Oleh: Ramadhan KH



“Arigato gozaimasu! Arigato gozaimasu!” (Terima kasih! Terima kasih!), Okayama-san me­ng­ucapkan kata-kata itu sam­bil membungkukkan ba­dan­nya dalam-dalam, be­be­rapa kali. Sungguh, de­ngan pe­rasaan haru dan sua­ra hik­­­mat ia lepaskan isi ha­ti­nya itu dengan tulus. Ia me­rasa benar-benar gembira. Gem­­­­­­bira sekali. Wajahnya jadi cerah seperti langit yang ada di atasnya.

Beberapa meter di depannya berdiri Pak Marta yang menerima ucapan terima kasih Okayama itu.

“Massugu! Massugu! Maju lagi! Maju lagi! Ayo, ke sana lagi! Lihat dari sana, dari tepian yang lebih jauh.” Pak Marta menganjurkan Okayama supaya melang­kah lebih jauh, melihat lautan itu dari tempat yang le­bih dekat ke pantai, sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

“Hay! Hay!” kata Okayama sambil lari-lari kecil, mengikuti anjuran Pak Marta. Ia senang mengikuti petunjuk Pak Marta, sahabat besannya, orang yang dirasakannya benar menjadi penolongnya di hari tua.

Di sebuah onggokan ia berhenti, lalu menatap ke kejauhan. Nikmat benar dirasakannya menerawang, mengikuti goresan kaki langit, menyapu lautan yang biru dan mengikuti gelombang yang beruntun bergantian sampai ke pantai.

“Tempat ini bagus sekali. Negeri ini indah sekali,” gumamnya, lalu menarik senyum sendirian.

Dari kejauhan ia berteriak dalam bahasa yang jauh daripada dikuasainya, tetapi sudah mulai dipelajarinya dengan tekun: “Bagusu-neh, bagusu-neh,” (Bagus, bagus) sambil melambai-lambaikan tangannya.

Seraya melangkah ia mereka-reka kembali ren­ca­na­nya yang sudah bermalam-malam bersama menan­tunya, Subarkah, membicarakannya. Dan tentu saja ia pernah merundingkannya juga dengan anaknya, Michiko, yang kali ini tertinggal di Osaka, tidak ikut terbang ke Jakarta.

“Bagusu-neh! Bagusu-neh!” ulangnya di depan Pak Marta.

“Senang? Senang punya tanah ini?” tanya Pak Marta dalam bahasa Jepang.

“Aaahh, senang, senang,” kata Okayama. “Tetapi ... tetapi ... ini bukan tanah saya. Ini tanah Subarkah dan Michiko. Bukan tanah saya.” Ia seperti mau menjelaskan kepada semua pihak, kepada penduduk di kampung itu, kepada pepohonan dan binatang-binatang yang ada di sana, bahwa tanah itu bukan miliknya, melainkan milik anaknya dan menantunya. Tetapi hati kecilnya tidak bisa membohonginya. Ia merasa, ia memilikinya juga, karena uang yang dibe­likan tanah itu adalah uang simpanannya. Dan ia gem­bira, sangat gembira, bahwa Subarkah mene­tap­kan, tanah itu atas nama istrinya, Michiko, di da­lam surat-surat jual belinya. Malahan terakhir sudah di­cantumkan dalam sertifikatnya, bahwa tanah itu milik Michiko, Nyonya Subarkah.

Pak Marta mengajak bicara Okayama-san dalam bahasa Jepang. Ia masih bisa berbicara dalam bahasa yang dulu pernah dikuasainya dengan benar selama jaman Jepang. Waktu itu ia duduk di sekolah mene­ngah di Bogor dan terkenal di antara sesama teman seko­lahnya sebagai murid yang paling pintar bahasa Je­pangnya.

Kalau tidak terpatahkan oleh kekalahan Jepang dalam peperangan, kemungkinan besar ia sudah dikirimkan ke Negeri Sakura untuk melanjutkan sekolahnya.

Bicaralah lagi Okayama-san dalam bahasanya. “Saya sekali lagi mesti mengucapkan terima kasih kepada Pak Marta-san, sudah menolong anak-anak saya, sehingga mereka mendapatkan tanah ini. Bagus sekali tanah ini. Kalau terlaksana, anak-anak saya akan mendirikan rumah di sini, dengan kebunnya yang bagus. Apa pohon kaki (kesemek, bahasa Jepang) bisa tumbuh di sini?”

“O, bisa tentu bisa. Disebutnya di sini, pohon kesemek,” jawab Pak Marta.

“Apa bunga anggrek bisa tumbuh di sini?”

“Bisa, bisa,” jawab Pak Marta meyakinkan sambil menatap Okayama. “Semua tanaman bisa hidup di sini. Lihat itu, pohon-pohon kelapa bagus-bagus di sini. Lihat, pohon pisang, pisang yang disukai Oka­yama-san, pisang raja, pisang ambon, pisang lumut, bisa hidup di sini. Asal diurus. Tanahnya, dicampur sedikit dengan tanah dari kebun saya di Cisaat. Bakal jadi bagus. Tidak ada tanaman yang tidak bisa tum­buh di sini. Tapi jangan minta pohon sakura tentunya. Hahahaha,” Pak Marta tertawa, diikuti oleh Oka­ya­ma-san. Juga Subarkah, sang menantu yang juga ada di sana mendampingi sang mertua, tertawa lebar. Ia pun senang bisa membuat mertuanya gembira. Bukan spesial karena istrinya jadi pemi­lik tanah itu di sana, melainkan karena mer­­tua­nya bisa mendapat kesi­buk­an yang bakal disukainya: bercocok tanam, di hari tuanya.

Bahwa Okayama-san, kini merasa senang, uang­nya bisa dipakai anaknya untuk membeli tanah di te­­pi pantai di daerah Sukabumi Selatan itu, adalah dise­babkan pengetahuannya bahwa di Jepang musta­hil ia bisa membeli tanah seluas itu. Di Jepang, apalagi di seputar Tokyo, orang menjual tanah dengan ukur­­an jengkalan, bukan meteran, karena mahalnya, se­ju­ta Yen sejengkal. Sekarang, di tepi Samudera Hindia yang elok itu, Michiko, anaknya, bisa memiliki tanah seluas satu hektar lebih. “Untuk siapa lagi uangku itu kalau bukan untuk Michiko (anak tung­gal­­nya),” Okayama pernah berpikir. Sebab itu ia be­ri­kan uang senilai empat puluh juta rupiah, sebegitu yang diper­lukan Michiko, untuk membeli ta­nah di kam­pung Sindanglaut, di tepi pantai di Sukabumi Se­lat­an itu. Okayama yang sudah pensiun dan diting­galkan istri­nya meninggal tiga tahun yang lalu, punya rencana ber­libur tiga kali dalam setahun, dan setiap kali berada di Sindanglaut untuk barang dua atau tiga bulan.

Di atas tanah seluas satu hektar lebih milik Michi­ko itu, sekarang sudah ada rumah kecil yang masih seder­hana. Tapi nanti rumah tua itu akan diganti de­ngan bangunan yang bagus. Okayama sudah punya gambar bentuk rumah yang akan dibangunnya di atas tanah milik keturunannya itu. Sebuah rumah potong­an Jepang dengan jendela-jendela dan atap potongan khas Jepang. Dan gambaran itu buat Okayama seka­rang, dengan uang yang sudah diperhitungkannya cukup, bukan mimpi pagi. Rencananya pun sudah bisa mulai dilaksanakan.



***

Okayama-san bersahabat kental dengan Kaku­tani-san. Mereka sama-sama duda. Tinggal tidak berjauhan. Dan sewaktu Okayama sudah berada lagi di Osaka, segera ia bercerita kepada Kakutani bahwa ia baru saja membeli tanah di Indonesia. Ia ceritakan de­ngan terperinci sekali berapa harga tanah yang dibelinya, atas nama siapa, di mana letaknya Sidang­laut itu, pemandangan seputar itu, dan sebagainya dan sebagainya.

“Dan bagusnya, bagusnya pemandangan di sana! Luar biasa! Pasti kamu pun akan suka,” kata Oka­yama-san kepada Kakutani-san yang juga mem­punyai cukup uang simpanannya.

“Dan istimewa lagi,” cerita Okayama kepada Kakutani, “dari tempat itu, selain ada laut yang bagus, ada daerah yang masih dihuni oleh badak, badak yang terkenal. Kesukaan kamu kan masuk hutan, melihat bina­tang langka?”

“Ya, ya. Apa sungguh begitu?”

“Sungguh!” kata Okayama meyakinkan.

“Tapi, bagaimana saya bisa membeli tanah di sana? Saya kan tidak punya menantu orang Indonesia,” kata Kakutani dengan nada rendah, seperti sudah tidak punya harapan.

“Mengapa kamu tidak punya akal?” kata Oka­yama. “Kamu kan belum punya istri lagi. Kalau saya seusiamu (--Kakutani lebih mu­da--), saya akan kawin lagi. Dan... akan mengambil wa­nita Indonesia. Cantik-can­tik lho, hahaha....”

Kakutani seperti kena gon­cangan yang membuat ia sa­dar. Ia pun pernah bertemu de­ngan ibu Subarkah, besan Oka­yama, waktu datang di Osaka. Dan terkenang sam­pai sekarang, bahwa wanita itu benar cantik walaupun sudah ada usia. “Pasti ia can­tik sekali waktu mudanya,” komentar Kaku­tani di dalam hatinya waktu ia pertama kali melihat­nya. Tetapi ia tidak punya keinginan lebih jauh, karena ayah Subarkah masih ada.

“Cantik-cantik?” Kakutani seperti mau tambah diyakin­kan, dengan nada suara se­per­ti berhasrat.

“Beneran. Cantik-cantik. Kalau kita jalan ke Sindang­laut itu, kita bisa lewat di se­buah kampung yang nama­nya Kadupandak. Saya per­nah di­ba­wa oleh kenalan saya lewat di sana. Di Kadu­pan­dak itu ba­nyak sekali yang cantik. Sung­guh! Kamu bisa bergairah lagi jika lewat di kam­pung itu. Saya pun waktu lewat di sana, merasa jadi muda kembali. Hahaha! Dan... dengan uangmu yang ada di bank se­­­karang, kamu bisa dapatkan seorang. Kebiasaan mereka pun baik-baik. Mereka tidak perlu kita ajar lagi supaya tinggal di rumah. Itu sudah kebiasaan mereka.”

Kakutani jadi berpikir beneran. Dan terbetik has­rat­nya: “Kalau istriku setia, dan mau menerima ke­bia­saanku, dan bisa membeli tanah yang luas, me­nga­­pa pula aku mesti simpan uang itu? Dengan uang cuma sebegitu mustahil aku bisa membeli tanah di negeriku sendiri ini. Kalau istriku menyenangkan, mengapa aku harus kikir dengan tidak memberikan uang kepadanya untuk bisa memiliki tanah yang luas dan bagus, dengan pemandangan yang indah seperti yang diceritakan Okayama? Aku pun tentu bisa me­nik­­matinya.” Ia pun ingat, bahwa ia sekarang sudah se­batang kara.



***

Saatnya pun tiba. Kakutani dan Okayama sudah ada di Jakarta.

Malahan ini yang kedua kalinya sudah. Mereka berdua menginap di sebuah hotel di jalan Thamrin, dan sudah pergi ke Sindanglaut.

Cepat sekali prosesnya, Kakutani memperlihat­kan seorang wanita yang luma­yan cantiknya kepada Okaya­ma. Ia, pada mulanya, tidak ceritakan bahwa Nurse­ha, be­gitu nama perem­puan yang dibawanya, dite­mu­kan­nya di sebuah panti pi­jat.

“Kami akan kawin,” kata Kakutani kepada Okayama.

Waktu ada kesempatan ber­­dua Kakutani dan Okaya­ma, Kakutani bercerita bahwa Nur­seha memenuhi hasratnya dan tidak banyak permintaan­nya. “Hanya meminta supaya sa­ya ma­suk agamanya. Dan saya se­pakati. Nampaknya aga­­­­manya kuat. Cuma keada­an eko­no­mi­nya saja yang per­nah membawa dia ke tempat pan­ti pijat,” kata Kakutani se­te­­lah didesak di mana mere­ka bertemu.

“Kalau sudah begitu, apa bisa ia sekarang tinggal di rumah?” tanya Okayama yang ragu.

“Ia berjanji. Dan kamu yang mengatakan bahwa pe­­rem­puan Indonesia itu bisa ting­­­­gal di rumah, bukan? Nulse­ha (--ia tidak bisa meng­ucap­kan r--) sendiri sudah janji, cuma kalau ber­sa­ma saya ia akan ke luar rumah.” Kakutani sudah bisa melupakan apa yang telah terjadi dan dialami Nurseha sebelum ini. Ia bisa meng­hapus apa yang sudah-sudah. Yang dipenting­kannya hari depannya.

“Bagus, bagus kalau begitu,” kata Okayama. ”Dan soal tanah itu, bagaimana?” tanya Okayama lagi setelah ia ingat pada tanah yang sudah diinjaknya bersama, di samping tanah Michiko.

“Jadi. Tentu saja jadi. Itu kan benar bagus. Dan benar murah,” kata Kakutani. “Sesudah kami nikah, saya akan belikan istri saya tanah yang itu.” Kakutani menarik wajah bangga dan serius.

“Kapan akan nikah?” tanya Okayama-san.

“Secepatnya,” jawab Kakutani-san.



***

Benar juga. Tidak lama setelah itu. Kakutani dan Nurseha melangsungkan perhelatan di Sukabumi, disaksikan oleh Okayama. Pernikahan itu dilaksa­na­­kan di depan penghulu, setelah Kakutani meme­nuhi syarat yang diminta oleh Nurseha dan keluar­ganya.

Tanah di Sindanglaut yang berdempetan dengan milik Michiko pun kemudian dibeli Nurseha atas namanya. Lebih luas daripada yang dimiliki Michiko dan lebih mahal harganya. Tetapi terbeli oleh Nurseha yang membuat surat janji, bahwa kalau sampai ia dan suaminya bercerai, uang senilai pembelian tanah itu akan dikembalikan. Nurseha merasa pintar. Ia sudah menghitung, bahwa nilai tanah akan cepat naik, dan uang rupiah tak akan bisa mengejar harga tanah. Tetapi Kakutani-san merasa pintar juga, ia merasa senang, bahwa ia nanti bisa berlibur di tempat yang ba­gus itu, di tepi pantai yang lautnya biru, cerah langit­­nya, dan gelombangnya amat memikat. Apalagi di pagi hari, atau di sore menuju senja. Dan ia pegang surat-surat tanah itu.

“Mustahil aku bisa punya tanah sebagus itu dan seluas itu di negeriku sendiri,” pikir Kakutani. “Aku akan sering saja berada di sana.”



***

Di sebuah organisasi di kotanya, Kakutani punya sahabat akrab, Kanazawa-san, tempat ia mence­rita­kan rahasia hidupnya. Sebab itu pula ia tak ber­alang­­an men­ceritakan tentang tanah yang dibelinya, atas na­ma Nurseha yang pernah ditemukannya di sebu­ah pan­ti pijat, tapi sekarang sudah jadi istrinya.

Kanazawa-san, pemborong bangunan, tergerak juga hatinya. Ia pun ingin memiliki tanah sebagus seperti yang diceritakan temannya. “Benar murah,” pikir­nya, setelah ia membandingkan dengan harga tanah di negerinya. Soal jarak Jepang - Indonesia, tak dirasakannya jauh. Ia pun sudah beberapa kali mem­baca brosur-brosur tentang perjalanan ke Indone­sia dan apa yang bisa dilihat di negeri di se­belah selatan itu.

“Tapi bagaimana kami bisa membeli tanah di sa­na?” tanya Kanazawa kepada teman akrabnya.

“Bisa. Pasti bisa. Kata orang di sana, di sana segala bisa diatur. Pasti ada cara-caranya. Apalagi sekarang, segala di sana sudah terbuka. Kita diajak oleh mereka untuk datang ke sana, untuk usaha. Tetapi yang pasti lagi, kita bisa tinggal di sana semusim-semusim. Ka­lau musim dingin di sini, dan kamu merasa encok di sini, kita bisa tinggal di sana. Di sana kan selalu ada ma­tahari. Percayalah, kamu akan senang tinggal di sana. Pantainya bagus. Lautnya bagus, bagus sekali. Kamu tidak akan bisa membeli tanah seluas itu de­ngan seluruh kekayaanmu yang kamu miliki di sini. Tentu yang ukurannya luas yah,” kata Kakutani.



***

Kanazawa-san terbang bersama Kakutani dan Okayama ke Jakarta. Lalu mereka pergi ke Sindang­laut. Kanazawa-san takjub melihat daerah pantai Samudera Hindia itu.

“Bagaimana cara membelinya?” tanya Kanazawa.

“Ini, ini orangnya yang bisa membantu kita,” kata Kakutani sambil menunjuk seorang laki-laki yang bekerja di Kecamatan di Sidanglaut, yang tempo hari mengatur pembelian tanah untuk Michiko dan Nurseha.

“Bapak ini, Pak Kosasih, bisa menolong kita,” kata Okayama sambil memegang tangan Kosasih.

Kosasih yang pernah membantu kedua orang itu dengan urusan tanah di sana, dengan kebutuhannya, tersenyum lebar. Ia tentu saja senang. Sudah dua kali ia pernah mengatur jual beli tanah dengan orang- orang Jepang itu dan memasukkan uang ke kantong­nya sendiri lebih dari lumayan. Tetapi, sebenamya hati nuraninya pernah goyang, terasa tak menentu, tetapi keuntungan yang diperolehnya menghapus kegelisah­annya itu. “Tak ada kesalahan saya,” pikir­nya. “Yang satu kali untuk menantunya bersama anak­­­­­­­nya. Yang kedua kali untuk istrinya. Orang kita-ki­ta juga. Sah-sah saja,” pikirnya.

Okayama dan Kakutani lalu mengajak bicara Ko­sasih yang sudah siap untuk membantu. Sudah tergitik juga hati Kosasih oleh gambaran bahwa kali ini ia bisa beruntung banyak lagi. Ia mengetahui, ada sebi­dang tanah luas yang juga tidak jauh letaknya da­ri tanah Michiko. Tanah itu bekas perkebunan ke­cil, tapi sudah tidak terurus. Dan akan dijual. Teta­pi terhalang oleh beberapa rumah kampung dari ta­nah Michiko.

“Tidak jadi soal. Rumah-rumah kampung itu bisa dipindahkan,” kata Kosasih dengan menarik senyum lebar. Ia pun yakin, bahwa yang dikatakannya itu bisa jadi kenyataan. “Apa yang tidak bisa dengan uang?” pikirnya.

Ketiga orang Jepang itu pergi ke tanah bekas perkebunan kecil itu, dibarengi oleh Kosasih dan dua orang kawannya, seorang yang lebih tua, Ramdan, seorang lagi yang lebih muda, Garnida.

Ada kekurangan di tanah bekas perkebunan kecil itu yang terasa oleh Kanazawa-san. Tetapi Kosasih, lewat Okayama yang sudah tambah pintar berbahasa Indonesia, bisa meyakinkan, bahwa kekurangan yang dirasakan oleh Kanazawa itu nanti bisa diatasi. Tanah itu tidak nempel pada pantai.

Kanazawa-san menginginkan membuat semacam hotel di sana.

“Tetapi hotel akan laku kalau menempel pada laut,” kata Kanazawa kepada Okayama dan Kaku­tani.

Kosasih seperti bisa menangkap apa yang diingin­kan oleh Kanazawa. Sebab itu ia cepat berkata kepa­da Okayama: “Kami bisa atur. Tidak ada yang tidak bisa diatur di sini. Tanah yang menghalang-halangi itu, antara lahan ini dan laut, bisa diatur supaya jadi jalan ke pantai. Supaya nyambung jadi bagian tanah ini,” kata Kosasih sambil menarik wajah senyum dan meyakinkan. Ia pun yakin dengan uang segala bisa beres. Ia merasa, bahwa atasan-atasannya yang ada di Kecamatan dan di Kabupaten akan setuju, se­ham­par­an tanah yang ada di tepi laut itu digabungkan saja dengan tanah bekas perkebunan kecil itu.

Ia berpikir lagi. “Ini jadinya proyek pemba­ngun­an.” Kata "pembangunan" itu melintas sejenak saja di kepalanya, tapi menyebabkannya jadi merasa kuat. Kata pembangunan itu mengubah kesulitan yang tadi pernah mengganjal sebentar di hatinya.

“Pasti bisa! Pasti bisa!” kata Kosasih kepada Ka­na­zawa. Kemudian kepalanya digerakkannya meng­hadap ke arah Kakutani, lalu ke arah Okayama, me­minta dukungan. Ia menunggu kepastian.

Ketiga orang Jepang itu mengangguk-angguk. Lalu mereka berbicara dalam bahasa mereka. Kosa­sih mendengarkan saja, tak mengerti sepatah kata pun, tapi harapan menyelinap di antara perasaannya.

“Ya, asal benar bisa diatur begitu, tuan Kanazawa tertarik," kata Okayama.



***

Selang beberapa waktu, Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san sudah berada di Indonesia lagi. Mereka tidak membuang waktu. Sindanglaut mereka tuju.

Masing-masing mengatur kepemilikannya. Oka­ya­ma yang sekali ini didampingi Michiko dan suami­nya, Subarkah, sudah mulai dengan membangun ru­mah yang mereka cita-citakan. Rumah tua sudah di­bong­kar. Tiang-tiang baru sudah dipancangkan. Ka­ku­tani-san pun langsung mengukur-ukur tanah yang akan dipakai untuk bangunan rumah yang bakal dihuni bersama Nurseha. Ia tidak kepalang bergerak, segala bahan yang diperlukannya sudah ia siapkan dari dan di negerinya. Tinggallah nanti ia mencari tu­kang-tukang yang bakal diperbantukan kepada arsitek Jepang yang bakal membangun rumahnya itu.

Kanazawa-san dikerumuni oleh pegawai-pegawai dari Kecamatan Sindanglaut. Beberapa orang pega­wai Kabupaten Sukabumi pun ada di sekelilingnya.

Rencana bangunan hotel sudah siap. Soal tanah yang menghalang-halangi sudah terpecahkan. De­ngan duit, apa yang tidak bisa dibereskan di kampung ini, pikirnya. Dan ia sudah jadi lebih pandai, atas an­jur­an penasihatnya ia sudah menggaet orang di Ja­kar­ta penguasa penting.

Penghuni beberapa rumah yang menghalang-ha­langi antara tanah Michiko dan Kanazawa pun sudah sepakat untuk pindah. Entah berapa ongkos memin­dahkan mereka yang sebenarnya. Orang-orang Jepang itu tidak tahu. Uang siluman tak jelas masuk ke kan­tong saku siapa. Tanah yang menghalangi-halangi per­kebunan kecil dengan laut itu pun sudah diatur oleh orang-orang di kantor Kecamatan, di kantor Ka­bupaten, malahan di kantor Gubernuran, sehingga bi­sa dipakai untuk keperluan Kanazawa-san yang pu­nya uang banyak. Kanazawa-san nampak tenang-tenang saja. Sebab memang setelah diperhitungkan­nya, masih jauh lebih murah daripada jika harus mem­­bangun di negerinya.

Maka pembangunan dimulai di daerah itu.

Nampak sekali ada kesibukan di wilayah yang tadinya kampung itu. Dan bertambah lagi kericuhan di daerah itu, karena bukan saja Okayama-san, Ka­ku­­tani-san dan Kanazawa-san yang membangun di sa­na, melainkan ada Saito-san, ada Tanaka-san, Ta­ka­­hashi-san dan beberapa lagi orang Jepang yang bu­kan saja tertarik, melainkan sudah mulai membangun di daerah yang tadinya masih ladang tegalan, sawah musiman dan kebun terlantar itu.

Orang-orang Jepang itu mendengar kemungkinan-kemungkinan itu dari mulut ke mulut. Brosur-brosur pariwisata pun sampai pada mereka. Dan semua meng­­­hitung: tanah di Sindanglaut itu benar-benar ja­uh lebih murah dibandingkan dengan yang ada di Tokyo, atau yang di Osaka atau yang di Okinawa se­ka­li­pun. Mereka seperti sudah berpikir, bahwa dunia ini untuk kita semua, untuk semua penghuni bumi. “Untuk siapa saja, untuk kita, yang bisa membelinya dan membangunnya,” pikir mereka. Untuk pihak yang pintar, pikirnya. Ya, semua kedudukan pun bisa kita capai, pikir mereka. Dan mereka ingat pada beberapa kursi yang ada di sejumlah negara di luar negeri me­re­ka yang sudah diduduki oleh bangsa mereka, ke­tu­runan mereka.



***

Maka ramailah pembangunan di Sindanglaut. Ke­ba­nyakan peralatan dan malahan bahan-bahannya pun didatangkan dari Jepang. Sebab kebanyakan pe­milik tanah itu _lewat menantu, istri, sahabat dan pel­bagai cara dan ilmu yang tak jelas duduk per­ka­ra­nya_ memungkinkan rumah-rumah dan bangunan lain­nya di sana berbentuk seperti di kampung asal me­reka. Sampai-sampai bangunan yang seperti toko dan hotel pun disusun dan berbentuk bangunan Jepang.



***

Pak Marta datang di Sindanglaut. Ia pun sudah mendengar kabar dari orang tua Subarkah, sahabat kentalnya, bahwa di kampung di tepi Samudera Hin­­dia itu sudah berdiri satu daerah enclave, daerah kan­tong Jepang.

“Siapa yang salah?” pikirnya, lalu ia sebentar merenung.

Ia menjawab sendiri: Okayama-san adalah mertua Subarkah. Michiko adalah istri Subarkah. Nurseha ada­lah istri Kakutani. Kanazawa-san adalah pengu­sa­ha yang diajak datang untuk menanam modal. Ia sudah bergabung dengan anak-anak pembesar di Jakarta. Saito-san idem dito. Okahara-san sami ma­won. Anaka-san menempuh jalan yang juga tidak se­be­rapa sulit dirasakannya. Kosasih sudah punya ru­mah baru dan istri baru di Sukabumi dan keluyuran dengan mobil Suzuki yang paling mutakhir. Garnida sudah naik motor Honda yang paling diidam-idam­kan­nya dan paling disenanginya.

Lebih dari duapuluh orang Jepang sudah mem­ba­ngun di daerah Sindanglaut itu, di atas tanah yang le­­bih dari dua ratus hektar. Jangan ditanya asal usul tanah itu: tanah wakaf pun sudah berubah catatan­nya.

Tinggallah Ramdan yang berjongkok menatap orang-orang yang sedang mengangkat-angkat kayu dan besi itu dari kejauhan. Bukan saja hatinya ter­gang­gu, gamang, untuk ikut serta dalam pem­bangun­an itu, tetapi ia sudah tua. Melangkah pun su­dah sa­kit­-sakitan. Di hatinya ia merasa tertinggal, kare­na rumahnya pun sudah tergusur.

“Tetapi siapa di daerah ini yang tidak tergusur, Pak Marta?!” kata Ramdan kepada Pak Marta yang duduk di kursi di depannya. Suara Ramdan terdengar melas sekali, menyayat hati orang yang diajaknya bicara.

Pak Marta tidak sanggup menatap wajah Ramdan yang sudah kurus dan keriput itu. Ia arahkan tatapan­nya ke kejauhan, ke langit yang bersih, ke kaki langit, ke lautan yang biru, ke ombak yang bergelombang.

“Pilihanku benar,” kata Pak Marta kepada Ram­dan yang tetap jongkok di dekatnya. “Tempat ini bagus, benar bagus. Tetapi....” Ia tidak meneruskan ingatannya. Ia seperti menelannya.

“Jangan jongkok terus begitu, Bapak,” ajak Pak Marta kepada Ramdan. “Duduklah di sini. Di sini masih ada kursi.”

Ramdan mengikuti ajakan Pak Marta, bangkit dan duduk di kursi.

“Bagaimana perasaan Bapak melihat kampung ini sekarang?” tanya Pak Marta. Ia sendiri diliputi bebe­rapa pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Ia gundah, terjepit antara sesal dan senang. Ia ingat, permulaannya amat sederhana. Kelanjutan­nya jadi amat serius.

Dengan ragu, Ramdan, orang tua itu, menjawab: “Entahlah. Dulu saya pernah benci kepada orang-orang Jepang itu, Pak Marta.”

Pak Marta cepat mengerti.

Sementara itu Kosasih datang. Ia menarik wajah gembira. Mukanya pun nampak licin, bersih. Sudah gemukan bentuk badannya dibanding dengan beberapa bulan yang lalu. Pakaiannya serba baru dan mencolok. Kendaraannya, mobil Suzuki diparkirnya di halaman kantornya. Percakapannya menunjukkan kegembiraan yang luar biasa. Ia merasa berjasa, ter­utama kepada istri-istrinya, anak-anaknya, orang tua­nya, mertua-mertuanya. Ia sudah bisa membelikan mereka pelbagai barang modern yang biasa dita­yang­kan di televisi yang ia saksikan di rumahnya.

“Berapa umur Bapak?” tanya Pak Marta kepada Kosasih. “Tidak mengalami jaman Jepang?”

“Ah, saya belum lahir waktu itu,” jawab Kosasih.

“Bapak bekerja di Kecamatan, kan?” kata Pak Marta.

“Ya, Pak. Tadinya saya mau dipindahkan ke Su­ka­bumi, tapi saya menolak. Daerah ini mesti diba­ngun, Pak.” Ia setengah membusungkan dada. Hati kecil­nya berbisik jujur. “Di sini lebih meng­un­tung­kan.”

Di tengah itu Garnida muncul dengan menaiki motornya.

“Wah, kamu sudah punya motor segala sekarang, yah,” kata Pak Marta.

“Alhamdulillah, Pak,” kata Garnida.

“Maju yah. Hasil kerja di sini?” tanya Pak Marta.

Ramdan mengetahui silsilah pembelian motor itu. Maka ia menyelip menyambung pembicaraan: “Ru­mah­nya, rumah orang tuanya, digusur, Pak. Ia pindah ke kampung di balik bukit itu.”

“Ya, Pak Kosasih membujuk kami, Pak,” kata Garnida. Ia bicara sesungguhnya. Ia tidak menatap ke masa depan, juga tidak pernah berkenalan dengan buku-buku tentang masa lampau. Ia terhitung pe­mu­­da masa sekarang yang diusik oleh pelbagai ta­yang­an barang jualan di layar kaca dan hanya me­mi­kir­kan masa ini, hari ini, saat ini, detik ini.

Sekali Garnida bertatapan muka dengan Ramdan. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Tak ada jembatan penghubung yang mengaitkan pembicaraan serius di antara mereka. Dan yang tua serta yang muda, sudah seperti kelelahan jika harus berpikir.

Suasana pun seperti direka untuk jadi demikian.

Sementara itu pembangunan di daerah enclave ber­­jalan terus, mengikuti pihak yang menginginkan. ***



*) Enclave = Daerah kantong.



(Dimuat dalam Horison, September 1997)

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda