Oleh: Taufik Ikram Jamil
Dinihari.
“Pasti dari Jim,” kata hatiku.
Sambil mengangkat gagang telepon itu, aku membayangkan Jim kembali tercungap-cungap menceritakan keluarga Niru menjadi batu. Lalu ia bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi, mengapa harus menjadi batu, dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Berkali-kali ia ulangi pertanyaan tersebut, ditingkahi desah ketakutan dan keasingannya menghadapi kenyataan itu.
“Ketika kutinggalkan sekejap tadi, hanya leher sampai kepala mereka saja yang belum menjadi batu,” kata Jim seperti yang sudah kuduga, ya seperti yang sudah kuduga. “Aku kira sebentar lagi semua tubuh mereka akan menjadi batu, tergolek bagai barang tak berguna. Tapi mereka manusia kan?”
Aku diam, tetapi aku sudah membayangkan, pertanyaan terakhir itu akan dijawab oleh Jim sendiri dengan mengatakan bahwa memang benarlah mereka manusia. Tetapi manusia yang telah menjadi batu tidak akan dapat memfungsikan dirinya, padahal bagian terpenting dalam hidup adalah memfungsikan diri. Sampai pada kalimat tersebut, Jim akan tersentak sendiri karena ia mafhum bahwa memfungsikan diri adalah sesuatu yang abstrak. Jangan-jangan menjadi batu merupakan upaya memfungsikan diri juga.
“Tapi mengapa harus menjadi batu?” tanya Jim. “Bagaimana caranya mereka menjadi batu?” lanjutnya. “Tak masuk akal, menjadi batu membiarkan diri melakoni benda mati,” kata Jim.
Beberapa saat ia terdiam.
“Ya, mereka membunuh diri,” simpul Jim. Cepat-cepat ia mengatakan, “Oh, betapa mengerikan. Aku takut....”
“Jim...!” panggilku. Tak ada jawaban. “Jim!” ulangku.
“Kau kan tahu betapa Niru adalah bagian dari keluargaku juga. Lima belas tahun yang lalu, bukan rentang waktu yang panjang untuk menelusuri hubungan kami. Ketika ia masih bujang lagi dan kini punya anak bersusun paku,” kata Jim datar. “Niru telah mengantarkan aku ke jenjang karier seperti sekarang dan menjadi modal besar bagiku sampai diangkat menjadi profesor. Ia dan keluarganya —sebelum kawin— memang pohon penelitianku, tetapi aku tak pemah menganggapnya sebagai sesuatu yang berasal dari luar diriku, sehingga ketika aku menelitinya atau orang kampung sekalian, aku merasa meneliti diriku sendiri,” kata Jim.
Tentu saja aku tahu karena akulah yang membawa Jim pertama kali ke desa Niru, sekitar 150 km dari sini, lantas berkenalan dengan Niru. Ya, Niru masih bujang bedengkang waktu itu; tak lama setelah berkawan akrab dengan Jim, ia yang kawin dengan orang sekampungnya, tetap memandu Jim di lapangan. Tak mengherankan kalau di antara keduanya terjalin hubungan antara pemandu dengan peneliti sampai di luar batas. Ketika Jim kembali ke negeri asalnya setelah tiga tahun menetap di desa Niru, aku menjadi perantara hubungan mereka berdua. Ketika Jim dikukuhkan sebagai doktor di bidang yang ditelitinya yakni antropologi ekonomi, Niru dan aku diundang menghadiri acara tersebut. Sayang, Niru tak mau datang dengan alasan yang tidak jelas walaupun segala sesuatunya ditanggung oleh Jim.
Hasil penelitian Jim di desa Niru sebenarnya tidaklah terlalu istimewa bagiku, barangkali disebabkan perhatian kami yang berbeda dan semua permasalahan di dalam penelitiannya sekaligus kualami sendiri dalam bentuk lain. Dalam kerangka yang lebih kecil dan sederhana dapatlah disebutkan bahwa penelitian Jim menggambarkan bagaimana di desa Niru terdapat berbagai hal yang teramat luar biasa secara ekonomi, tetapi masyarakatnya terbelakang. Suku Montai, begitu orang menamakan asal Niru, sebenarnya hampir tergolong primitif, tetapi hidup di tengah ladang minyak yang kaya raya dengan peralatan canggihnya. Belum lagi pembangunan perkebunan besar-besaran yang tak terbayangkan sebelumnya. Suku Montai berdampingan dengan hal-hal yang wah itu, namun jarak di antara keduanya sangat jauh seperti tak dapat diukur lagi secara metrik, tetapi oleh waktu. Sesuatu yang sebenamya secara umum dinikmati tidak saja oleh Niru dan Suku Montai, tetapi banyak orang lain lagi termasuk aku. Mereka dalam keadaan yang tidak bisa membela diri terlebih lagi tidak punya sembarang pembela pun.
“Halo..., Hallo...,” Jim agak berteriak. “Kau dengar atau tidak?”
“Teruskan, teruskan....”
“Aku takut, sangat takut. Aku belum pernah setakut ini.”
Aku menarik napas. Tampaknya aku harus melakukan tindakan karena sudah tiga kali ia menelepon, ketakutannya terasa semakin besar. Tetapi belum sempat aku menyelidiki keberadaannya seperti tindakan apa yang diharapkannya dariku, hubungan kami terputus. Cukup lama aku membiarkan gagang telepon melekap di telingaku dengan harapan Jim berbicara lagi, tetapi yang terdengar hanya tut ... tut ... tut....
***
Dinihari.
Aku membayangkan saat ini Jim berlari dari warung telepon yang seingatku terletak sekitar dua kilometer dari rumah Niru kalau mungkin ia menelepon dari tempat itu, menuju rumah sahabat kami tersebut. Keringat sebesar jagung segera saja mengalir di tubuhnya, dimulai dari puncak hidungnya yang tercacak. Sebentar ia tercegat di pintu dan sedikit saja ia menolak daun pintu dengan ujung telunjuk, cahaya pelita sudah menyergap mukanya. Wajahnya kelihatan menyala karena butir-butir keringat seperti tersimbah cahaya pelita yang merah kekuning-kuningan. Angin berkibar, wajahnya pun terlihat berayun. Jim kembali memutarkan badannya, turun ke tanah. Ia mencangkung pada pipa minyak yang bergaris tengah sekitar 80 sentimeter dan membentang tak sampai 15 meter dari rumah Niru. Menengadah. Cahaya bulan sepenggal dan kerlip-kerlip bintang yang tersapu awan hitam tidak menimbulkan sembarang kesan elok di hatinya, malah ia semakin gelisah.
Jim tak tahu apa yang harus dilakukannya. Kakinya tiba-tiba saja tertuntun kembali masuk ke dalam rumah Niru. Berat. Langsung saja matanya menyergap Niru yang tergolek di sudut. Kaki sampai dada lelaki itu sudah membatu, tinggal mukanya yang ranum seperti tidak mengalami apa-apa, mengajak Jim berbincang. Tak jauh dari Niru, enam anak kecil juga dalam keadaan demikian, menusuk-nusuk hati Jim. Juga Siah istri Niru yang tergeletak dekat dapur, membuat pemandangan di dalam rumah ini bagaikan satu hamparan yang terasa amat asing.
“Aku panggil Tuk Batin ke sini,” kata Jim.
“Jangan!”
“Bontik?”
“Jangan. Duduk saja di sini, sebelum fajar menyingsing,” kata Niru.
“Atau Katik, Leman, Raut, dan... .”
Terdengar Niru ketawa kecil. Matanya yang bundar memandang tubuhnya yang sudah membatu. Jim mengikuti arah mata itu dengan pandangan tanpa ia tahu apa maksudnya. Terasa begitu cepat waktu berlalu, padahal baru beberapa jam sebelumnya Jim dan Niru masih berbicara perkara biasa-biasa saja. Siah dan anak-anaknya ikut terlibat dalam pertemuan dua sahabat lama itu. Jim menyadari keberadaan Niru dan keluarganya seperti sekarang tak lama setelah ia mengajak Niru berjalan untuk makan angin di luar. Dulu, menjelang dini hari mereka selalu berjalan ke luar, ke pinggir hutan selatan. Sinar maupun cahaya dari maskapai minyak dan pabrik-pabrik sawit serta bedeng-bedengnya yang dipandang dari kegelapan kampung ini meskipun membuat hati mereka sayup, juga mampu menghidangkan suasana lain. Sesuatu yang sulit diterjemahkan kalau tidak berdiri pada bidang Niru maupun Jim.
Saat pertarna kali menelepon dini hari tadi, Jim memang mengatakan bahwa apa yang terjadi sekarang pada Niru dan keluarganya seperti tiba-tiba. Setelah berkali-kali mengajak berjalan ke luar yang dengan senyum ditolak Niru, lelaki itu akhimya mengeluarkan kakinya. Mengeluarkan kaki yang sudah menjadi batu. Jim terpelanting, tetapi tak lama kemudian ia cepat menguasai. Ketika Niru menunjuk kaki anak-anak dan istrinya, Jim pun sadar bahwa sesuatu telah terjadi pada keluarga ini. Kesimpulan menjadi batu dibuat Jim setelah ia melihat makin malam semakin banyak bagian tubuh Niru maupun anggota keluarganya yang menjadi batu.
“Tapi Niru, anak-anak, dan istrinya seperti tidak mengalami apa-apa,” kata Jim lewat telepon beberapa jam lalu. “Sungguh, semula aku tak percaya. Tetapi mana mungkin aku mempertahankan ketidakpercayaan itu kalau aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana perlahan-lahan badan mereka berubah menjadi batu. Aku memegang batu itu, keras sebagaimana layaknya batu. Kau tahu bagaimana batu kan?” kalimat Jim bertubi-tubi. Cepat pula ia bertanya, “Kau percaya cerita ini?”
“Percaya.”
“Kau percaya?”
“Karena kau tak mungkin berbohong.”
“Ya, aku tak mungkin berbohong.”
“Dan kau mendengar bagaimana Niru terus berbicara seperti biasa. Ia akan menceritakan ikan yang menghilang dari sungai, damar yang sulit dicari, dan....”
“Bagaimana kau tahu?”
Aku berdehem.
“Bagaimana kau tahu?” desak Jim.
“Lantas, apa lagi yang dapat dikatakan Niru?”
“Dan menjadi batu sebenarnya bukan pilihan kan? Tetapi mengapa mereka menjadi batu?”
Aku ingin menjawab pertanyaan itu, tetapi hujatan Jim _ya, aku katakan sebagai hujatan_ tentang menjadi batu tersebut terus saja meluncur dari mulutnya. Aku ingin mengatakan, tapi nantilah .... Ya, nanti saja. Apalagi waktu itu, tiba-tiba saja sambungan telepon terputus dan aku hanya dapat mendengar suara tut ... tut ... tut ....
“Sungguh aku tak dapat mengerti kalau menjadi batu sebagai suatu pilihan.”
Apa yang dapat dilakukan dengan menjadi batu, sementara sekian pertanyaanku kepada Niru hanyalah sia-sia. Ia sedikit pun tak mau menjawab pertanyaanku. Ia hanya mau mengenang masa-masa lampau, soal-soal kemesraan, dan bercerita tentang kayangan yang sudah hilang,” kata Jim dalam telepon sebentar tadi yang kembali terngiang-ngiang dalam telingaku. “Ini sungguh amat menakutkan aku. Aku takut,” sambung Jim, terdengar suaranya tersendat-sendat.
***
Sampai menjelang subuh, telepon masih terlentang. Belum ada lagi panggilan dari Jim, tapi aku yakin bahwa ia segera menelepon. Barangkali selama menunggu ini aku sempat tertidur dan terjaga karena suara batuk istriku. Kudengar juga suara anakku mengerang. Kendaraan mulai lewat di depan rumah. Dari jendela, aku melihat bulan tergantung yang cahayanya pucat karena disambar cahaya merkuri di tengah jalan. Bayangan Jim menyeruak di antara cahaya remang-remang di dalam rumah ini. Ia seperti duduk di ruang tengah, membaca majalah berita yang kubeli sore tadi. Kakinya terkepang, kadang-kadang bergoyang-goyang sebagai tanda bahwa ia menyenangi bacaan itu.
“Mengapa kau tak pernah bercerita tentang hamparan batu yang berbentuk manusia dan peralatan hidupnya sehari-hari di sini?” tanya Jim suatu malam, mungkin tujuh tahun yang lalu. Ia melihat halaman majalah yang memuat tulisan itu dan menyodorkan kepadaku. Pandangannya tidak lepas dari mataku meskipun aku sudah mengambil majalah tersebut sambil lewat saja, tak sedikit pun membacanya kecuali memandang gambar-gambar hamparan batu tersebut. Dari mata Jim aku tahu ia sebenamya berkali-kali melontarkan pertanyaan serupa, “Mengapa kau tak pernah cerita ada hamparan batu yang berbentuk manusia dan peralatan hidupnya sehari-hari di sini?”
Sebagai jawabannya aku memandang langit-langit, kemudian kembali memandang majalah itu dan mencari nama penulisnya. Tanpa sengaja aku memandang gambar batu-batu yang berbentuk manusia, tilam, sendok, lesung, bantal, bahkan alat kelamin lelaki maupun perempuan, yang pernah kusaksikan beberapa kali. Ada juga batu berbentuk kapal, limau, dan entah apa lagi. Konon, batu-batu tersebut adalah wujud dari tindakan sekelompok manusia yang tak mungkin lagi berbuat lain dalam menghadapi gelombang hidup terutama dalam menolak perintah raja. Sekarang batu-batu itu membesar dan konon pada suatu saat kelak akan memakan lahan sehingga mempersempit dan semakin mempersempit lahan yang ada. Setahuku, ada dua hamparan batu-batuan seperti itu di sini. Satu hamparan di pinggir pantai dan satu hamparan lagi di dalam sebuah goa di hutan lebat.
Tak ada tanggapan Jim terhadap jawabanku itu. Tapi ia tidak meneruskan bacaannya, malahan masuk ke dalam kamar yang memang kusediakan untuknya kalau ia datang ke sini. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan amat necis. Bau parfumnya menyengat sampai aku harus mendengus-denguskan hidung. Seperti biasa ia hanya tersenyum kecil melihat kelakuanku itu sambil mengangkat bahu. Menyulut rokok sebatang dan menghisapnya dalam-dalam, ia kemudian mengatakan ingin keluar. Tak diajaknya aku, tetapi aku menawarkan diri untuk menemaninya sekedar basa-basi karena malam itu aku menunggu tamu, seorang teman lama. Dini hari, ketika mataku sudah terlayang, baru Jim pulang dengan bau penuh bir.
Keesokannya, pagi-pagi lagi Jim mengatakan akan pulang ke Tanah Airnya. Aku agak terkejut karena hal ini di luar programnya semula. Katanya, ia akan berada di sini barang sepekan dalam urusan apa yang disebutnya sebagai mengecas baterai, tetapi baru tiga hari ia sudah merindukan keluarganya. Aku tak banyak tanya saat itu dan apa pula gunanya karena Jim tidak pemah dapat dihalangi. Niatnya ke desa Niru dengan sendirinya batal walaupun aku sudah mengingatkannya. Sejak saat itu Jim tidak pernah lagi ke sini dan kabar mengenainya kudengar sekali-sekali. Sampailah beberapa hari lalu saat ia meneleponku dan menyatakan keinginannya untuk datang ke sini.
“Aku ingin reuni di Montai, tentu terutama dengan Niru dan keluarganya,” kata Jim seraya tidak lupa mengatakan bahwa ia sudah diangkat menjadi profesor. Di bandar udara Jim mengoceh banyak hal mengenai kedatangannya sekali ini terutama tentang penghormatannya atas Montai dan Niru khususnya yang mengantarkannya ke jenjang karier seperti sekarang.
Di desa itu sebagaimana diungkapkannya lewat telepon, Niru maupun orang sedesanya tetap seperti dahulu. Tak ada perubahan. Kalaupun ada perubahan, kelapa sawit di sana sudah menghasilkan sekian kali panen, jalan yang lebar, dan tanah yang kelihatan semakin tandus. Bangunan-bangunan kilang minyak makin menjulang, kendaraan tiada henti-hentinya lalu-lalang di desa itu. Persekitaran desa Niru semakin terang benderang dengan berbagai fasilitas, termasuk hotel dan warung telepon yang boleh dikatakan tidak begitu jauh dari rumah Niru.
Di sisi lain untuk menggambarkan keadaan tempat yang didiami Niru dan keluarganya, Jim cukup mengatakan bahwa rumah Niru masih terbuat dari kulit kayu dan tidak memiliki listrik. Rumah atau lebih tepat dikatakan pondok itu pun sudah mundur sampai tujuh kali, sehingga makin terpuruk ke dalam hutan karena pengembangan ladang minyak dan perkebunan. Jim juga mengatakan, tanah yang dibelinya seluas dua hektar untuk Niru dan sejumlah orang sebagai tanda mata itu sudah berpindah tangan tanpa ganti rugi sepeser pun dan di atasnya telah berdiri berdegam sebuah hotel. “Ketika kutanyakan hal ini, Niru hanya mengatakan: payah, payah...,” kata Jim.
Waktu itu aku tak sempat mengatakan apa saja yang telah dilakukan Niru dan warga kampung itu, bahkan kami di kota ini. Perlu waktu khusus untuk mengatakannya kepada Jim, tidak cukup hanya melalui telepon. Aku berniat sekali mengatakan hal ini kepadanya ketika ia pulang nanti. Tak ada maksud apa-apa kecuali agar ia paham bahwa kami tidak pernah menyerah kepada keadaan. Baiklah, setidak-tidaknya aku akan katakan sepatah dua kata tentang hal itu ketika Jim menelepon lagi yang kini sedang kutunggu-tunggu.
***
Ternyata penantianku tidak sia-sia. Persis saat azan subuh mulai berkumandang, telepon berderak. Suara napas Jim yang kukenal segera menyambar telingaku, sementara benakku membayangkan bahwa Jim akan mengabarkan kisah baru yang jauh lebih seru. Dari desah napasnya pula aku dapat meraba bagaimana Jim tercungap-cungap, menelan air liurnya beberapa kali, dan tak henti-hentinya mengusap muka. Ketika kutanyakan khabarnya, Jim menjawab dengan sedu-sedan.
“Sudahlah Jim, bawa bertenang.”
Lama tidak ada jawaban dan aku terus-menerus memintanya untuk bertenang.
“Bertenang?” tanyanya kemudian.
“Pulanglah dulu ke sini.”
“Bertenang dan pulang?”
Aku mengogam.
“Bagaimana aku dapat bertenang dan pulang dalam keadaan seperti ini?”
“Ya, memang sulit. Aku akan menjemputmu.”
“Kemudian membawa aku pulang?”
“Ya.”
“Bagaimana aku dapat melakukan hal itu, ketika....” Kalimat Jim terputus.
“Ketika kau melihat semua orang di desa itu menjadi batu?” aku memotong kalimat Jim. Tapi aku menyesal karena berkata seperti itu. Untunglah Jim tidak menangkap kelalaian tersebut, bahkan menjadikannya sebagai titik awal untuk menceritakan pengalamannya yang lain menjelang subuh itu.
“Ya. Ketika itu tanpa seizin Niru aku pergi ke rumah Bontik. Tetapi aku melihat, Bontik dan keluarganya juga sudah menjadi batu. Aku pergi ke rumah Tuk Batin, ia dan keluarganya juga begitu. Dari sinilah kemudian aku tahu bahwa semua penduduk desa ini sudah menjadi batu yang prosesnya sama dengan apa yang dialami Niru dan kusaksikan langsung. Kini mereka semuanya sudah menjadi batu,” kata Jim.
Bermacam-macam susunan orang-orang yang sudah menjadi batu itu. Pada beberapa rumah yang penghuninya tak dikenal Jim, orang yang menjadi batu terlihat di halaman itu pun dalam berbagai pose. Ada yang sedang mencangkung, berdiri bercekak pinggang, dan entah macam mana lagi. Bontik, kawan Niru sejak kecil dan cukup dikenal Jim, salah seorang manusia yang menjadi batu di halaman, sedangkan istri dan tiga orang anaknya berada di belakang rumah. Tiga anak mereka yang lain berada di dalam rumah dengan berbagai macam pose. Begitu pula Tuk Batin yang terlihat duduk di bendul dengan muka tegang, sedangkan istri dan anak-anaknya tergelimpang di halaman.
Barangkali dipengaruhi oleh kedekatan hati, ia melihat Niru yang sudah menjadi batu lebih dulu. Lelaki ini beserta anggota keluarganya berada dalam rumah. Tetapi Niru setengah duduk: kaki sampai pinggangnya sejajar dengan lantai kaki kanan menghimpit kaki kiri; sedangkan pinggang sampai kepalanya membuat garis 120 derajat. Tangan kanan menopang kepalanya, sementara tangan kiri melempai mengikuti bentuk pinggang. Tetapi mata Niru.... Matanya memandang tembus ke langit. Atap rumah yang terbuat dari daun nipah yang seharusnya menghalangi mata Niru memandang ke luar, ternyata bocor. Cahaya bulan sepenggal yang masuk ke dalam rumah melalui lubang itu tepat menimpa mata Niru, sehingga alat indera tersebut seperti menyala dan melahirkan suasana yang sungguh sulit dilukiskan kata-kata.
Ia menerangkan tentang bagaimana ia berlari dari satu rumah ke rumah lain dengan napas terengah-engah. Tidak sekali dua ia tersampuk benda-benda yang tak sempat dilihatnya sehingga ia tersungkur ke tanah. Luka pada beberapa bagian tubuhnya tak terasakan lagi. Ia berharap agar semuanya ini hanya mimpi kosong belaka, tetapi semakin besar harapan itu bergumul dalam pikiran dan perasaannya, semakin besarlah kesadarannya tentang kenyataan ini. Di antara rentangan sikap semacam itulah ia tergantung dan saling tarik-menarik. Ketika ia sampai pada ujung rentangan menolak, dengan cepat ia meluncur ke rentangan menerima kenyataan tersebut. Sebaliknya belum sempat ia menyadari keadaan dirinya menerima kenyataan itu dengan hati jernih, ia meluncur pula ke rentangan yang menolak.
Entah berapa kali Jim bolak-balik di antara satu rumah ke rumah lain yang sekaligus menyaksikan orang-orang sudah menjadi batu tanpa mengerti mengapa ia bertindak demikian. Seolah-olah bagian-bagian tubuhnya bekerja sendiri-sendiri. Ketika kakinya melangkah sesungguhnya tangannya hanya ingin berdiam, bahkan kadang-kadang terasa kalau kaki kanan ingin ke depan, kaki kirinya ingin ke belakang atau ke samping kanan maupun ke samping kiri, sementara otaknya melayang entah ke mana. Walhasil ia harus mengeluarkan tenaga sedemikian banyaknya dengan sia-sia. Ia merasa amat letih, tetapi ia tidak dapat mengenal keletihan itu sehingga tidak mampu pula diatasinya. Ia seperti orang sasau --di antara gila dengan waras.
Ia kemudian terhenyak di anak tangga rumah Niru tanpa dapat membagi perasaan. Dengan sedikit sisa kesadaran sebagai orang waras, selanjutnya ia memekik keras berkali-kali. Entah apa yang dipekiknya, ia tak tahu. Pekikan itu pulalah yang seolah-olah mengantarkan kakinya melangkah ke warung telepon dan kembali menelepon aku.
“Tapi aku bertambah kecewa, bertambah kecewa karena kau menyuruh aku pulang; seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa di sini. Seharusnya, kita berbuat sesuatu menghadapi kenyataan ini. Bukan bermaksud menjemputku pulang. Di mana letak dirimu sebagai manusia?”
Aku diam.
“Kemanusiaanmu sudah tak berguna. Kau sudah mati. Kau sedikit pun tidak memiliki perasaan,” Jim marah besar. Suaranya lantang berkumandang, terasa seperti jarum menusuk telingaku.
“Kau bangsat, taik kucing!” Jim menghempaskan gagang telepon.
Tanpa merasa tersinggung sedikit pun, aku juga meletakkan gagang telepon. Meraih kursi dan pelan-pelan meletakkan tongkeng di kursi, kemudian menyandarkan tubuhku ke sandarannya sehingga aku benar-benar rebah. Memandang ke langit-langit, aku berkata pelan, “Kalau saja Jim tahu bahwa nanti malam, giliranku, keluargaku, dan para tetangga yang menjadi batu seperti sudah dialami sekian banyak warga sebelumnya. Kalau saja Jim tahu, semuanya ini sudah direncanakan secara detil sejak dua tahun lalu sehingga aku mengetahui apa-apa saja yang dialaminya di desa Niru walaupun ia tidak menelepon.”
Sungguh, hanya dengan menjadi batu saja kami dapat bertahan.***
(Dimuat dalam Horison, September 1997)
Para Pemburu
Oleh: Agus Noor
Purnama mengapung di telaga, sesekali meleleh oleh arus gelombang. Kami memandanginya dengan gamang. Angin bergegas pergi oleh kedatangan kami. Seperti juga semua makhluk yang ketakutan mendengar gemuruh kaki kami. Hingga kami merasa benar-benar sendiri, ditangkup sunyi daun-daun yang mandi cahaya. Kami beristirahat di pinggir telaga itu, hanyut oleh pikiran kami. Meletakkan semua senjata yang selama ini kami jinjing dan gendong. Sebagian dari kami langsung merebahkan tubuh atau bersandaran pada batang pohon dan gundukan batu. Sebagian lagi menyempatkan diri membersihkan wajah terlebih dahulu, melulurkan kesejukan pada lengan dan kaki yang bengkak.
Inilah perjalanan terjauh dan terlelah kami, sebelum sampai ke telaga ini. Inilah pertama kali kami merasa begitu lelah, setelah bertahun-tahun memburu buruan kami yang bergerak begitu cepat. Kami seperti mengejar kilat. Seluruh kekuatan dan pengalaman kami sebagai pemburu telah kami keluarkan sampai tandas, tetapi kali ini, buruan kami tetap saja melenggang bebas. Membuat kami begitu merasa terhina. Seakan sia-sia kebesaran kami sebagai pemburu yang telah berabad-abad mengabdikan hidup dan peradaban kami hanya untuk berburu. Kami adalah bangsa pemburu yang besar. Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal memburu sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah membentuk kami sebagai pemburu paling ulung.
Lagu-lagu kami adalah lagu-lagu perburuan. Legenda kami adalah penaklukan puluhan binatang buruan. Kami tak pernah tergoda menjadi petani atau pedagang. Tak ada yang lebih terhormat bagi kami, nenek moyang dan anak cucu kami, selain menjadi seorang pemburu besar yang sanggup merobohkan gajah dengan satu gerakan. Cerita-cerita penaklukan, mengantar tidur anak-anak kami. Menjadi hutan lebat yang tumbuh dalam kepala mereka. Setiap dari kami dibesarkan dalam belukar. Kami sudah tahu bagaimana menyembelih wildebeest, sejak kami masih dalam kandungan. Kami mengembara dari satu benua ke benua lainnya, untuk memburu binatang-binatang, bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi hidup, tetapi lebih untuk kebanggaan dan kehormatan.
Sampai kemudian kami menyadari, betapa binatang-binatang di dunia ini perlahan-lahan telah habis kami buru. Membuat kami cemas, melihat kehormatan kami akan goyah suatu ketika. Apalah arti kami bila tak lagi hidup sebagai pemburu. Barangkali, binatang-binatang itu juga sudah terlalu hafal dengan kami. Maka mereka buru-buru menjauh pergi, begitu tercium bau kami. Tetapi mungkin juga memang binatang-binatang itu sudah habis kami bunuhi. Gajah, badak, macan, rusa, ular, serigala dan segala macamnya. Sampai kelinci, tupai dan tikus, telah lenyap kami tangkap. Maklumlah, dari tahun ke tahun, jumlah kami memang makin membesar. Setiap bulan hampir seratus anak kami lahir, sementara orang-orang tua kami bagai tak bisa mati. Mereka sudah renta, tapi tak gampang mati. Banyak di antara kami yang sudah berusia 7890 tahun, tetapi masih sanggup berlari mengejar antelope, kemudian menghantam kepala binatang itu dengan kepalan tangan, hingga pecah berantakan. Dan itulah kehormatan.
Tapi sudah lama kami kesulitan menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami katakan tadi, semua binatang telah habis kami buru, kami bunuh.
“Perburuan tak mungkin berhenti!”
“Kita akan cepat renta bila sehari tak memburu apa pun!”
“Takdir tak bisa dihentikan.”
“Lantas bagaimana?”
“Apa pun yang terjadi kita mesti memburu sesuatu!”
“Memburu apa?”
Itu membuat kami terdiam. Sampai kemudian ide brilian terlontar. Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri. Mereka kami lepas ke tengah hutan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian kami memburu mereka. Itu menjadikan kami begitu bahagia. Bahkan membuat kami lebih merasa sempurna sebagai pemburu. Memburu budak-budak itu lebih mengasyikkan daripada memburu binatang. Mereka lebih menantang untuk kami taklukkan. Anak-anak kami pun nampaknya lebih suka dengan perburuan macam itu. Lantas, perlahan-lahan, kebiasaan baru tumbuh dalam kehidupan kami. Menjadi tradisi. Kami tak lagi memburu binatang, tapi manusia. Kami membeli juga para penjahat yang telah divonis mati. Kepada mereka kami tawarkan kebebasan, “Masuklah dalam hutan, lari. Selamatkan kehidupanmu. Jangan cemas, meski kami akan memburu kalian, kalian masih punya kesempatan untuk memperpanjang kehidupan. Meskipun kalian juga tak luput dari kematian. Tapi itu lebih baik bagi kalian, daripada mati di tiang gantungan: tak lagi punya pilihan. Mati dalam perburuan ini lebih terhormat bagi kalian. Anggap semua ini hanya permainan. Semoga nasib baik bersama kalian... .”
Dan para pesakitan itu pun kami lepas dengan upacara kehormatan. Kami iringi dengan lengkingan terompet dan juga dentuman meriam. Selamat jalan. Inilah hidup yang sesungguhnya, yang membuat kalian akan merasa memiliki harga sebagai seorang pesakitan. Adakah yang lebih menyenangkan, selain melakukan perburuan semacam ini? Mereka kami beri kehidupan sekaligus batas kematian. Setiap detik adalah pertarungan. Banyak juga di antara kami yang mati dalam perkelahian. Para penjahat itu, memang makhluk yang tak gampang menyerah. Liat dan sigap. Dan itu, sungguh, sasaran perburuan yang menggairahkan.
Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-kisah kami menjalar ke banyak negara, banyak orang di luar suku kami, mendatangi kami, untuk ikut menikmati perburuan itu. Mula-mula, banyak di antara kami yang menolak, karena hal itu dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa menolak, ketika dari banyak yang datang kepada kami itu adalah para jenderal, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar. Para bangsawan, yang memang memiliki kebiasaan berburu seperti kami dan memiliki lahan-lahan perburuan yang luas, mengijinkan tempat-tempat itu untuk kami kelola dan kembangkan sebagai ladang perburuan yang lebih menantang dan menyenangkan. Bahkan mereka menjanjikan kami lahan-lahan perburuan yang lebih luas. Para jenderal menyediakan kami senjata-senjata paling mutakhir. Para pengusaha mensubsidi kami modal bermilyar-milyar. Para raja dan kepala negara mempersilahkan kami untuk memilih rakyat mereka sebagai binatang buruan. Hingga kami tak lagi kekurangan buruan. Kami tak hanya punya kesempatan memburu para penjahat yang telah divonis mati, tetapi kami bebas memilih siapa pun yang paling menyenangkan kami buru. Malah sering para raja dan kepala negara memberi kemudahan kami dengan memberi lisensi untuk menghabisi para tokoh oposisi yang tak mereka sukai, para demonstran untuk kami habisi. Juga kaum intelektual yang selama ini mereka benci. Ah, begitu melimpah buruan kami.
Kami bangun juga istana-istana, tempat kami berpesta setelah seharian berburu. Kami menjadi kaum pemburu yang kian kokoh dan terhormat. Kami perlahan-lahan meninggalkan cara hidup kami di hutan, dengan setiap malam tidur di ranjang yang bersih dan nyaman. Kami tak lagi hanya terbiasa dengan bunyi pedang, tetapi juga denting gelas dalam kehangatan pesta.
“Ini darah seorang penyair untukmu, jangan sedih... .” Gelas kami beradu, dan kami tertawa bahagia. Begitulah memang mestinya nasib penyair yang tak menulis syair puja-puji bagi keagungan kami. Hidup pemburu agung!
Kami pun menjadi kelompok pemburu yang besar, yang melintas bagai badai dan gelombang, menggulung apa pun yang kami sukai. Di antara kemeriahan pesta, kami terus menuliskan sejarah kami yang agung. Perburuan bukan lagi perkara kebesaran dan kehormatan, tetapi juga, terkadang, keisengan. Kami, yang telah menjadi sekelompok pemburu yang paling kuat, dengan dukungan dana yang melimpah, pasokan senjata yang bagai anggur mengalir dalam gelas-gelas kami, menjadi tak tertandingi. Kami berdiri di puncak menara peradaban, sendiri. Itu sering membuat kami terusik sunyi. Apakah arti kekuatan bila tak ada tantangan yang sepadan? Tak ada lagi yang sanggup melawan kami. Ketika kami menjarah perempuan dan membunuhi anak-anak, ketika kami memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp konsentrasi, ketika kami menembaki anak-anak Palestina, ketika kami memburu dan membantai orang-orang muslim di Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak negara untuk meluluhlantakkan apa saja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan. Tak ada lagi yang berani menggertak kami, sehingga permainan menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami terus memburu, kami terus bergerak dari benua ke benua dari zaman ke zaman, melintasi gelombang waktu, menumpuk tengkorak kepala korban kami hingga menggunung sampai menyentuh awan, tetapi kami selalu dirundung sunyi. Apalah arti semua itu bagi jiwa pemburu kami? Semua itu bukan lagi gairah petualangan dan tantangan, tetapi penaklukan yang membosankan. Karena kami sudah terlalu kuat, hingga pertarungan menjadi tak sepadan. Kami seperti kehilangan buruan yang mengasyikkan.
“Kita harus melakukan sesuatu. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi pucat dan pasi. Jangan biarkan mereka menjadi lembek karena rasa sunyi ini.”
Lalu seseorang yang paling tua di antara kami, yang sudah berumur 100 juta tahun lebih, menyarankan kami agar mengumpulkan para kiai. Suaranya sudah gemetar, seakan maut sudah menyentuh bibir orang tua itu.
“Untuk apa mengumpulkan para kiai itu?”
“Aku sudah mencium ajalku. Dan aku ingin, sebelum maut menjemputku, aku ingin menikmati perburuan yang paling menggairahkan.”
“Apa hubungannya dengan para kiai itu?”
“Kumpulkan mereka, dari seluruh dunia. Suruh mereka menyediakan malaikat untuk kita buru!”
Kami terpukau oleh gagasan itu. Membuat darah kami menggelembungkan jiwa pemburu kami. Gairah menjalar, membangkitkan imajinasi kami. Ya, malaikat, kenapa kami tak memburu malaikat?
“Jibril! bagaimana kalau kita minta Jibril!”
“Kami bersorai, anggur segera kami tuang dalam gelas, bersulang, menyambut hari depan kami yang gilang gemilang. Panji perburuan berkibar. Kami segera menghimpun topan. Kami segera mengeluarkan seluruh senjata kami. Dan tentu, kami segera mengumpulkan para kiai. Mereka kami datangkan dari semua penjuru, kalau perlu dengan paksa dan kekerasan.
“Kami ingin Jibril,” kata kami kepada mereka. “Kami tak mau tahu, bagaimana cara kalian mendatangkan Jibril bagi kami. Apakah kalian akan shalat sepanjang hari? Apakah kalian akan berdoa dan mengaji? Apakah kalian akan menangkar atau menjebak Jibril dengan sebuah perangkap? Kami tak mau tahu dengan itu semua. Sekarang, katakan kepada kami, kapan kalian bisa menyediakan Jibril bagi kami?”
Kami tatap wajah para kiai itu, mencari kepastian dalam mata mereka.
“Baiklah,” tegas kami, “kalian kami beri waktu satu bulan. Bila selama ini kalian tak bisa mendatangkan Jibril bagi kami, kami akan membikin perhitungan sendiri... .”
Mereka, para kiai itu, kami giring ke sebuah istana kami yang paling megah. Tetapi mereka menolak, dan meminta kami untuk membawa mereka ke sebuah kaki bukit di mana ada sebuah masjid kecil di pinggir hutan. Kami turut kemauan mereka, meski sesungguhnya heran. Apalagi ketika kami melihat sendiri masjid itu. Benar-benar masjid kecil yang tak terawat. Seluruh bangunan itu terbuat dari pelepah kayu, telah lapuk. Luasnya tak lebih dari lima kali lima tombak. Bagaimana tempat sekecil itu menampung jutaan kiai yang kami himpun dari seluruh penjuru ini.
“Kalian jangan bercanda!” teriak kami.
“Kalianlah yang bercanda, dengan meminta kami mendatangkan Jibril.”
“Baiklah... .”
Lantas kami membiarkan satu persatu para kiai itu masuk masjid kecil itu, membuat kami begitu ternganga, ketika hampir separo dari jutaan kiai itu sudah masuk ke dalam masjid, tetapi masjid itu tak juga penuh. Pintu itu terbuka untuk menerima siapa pun masuk ke dalamnya. Barisan kiai masih antri di depan masjid itu, berkelok-kelok mengikuti gigir bukit, seperti barisan semut yang begitu tertib menuju lubang sarang mereka. Jutaan kiai masuk ke dalam masjid yang bagi kami hanya cukup untuk tidur dua puluh orang, itu pun pasti sudah berhimpitan, bagaimana mungkin? Tapi, itulah yang kami saksikan. Sampai kemudian semua kiai telah masuk dalam masjid itu. Dan kami mendengar gema dzikir dari dalam sana, mengalun menidurkan rerumputan, sepanjang hari sepanjang malam. Gema itu melambung, menyentuh langit. Kadang kami merasa ada yang menggemericik dalam hati kami karena gema itu. Seperti batang-batang pohon yang bergoyang itu, seperti daun yang melayang-layang itu, yang hanyut dibuai dzikir para kiai. Kami memagarbetis masjid itu, tak membiarkan seekor tikus lolos dari amatan kami. Kami tak mau kecolongan. Kami tak mau ditipu para kiai itu, jangan-jangan semua itu sihir belaka. Kami terus berjaga, takut mereka akan keluar dan meloloskan diri ketika kami tertidur.
Satu bulan lewat, menguap begitu cepat, bersama angin dan embun. Membuat kami cemas, sekaligus marah, ketika para kiai itu tak juga muncul dari dalam masjid. Segera kami kirim seseorang untuk menemui mereka. Namun orang itu tak kembali. Membuat kami tambah cemas menunggu, kemudian kembali mengirim utusan untuk menemui para kiai di dalam masjid itu. Tetapi seperti yang pertama, orang kedua kami pun tak kembali. Kami panggil namanya, tetapi tak kunjung keluar jua. Kami kirim utusan kembali, memperingatkan para kiai bahwa waktu sudah habis buat mereka. Tapi seperti yang pertama dan kedua, utusan kami ini pun tak muncul lagi meski kami sudah menanti lebih lima hari. Begitulah berkali-kali, setiap orang yang kami kirim untuk menjumpai para kiai, tak pernah muncul kembali. Sementara suara dzikir itu terus saja bergema, membuat udara bergetar dan perasaan kami gemetar. Lantas kami tak bisa lagi sabar. Kami berteriak menyuruh para kiai itu keluar, tetapi hanya gema dzikir membalas suara kami. Kami sudah cukup punya pengertian, bukan?
Jangan salahkan kami. Dan kami segera menyerbu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemarahan kami menyalakan api di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada mesjid itu. Kami bakar masjid itu, hingga kayu-kayu bergemeretakan, dan api melahap cepat, membumbung.
Namun dzikir itu masih kami dengar, di pucuk api berkobar.
Pada saat itulah, seseorang di antara kami berteriak, membuat kami tengadah ke puncak api. Dan, ya Allah, di sana, di puncak kobaran api, kami melihat selesat biru cahaya menatap kami, dengan sayap terentang sampai ujung paling jauh dari semesta.
“Jibril!!”
“Jibril!!”
Seketika kami berteriak, antara takjub dan panik, gembira dan tak percaya, melihat impian kami sudah di depan mata. Apakah ini keajaiban yang dikirim bagi kami?
“Buru!”
Teriakan itu, mendadak menyadarkan kami, betapa memang inilah yang selama ini kami tunggu-tunggu. Jibril, kini telah muncul di hadapan kami, kenapa kami malah bengong begitu? Maka, dengan sigap kami segera meraih senjata-senjata kami. Tombak, anak panah, desing senapan mesin, roket dan basoka, dengan cepat berlesatan ke arah selesat cahaya biru itu yang dengan cepat bergerak dengan sayap mengepak.
“Kejar!”
Kami pun melesat, mengejar Jibril. Bertahun-tahun kami memburu. Membiarkan kaki kami koyak oleh duri, membiarkan rambut dan jenggot kami memanjang tak terawat. Kami tak punya waktu untuk memikirkan itu semua. Jiwa pemburu kami bergelora oleh gairah perburuan kali ini. Inilah perburuan paling menakjubkan bagi kami. Setelah berabad-abad kami hidup sebagai pemburu, setelah bermacam pengalaman perburuan membuat kami jadi pemburu sejati, inilah sesungguh-sesungguhnya perburuan yang sejati. Tombak terus beterbangan, roket terus berlesatan, jaring-jaring baja telah kami rentangkan, ranjau-ranjau telah kami tanam, perangkap telah kami pasang, agar kami mampu meringkus Jibril. Inilah buruan kami yang abadi. Ke mana pun Jibril melesat, kami memburunya.
Sampai kami tiba di pinggir telaga ini, yang menyimpan bayangan bulan. Sebagian besar dari kami kini benar-benar renta. Kami tak sempat istirahat. Kami tak pernah tidur di satu tempat, hingga telah lama anak-anak kami tak lahir. Kami begitu sibuk memburu Jibril. Banyak dari kami yang mati dalam perburuan ini, dan kami pun tak sempat menguburkannya. Karena kami harus terus mengejar Jibril. Kami tak mau kehilangan jejak. Dan memang, kami benar-benar tak pernah punya waktu istirahat. Ketika kami baru saja rebahan dan membasuh kelelahan kami di telaga itu pun, mengharap kesegaran akan membuat tenaga kami kembali muda, kami sudah harus kembali pergi ketika pada bayangan bulan, kami lihat jejak cahaya.
“Ke sana!” seseorang dari kami berteriak, dan langsung melesat. Di seberang telaga sana, kami melihat buruan abadi kami, mengepakkan sayap-sayap cahaya-Nya.
Maka kami pun kembali bangkit, meraih peralatan berburu kami. Segera menghambur, melanjutkan pemburuan abadi kami.***
Yogyakarta, 1995-1998
(Dongeng Buat Mas Danarto)
(Dimuat dalam Horison, Januari 2000)
Gank
Oleh: Syahril Latif
1
Gang Haji Abdul Jalil adalah sebuah gang sempit yang terletak persis di depan Kuburan Karet yang terkenal itu. Sebuah gang sempit yang tak berarti, sehingga kau tidak akan menjumpai dalam kartu pos bergambar untuk promosi pariwisata, seperti Taman Mini, Monas, Dunia Fantasi Ancol, Hotel Indonesia, dan lain sebagainya. Tapi inilah gambaran kota yang sebenarnya, di mana penduduk tinggal tumplek berdesakan.
Anak-anak remaja mengganti huruf pada Gang itu dengan k, sehingga menjadi Gank. Tak tahu siapa yang mengubahnya. Tapi semua orang seperti sudah maklum, dapat menduganya, siapa lagi kalau bukan salah seorang di antara kami.
Belakangan, ada yang mengubahnya: Gank Haji Abdul Jackal. Namun, apa pun namanya, semua orang mengenalnya sebagai Gang Haji Abdul Jalil. Kadang-kadang, untuk cepat dan mudahnya, oleh tukang, beca terutama, disingkat saja menjadi Gang Jalil.
Apalah arti sebuah nama.
2
Di gang itulah aku dan teman-teman tumbuh dan dibesarkan. Di sana, di jalanan yang sempit itu, anak-anak bermain gundu, main bola kaki, berkejaran, main layangan, main petak-umpet, main galasin. Sementara gadia-gadis kecilnya duduk bersila main masak-masakan, main congklak, atau melompat-lompat main engklek. Dan apabila ada mobil lewat, yang terpaksa merayap pelan bagai keong, anak-anak menyibak ke tepi. Kemudian mengumpul kembali memenuhi jalanan, setelah mobil berlalu. Seakan, seperti setelah biduk lalu kiambang bertaut.
3
Penghuni gang itu terdiri dari berbagai suku, yang bercampur-baur menjadi satu dengan penduduk asli Betawi, sehingga kami tak merasa lagi perbedaannya. Kami telah lebur jadi satu: penghuni Gang Haji Abdul Jalil.
4
Rata-rata, semua kami miskin dan karenanya kami saling mengenal dan akrab satu sama lain.
5
Sebagai gambaran kemiskinan, rumah-rumah, kami pun sederhana, berukuran kecil dan tak teratur bentuk dan susunannya.
Ada juga satu dua rumah gedung yang berpekarangan luas dan bertaman, membuat kehadirannya bagaikan putri raja di tengah rakyat gembel, yang segera mengundang tamu atau teman kami yang datang berkunjung, bertanya heran: “Rumah siapa yang cakep itu?”
“Itu rumah pegawai pajak,” begitu kami selalu menjelaskan.
“Pantas!” jawab mereka. Dan tanya lagi, “Yang di sebelahnya?”
“Rumah pegawai Bea Cukai.”
“Lebih pantas lagi,” kata mereka, dan tanya lagi, “Yang di seberangnya?”
“Itu mah, pegawai negeri biasa saja.”
“Kok sama hebatnya?”
“Maklum, menjabat bagian basah.”
“Bagian apa?”
“Tau, dengar-dengar bagian pembelian atau perizinan. Tak tahulah. Kok, ngurus hal orang lain, sih?
6
Di sini dapat kau jumpai segala macam orang: tukang sol sepatu, tukang kayu, montir, kenek, pedagang kaki lima, penjual nasi Padang dan Tegal, tukang cukur, guru sekolah, dosen, pelayan toko, sopir, makelar, satpam, tukang listrik, pegawai negeri dan swasta, bidan, perawat dan lain sebagainya.
7
Jika lagi kehabisan, ibu-ibu kami saling pinjam garam atau korek api atau bumbu masakan kepada tetangga. Kadang-kadang mereka saling antar-mengantar sayuran atau makanan kecil. Kadang menumpang menjahit baju anak di rumah tetangga yang punya mesin jahit. Dan andaikata ada pompa air yang rusak, atau listrik yang korsleting, tetangga lain akan cepat turun tangan memberikan bantuan perbaikan.
8
Sesekali, ibu-ibu kami terlibat juga dalam pertengkaran kecil. Biasanya, soal anak-anak, yang berantem. Anehnya, sementara ibu-ibu itu masih bersungut-sungut, anak-anak mereka sudah berbaikan kembali.
9
Kurasa gang kami tak pernah sepi. Macam-macamlah sumber kebisingan itu: radio atau kaset yang tak henti-hentinya distel, teriakan anak-anak bermain, teriakan penjaja sayuran dan makanan. Dan lepas tengah hari, di saat warga sedang terkantuk-kantuk disengat panas Jakarta, terdengar mengalun suara anak-anak mengeja Juz Amma dari madrasah:
“Aanakum, Ainakum, Iinakum, Aunakum, Uunakum, Baanakum, Bainakum, Biinakum, Baunakum, Buunakum, Taanakum, Tainakum, Tiinakum, Taunakum, Tuunakum, Tsaanakum, Tsainakum, Tsiinakum, Tsaunakum, Tsuunakum ....”
Ejaan itu mengalun dalam irama yang khas, mengasyikkan, mengantar kantuk, melayang jauh dihantar angin siang.
10
Apa saja yang dimasak tetangga, tak bisa dirahasiakan. Aromanya akan mengambang ke mana-mana, ke sepanjang gang. Yang paling cepat ketahuan, kalau ibumu menggoreng ikan asin. Yang ini, sungguh menitikkan air liur.
11
Lepas Isya dan makan malam, boleh dikata selalu ada permainan domino, lebih terkenal: gaple, di luar pekarangan rumah. Pada malam minggu, bisa-bisa berlangsung hingga beduk subuh. Begitulah cara ayah-ayah kami melepaskan lelah setelah seharian mencari nafkah membanting tulang. Atau juga, begitulah cara mereka membanting kesal ke atas meja gaple. Tak tahulah.
12
Berbeda sedikit dengan hari-hari biasa, sekali sebulan pada petang Jumat, orang tua-tua kami mengadakan pengajian di mesjid. Kami yang muda-muda, sebagai basa-basi, ikut hadir. Nampaknya kehadiran kami melegakan hati mereka.
Di tengah pengajian sedang berlangsung, ayah-ayah kami pada mengantuk. Heran, kalau main gaple semalam suntuk, mata itu bisa melotot terus sampai pagi, ditingkah senda gurau dan gelak tawa tak berkeputusan. Menurut Ustadz Malik, setengah melucu, setengah menyindir: “Mata yang mengantuk kalau dibawa mendengar pengajian, tanda setan sedang mengencinginya!”
Tiba-tiba, semua membuka matanya lebar-lebar, sedikit kaget dan lantas tertawa. Menertawakan siapa?
13
Jika yang tua-tua senang gaple, kami yang muda-muda pun tak mau ketinggalan duduk menggerombol: ngobrol ngalor-ngidul, menyanyi dan main gitar, persis pengamen jalanan. Tempatnya: gardu jaga siskamling. Kami menyebutnya ‘markas’.
Semua jenis lagu kami senang, mulai dari dangdut, pop sampai keroncong. Tapi yang mendapat tempat di hati kami, agaknya dangdut dan pop itulah. Sekali-sekali ada juga yang mencoba seriosa, atau belagak memainkan musik jazz dengan gitarnya, tapi tak kena: sumbang, dan yang lain segera menyorakinya. Sesekali kami larut juga dalam irama gambus.
14
Sekali-sekali, anak-anak cewek ikut nimbrung bersama kami, tak sampai larut. Sebentar mereka sudah dipanggil ibu mereka. Atau disusul adiknya disuruh pulang.
15
Bagiku, semua anak-anak Gang Haji Abdul Jalil adalah teman. Tapi rasanya lebih intim dengan Hamzah, Martin, Najib, Tony Handoko dan beberapa anak tertentu.
Usia kami tak jauh beda, hampir sebaya. Dulu ketika masih kecil, kami sering berantem. Sekarang tidak, kami saling menjaga, saling menenggang. Dan kalau bisa ingin berbuat lebih baik kepada yang lain.
16
Hamzah gitaris andalan kami, sejak jadi mahasiswa Sastra Inggris paling getol nyanyi Inggris. Agaknya dangdut seperti sudah dilupakannya. Atau dikuburnya? Pokoknya lagu Barat melulu. “Inggris, ni yee?!” ejek anak-anak.
“Maklum, deh,” tambah yang lain.
Tapi Hamzah tidak marah. Tak acuh.
Dan sekarang, bacaannya bukan komik lagi, bukan cerita silat lagi. Pokoknya, berat, deh! Bayangin, kalau dia lagi sendirian di teras rumahnya, kalian tahu, dia sedang baca apa?
George Bernard Shaw atau Hemingway atau Tolstoy atau Albert Camus atau Dokter Zhivagonya Boris Pasternak atau Thomas Elliot!
Pokoknya: berat!
17
Kalau si Martin lain lagi. Sejak jadi pemain teater, gayanya overacting. Selangit. Ia ikut salah satu kelompok teater yang sering mentas di TIM. Di situlah ia bercokol.
Gaya bicaranya, gerak tangan, jalannya, cara tersenyum, ekspresi wajah dan lain sebagainya, kayaknya bukan lagi Martin yang kami kenal selama ini: Martin yang lugu dan agak pemalu. Tiba-tiba saja ia telah menjadi manusia aneh di tengah-tengah kami. Merasa lebih penting dan menonjol dari yang lain. Gayanya mirip-mirip Rendra, maunya.
Kalau ia bicara, seakan ia jauh dari kita, nada suaranya agak dilantunkan bagaikan orang berdiri di atas panggung. Agaknya ia tak bisa lagi mengecilkan suaranya. Kami tak tahu pasti, apakah dia masih bisa berbisik.
Anak-anak hampir tak dapat menahan ketawa.
Akhir-akhir ini ia agak jarang nongol di ‘markas’? Waktunya dihabiskannya di TIM, disibukkan oleh latihan-latihan teaternya. Kadang-kadang ikut mentas ke kota-kota lain!
18
Kukira, si Najiblah yang membuat kami semua merasa heran. Itu, Najib anak Ustadz Malik, guru ngaji di gang kami. Soalnya setelah gagal sipenmaru, benar-benar ia putus sekolah. Mau melanjutkan ke Perguruan Tinggi Swasta, ia tahu diri, tak mungkin, biaya kuliah terlalu tinggi, di luar jangkauan.
Apalah yang dapat diharapkan dari pencarian ayahnya yang ustadz. Maka dengan senjata ijazah SMA-nya diterobosnya rimba perkantoran kota Jakarta. Masuk kantor keluar kantor. Akan hasil perburuannya itu, bagaikan buku yang belum habis dibaca kita sudah tahu jalan ceritanya, tentu kau sudah dapat menebak. Tapi Allah memang Maha Pemurah, Pengasih dan Penyayang, akhirnya Najib mendapat juga apa yang dicarinya, kalau itu diartikan secara harfiah: kerja. Pokoknya, kerja. Apakah ia suka atau tidak.
Nah, bersamaan dengan itu Allah ingin menguji Najib, menguji keimanannya. Agaknya ia kalah. Satu-satunya perusahaan yang mau menerimanya adalah sebuah Pub, rumah minum. Artinya, setelah Najib ditest, kemudian ikut training untuk jadi Bartender, Najib mulai bekerja di sana.
Sejak itu kami kehilangan seorang teman kongkow. Karena Najib bekerja malam hari hingga subuh. Siang hari ia tidur, seperti musang.
Ayahnya Ustadz Malik tak tahu putranya bekerja di tempat haram itu. Yang ia tahu, sesuai menurut apa yang dikatakan Najib ketika suatu kali ayahnya bertanya, Najib bekerja sebagai Satpam di sebuah perusahaan. “Jangan lupa shalat,” pesan ayahnya.
Jelas Najib berbohong. Dan ia tahu betul berbohong itu dosa. Bekerja di bar itu dosa. Dan bahkan kini ia sudah tak shalat lagi. Lingkungannya tak memungkinkan, dan di mana mau shalat, dan tak ada tempo, dan ia tak mau jadi bahan tertawaan teman-temannya.
Sebenarnya, Najib merasa sangat terhimpit, tapi dilakoninya terus. Sampai kapan?
Dan kami, dan semua orang di gang, merasa berkewajiban menyimpan rahasia ini kepada Ustadz Malik. Orang tak ingin menghancurkan perasaannya.
19
Sebaliknya, siapa sangka, jika Allah berkehendak memberi hidayah kepada hambanya, Tony Handoko yang agak ugal-ugalan itu, anak pegawai pajak yang gedongan itu, bersikeras pada papanya mau masuk pesantren. Ketika hal itu disampaikan, bukan main kagetnya sang papa, bagaikan disambar petir di siang bolong. Kaget, heran, berang, bingung, tak alang kepalang.
Teriak papanya: “Mau jadi apa kau?! Mau jadi santri miskin?!” Suaranya menggelegar sepanjang gang. Selanjutnya diberondongnya Tony dengan omelan tak berkeputusan, bagaikan rentetan tembakan senapan mesin sebagaimana yang kau lihat dalam film Rambo, atau kayak petasan gantung waktu sunatan. Papanya menyesalkan sangat keinginan Tony itu. Papanya sudah berangan-angan supaya Tony jadi akuntan dan akan mengirimnya ke Amerika. Papanya menganggap keputusan Tony itu benar-benar gila.
Setelah pernyataan pemberitahuan itu kepada papanya dan diberondong habis-habisan, Tony bungkem, merunduk terus, tak membantah sepatah pun, sampai papanya reda dan terhenyak di kursi.
Beberapa hari kemudian, kami, Tony dan aku berangkat naik kereta api ke Jawa Timur, ke Pesantren Bangil. Tony memintaku. Ia memerlukan teman dalam perjalanannya. Bahkan ia minta aku menemaninya selama seminggu di pesantren. Untunglah hal itu diizinkan Pak Kiai, pimpinan pesantren itu.
20
Sehari setelah keberangkatan Tony, papanya jatuh sakit. Begitu Surat Kilat Khusus yang kami terima, pada hari ketiga, dari ibu Tony. Ia diminta ibunya pulang sebentar untuk menjenguk papanya. Tapi Tony tak mau. Dan sebagaimana dikatakannya dalam surat kepada ibunya, kepadaku ia berkata: “Nanti sebentar papa akan sembuh juga. Papa memang selalu begitu. Maunya perintahnya saja yang mesti diturut.”
Aku mencoba melunakkan hatinya, “Toh tidak apa pulang buat sebentar, bukan?”
“Tidak sekarang,” jawabnya pasti. “Sekarang saya lagi kesal sama papa. Coba, Ma, saya dibilang sudah sesat? Dituduh mendapat pengajian yang sesat? .... Dalam batin, saya bertanya: siapa yang sesat? Saya atau papa? Apa yang papa fikirkan hanya duit melulu ... seakan dengan itu dapat dibeli semuanya: gengsi, martabat, kesenangan ... tapi miskin rohani. Dunia, dunia dan kesenangan melulu.… Apa dengan kekayaan itu dapat dibeli kebahagiaan akhirat? Papa sudah dipengaruhi oleh Dajjal yang bermata satu, hanya mencari kesenangan dunia…. Tidak! Saya tidak akan pulang! Saya sudah bosan dengan suasana rumah!”
Tony menarik nafas panjang, nampak kesal. Dan katanya: “Coba fikir, masak papa tega menuduh saya subversif. Ikut pengajian gelap, pengajian subversif, pengajian yang disusupi faham komunis. Jelas ini fitnah! .... Ya, Allah. Engkaulah Yang Maha Tahu! Dan papa sampai hati akan mengadukan kelompok pengajian kami kepada yang berwajib, agar semua kami ditangkap, guru ngaji kami ditangkap! La hawla wa la quwwata illa bi 'l-Lah.
Kini, kulihat air matanya menggenang, hampir menangis.
Lanjutnya: “Kalau tidaklah karena takut dosa, menjadi anak durhaka, hampir saya tidak bisa memaafkan papa. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah memberi papa taufiq dan hidayah. Saya percaya masih tersimpan benih-benih iman dalam dada papa. Sekarang sedang tersapu oleh gemerlapnya keindahan dunia
21
Sebenarnya, yang suka “ekstrim” bukan Tony Handoko seorang. Ada lagi. Kau lihatlah si Aisah, teman Maryam (nanti kalau ada tempo aku cerita padamu), teman kami juga. Nah, Aisah yang satu ini, sekarang pakai jilbab (itu istilah yang ngepop sekarang, tak lain tak bukan, itu kata lain dari pada kerudung). Dan kesan pertama kita melihatnya, persis seperti kaum wanita pasidaran Iran, anak buah fanatik pengikut Imam Khomeini, sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah atawa koran-koran. Belakangan ada lagi yang menyebutnya pakaian wanita Ikhwanul Muslimin Mesir, pimpinan Imam Hassan Al-Banna. Tapi, apa pun namanya, menurut Ustadz Malik, “Itulah pakaian Muslimah yang sebenarnya.”
Pakaian yang menutup aurat. Sesuai dengan apa yang termaktub dalam Al-Quran, surah Al-Ahzab ayat 59: “Hai, Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, istri-istri orang mu'min. Hendaklah mereka mengulurkan kain kerudung/jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, agar mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun-Penyayang.” Dan dari Hadis Rasulullah Saw. dapat saya kutipkan sebuah Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a.: suatu ketika Asma binti Abu Bakar masuk ke tempat Rasulullah sedang Asma memakai baju yang tipis (membayang tubuhnya), maka Rasulullah melengah seraya berkata: “Hai Asma, wanita yang telah sampai masa haid tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini,” dan beliau menunjuk kepada muka dan kedua telapak tangannya.
Sebenarnya, masih ada beberapa ayat dan hadis, tapi Saudara-saudara dapat mencarinya sendiri dalam Al-Quran, misalnya pada An Nur ayat 31, Al A’raaf ayat 26 dan beberapa Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad!
Pokoknya, sejak Aisah menjadi eskrim, maaf, ekstrim itu, di mana saja, kapan saja, ia selalu berjilbab! Anak-anak yang iseng, menjulukinya dengan “pakaian ninja”. Tapi Aisah tak acuh saja.
Dan sejak itu, kayaknya Aisah tak punya lagi barang sepotong pun baju model lain. Kayaknya semua pakaian rok, blus yang dulu, baik yang maxi, midi, apalagi mini, sudah dibakar ludes! Atau dihanyutkan ke Kali Malang (tak jauh dari gang kami).
“Apa pakaian-pakaian yang dulu itu sudah kau sedekahkan, barangkali, Aisah?” Suatu kali aku coba menduga kepadanya.
“Itu namanya, sama saja kita membagi dosa kepada yang lain,” jawabnya. “Menyuruh orang membuka aurat, ia berdosa dan aku pun berdosa. Dan dosaku dua kali lipat: dosa karena telah memberi yang salah, dan dosa yang dilakukan orang itu.”
“Kau ini aneh, Aisah,” kataku pula. “Dulu sebelum begini malah kau seorang modis, perancang busana.... Sekarang siapa yang mau menjahitkan pakaian padamu kalau hanya jilbab melulu?”
“Lupakanlah itu,” katanya. “Itu waktu saya masih jahiliyah. Semoga Allah mengampunkan ketidaktahuanku. Dan siapa yang mau menjahitkan kepada saya? Terserahlah, siapa yang mau saja. Rezeki di tangan Allah.”
Mantap sekali ia, fikirku.
Aisah boleh bermantap-mantap. Tapi lihatlah betapa cobaan yang dihadapinya. Gara-gara pakaian jilbab itulah, Aisah mendapat kerepotan di sekolahnya (sebuah SMA Negeri di bilangan Kebayoran Baru). Oleh kepala sekolah, ia dianggap melanggar peraturan seragam sekolah, walau warnanya sudah putih di atas dan abu-abu di bawah (sudah disesuaikan Aisah). Namun ia tetap dianggap melanggar. Soalnya: jilbab yang kayak ninja itu, baju lengan panjang dan rok yang komprang kedodoran itu!
Kepala Sekolah sudah memberi peringatan beberapa kali, lisan dan tulisan, dengan ancaman sewaktu-waktu bisa dikeluarkan dari sekolah. Aku tak tahu bagaimana kesudahannya. Yang kutahu Aisah tetap tegar. Berkata mantap kepada kami anak-anak gang.
“Salah apa saya jika saya mengamalkan ajaran agama saya?! Toh, hal itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar Empat Lima kita! Baca tuh pasal 29 ayat 2, bahwa negara menjamin kemerdekaan dan kebebasan setiap warga negara untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan dan untuk beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh agama maupun kepercayaan itu! Nah, mana yang lebih tinggi kedudukan hukumnya UUD 45 atau Peraturan Seragam Sekolah?!”
“Jelas UUD 45, dong,” jawab kami spontan memberi semangat dan membenarkan Aisah. Dan bertepuk tangan serempak.
Aisah melanjutkan: “Itu tuh, kalau mau ditertibkan juga, tertibkanlah siswa-siswa yang suka berantem itu, yang terlibat narkotik itu, yang mabuk-mabukan itu, yang merokok itu, yang suka keluyuran di jalanan atau ke disko pada jam-jam pelajaran! Ke sana alamat penertiban itu! Bukan kepada hak asasi orang?! Orang yang baik-baik seperti kita-kita ini lagi, ini enggak ge-er, ya (senyum, aduh manisnya)....”
Lagi-lagi kami keplok, senang sekali. Tiba-tiba seseorang memberi komando: “Tepuk pra-mu-ka!” Plok plok plok... plok plok plok... plok plok plok plok plok plok plok. Semua bertepuk kegirangan bagaikan anak-anak pramuka.
Rupanya Aisah belum selesai, belum merasa puas, katanya sambil setengah berbisik, mencorongkan kedua telapak tangannya ke moncong: “Jangan-jangan kepala sekolah itu bekas PKI, ‘kali. Kan hanya orang-orang PKI yang sangat anti agama?”
“Ya, ‘kali,” celetuk kami, membenarkan.
Mengembangkan kedua tangannya, mengangkat bahu, Aisah mengeluh: “Boleh jadi semua kita telah menjadi orang-orang munafik terhadap agama yang kita anut. Tilawatul Quran kita rayakan secara besar-besaran dengan biaya jutaan, tak tanggung-tanggung! Tetapi sebaliknya, pengamalannya kita jegal. Kita curiga dengan berbagai prasangka. Apakah ini tidak munafik namanya? Atau mungkin ada penamaan lain?”
“Munafiiiik...!” teriak anak-anak serempak.
“PKIiiiiiiii...!” tambah kami lagi.
22
Di mana pun, dasar anak-anak, suka becanda, suka menggoda. Apabila Aisah lewat di depan ‘markas’, tak pernah luput ia jadi godaan. Begitu ia lewat, anak-anak yang tadinya asyik-asyiknya menyanyi dangdut atau pop, segera mengalihkan iramanya ke kasidahan:
“Indung-indung kepala lindung
Hujan di udik di sini mendung
Anak siapa pakai kerudung
Mata melirik kaki kesandung...”
Aisah terus berlalu dengan senyum-senyum dikulum. Mungkin, dalam hati masing-masing kami, berkata: “Alangkah manisnya anak ini...?”
23
Suatu kali sedang aku asyik mentes kaset yang akan kubeli di sebuah toko di Benhil, kulihat Aisah berjalan seorang diri pulang sekolah. Serombongan cowok SMA yang berpapasan dengannya menggoda Aisah dengan sikap agak kurang sopan, mengitarinya seakan hendak memangsa, persis kayak segerombolan anjing hendak berebut tulang.
“Waduh, alimnya.”
“Sorangan wae?”
“Mari, gue anterin, yuk?”
“Ntar lu digampar bokapnya!”
“Enggak apa asal gue dapat anaknya yang ca'em.”
Dan macam-macam lagi.
Namun Aisah diam saja. Jalan terus.
“Wah, kalian ini tak tahu aturan!” ujar yang lain belagak memarahi teman-temannya. “Ucapin salam dulu, dong.”
“O ya lupa, assalamu'alaikum, Neng?”
Dengan lembut Aisah menjawab, “Wa'alaikum salam.”
Anak-anak pada sorak kegirangan.
Kuatir mereka menggoda lebih jauh lagi, buru-buru aku keluar, kupanggil Aisah dengan suara lantang untuk mengagetkan anak-anak itu. Aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Aku berhasil. Mereka menyingkir secara teratur. Sekilas kudengar.
“Ada cowoknya, Mek!”
Lalu kutarik Aisah ke toko kaset.
“Kau tidak diapa-apakan mereka?” tanyaku.
“Tidak.”
“Anak-anak berengsek!”
“Mereka cuma iseng.”
“Kurang ajar,” kataku, geram. “Tapi, ya ampun, kenapa anak-anak gituan kau kasih hati?”
“Kasih hati bagaimana?”
“Salam mereka kau jawab. Cuekin aja!”
“Dosa lho, salam tak dijawab. Bukankah salam itu doa, yang artinya selamat dan sejahteralah anda. Sepantasnya kita mendoakan mereka pula.”
“Ya, ampun...,” kataku tak habis fikir pada Aisah yang satu ini.
24
Lain Aisah, lain pula Maryam. Gadis kecil yang kemarin-kemarin ini masih ingusan, masih suka main congklak dengan teman-teman sebayanya, main engklek, main loncat karet, tiba-tiba seperti disunglap, dari kuncup mekar menjadi bunga yang indah. Gadis kecil itu tumbuh jadi remaja yang amat cantik dan mempesona. Dan Maryam sadar akan perubahan dirinya.
Penampilan yang pertama mengejutkan banyak orang adalah ketika suatu kali ia ikut acara perkenalan penyanyi remaja di TV. Sejak itu ia dikenal secara luas. Semua orang kagum padanya. Bukan pada nyanyian, melainkan kecantikannya yang membius itu.
Maka sejak itu, kami tak merasa heran, kalau berganti-ganti saja pemuda-pemuda luar datang berkunjung ke rumahnya. Kemudian pasangan anak muda itu pergi ke luar rumah untuk latihan menyanyi. Di lain waktu, ada lagi yang mengajaknya pergi menonton, ke restoran, dan macam-macam acara lain. Dan, selalu dengan muka baru: penyanyi tenar ibukota, pemain film yang sedang in, anak teater yang lagi ngepop, pemain tenis yang lagi ngetop.... Dan yang paling akhir anak orang kaya bermobil Baby Benz. Pokoknya selalu dengan cowok baru!
Dan setiap kali Maryam dan padangannya lewat di depan ‘markas’, maka terdengar bisik-bisik yang dikeraskan:
“Baru lagi, ni yee?!”
25
Maryam memang cantik. Yang tercantik di gang kami. Bahkan yang tercantik di ibukota republik ini, demikian menurut Hamzah.
Kukira, Hamzah menaruh hati pada Maryam. Hamzah belum pernah mengatakan secara terus terang.
“Tapi apalah arti kecantikan jika tidak disertai dengan ‘kematangan dan kedalaman’,” kata Hamzah pula, berfilsafat. Kali ini tampak serius dengan muka murung.
Dari bacaan berat mana pula Hamzah memperoleh ‘kematangan dan kedalaman’ itu, aku tak tahu.
26
Suatu hari, berani-berani takut, kutanyakan pada Hamzah apakah ia mencintai Maryam.
“Tidak!” jawabnya tegas.
Aku terperangah.
27
Tapi akhimya aku tahu juga, mungkin anak-anak lain tidak, ketika Maryam menyebarkan undangan perkawinannya dengan anak penguasa Real Estate, yang ber-Baby Benz itu, Hamzah mendadak pindah ke Rawamangun. Indekos di sebuah kamar yang sederhana. Memutuskan hidup jadi pengarang dan berhenti kuliah. Sekarang ia bekerja di sebuah majalah.
Dalam puisi-puisi dan cerpen-cerpennya dapat kutangkap kesepian hati yang dibawanya ke mana pun ia pergi, seperti ada sesuatu yang terlepas dan hilang, yang tak mungkin dapat diraih kembali.
28
Dari bisik-bisik anak-anak cewek dapat kutangkap bahwa sebenarnya Maryam pun mencintai Hamzah. Namun perasaan ini disimpannya sendiri. Ia tak hendak dan berani menyatakan kepada ayah ibunya. Maryam seorang anak yang baik, seorang anak yang patuh. Dan terlebih dari semua itu, ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Untuk itu ia siap berkorban. Semoga hal itu menjadi tanda baktinya buat mereka yang telah bersusah payah, membesarkannya dalam kemiskinan yang berkepanjangan.
29
Akhir-akhir ini, aku tak merasa betah lagi duduk lama-lama di ‘markas’ kami. Dalam senda gurau dan nyanyian diam-diam menyelinap kesepian ke dalam hatiku. Di antara kawan tak kulihat lagi Hamzah, yang pergi membawa luka hatinya dalam kesepian di kamar indekosnya jauh di Rawamangun sana. Mungkin di malam-malam begini ia sedang mengetik puisi-puisi atau cerpen-cerpen, tempat di mana ia melarikan kepedihannya.
Tony Handoko mungkin sedang terbenam dalam kitab kuning bertuliskan Arab gundul. Atau mungkin ia sedang larut dalam zikir yang dalam. Nun jauh di desa Bangil, terpencil, jauh dari keramaian kota.
Najib mungkin sedang mencampur minuman haram satu dengan yang lainnya, sambil mengenang ayahnya sedang mengaji di rumah. Batinnya tertekan. Namun ia tak bisa berbuat lain.
Sedang mengapakah Martin sekarang? Lakon apakah yang sedang diperankannya sekarang? Hamlet tokoh yang selalu dibuai bimbang? Lama ia tak pulang. Aku tak tahu sedang mentas di kota mana ia sekarang.
Masing-masing teman pergi membawa nasibnya sendiri-sendiri.
30
Suatu hari ayahku berkata dengan sedikit keras kepadaku: “Syamsu, apakah kau tak merasa malu, nongkrong terus dengan bocah-bocah itu? Teman-teman sebayamu sudah pada bekerja! Contohlah mereka itu! Lagi pula, ayah sudah tak sanggup lagi membiayai sekolahmu. Adik-adikmu masih banyak yang perlu ayah perhatikan.”
31
Malam hari ketika aku pulang dari mencari pekerjaan yang belum juga kudapatkan, aku selalu lewat di depan ‘markas’. Ramainya masih seperti biasa. Tapi sudah tentu tak kulihat lagi di sana Najib, Tony Handoko, Martin dan Hamzah. Tiba-tiba aku merasa teramat sepi, tertekan sedikit oleh perasaan rindu.***
(Dimuat dalam Horison, Agustus 1990)
Lonceng
Oleh: Motinggo Busye
Jam dengan merk Junghun itu belakangan ini menyengsarakanku. Istriku menjadi perempuan yang bawel. Ini karena ulah jam itu. Padahal barang itu kami beli untuk menambah kebahagiaan istriku dan aku. Tinggi jam itu setinggi tubuhku. Bila loncengnya berbunyi, maka terdengarlah sebuah nyanyi. Nyanyian ini mengisi kalbu istriku dan kalbuku sendiri.
Walaupun akhirnya mengesalkan, tetap saja aku mencoba memetik kenangan lama yang indah setelah jam Junghun itu mengisi ruang tengah rumah kami. Kami dulu mempertimbangkannya cukup lama untuk memutuskan di mana harus diletakkan jam yang sebesar itu. Jika ditaruh di ruang tamu, kelak tamuku akan cepat pulang, sebab kehadirannya merasa dikontrol oleh jam. Sedangkan kami berdua membutuhkan tamu.
“Sebentar lagi kita akan merayakan ulang tahun perkawinan kita yang kedua puluh lima, ya Sam?” ujar istriku suatu sore. Sore itu, aku dan Ina sedang duduk-duduk berdua sembari minum teh dan makan jeruk. “Hari itu ulang tahun perkawinan perak kita.”
“Kamu tentu ingat tanggalnya, Ina,” kataku.
“Betul, Sam. Kita menikah pada 10 November dua puluh lima tahun yang lalu.”
“Kalau begitu tinggal 4 hari lagi.”
“Ingat enggak, siapa yang datang pada pesta kita itu?”
“Mantan pacarmu,” kataku.
“Juga mantan pacarmu,” katanya.
Kami ketawa bersama. Kami suka mengulangi lelucon yang sama itu setiap ada bekas teman sekelas hadir. Tentu lelucon ini menambah semarak suami-istri. Orang yang kurang rasa humor mungkin heran. Mereka harus diberitahu, bahwa mantan pacar istriku adalah aku, dan mantan pacarku adalah istriku Ina.
Kuingat sekali, hanya untuk perkawinan perak itu saja kami berdua sangat sibuk.
Kami telah pergi ke Pasar Glodok untuk mencari sebuah barang yang bisa dipajang di rumah dan punya kesan abadi. Setelah dua tiga toko kami masuki, tak ada satu pun benda yang berkenan di hati kami berdua. Ketika kami lewati beberapa toko, secara mendadak dan serentak langkah kami berhenti. Terdengar satu nada indah mirip lagu yang menyentuh perasaan kami. Aku dan istriku saling menatap.
“Kita menemukan pilihan jam antik,” ujar istriku.
“Ini benar-benar abadi,” kataku.
“Tanyakan harganya, Sam,” kata istriku. Makin larut perkawinan kami, makin sering aku disuruh istriku dengan nada setengah memerintah. Apa suami-suami yang lain di dunia ini juga seperti itu, aku tak tahu dan tak perlu tahu.
Istriku melotot setelah aku sebutkan harga yang diberitahukan pemilik toko jam itu.
“Merknya Junghun,” ujar sang pemilik toko. "Merk ini nomor satu. Di toko saya cuma tinggal satu ini.”
“Ya kurangilah separohnya,” ujar istriku.
Kebiasaan istriku adalah sama dengan kebiasaan banyak perempuan di jagat ini: menawar terlalu rendah dan berlama-lama untuk jenis satu barang. Kadang sudah pergi kembali lagi ke toko sebagaimana terjadi pada hari itu.
“Coba Nyonya cari di seluruh Glodok ini. Cuma saya yang jual merk Junghun ini, dan ini juga satu-satunya.”
Istriku telah dikunci tanpa alternatif. Lalu, ketika uang dihitung, kurang sedikit. Sebagaimana biasa, aku menggenapi kekurangan itu. Ketika setiba di rumah, istriku bilang, “Sebenarnya aku menguji apakah kau masih kikir. Maka kutinggalkan beberapa lembar di tasku agar kamu ikut membayar juga, Sam.”
Memang begitu. Dari masa berpacaran dulu, kami menganut aliran navy-navy. Kami meniru para pelaut yang suka bayar masing-masing bila makan di restoran. Kebiasaan ini bukan selalu buruk. Kami justru menciptakan humor baru ketika harus ber-navy-navy.
Jam Junghun telah kami taruh di ruang tengah. Dia selama tiga hari kami tunggu berbunyi. Saat itu adalah pukul 00.00 pada hari 10 November.
Ketika loncengnya berbunyi menyanyikan irama indah itu, aku meremas jari tangan istriku. Ketika loncengnya berbunyi 1 kali, remasanku lebih kuat lagi. Dan ketika gema 12 kali masih mendengung, aku dan istriku berpelukan.
Lonceng jam itu memberikan zat rohaniah pada diri kami. Kebetulan kami berdua menyukai musik klasik. Tapi irama lagu lonceng jam ini melebihi seluruh musik klasik kesukaan kami.
Bertahun-tahun kami menikmati duduk berdua menunggu lonceng jam itu bernyanyi setiap seperempat jam. Ketika pada seperempat jam, dia menyanyikan satu bait saja. Ketika setengah jam, dia menyanyikan dua bait. Ketika tiba tiga perempat jam, tiga bait, dan pada waktu satu jam, empat bait komplit.
“Kita tak pernah merasa tua oleh lonceng jam ini ya, Sam?” kata istriku.
“Ya. Padahal jam ini sudah 15 tahun di rumah kita,” kataku.
“Mungkin kamu betah di rumah karena lonceng ini,” kata istriku lagi.
“Tapi aku betah di rumah bukan karena lonceng jam ini. Aku betah di rumah karena sudah memasuki pensiun, dan terutama karena adanya kamu.”
“Sudah gaek masih gombal,” kata istriku.
Pernah juga istriku bertanya, “Kenapa kamu tidak kawin lagi saja, Sam?”
Makin tua dia masih pencemburu seperti dulu. Tetapi pertanyaan itu agak aneh di telingaku.
“Aku tahu, ketika aku harus berhenti sewaktu kita menikah sudah pasti ada seorang gadis yang senang,” katanya.
”Si Aimah,“ sambungnya.
Peraturan kantor memang, jika ada dua orang menikah di satu ruang kerja, yang perempuan harus diberhentikan dengan hormat. Jadi Ina cuma berdinas 1 tahun kerja saja.
Orang yang sama sekelas di SMA, sama pula di perguruan tinggi, dan sama pula selesainya, akan sama nasibnya jika melamar di kantor yang sama di bidang yang sama pula: jika menikah, yang perempuan harus mengalah menjadi penunggu rumah.
“Kalau aku bicara soal si Aimah, kamu suka membisu. Padahal dia amat mencintaimu, Sam.”
Aku memilih diam. Akhirnya aku bertengkar juga karena dia lagi-lagi menyebut nama Aimah.
“Kalau kamu kawin sama Aimah, mungkin kamu sudah punya anak dan cucu. Perkawinan kita 40 tahun tanpa anak dan cucu,” ucapnya. Dan inilah yang bikin aku marah dan kami bertengkar.
Ketika pertengkaran itu terjadi, lonceng jam menyanyikan lagu itu. Sebelum empat bait lagu itu bergetar, aku dan Ina sudah berpelukan.
“Kita tak perlu bertengkar lagi. Yang ada di sini adalah aku, kamu dan jam dengan loncengnya itu.”
Tetapi, ajaib sekali. Biasanya kalau jam itu mati, aku bisa memperbaikinya. Yaitu menaikkan kerekan rantai tiga bandulan itu, lalu menyetel jarum panjang dan jarum pendeknya untuk menyesuaikan waktu. Kali ini loncengnya berbunyi tidak cocok lagi dengan waktu. Dia tidak berbunyi 12 kali pada waktu pukul 12.
“Kau bilang dulu kamu menguasai ilmu listrik. Tapi kenapa betulin jam saja sudah salah. Bahkan ngawur. Pukul 12 bunyinya 6 kali.”
“Sudahlah. Jangan jadi nenek sihir lagi, Ina,” kataku.
“Itu logis saja, Sam. Aku kan tidak bilang kamu tolol.”
“Sudah, diam kamu. Kamu makin tua makin cerewet.”
“Kamu makin tua makin tolol.”
“Aku mau keluar.”
“Mau cari Aimah?”
“Bawel kamu.”
Aku mencari ahli jam. Menurut pemilik toko di Glodok itu, ada orang Arab di Tanah Abang, namanya Mahboub Assegaf, ahli pembetulan jam dan piano. Ketika aku tiba di rumah Arab itu, orang di rumah itu mengatakan, bahwa “Ami Assegaf” sudah wafat. Kalau mau beli buah kurma dan kismis, ada dijual di sini.
“Aku tak bertemu dengan orang Arab itu,” kataku pada Ina.
“Oh si Aimah itu turunan Arab ya?”
“Coba tenang, Ina. Kita jual saja jam Junghun ini. Kita beli yang baru,” kataku.
Dia marah. Bahkan mencak-mencak. Dia katakan, "Jam ini penuh kenangan. Bertahun-tahun dia membuat kita berdua menikmati irama loncengnya yang pernah bernyanyi merdu. Jangan, Sam, kita tak boleh merusak kenangan yang diberikannya.”
Aku mengalah. Tapi itu tidak berarti aku tak 'kan bertengkar lagi dengan Ina. Dan aku gigih terus memperbaikinya. Dan istriku terus pula menertawakan kegagalanku walau tanpa perkataan “tolol”.
Dua tahun menjelang ulang tahun perkawinan emas kami, aku terus berusaha agar jam Junghun itu bisa menyanyi lagi, dan bunyinya harus tepat 12 kali pada pukul 00.00 tengah malam 10 November. Dimulai dengan cekcok mulut lagi, aku pergi ke Jatinegara. Seorang tukang arloji kubawa ke rumahku. Istriku senyum mencemoohinya.
“Tenang dulu, Ina. Dia ini ahli jam generasi penerus ayahnya. Bahkan dia mengenal Ami Mahboub Assegaf,” kataku ketika memperkenalkan tukang arloji itu kepada Ina.
Istriku mendehem. Anak muda itu bekerja keras. Keringat membasahi bajunya, sekaligus menyebarkan bau ketiaknya di ruang tengah kami yang nyaman. Akhirnya dia berkata putus asa: “Maaf, jam ini berbunyi 36 kali."
“Cukup, Nak. Memang dia gila,” kata istriku.
Yang mulai menjadi korban jam Junghun adalah Ina. Dia mulai berlangganan dokter spesialis penyakit dalam. Ia menderita tekanan darah tinggi. Suatu malam dia menjerit karena satu mimpi buruk. Katanya, jam gila itu berbunyi 120 kali.
“Sabar, Ina. Kita jangan panik. Manusia tidak boleh ditaklukkan oleh benda yang bermerk Junghun. Aku akan coba perbaiki sendiri. Manusia harus mengalahkan benda mati ini,” kataku yakin.
Istriku menyebut lagi perkataan “tolol” itu. Ini menambah semangatku, sampai aku berhasil! Aku merayakan pesta emas 50 tahun perkawinan kami. Tengah malam pukul 00.00 jam itu bernyanyi empat bait komplit, lalu mendentingkan loncengnya 12 kali. Sayang, saat itu istriku tidak mendengarnya, dan tak 'kan pernah mendengarnya.
Ya, kurayakan pesta emas perkawinan itu seorang diri, diiringi kemerduan lonceng jam Junghun yang amat sangat indah.***
(Dimuat dalam Horison, September 1999)
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
0 komentar:
Posting Komentar