Oleh: Abdel Salam Al-Ujaili

Dalam mimpinya Mohamed Wesaja ini perkara biasa, ka­rena dalam keadaan sadar pun ia senantiasa mengerjakan shalat serta tak pernah me­ning­galkan ibadah wajib ini. Dalam mimpinya tersebut, kala sujud pertama, ia membaca dengan suara keras surat al-Nasr. Ketika sujudnya hampir selesai, ia terjaga dari tidurnya dan merasakan takut yang luar biasa.

"Firman Tuhan adalah suatu kebenaran!," katanya sambil duduk di kamar serta menggosok-gosok matanya.Mohamed Weess tidak ingat mengapa mimpi tersebut begitu lekat dalam pikirannya. Maka, begitu pagi menjelang, segera ia temui Sheikh Mohamed Sa'id, seorang tua di kampungnya. Baru sekitar tengah harian, ia dapat bertemu dengan orang tua itu. Segera ia kisahkan mimpinya. Sheikh berdiam diri agak lama sambil menundukkan kepalanya dengan kening berkerut-kerut, sebelum akhirnya bertanya:

"Kau yakin bahwa surah yang kaubaca itu surah al-Nasr?"

"Saya yakin," jawab Mohamed Weess. "Saya membacanya sampai selesai. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau lihat manusia masuk agama Allah beramai-ramai. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia maha Penerima Taubat."

"Firman Tuhan adalah kebenaran!" kata Sheikh Mohamed Sa'id. "Wahai Mohamed Weess, segala puji bagi-Nya. Mintalah ampunan daripadaNya. Sesungguhnya Dia maha mengasihi."

"Wahai Sheikh Mohamed Sa'id, saya percaya ini adalah pertanda buruk bagi saya. Apakah tafsiran tuan tentang mimpi saya tersebut?"

Sheikh Mohamed Sa'id memegang dan mengusap-usap janggutnya yang panjang dan tebal itu. Dia kelihatan agak keberatan untuk menerangkan pengetahuannya yang mendalam mengenai ilmu menafsirkan mimpi. Akhirnya ia bersuara juga.

"Mohamed Weess, mohonlah ampunan daripada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pengasih. Mimpi membaca surah ini menandakan bahwa orang itu sudah hampir tiba saat ajalnya."

Mohamed Weess tergetar. Ia merasa tiba-tiba seluruh badannya menggigil.

"Apakah yang tuan Sheikh katakan?"

"Amat berat bagiku untuk menyatakan ini kepadamu," jawab Sheikh. "Bagaimanapun, untuk menenangkan perasaanmu, kau akan beroleh rahmat Tuhan. Dan kematian pasti datang menjemput kita semua. Mohamed Weess, tak ada orang yang mimpi seperti ini dapat hidup lebih dari empat puluh hari."

Setelah memberitahu hal tersebut, Sheikh itu pun terus pergi untuk menunaikan shalat Dzuhur, meninggalkan Mohamed Weess yang terpuruk di tanah sambil kebingungan. Kakinya seperti tak mampu lagi menampung berat badannya.

"Empat puluh hari," suaranya bagai keluar tanpa melalui kerongkongannya. "Ya Tuhan, berilah hamba kekuatan."

Desa di mana Mohamed Weess dan Sheikh Mohamed Sa'id tinggal hanyalah sebuah desa kecil, maka menjelang senja setiap penghuninya sudah tahu tentang mimpi Mohamed Weess dan tafsiran yang dibuat oleh Sheikh Mohamed Sa'id. Penduduk desa itu percaya pada tafsir mimpi. Itulah sebabnya pada petang berikutnya semua orang sudah begitu yakin bahwa Mohamed Weess akan mati dalam tempo empat puluh hari. Kaum lelaki berdatangan menziarahi Mohamed Weess, mula-mula seorang demi seorang, namun kemudian secara berombongan, hingga ia terpaksa berada di rumahnya menerima tetamu yang datang dan bertanya mengenai kesehatannya serta mengungkapkan rasa dukacita atas kematiannya yang bakal segera tiba itu. Kaum perempuan yang datang ke rumah Mohamed Weess datang untuk mendapatkan berita, sambil melihat-lihat keadaannya. Mereka mendapati Mohamed Weess masih segar bugar, tetapi tampak bingung. Sambil meratap mereka mohon agar Tuhan campur tangan dalam urusan Malakul Maut yang akan mencabut nyawa Mohamed Weess ketika dia masih sehat. Walaupun Mohamed Weess tidak sakit dan tidak pula uzur, segala langkah berjaga-jaga yang diambil untuknya serta segala pertanyaan lembut mengenai dirinya telah membuat dia mulai merasa sakit. Dia tabah menghadapi keadaan tersebut selama sepuluh hari, dan terus pulang-pergi antara pasar ternak dengan rumahnya. Bagaimanapun, tak butuh waktu lama dia tidak lagi tahan menanggung semua tekanan itu. Dia mulai merasa letih, dan orang ramai mulai menziarahinya pada waktu siang hati. Padahal sebelumnya mereka hanya datang pada malam hari. Dua puluh hari sejak saat ia bermimpi, keluarga Mohamed Weess merasa tidak perlulah lagi membereskan ranjangnya setiap hari karena kini Mohamed Weess senantiasa berbaring di situ siang dan malam. Setelah tiga puluh hari berlalu, pelbagai hidangan masakan kegemarannya yang disediakan khusus untuknya oleh keluarganya ternyata terkumpul di tepi ranjangnya tanpa dijamah. Dengan berpakaian serba putih dan membiarkan janggutnya tumbuh, Mohamed Weess menghabiskan waktunya hanya untuk bershalat. Dia terisak-isak bukan karena takut pada kematian atau kecewa karena hidup, melainkan karena takut akan hukuman yang bakal diterima di alam kubur dan rasa khawatir bahwa Tuhan tidak akan mengampuni kesalahannya karena kerap bersumpah dengan nama Tuhan sewaktu di pasar ternak, atau karena menipu para petani dari desa yang berdekatan. Waktu terus berlalu. Mendekati masa empat puluh hari, badan Mohamed Weess makin kurus karena kurang makan dan karena rasa penyesalan yang dalam terhadap dosa-dosanya yang telah lalu. Orang ramai --baik dari desanya ataupun desa yang berdekatan-ramai mempercakapkan cahaya keimanan yang terpancar pada wajahnya serta ayat-ayat mistik dan misteri yang diucapkannya tatkala ia sujud dan mengerjakan shalat. Tiga puluh sembilan hari sudah berlalu, dan pada waktu malam hari itulah aku memunculkan diriku.

Anda mungkin bertanya, siapakah diriku?

Aku bertugas sebagai guru sekolah di desa tempat tinggal Mohamed Weess di mana ia bekerja sebagai pedagang berpengaruh di pasar ternak, dan di mana Sheikh Mohamed Sa'id dianggap sebagai wali. Aku sering menghabiskan cuti musim panas di Damaskus, dan kepulanganku ke desa itu jatuh pada hari ketigapuluh sembilan dari tempo yang dinyatakan oleh Sheikh Mohamed Sa'id kepada Mohamed Weess. Aku mengenali Mohamed Weess sebagaimana aku mengenali orang lain di desa itu. Ketika Mohamed Atallah yang bertugas sebagai porter di sekolah memberitahuku tentangnya, aku kebingungan: apakah harus tertawa atau bersimpati kepadanya. Bersama Mohamed Atallah aku segera pergi menjumpai Mohamed Weess untuk menenangkan fikirannya atau setidaknya untuk mengungkapkan rasa dukacitaku. Halaman rumahnya yang biasanya dipenuhi hewan ternak yang dibeli Mohamed Weess dari pasar, kini agak sesak dengan orang ramai yang datang untuk menyaksikan saat kematiannya. Sebuah sisi untuk lelaki dan sisi lain untuk perempuan. Di sisi ketiga terlihat beberapa ekor biri-biri dan kambing yang dibawa oleh kawan-kawan Mohamed Weess untuk dikorbankan pada esok harinya setelah rohnya berpisah dari jasadnya.

Ketika aku masuk ke kamar Mohamed Weess tempat ia menunggu kedatangan Malakul Maut --dan akulah yang datang, bukannya malakul Maut-Mohammad Weess sedang duduk sambil berdoa, sementara Sheikh Mohamed Sa'id duduk di sudut lain melagukan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Aku sangat terperanjat melihat perubahan pada wajah Mohamed Weess. Wajahnya yang bulat dan pipinya yang berisi, kini sudah cekung dan pucat. Ini ditambah pula dengan janggutnya yang panjang. Kepucatannya kelihatan lebih jelas lagi dengan pakaiannya yang serba putih dan longgar itu. Sambil bershalat, dia memanjangkan sujudnya seolah-olah ia berharap agar kematian segera datang padanya. Tidak ada persamaan antara wali Tuhan ini yang keseluruhan wajahnya bermandikan cahaya iman, dengan Mohamed Weess yang asli, yang setiap pagi dari jendela sekolah bersumpah-sumpah dengan nama Tuhan bahwa jika dia tidak rugi sebanyak tiga lira dari biri-biri yang baru dibelinya itu, dia akan menceraikan istrinya. Aku telah menziarahi Mohamed Weess dengan perasaan ragu-ragu dan serba ingin tahu. Namun, perubahan sedemikian rupa yang terjadi pada dirinya itu telah menyadarkan aku bahwa dia memang akan mati pada keesokan harinya seperti yang ditetapkan. Aku geram mendengar suara kuat Sheikh Mohamed Sa'id membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an sambil melirik ke arahku.

Antara diriku dengan sheikh yang sifatnya merupakan gabungan sifat sederhana, bodoh, dan licik ini, aku merasakan adanya suatu rasa permusuhan yang sudah lama tumbuh. Aku sebenarnya benci kepada orang yang berlagak pandai dan suka menipu, hingga berhasil menguasai perasaan para penduduk desa yang tidak tahu apa-apa. Sementara itu, dia selalu menghasut penduduk desa supaya membenci dan menentangku dengan menuduh aku mengajar ajaran yang menghina Tuhan dan Rasul-Nya.

Sesungguhnya usahanya itu tak pernah berkurang walaupun ia mulai mengetahui dari orang ramai bahwa asal-usul keluargaku adalah dari Zain al-Abidin, cucu dan mantu lelaki Nabi Muhammad. Sebaliknya, dia menjadikan ini sebagai alasan untuk terus bermusuhan denganku dan berkata: "Lihatlah lelaki itu, keturunan Zain al-Abdidin yang menyatakan dunia ini berputar dengan sendirinya, tetapi saya serahkan kepada kalian semua, pernahkan salah seorang dari kalian melihat pintu rumahnya yang menghadap ke timur itu tiba-tiba berputar jadi menghadap ke barat! "

Sebagaimana yang aku katakan, aku merasa sangat marah begitu melihat kehadiran Sheikh Mohamed Sa'id. Aku hampir meraung dan meneriakkan bahwa dia sebenarnya seorang pembunuh, bahwa dialah yang membunuh Mohamed Weess dengan racunnya, yakni dengan menanamkan ke dalam fikiran Mohamed Weess bahwa ia akan mati dalam waktu empat puluh hari. Bagaimanapun, sepanjang ingatanku, aku tidak pernah berhasil mengalahkan Sheikh Mohamed Sa'id dengan menyatakan perasaan benci dan marahku, karena ia senantiasa berhasil memenangkan hati penduduk desa dengan argumen-argumennya yang lapuk. Yakni dengan menunjukkan bahwa bumi ini tidak berputar dan menanyakan apakah pernah terjadi seorang penduduk desa melihat pintu rumahnya yang menghadap ke timur tiba-tiba berputar ke barat? Dengan demikian, jelaslah bahwa bumi tidak berputar. Tuhan mengampuninya karena mendendamku dan Tuhan juga mengampuni Mohamed Weess meski dia akan terus berada di bawah pengaruh gila Sheikh Mohamed Sa'id hingga keesokan harinya. Dengan perasaan yang berat campur kecewa dan marah, aku langsung ke luar dari ruangan sekolahku.

Mohamed Atallah, porter sekolah itu, telah mengejutkan aku pada waktu subuh. Aku telah menyimpan tiga butir buah pear yang aku bawa dari Damsyik itu di bawah jerigen air. Aku mengambilnya sebuah, kemudian segera menuju ke rumah Mohamed Weess. Halaman rumahnya kelihatan lengang, kecuali beberapa ekor kambing dan biri-biri yang seolah menanti saat kematian tuannya, dan selepas itu kematian mereka pula. Sisi bagian orang perempuan sedikit lebih terang dan dibauri dengan tangis perlahan. Pintu kamar Mohamed Weess tertutup, jadi aku mengintainya melalui pintu yang tertutup itu dan mendapati Mohamed Weess sedang tidur. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dia keletihan setelah sepanjang malam beribadat sebagai persediaan menghadapi saat kematiannya. Aku mengetuk pintu beberapa kali, kemudian mendorong, dan membukanya sambil menyapa keras:

"Segala Puji bagi Allah, Mohamed Weess"

Dia terbangun dari tidurnya dengan masih terkantuk-kantuk. "Apa dia?" jeritnya.

"Saya Naji, guru sekolah. Jangan takut Mohamed Weess. Dengar ucapan saya. Aku melihat air matanya menetes hingga ke pipi ketika ia duduk dengan lidahnya kelu dalam ketakutan. Karena kuatir dia akan langsung mati akibat sangat ketakutan sebelum sempat mendengar apa yang akan kukatakan, aku segera bersuara:

"Saya datang bertemu anda, karena saya baru saja disadarkan oleh moyang saya, Zain al-Abidin. Semoga Allah memberkatinya, dan dia berkata kepada saya, 'Pergilah temui Mohamed Weess dan beritahu dia bahwa Allah telah mengujinya dan mendapati bahwa dia adalah hambanya yang sudah insaf akan semua dosanya. Berilah kepadanya buah ini, salah satu daripada buah-buah yang ada di surga. Suruhlah dia shalat bersama kamu dua rakaat sebelum naik matahari. Pada rakaat pertama, dia mesti membaca Surah al-Nasr dan Allah akan memanjangkan usianya sehingga dia dapat hidup dan melihat anak-cucunya."

Mohamed Weess menelan air liurnya. Tampak bagiku bahwa ia seperti tidak percaya semua yang aku katakan. Matanya tertegun merenungi buah pear di tanganku (aku yakin tak ada seorang pun di desa ini yang pernah melihat buah pear ini sebelumnya). Aku mengupasnya dan menyuapkan ke dalam mulut Mohamed Weess, lalu menyuruh dia menelan semuanya, sekalian dengan bijinya. Kemudian aku menariknya ke sudut kamar.

"Mohamed Weess , bersiaplah untuk sembahyang sebelum hari siang."

"Tapi saya belum lagi bersuci, Tuan Naji."

Aku lantas teringat bahwa aku juga belum bersuci. Tetapi, karena kuatir kesan yang diharapkan itu akan hilang, aku lantas berkata:

"Buatlah tayamum, Mohamed Weess, ini dibenarkan dalam Qur'an. Tekankan kedua telapak tanganmu ke tanah."

Aku bersembahyang berdiri di belakang Mohamed Weess. Kami bersembahyang dua rakaat. Dalam rakaat pertama, dia membaca kesemua surah al-Nasr. Selepas itu aku terus pulang ke sekolah menunggu hari siang.

Dalam tempo sejam, seluruh desa telah mendengar cerita baru tentang Mohamed Weess. Mereka yang semalam memenuhi halaman rumah Mohamed Weess, kini berhimpun di halaman sekolah, masing-masing sibuk untuk mengetahui bagaimana moyangku Zain al-Abidin datang kepadaku membawa keampunan Allah untuk Mohamed Weess. Pada ketika itulah aku merasakan bahwa akhirnya aku berhasil mencapai kemenangan mutlak atas Sheikh Mohamed Sa'id. Ini karena Mohamed Weess tidak mati dan kambing serta biri-biri di halaman rumahnya juga tidak jadi disembelih. Malah hewan ternak tersebut diserahkan kepadaku sebagai hadiah dari teman-teman Mohamed Weess kepada wali Allah, Naji, guru sekolah keturunan Zain al-Abidin!

Tetapi apakah ini sungguh suatu kemenangan? Sebenarnya aku sendiri tidak pasti. Keraguanku akan nilai kemenangan ini, bertambah oleh kenyataan bahwa aku gagal mengurangi meski seorang saja jumlah jemaah yang mengambil bagian bersembahyang bersama-sama di belakang Sheikh Mohamed Sa'id. Sebaliknya, bilangan jemaahnya telah bertambah satu lagi, yaitu aku sendiri. Untuk mengekalkan kehormatan keturunanku, yaitu sebagaimana dengan mimpi yang aku reka itu, aku mendapati diriku terpaksa berjemaah di belakang Mohamed Weess pada setiap kali sembahyang dengan bersuci sepenuhnya, dan bukan dengan tayamum! *** Salam al-Ujaili dilahirkan di Rak­ka, Syria pada tahun 1918. Sebagai se­orang Doktor ia menerjunkan diri di bidang politik. Berkali-kali ia pernah men­duduki jabatan sebagai menteri, ter­masuk sebagai Menteri Kebudayaan. Diterjemahkan oleh Nikmah Sarjono.



Komplikasi

Oleh: Naguib Mahfouz



Pagi itu, dokter telah selesai memeriksa pasien kelima. Kemudian masuk pasien keenam, seorang ibu bertubuh semampai dan bercadar. Parasnya cantik. Tapi terselip guratan penderitaan yang mendalam di wajahnya, bak mawar putih berlepotan debu jalanan.

"Tolong, Pak Dokter!" teriaknya segera.

Dokter menghampiri. Tenang sedikit tersenyum.

"Ada apa, Bu?" tanya dokter.

Keduanya duduk berhadapan. Dengan malu dan hati-hati perempuan itu menceritakan penyakit kronisnya. Tanpa menunggu kedatangan suaminya dari kantor. Dokter terperanjat mendengar ceritanya. Dokter mencermati apa yang diceritakan dengan kondisi sebenarnya.

Dokter segera memeriksa. Rupanya keraguan dokter terbukti.

"Gawat, Bu! Ibu mengidap penyakit berbahaya. Penyakit kelamin!" gusar dokter.

Perempuan itu tersentak seketika. Matanya berkaca-kaca. Takut dan gelisah. Derita yang dialaminya berubah menjadi ketakutan baru.

"Penyakit kelamin… ?" katanya seolah tak percaya.

''Ya. Yang saya katakan benar, Bu. Tenangkan diri. Kendalikan emosi, agar kesedihan ini tak menambah kesedihan lain. Saya ingin tanya, apakah ibu sudah bersuami?"

Perempuan itu menganggukkan kepala. Tapi tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.

"Oh…. Nafsu benar-benar membutakan kaum lelaki. Tak terkecuali mereka yang sudah berkeluarga. Bagaimanapun juga ibu harus memberitahukan keadaan sebenarnya pada suami. Dia harus menjaga ibu dari risiko pergaulan bebasnya. Ibu harus mengingatkan perbuatan terlarang itu. Kalau perlu dibawa serta ke mari. Kalau tidak, pengobatan penyakit ibu akan sia-sia," lanjut dokter.

Teriakan parau muntah dari bibir perempuan itu.

"Tidak…! Tidak…! Tidak mungkin…! Cepat obati saya, Dokter! Jangan libatkan suami saya!" rengek perempuan itu.

"Tapi…."

"Demi Tuhan, jangan, Dok! Suami saya tak boleh tahu masalah ini. Lakukan saja tugasmu. Tentu masalah ini akan selesai."

Dokter gelisah menatap wajah kusut perempuan itu. Jiwanya seakan lebih menderita dibanding rasa sakit di tubuhnya. Kepedihan, kecemasan, rasa bersalah bersemayam dalam dirinya.

Keresahan mencengkeram jiwa dokter. Dadanya sesak.

"Mengapa aku mencampuri urusan dan penderitaan orang lain? Aku hanya seorang dokter. Tak pantas melampaui batas kewenanganku. Aku harus mengobati perempuan lemah ini. Ah... Sudahlah! Semuanya kuserahkan pada Tuhan," batin dokter.

Tekad itu menjadikan jiwa dokter sedikit tenang. Dokter langsung bekerja. Mendadak pikirannya menerawang pada nasib keluarga perempuan itu. Akhirnya ia mengambil jalan tengah.

"Sebaiknya Ibu memberitahukan pada suami Ibu. Bahwa ia dalam bahaya besar. Sepandai-pandainya Ibu memendam rahasia ini, toh akhirnya akan ketahuan juga," saran dokter.

Bola mata perempuan itu bergerak-gerak bagai air raksa.

"Butuh berapa lama untuk menyembuhkan penyakit ini, Dok?" tanyanya.

"Kurang lebih dua mingguan, itu harus intens."

"Oh…. Mati aku!!"

"Tentunya suami ibu juga terjangkit."

"Kalau begitu sementara ini saya tidak akan melakukan hubungan seksual. Kami akan menghindarinya sampai saya benar-benar sembuh."

"Meski sudah terlambat?"

"Yah …saya tak punya pilihan lain, Dok. Suami saya orang baik-baik. Sulit rasanya meyakinkan dia supaya menerima kenyataan pahit ini. Sudahlah, semua ini terserah Tuhan. Barangkali Dia akan melindungi suami saya. Mudah-mudahan Tuhan memberi jalan keluar pada keluarga kami."

"Suasana hening mencekam. Tiba-tiba perempuan itu teringat sesuatu. Dengan memelas, ditatapnya dokter itu.

"Bisakah Dokter menjaga rahasia ini?" tanyanya.

"Tentu. Tentu. Tenang saja! Kujamin rahasia ini tak kan terbongkar selamanya."

Lalu perempuan itu menghela nafas.

"Saya rasa cukup sampai di sini dulu, Dok. Saya usahakan tiap hari datang ke sini. Selain Jumat. Akan kuusahakan semampu saya," ucapnya dengan hati yang terluka.

Pekerjaan dokter telah selesai. Ketika perempuan itu beranjak keluar, dokter menghentikan langkahnya.

"Siapa nama Ibu?" tanya dokter.

Wajah perempuan itu tampak ketakutan.

"Untuk apa?" tanyanya.

"Tak perlu takut, tak perlu sedih. Ini hanya formalitas belaka. Coba Ibu lihat daftar ini! Bukankah penuh dengan nama dan alamat pasien? Jangan takut, saya hanya seorang dokter," hibur dokter.

"Ibu Muhammad Abbas Efendi, pegawai DPU," jawabnya sembari menarik nafas.



***

Esoknya, perempuan itu datang. Ia katakan bahwa kondisi suaminya sehat-sehat saja.

Menjelang petang, datang pasien berumur 30 tahunan. Badannya tinggi tegap. Raut mukanya tampak cerdas dan berani.

"Selamat sore," sambut dokter.

"Sore," jawab lelaki itu.

Lelaki itu tertawa. Menampakkan keceriaan di balik kegelisahan yang menyelimuti dirinya.

"Saya mengidap penyakit, Dok," katanya.

"Penyakit apa?"

"Penyakit yang banyak dikeluhkan orang."

"Oh…kasihan sekali."

"Saya benar-benar menyesal, Dok."

"Menyesal?"

"Menyesal. Apa Dokter merasa rugi bila ada orang insaf datang padamu? Apa pasienmu akan berkurang?"

"Kukira Saudara datang ke sini bukan untuk berfilsafat. Silahkan ke kamar itu! Tunggu sebentar. Tolong sebutkan nama Saudara!"

"Muhammad Abbas, mulut dokter hampir mengeluarkan kata 'Hah'. Dokter segera melihat dengan seksama daftar nama-nama. Mendadak jiwanya bergejolak, begitu tahu bahwa dialah orang yang terancam bahaya besar itu. Giginya geregetan. Kepalanya tertunduk hampir menyentuh lembaran daftar nama yang ada di depannya. Dokter menyembunyikan wajahnya.

Tatkala dokter hendak melangkah menuju kamar praktek, Abbas merengek.

"Dok, saya khawatir penyakit ini akan berakibat buruk."

Dokter menerawang. Lantas bertanya, "Memangnya kenapa?"

"Saya sudah berkeluarga, dokter. Sekarang dokter tahu bahwa bukan hanya bujangan yang bisa terperosok dalam dosa," jelas Abbas.

"Tahukan Saudara? Istri Saudara juga terancam!"

"Ya. Saya benar-benar terjepit. Saya sangat sedih begitu tahu istri tercinta saya juga mengalami hal yang sama. Apa yang harus saya perbuat, Dok?"

Kini rahasia itu telah terbongkar. Sepasang suami-istri itu ternyata pendosa. Mereka menyesali diri.

Dokter hampir saja terlena oleh pikirannya, kalau tak mendengar pertanyaan Abbas.

"Saya harus bagaimana, Dok?" tanya Abbas berulang-ulang.

"Tenang saja. Saudara akan dapat menyelesaikannya dengan baik. Usahakan ajak istri Saudara ke sini. Jangan sampai dia curiga."

Abbas bingung.

"Saya usahakan, Dok," jawabnya lemah.

Kemudian Abbas melangkahkan kakinya. Pergi.

"Mudah-mudahan Tuhan memberi jalan kebaikan bagi istrinya, hingga persoalan ini selesai. Semoga Abbas berhasil membawa istrinya ke mari. Akan kuterangkan ihwal penyakit yang diderita istrinya. Akan kuyakinkan padanya bahwa perempuan itu adalah korbannya. Lantas keduanya akan kuobati sampai sembuh. Dengan demikian lelaki itu mau kembali pada istrinya dengan penuh penyesalan. Abbas tak tahu bahwa perempuan itu lebih menderita dibanding dirinya," kata dokter dalam hati.

***

Perempuan itu tak datang pada hari yang telah dijanjikan. Dokter mengira sore ini, ia akan datang bersama Abbas. Tapi yang datang ternyata hanya Abbas. Abbas dirundung ketakutan. Wajahnya pucat. Tatapan matanya layu. Seolah tampak lebih tua dari biasanya.

"Ada apa?" tanya dokter terperangah.

Abbas menggelangkan kepalanya. Sedih.

"Menurut Dokter apa?" baliknya.

"Kukira Saudara mengajak istri Saudara. Mana?"

"Yah….bagaimana lagi, Dok?"

"Emm…sebenarnya persoalan Saudara sudah beres. Tapi sayang, Saudara tidak bisa meyakinkannya. Ya….beginilah jadinya!"

Abbas diam sejenak. Kemudian berbicara dengan terbata-bata karena putus asa.

"Oh…hidup di dunia memang susah."

Dokter membungkukkan bahunya.

"Saya sudah sering kali mendengar keluhan-keluhan seperti itu. Saya yakin menusianyalah yang menyebabkannya. Parahnya, mereka justru melalaikan dan membebankan pada dunia!" kata dokter.

"Entahlah. Perlu Dokter ketahui, belakangan ini saya mengalami banyak peristiwa menyedihkan. Sekarang saya telah bercerai dengan istri saya. Impian untuk menimang anak, kini telah hilang. Entah sampai kapan, saya harus menjalani masa sulit ini."

Hati Abbas penuh teka-teki. Tak bisa menguraikan apa yang terjadi di balik peristiwa itu. Ia mesti memeras otak untuk mencari jawabannya. Kebingungan mendekap. Sinar matanya menyimpan banyak pertanyaan.

"Singkatnya begini, Dok. Kemarin malam, saya berniat mengajak istri saya kemari untuk menemui dokter agar saya bisa tenang. Tapi saya bingung, bagaimana harus menjelaskan padanya. Saya juga tak tahu bagaimana harus memulainya. Lalu dengan hati-hati, kudekati istri saya. Tiba-tiba istri saya gelisah. Saya mengira dia gelisah karena kegelisahan saya. Saya mengharap dialah yang memulai bertanya. Tapi ia tak melakukannya. Terpaksa sayalah yang memulai bertanya: 'Apa kau tak punya keluhan? Barangkali sakit?' Saya pura-pura tenang. Lalu dengan ragu-ragu, Istri saya menjawab: 'Alhamdulillah, tidak'. Saya berbohong: 'Kulihat akhir-akhir ini, wajahmu pucat dan sedikit berubah. Bagaimana kalau kita periksakan ke dokter?' Istri saya justru marah dan menolak keras: 'Tidak! Kau mengkhayal. Pokoknya tidak. Aku benci dokter. Aku ragu dan bosan mendengar nasihat mereka," tutur Abbas.

"Semakin banyak saya menuntut, semakin keras istri saya menolak. Saya terus mendesaknya. Saya coba memohon dengan baik-baik, istri saya malah melawan dan bersikeras pada pendiriannya. Usaha saya sia-sia. Saya bingung, bagaimana saya harus meyakinkannya. Dada saya sesak. Hati saya dongkol. Rasanya sakit dan ingin marah. Karena saking suntuknya, saya berteriak keras. Otak saya tak kuasa lagi berpikir dengan jernih: 'Ayo ikut aku ke dokter! Aku prihatin dan ingin tahu apa sebenarnya penyakit yang kau derita.' Belum selesai saya bicara, istri saya bicara menantang bagai ular yang siap mematuk mangsanya. Matanya melotot, tak mampu kuasai diri. Tubuhnya menggigil. Saya bingung dibuatnya. Saya bertanya dalam hati: 'Ada apa, Istriku?' Saya coba mengulang pertanyaan dengan lembut, tapi istri saya memotong dengan gerakan aneh. Tubuhnya mengejang. Raut mukanya berubah aneh. Bengis. Saya semakin bingung dan bertanya-tanya: 'Apa yang membuatmu takut, Istriku? Kenapa kau tak mau ke dokter?' Istri saya justru berteriak lebih keras: 'Tidak…! Tidak…!' Saya bertambah marah. Tak ada kata 'tidak' dalam diri saya. Dengan murka, saya melangkah ke arahnya. Istri saya menjerit: 'Ampun, Abbas! Ampun…! Rahasiaku telah terbongkar. Aku telah berbuat dosa! Pasti kau sudah tahu semuanya. Aku telah bersumpah pada Tuhan. Tolong! Jangan sentuh aku. Ceraikan saja aku!' Tiba-tiba istri saya tersungkur di kaki saya kemudian pingsan," lanjut Abbas.

"Apa maksud semua ini, Dok? Saya hanya menduga. Otak saya ragu. Kepala saya panas.Rambut saya berdiri mengeras seperti landak," tambah Abbas.

Perempuan itu sungguh membuat repot suaminya. Tapi ia yakin bahwa dirinya tak melampui batas kewenangan. Pengakuan dosa, permintaan ampun dan pingsannya itu yang jelas hanya karena satu hal.

"Oh…saya telah berbuat dosa dan pantas mendapat hukuman. Saya telah ingkar, Dok. Karenanya, saya menjadi korban yang sia-sia! Adakah lelaki yang bernasib seperti saya, Dok?"

"Dosa telah memperdaya dan menjerat saya. Saya terjerumus dalam jurang yang curam. Bagaimana saya bisa melepaskan selimut tebal dosa ini? Bisakah saya tabah menghadapi cobaan ini? Bisakah saya kembali bersih dan sehat seperti dulu lagi, Dok?"

"Runtuh sudah bangunan rumah tangga saya. Musnah sudah bayangan hidup bersama buah hati saya. Padahal merekalah cahaya hidup saya yang senantiasa bersinar. Kini saya ingin pikiran saya terbuka. Perasaan tentram. Membuang semua kemarahan yang ada dalam diri saya. Saya ingin lepas dari belenggu perkawinan ini. Tuhan, bimbinglah jalan hidupku.*** Naguib Mahfouz lahir tahun 1911, dan pada 1998 mendapat Hadiah Nobel. Cerpen ini diterjemahkan dari antologi cerita pendek Hams al-Junu'un, dari Judul asli al-Maradl al-Mutaba'adil oleh Ahmad Sya'roni dan Herri Munhanif.



Para Pemburu

Oleh: Agus Noor



Purnama mengapung di telaga, sesekali meleleh oleh arus gelombang. Kami memandanginya dengan gamang. Angin bergegas pergi oleh kedatangan kami. Seperti juga semua makhluk yang ketakutan mendengar gemuruh kaki kami. Hingga kami merasa benar-benar sendiri, ditangkup sunyi daun-daun yang mandi cahaya. Kami beri­stirahat di pinggir telaga itu, hanyut oleh pikiran kami. Mele­takkan semua senjata yang selama ini kami jinjing dan gendong. Sebagian dari kami langsung merebahkan tubuh atau bersandaran pada batang pohon dan gundukan batu. Sebagian lagi menyempatkan diri membersihkan wajah terlebih dahulu, melulurkan kesejukan pada lengan dan kaki yang bengkak.

Inilah perjalanan terjauh dan terlelah kami, sebelum sampai ke telaga ini. Inilah pertama kali kami merasa begitu lelah, setelah bertahun-tahun memburu buruan kami yang bergerak begitu cepat. Kami seperti mengejar kilat. Seluruh kekuatan dan pengala­man kami sebagai pemburu telah kami keluarkan sampai tandas, tetapi kali ini, buruan kami tetap saja melenggang bebas. Membuat kami begitu merasa terhina. Seakan sia-sia kebesaran kami sebagai pemburu yang telah berabad-abad mengabdikan hidup dan peradaban kami hanya untuk berburu. Kami adalah bangsa pemburu yang besar. Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal mem­buru sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah membentuk kami sebagai pemburu paling ulung.

Lagu-lagu kami adalah lagu-lagu perburuan. Legenda kami adalah penaklukan puluhan bina­tang buruan. Kami tak pernah ter­go­­da menjadi petani atau peda­gang. Tak ada yang lebih terhormat bagi kami, nenek moyang dan anak cucu kami, selain menjadi seor­ang pemburu besar yang sanggup merobohkan gajah dengan satu gerakan. Cerita-cerita penaklukan, mengantar tidur anak-anak kami. Menjadi hutan lebat yang tumbuh dalam kepala mereka. Setiap dari kami dibesarkan dalam belukar. Kami sudah tahu bagaimana menyembelih wildebeest, sejak kami masih dalam kandungan. Kami mengembara dari satu benua ke benua lainnya, untuk memburu bina­tang-binatang, bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi hidup, tetapi lebih untuk kebangga­an dan kehormatan.

Sampai kemudian kami menyadari, betapa binatang-binatang di dunia ini perlahan-lahan telah habis kami buru. Membuat kami cemas, melihat kehormatan kami akan goyah suatu ketika. Apalah arti kami bila tak lagi hidup sebagai pemburu. Barangkali, bina­tang-binatang itu juga sudah terlalu hafal dengan kami. Maka mereka buru-buru menjauh pergi, begitu tercium bau kami. Tetapi mungkin juga memang binatang-binatang itu sudah habis kami bunu­hi. Gajah, badak, macan, rusa, ular, serigala dan segala macamn­ya. Sampai kelinci, tupai dan tikus, telah lenyap kami tangkap. Maklumlah, dari tahun-ketahun, jumlah kami memang makin membesar. Setiap bulan hampir seratus anak kami lahir, sementara orang-orang tua kami bagai tak bisa mati. Mereka sudah renta, tapi tak gampang mati. Banyak di antara kami yang sudah berusia 7890 tahun, tetapi masih sanggup berlari mengejar entelope, kemudian menghan­tam kepala binatang itu dengan kepalan tangan, hingga pecah berantakan. Dan itulah kehormatan.

Tapi sudah lama kami kesulitan menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami katakan tadi, semua binatang telah habis kami buru, kami bunuh.

“Perburuan tak mungkin berhenti!”

“Kita akan cepat renta bila sehari tak memburu apa pun!”

“Takdir tak bisa dihentikan.”

“Lantas bagaimana?”

“Apa pun yang terjadi kita mesti memburu sesuatu!”

“Memburu apa?”

Itu membuat kami terdiam. Sampai kemudian ide brilian ter­lontar. Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri. Mereka kami lepas ke tengah hutan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian kami memburu mereka. Itu menjadikan kami begitu bahagia. Bahkan membuat kami lebih merasa sempurna sebagai pemburu. Memburu budak-budak itu lebih mengasyikkan dari pada memburu binatang. Mereka lebih menantang untuk kami takluk­kan. Anak-anak kami pun nampaknya lebih suka dengan perburuan macam itu. Lantas, perlahan-lahan, kebiasaan baru tumbuh dalam kehidupan kami. Menjadi tradisi. Kami tak lagi memburu binatang, tapi manusia. Kami membeli juga para penjahat yang telah divonis mati. Kepada mereka kami tawarkan kebebasan, “Masuklah dalam hutan, lari. Selamatkan kehidupanmu. Jangan cemas, meski kami akan memburu kalian, kalian masih punya kesempatan untuk memper­panjang kehidupan. Meskipun kalian juga tak luput dari kematian. Tapi itu lebih baik bagi kalian, dari pada mati di tiang gantun­gan: tak lagi punya pilihan. Mati dalam perburuan ini lebih terhormat bagi kalian. Anggap semua ini hanya permainan. Semoga nasib baik bersama kalian...”

Dan para pesakitan itu pun kami lepas dengan upacara kehor­matan. Kami iringi dengan lengkingan terompet dan juga dentuman meriam. Selamat jalan. Inilah hidup yang sesungguhnya, yang membuat kalian akan merasa memiliki harga sebagai seorang pesaki­tan. Adakah yang lebih menyenangkan, selain melakukan perburuan semacam ini? Mereka kami beri kehidupan sekaligus batas kematian. Setiap detik adalah pertarungan. Banyak juga di antara kami yang mati dalam perkelahian. Para penjahat itu, memang makhluk yang tak gampang menyerah. Liat dan sigap. Dan itu, sungguh, sasaran perburuan yang menggairahkan.

Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-kisah kami menjalar ke banyak negara, banyak orang di luar suku kami, mendatangi kami, untuk ikut menikmati perburuan itu. Mula-mula, banyak di antara kami yang menolak, karena hal itu dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa menolak, ketika dari banyak yang datang ke pada kami itu adalah para jendral, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar. Para bangsawan, yang memang memiliki kebia­saan berburu seperti kami dan memiliki lahan-lahan perburuan yang luas, mengijinkan tempat-tempat itu untuk kami kelola dan kem­bangkan sebagai ladang perburuan yang lebih menantang dan menye­nangkan. Bahkan mereka menjanjikan kami lahan-lahan perburuan yang lebih luas. Para jendral menyediakan kami senjata-senjata paling mutakhir. Para pengusaha mensubsidi kami modal bermilyar-milyar. Para raja dan kepala negara mempersilahkan kami untuk memilih rakyat mereka sebagai binatang buruan. Hingga kami tak lagi kekurangan buruan. Kami tak hanya punya kesempatan memburu para penjahat yang telah divonis mati, tetapi kami bebas memilih siapa pun yang paling menyenangkan kami buru. Malah sering para raja dan kepala negara memberi kemudahan kami dengan memberi lisensi untuk menghabisi para tokoh oposisi yang tak mereka sukai, para demonstran untuk kami habisi. Juga kaum intelektual yang selama ini mereka benci. Ah, begitu melimpah buruan kami.

Kami bangun juga istana-istana, tempat kami berpesta setelah seharian berburu. Kami menjadi kaum pemburu yang kian kokoh dan terhormat. Kami perlahan-lahan meninggalkan cara hidup kami di hutan, dengan setiap malam tidur di ranjang yang bersih dan nyaman. Kami tak lagi hanya terbiasa dengan bunyi pedang, tetapi juga denting gelas dalam kehangatan pesta.

“Ini darah seorang penyair untukmu, jangan sedih...” Gelas kami beradu, dan kami tertawa bahagia. Begitulah memang mestinya nasib penyair yang tak menulis syair puja-puji bagi keagungan kami. Hidup pemburu agung!

Kami pun menjadi kelompok pemburu yang besar, yang melintas bagai badai dan gelombang, menggulung apa pun yang kami sukai. Di antara kemeriahan pesta, kami terus menuliskan sejarah kami yang agung. Perburuan bukan lagi perkara kebesaran dan kehormatan, tetapi juga, terkadang, keisengan. Kami, yang telah menjadi sekelompok pemburu yang paling kuat, dengan dukungan dana yang melimpah, pasokan senjata yang bagai anggur mengalir dalam gelas-gelas kami, menjadi tak tertandingi. Kami berdiri di puncak menara peradaban, sendiri. Itu sering membuat kami terusik sunyi. Apakah arti kekuatan bila tak ada tantangan yang sepandan? Tak ada lagi yang sanggup melawan kami. Ketika kami menjarah perem­puan dan membunuhi anak-anak, ketika kami memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp konsentrasi, ketika kami menemba­ki anak-anak Palestina, ketika kami memburu dan membantai orang-orang muslim di Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak negara untuk meluluhlantakkan apa saja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan. Tak ada lagi yang berani menggertak kami, sehingga permainan menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami terus memburu, kami terus bergerak dari benua ke benua dari zaman ke zaman, melintasi gelombang waktu, menumpuk tengkorak kepala korban kami hingga menggunung sampai menyentuh awan, tetapi kami selalu dirundung sunyi. Apalah arti semua itu bagi jiwa pemburu kami? Semua itu bukan lagi gairah petualangan dan tantangan, tetapi penaklukan yang membosankan. Karena kami sudah terlalu kuat, hingga pertarungan menjadi tak sepandan. Kami seperti kehilangan buruan yang mengasyikkan.

“Kita harus melakukan sesuatu. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi pucat dan pasi. Jangan biarkan mereka menjadi lembek karena rasa sunyi ini.”

Lalu seseorang yang paling tua di antara kami, yang sudah berumur 100 juta tahun lebih, menyarankan kami agar mengumpulkan para kiai. Suaranya sudah gemetar, seakan maut sudah menyentuh bibir orang tua itu.

“Untuk apa mengumpulkan para kiai itu?”

“Aku sudah mencium ajalku. Dan aku ingin, sebelum maut menjemputku, aku ingin menikmati perburuan yang paling menggair­ahkan.”

“Apa hubungannya dengan para kiai itu?”

“Kumpulkan mereka, dari seluruh dunia. Suruh mereka menye­diakan malaikat untuk kita buru!”

Kami terpukau oleh gagasan itu. Membuat darah kami mengge­lembungkan jiwa pemburu kami. Gairah menjalar, membangkitkan imajinasi kami. Ya, malaikat, kenapa kami tak memburu malaikat?

“Jibril! bagaimana kalau kita minta Jibril!”

“Kami bersorai, anggur segera kami tuang dalam gelas, bersu­lang, menyambut hari depan kami yang gilang gemilang. Panji per­buruan berkibar. Kami segera menghimpun topan. Kami segera menge­luarkan seluruh senjata kami. Dan tentu, kami segera mengumpulkan para kiai. Mereka kami datangkan dari semua penjuru, kalau perlu dengan paksa dan kekerasan.

“Kami ingin Jibril,” kata kami kepada mereka. “Kami tak mau tahu, bagaimana cara kalian mendatangkan Jibril bagi kami. Apakah kalian akan sholat sepanjang hari? Apakah kalian akan berdoa dan mengaji? Apakah kalian akan menangkar atau menjebak Jibril dengan sebuah perangkap? Kami tak mau tahu dengan itu semua. Sekarang, katakan kepada kami, kapan kalian bisa menyediakan Jibril bagi kami?”

Kami tatap wajah para kiai itu, mencari kepastian dalam mata mereka.

“Baiklah,” tegas kami, “kalian kami beri waktu satu bulan. Bila selama ini kalian tak bisa mendatangkan Jibril bagi kami, kami akan membikin perhitungan sendiri...”

Mereka, para kiai itu, kami giring ke sebuah istana kami yang paling megah. Tetapi mereka menolak, dan meminta kami untuk membawa mereka ke sebuah kaki bukit di mana ada sebuah masjid kecil di pinggir hutan. Kami turut kemauan mereka, meski sesung­guhnya heran. Apalagi ketika kami melihat sendiri masjid itu. Benar-benar masjid kecil yang tak terawat. Seluruh bangunan itu terbuat dari pelapah kayu, telah lapuk. Luasnya tak lebih dari lima kali lima tombak. Bagaimana tempat sekecil itu menampung jutaan kiai yang kami himpun dari seluruh penjuru ini.

“Kalian jangan bercanda!” teriak kami.

“Kalianlah yang bercanda, dengan meminta kami mendatangkan Jibril.”

“Baiklah...”

Lantas kami membiarkan satu persatu para kiai itu masuk masjid kecil itu, membuat kami begitu ternganga, ketika hampir separo dari jutaan kiai itu sudah masuk ke dalam masjid, tetapi masjid itu tak juga penuh. Pintu itu terbuka untuk menerima siapa pun masuk ke dalamnya. Barisan kiai masih antri di depan masjid itu, berkelok-kelok mengikuti gigir bukit, seperti barisan semut yang begitu tertib menuju lubang sarang mereka . Jutaan kiai masuk ke dalam masjid yang bagi kami hanya cukup untuk tidur dua puluh orang, itu pun pasti sudah berhimpitan, bagaimana mungkin? Tapi, itulah yang kami saksikan. Sampai kemudian semua kiai telah masuk dalam masjid itu. Dan kami mendengar gema dzikir dari dalam sana, mengalun menidurkan rerumputan, sepanjang hari sepanjang malam. Gema itu melambung, menyentuh langit. Kadang kami merasa ada yang menggemericik dalam hati kami karena gema itu. Seperti batang-batang pohon yang bergoyang itu, seperti daun yang mel­ayang-layang itu, yang hanyut dibuai dzikir para kiai. Kami memagarbetis masjid itu, tak membiarkan seekor tikus lolos dari amatan kami. Kami tak mau kecolongan. Kami tak mau di tipu para kiai itu, jangan-jangan semua itu sihir belaka. Kami terus berja­ga, takut mereka akan keluar dan meloloskan diri ketika kami tertidur.

Satu bulan lewat, menguap begitu cepat, bersama angin dan embun. Membuat kami cemas, sekaligus marah, ketika para kiai itu tak juga muncul dari dalam masjid. Segera kami kirim seseorang untuk menemui mereka. Namun orang itu tak kembali. Membuat kami tambah cemas menunggu, kemudian kembali mengirim utusan untuk menemui para kiai di dalam masjid itu. Tetapi seperti yang perta­ma, orang kedua kami pun tak kembali. Kami panggil namanya, tetapi tak kunjung keluar jua. Kami kirim utusan kembali, memper­ingatkan para kiai bahwa waktu sudah habis buat mereka. Tapi seperti yang pertama dan kedua, utusan kami ini pun tak muncul lagi meski kami sudah menanti lebih lima hari. Begitulah berkali-kali, setiap orang yang kami kirim untuk menjumpai para kiai, tak pernah muncul kembali. Sementara suara dzikir itu terus saja bergema, membuat udara bergetar dan perasaan kami gemetar. Lantas kami tak bisa lagi sabar. Kami berteriak menyuruh para kiai itu keluar, tetapi hanya gema dzikir membalas suara kami. Kami sudah cukup punya pengertian, bukan?

Jangan salahkan kami. Dan kami segera menyerbu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemara­han kami menyalakan api di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada mesjid itu. Kami bakar masjid itu, hingga kayu-kayu bergemeretakan, dan api melahap cepat, membumbung.

Namun dzikir itu masih kami dengar, di pucuk api berkobar.

Pada saat itulah, seseorang di antara kami berteriak, mem­buat kami tengadah ke puncak api. Dan, ya Allah, di sana, di puncak kobaran api, kami melihat selesat biru cahaya menatap kami, dengan sayap terentang sampai ujung paling jauh dari semes­ta.

“Jibril!!”

“Jibril!!”

Seketika kami berteriak, antara takjub dan panik, gembira dan tak percaya, melihat impian kami sudah di depan mata. Apakah ini keajaiban yang dikirim bagi kami?

“Buru!”

Teriakan itu, mendadak menyadarkan kami, betapa memang inilah yang selama ini kami tunggu-tunggu. Jibril, kini telah muncul di hadapan kami, kenapa kami malah bengong begitu? Maka, dengan sigap kami segera meraih senjata-senjata kami. Tombak, anak panah, desing senapan mesin, roket dan basoka, dengan cepat berlesatan ke arah selesat cahaya biru itu yang dengan cepat bergerak dengan sayap mengepak.

“Kejar!”

Kami pun melesat, mengejar Jibril. Bertahun-tahun kami memburu. Membiarkan kaki kami koyak oleh duri, membiarkan rambut dan jenggot kami memanjang tak terawat. Kami tak punya waktu untuk memikirkan itu semua. Jiwa pemburu kami bergelora oleh gairah perburuan kali ini. Inilah perburuan paling menakjubkan bagi kami. Setelah berabad-abad kami hidup sebagai pemburu, setelah bermacam pengalaman perburuan membuat kami jadi pemburu sejati, inilah sesungguh-sesungguhnya perburuan yang sejati. Tombak terus beterbangan, roket terus berlesatan, jaring-jaring baja telah kami rentangkan, ranjau-ranjau telah kami tanam, perangkap telah kami pasang, agar kami mampu meringkus Jibril. Inilah buruan kami yang abadi. Kemanapun Jibril melesat, kami memburunya.

Sampai kami tiba di pinggir telaga ini, yang menyimpan bayangan bulan. Sebagian besar dari kami kini benar-benar renta. Kami tak sempat istirahat. Kami tak pernah tidur di satu tempat, hingga telah lama anak-anak kami tak lahir. Kami begitu sibuk memburu Jibril. Banyak dari kami yang mati dalam perburuan ini, dan kami pun tak sempat menguburkannya. Karena kami harus terus mengejar Jibril. Kami tak mau kehilangan jejak. Dan memang, kami benar-benar tak pernah punya waktu istirahat. Ketika kami baru saja rebahan dan membasuh kelelahan kami di telaga itu pun, mengharap kesegaran akan membuat tenaga kami kembali muda, kami sudah harus kembali pergi ketika pada bayangan bulan, kami lihat jejak cahaya.

“Kesana!” seseorang dari kami berteriak, dan langsung mele­sat. Di seberang telaga sana, kami melihat buruan abadi kami, mengepakkan sayap-sayap cahaya-Nya.

Maka kami pun kembali bangkit, meraih peralatan berburu kami. Segera menghambur, melanjutkan pemburuan abadi kami.***



Yogyakarta, 1995-1998

(Dongeng Buat Mas Danarto)

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda