku pergi ke tukang cukur untuk mencukur jenggotku."

Pada saat itu, bel pintu berbunyi lagi. "Permisi ya?" Dia mengangguk. Di luar, di depan pintu, berdiri seorang pedagang keliling dengan kartu pos bergambar yang berwarna-warni mencolok mata, dan dia bercerita tentang sebuah kisah yang sangat panjang dan sangat menyedihkan. Bagian pertama dari kisahnya itu kudengarkan dengan tabah sambil "menahan sakit" pada kupingku. Lantas aku memberinya uang kecil yang ada dalam saku celanaku, dan kami saling mengucapkan selamat juga untuk masa depan kami. Walaupun aku sudah berkeras menolaknya, dia tetap memaksakan setengah lusin dari kartu-kartu posnya yang mengerikan itu kepadaku. Dia, katanya, bagaimanapun bukanlah seorang pengemis. Aku menghormati harga dirinya yang indah itu dan mengalah. Akhirnya dia pergi.

Ketika aku kembali ke kamar tamu, Sinterklas sedang mengenakan sepatu bot kanannya sambil merintih. "Aku harus meneruskan perjalanan," katanya, "kakiku toh tidak bertambah baik. Apa itu yang Anda pegang?"

"Kartu pos. Seorang pedagang keliling memaksaku untuk menerimanya."

"Sini, berikan kepadaku. Aku tahu orang yang mau menerimanya. Terima kasih banyak untuk keramahan Anda. Kalau saja aku bukan Sinterklas, aku pasti akan iri kepada Anda."

Kami berjalan ke koridor, di mana dia mengambil perlengkapannya. "Sayang," kataku. "Anda masih berhutang kelanjutan kisah hidup Anda." Dia mengangkat bahu.

"Sebetulnya tidak banyak yang banyak bisa diceritakan. Pada bulan Februari aku mengurus pesta karnaval anak-anak. Setelah itu, berkeliling di pasar saat musim semi. Berjualan balon dan mainan mekanik murah. Pada musim panas aku menjadi pengawas kolam renang dan memberi kursus berenang. Kadang-kadang aku pun berjualan es krim di jalan. Ya, dan setelah itu musim gugur datang lagi - sekarang aku benar-benar harus pergi."

Kami berjabatan tangan. Dari jendela, pandanganku mengikutinya. Dia berjalan di salju dengan langkah lebar dan tergesa-gesa. Di pojok Jalan Unger, seorang lelaki menantinya. Orang itu mirip si pedagang keliling yang banyak omong dengan kartu posnya yang konyol itu. Mereka berdua membelok di tikungan sudut jalan. Atau mungkin aku keliru? Seperempat jam kemudian bel sudah berbunyi lagi. Kali ini yang muncul adalah anak muda pesuruh toko makanan Zimmermann Söhne. Sebuah kunjungan yang menyenangkan! Aku akan membayar, tetapi dompetku tak kutemukan dengan segera.

"Kan masih ada waktu, Pak Doktor," katanya dengan nada kebapakan.

"Aku yakin bahwa aku meletakkannya di atas meja tulis!" kataku.

"Baiklah, kalau begitu akan kubayar besok saja. Tapi tunggulah sebentar, saya ambilkan sebuah cerutu istimewa untuk Anda!" Kotak cerutu itu pun tak segera kutemukan. Itu artinya, nanti pun tak akan kutemukan. Tidak cerutu. Tidak juga dompet. Tempat rokok dari perak pun tidak bisa kutemukan. Dan kancing-kancing manset dengan batu bulan yang besar-besar dan mutiara-mutiara untuk jas berekor pun tak ada, baik di tempatnya atau pun di tempat lain. Setidaknya, tidak di rumahku.

Aku tidak bisa menerangkan, ke mana barang-barang itu menghilang. Tetapi bagaimanapun, malam ini adalah malam yang tenang dan indah. Bel pintu tak berbunyi lagi. Sungguh, sebuah malam yang baik. Hanya saja, ada sesuatu yang kurang. Tetapi apa? Sebatang cerutu? Tentu saja! Untunglah geretan emas itu pun tidak ada lagi. Karena kalau ada, walaupun aku seorang yang tenang, aku harus mengakui: punya api, tapi tak punya rokok, itu bisa merusak seluruh malam!***



Kisah-kisah dari Buku Bacaan

Wolfgang Borchert ( 1921 - 1947 )



Judul asli: "Lesebuchgeschichte". Diterjemah­kan oleh Kelompok Kerja Penerjemahan Sas­tra Jerman, Jurusan Bahasa Indonesia, Se­minar fuer Orientalische Sprachen (Seminar untuk Bahasa-bahasa Timur) Universitas Bonn (Silke Brand, Britta Debus, Helgard Haas, Birgit Lattenkamp, Klaus Mundt, di ba­wah bimbingan Dewi Noviami)



"Semua orang sudah mempunyai mesin jahit, radio, lemari es dan telepon. Bikin apa kita sekarang?" tanya Pemilik Pabrik.

"Bom," kata Penemu.

"Perang," kata Jenderal

"Kalau tak ada pilihan lain," kata Pemilik Pabrik.

Lelaki dengan jas kerja putih menulis angka di atas kertas. Dia menambahkan huruf-huruf yang sangat kecil dan halus. Lalu dia membuka jas kerja putihnya dan selama satu jam merawat bunga yang ada di ambang jendela. Ketika dia melihat sekuntum bunga mati, dia sedih sekali dan menangis.

Dan di atas kertas ada angka-angka. Kemudian hanya dengan setengah gram, seribu orang bisa terbunuh dalam waktu dua jam.

Matahari menyinari bunga.

Dan kertas.



***



Dua laki-laki bercakap-cakap.

"Ongkosnya?"

"Dengan ubin?"

"Dengan ubin hijau, tentu. "

"Empat ribu."

"Empat ribu? Baiklah. Ya, Sobat, jika saja saya tidak mengubah coklat menjadi mesiu pada waktu yang tepat, saya tak akan mampu memberi Anda uang empat ribu ini."

"Dan saya tidak dapat memberi Anda kamar mandi."

"Dengan ubin hijau."

"Dengan ubin hijau."

Kedua laki-laki itu berpisah.

Mereka adalah seorang pemilik pabrik dan seorang pengusaha bangunan.

Saat itu zaman perang.



***



Lintasan boling. Dua laki-laki bercakap-cakap.

"Nah, Pak Guru, berpakaian hitam-hitam, sedang berkabung?"

"Sama sekali tidak.… Sama sekali tidak. Ada upacara. Para pemuda maju ke garis depan. Berpidato pendek. Ingat Sparta. Mengutip Clausewitz. Menyampaikan beberapa istilah: kehormatan, tanah air. Membacakan Hölderlin. Mengingatkan pada Langemarck. Upacara yang mengharukan. Sangat mengharukan. Para pemuda bernyanyi: Tuhan yang memberi senjata. Banyak mata bersinar. Mengharukan. Sangat mengharukan."

"Demi Tuhan, Pak Guru, berhentilah. Menyeramkan."

Pak Guru memandang yang lain dengan ngeri. Sambil bercerita dia menggambar banyak salib kecil di atas kertas. Banyak salib kecil. Dia bangkit dan tertawa. Dia mengambil bola baru dan menggelindingkannya di atas lintasan. Menimbulkan gemuruh halus. Lalu, di belakang, gada-gada kecil berjatuhan. Kelihatannya seperti lelaki-lelaki kecil.



***



Dua laki-laki bercakap-cakap.

"Nah, bagaimana?"

"Tidak begitu sukses."

"Anda masih punya berapa?"

"Kalau lancar: empat ribu."

"Berapa Anda bisa memberi saya?"

"Paling banyak delapan ratus."

"Pasti akan habis."

"Jadi, seribu."

"Terimakasih.'

Kedua laki-laki itu berpisah.

Mereka berbicara tentang manusia.

Mereka adalah para jenderal.

Saat itu adalah zaman perang.



***



Dua laki-laki bercakap-cakap.

"Sukarelawan?"

"Tentu."

"Berapa umurmu?"

"Delapan belas. Dan kamu?"

"Sama."

Kedua laki-laki itu berpisah.

Mereka adalah prajurit.

Yang satu rubuh. Dia mati.

Saat itu adalah zaman perang.

Ketika perang berakhir, prajurit itu pulang ke rumah. Tapi dia tidak punya roti. Pada waktu itu dia melihat seorang yang punya roti. Orang itu dibunuhnya.

"Kamu tidak boleh membunuh," kata Hakim.

"Kenapa tidak," tanya Prajurit.



***



Ketika konferensi perdamaian berakhir, para menteri jalan-jalan di kota. Pada waktu itu mereka melewati sebuah stand menembak.

"Mau menembak, Tuan?" seru gadis-gadis berbibir merah.

Para menteri itu mengambil senjata dan menembak lelaki-lelaki kecil dari karton.

Ketika mereka sedang menembak, seorang perempuan tua datang dan mengambil senjata mereka. Ketika salah seorang menteri meminta kembali senjatanya, perempuan itu menamparnya.

Dia adalah seorang ibu.



***



Pada suatu ketika ada dua manusia. Waktu mereka berumur dua tahun, mereka saling memukul dengan tangan.

Waktu mereka dua belas tahun, mereka saling memukul dengan tongkat dan saling melempar batu.

Waktu mereka dua puluh dua tahun, mereka saling menembak dengan senjata.

Waktu mereka empat puluh dua tahun, mereka saling melempar bom.

Waktu mereka enam puluh dua tahun, mereka menggunakan bakteri.

Waktu mereka delapan puluh dua tahun, mereka mati. Mereka dikuburkan berdampingan.

Ketika seratus tahun berlalu, seekor cacing tanah makan di kuburan mereka. Cacing tanah itu sama sekali tidak merasakan bahwa di situ dua manusia yang berbeda dikuburkan. Tanahnya sama. Semuanya tanah yang sama.

Ketika tahun 5000 seekor tikus mondok muncul dari tanah, dia mengamati dengan tenang:

Pohon-pohon masih tetap pohon-pohon.

Burung-burung gagak masih menggaok.

Dan anjing-anjing masih mengangkat kakinya.

Ikan-ikan kecil dan bintang-bintang.

Lumut dan laut

dan nyamuk-nyamuk:

Semuanya masih tetap yang sama.

Dan kadang-kadang -

kadang-kadang seorang manusia bisa dijumpai.*** Judul asli: "Interview mit einem Weihnachts­mann". Diterjemahkan oleh Kelompok Kerja Penerjemahan Sastra Jerman, Jurusan Ba­ha­­sa Indonesia, Seminar fuer Orientalische Sprachen (Seminar untuk Bahasa-bahasa Timur) Universitas Bonn (Silke Brand, Birgit Lattenkamp, Beate Meik, di bawah bimbingan Dewi Noviami).

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda