Oleh: Ramadhan KH
“Arigato gozaimasu! Arigato gozaimasu!” (Terima kasih! Terima kasih!), Okayama-san mengucapkan kata-kata itu sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, beberapa kali. Sungguh, dengan perasaan haru dan suara hikmat ia lepaskan isi hatinya itu dengan tulus. Ia merasa benar-benar gembira. Gembira sekali. Wajahnya jadi cerah seperti langit yang ada di atasnya.
Beberapa meter di depannya berdiri Pak Marta yang menerima ucapan terima kasih Okayama itu.
“Massugu! Massugu! Maju lagi! Maju lagi! Ayo, ke sana lagi! Lihat dari sana, dari tepian yang lebih jauh.” Pak Marta menganjurkan Okayama supaya melangkah lebih jauh, melihat lautan itu dari tempat yang lebih dekat ke pantai, sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Hay! Hay!” kata Okayama sambil lari-lari kecil, mengikuti anjuran Pak Marta. Ia senang mengikuti petunjuk Pak Marta, sahabat besannya, orang yang dirasakannya benar menjadi penolongnya di hari tua.
Di sebuah onggokan ia berhenti, lalu menatap ke kejauhan. Nikmat benar dirasakannya menerawang, mengikuti goresan kaki langit, menyapu lautan yang biru dan mengikuti gelombang yang beruntun bergantian sampai ke pantai.
“Tempat ini bagus sekali. Negeri ini indah sekali,” gumamnya, lalu menarik senyum sendirian.
Dari kejauhan ia berteriak dalam bahasa yang jauh daripada dikuasainya, tetapi sudah mulai dipelajarinya dengan tekun: “Bagusu-neh, bagusu-neh,” (Bagus, bagus) sambil melambai-lambaikan tangannya.
Seraya melangkah ia mereka-reka kembali rencananya yang sudah bermalam-malam bersama menantunya, Subarkah, membicarakannya. Dan tentu saja ia pernah merundingkannya juga dengan anaknya, Michiko, yang kali ini tertinggal di Osaka, tidak ikut terbang ke Jakarta.
“Bagusu-neh! Bagusu-neh!” ulangnya di depan Pak Marta.
“Senang? Senang punya tanah ini?” tanya Pak Marta dalam bahasa Jepang.
“Aaahh, senang, senang,” kata Okayama. “Tetapi ... tetapi ... ini bukan tanah saya. Ini tanah Subarkah dan Michiko. Bukan tanah saya.” Ia seperti mau menjelaskan kepada semua pihak, kepada penduduk di kampung itu, kepada pepohonan dan binatang-binatang yang ada di sana, bahwa tanah itu bukan miliknya, melainkan milik anaknya dan menantunya. Tetapi hati kecilnya tidak bisa membohonginya. Ia merasa, ia memilikinya juga, karena uang yang dibelikan tanah itu adalah uang simpanannya. Dan ia gembira, sangat gembira, bahwa Subarkah menetapkan, tanah itu atas nama istrinya, Michiko, di dalam surat-surat jual belinya. Malahan terakhir sudah dicantumkan dalam sertifikatnya, bahwa tanah itu milik Michiko, Nyonya Subarkah.
Pak Marta mengajak bicara Okayama-san dalam bahasa Jepang. Ia masih bisa berbicara dalam bahasa yang dulu pernah dikuasainya dengan benar selama jaman Jepang. Waktu itu ia duduk di sekolah menengah di Bogor dan terkenal di antara sesama teman sekolahnya sebagai murid yang paling pintar bahasa Jepangnya.
Kalau tidak terpatahkan oleh kekalahan Jepang dalam peperangan, kemungkinan besar ia sudah dikirimkan ke Negeri Sakura untuk melanjutkan sekolahnya.
Bicaralah lagi Okayama-san dalam bahasanya. “Saya sekali lagi mesti mengucapkan terima kasih kepada Pak Marta-san, sudah menolong anak-anak saya, sehingga mereka mendapatkan tanah ini. Bagus sekali tanah ini. Kalau terlaksana, anak-anak saya akan mendirikan rumah di sini, dengan kebunnya yang bagus. Apa pohon kaki (kesemek, bahasa Jepang) bisa tumbuh di sini?”
“O, bisa tentu bisa. Disebutnya di sini, pohon kesemek,” jawab Pak Marta.
“Apa bunga anggrek bisa tumbuh di sini?”
“Bisa, bisa,” jawab Pak Marta meyakinkan sambil menatap Okayama. “Semua tanaman bisa hidup di sini. Lihat itu, pohon-pohon kelapa bagus-bagus di sini. Lihat, pohon pisang, pisang yang disukai Okayama-san, pisang raja, pisang ambon, pisang lumut, bisa hidup di sini. Asal diurus. Tanahnya, dicampur sedikit dengan tanah dari kebun saya di Cisaat. Bakal jadi bagus. Tidak ada tanaman yang tidak bisa tumbuh di sini. Tapi jangan minta pohon sakura tentunya. Hahahaha,” Pak Marta tertawa, diikuti oleh Okayama-san. Juga Subarkah, sang menantu yang juga ada di sana mendampingi sang mertua, tertawa lebar. Ia pun senang bisa membuat mertuanya gembira. Bukan spesial karena istrinya jadi pemilik tanah itu di sana, melainkan karena mertuanya bisa mendapat kesibukan yang bakal disukainya: bercocok tanam, di hari tuanya.
Bahwa Okayama-san, kini merasa senang, uangnya bisa dipakai anaknya untuk membeli tanah di tepi pantai di daerah Sukabumi Selatan itu, adalah disebabkan pengetahuannya bahwa di Jepang mustahil ia bisa membeli tanah seluas itu. Di Jepang, apalagi di seputar Tokyo, orang menjual tanah dengan ukuran jengkalan, bukan meteran, karena mahalnya, sejuta Yen sejengkal. Sekarang, di tepi Samudera Hindia yang elok itu, Michiko, anaknya, bisa memiliki tanah seluas satu hektar lebih. “Untuk siapa lagi uangku itu kalau bukan untuk Michiko (anak tunggalnya),” Okayama pernah berpikir. Sebab itu ia berikan uang senilai empat puluh juta rupiah, sebegitu yang diperlukan Michiko, untuk membeli tanah di kampung Sindanglaut, di tepi pantai di Sukabumi Selatan itu. Okayama yang sudah pensiun dan ditinggalkan istrinya meninggal tiga tahun yang lalu, punya rencana berlibur tiga kali dalam setahun, dan setiap kali berada di Sindanglaut untuk barang dua atau tiga bulan.
Di atas tanah seluas satu hektar lebih milik Michiko itu, sekarang sudah ada rumah kecil yang masih sederhana. Tapi nanti rumah tua itu akan diganti dengan bangunan yang bagus. Okayama sudah punya gambar bentuk rumah yang akan dibangunnya di atas tanah milik keturunannya itu. Sebuah rumah potongan Jepang dengan jendela-jendela dan atap potongan khas Jepang. Dan gambaran itu buat Okayama sekarang, dengan uang yang sudah diperhitungkannya cukup, bukan mimpi pagi. Rencananya pun sudah bisa mulai dilaksanakan.
***
Okayama-san bersahabat kental dengan Kakutani-san. Mereka sama-sama duda. Tinggal tidak berjauhan. Dan sewaktu Okayama sudah berada lagi di Osaka, segera ia bercerita kepada Kakutani bahwa ia baru saja membeli tanah di Indonesia. Ia ceritakan dengan terperinci sekali berapa harga tanah yang dibelinya, atas nama siapa, di mana letaknya Sidanglaut itu, pemandangan seputar itu, dan sebagainya dan sebagainya.
“Dan bagusnya, bagusnya pemandangan di sana! Luar biasa! Pasti kamu pun akan suka,” kata Okayama-san kepada Kakutani-san yang juga mempunyai cukup uang simpanannya.
“Dan istimewa lagi,” cerita Okayama kepada Kakutani, “dari tempat itu, selain ada laut yang bagus, ada daerah yang masih dihuni oleh badak, badak yang terkenal. Kesukaan kamu kan masuk hutan, melihat binatang langka?”
“Ya, ya. Apa sungguh begitu?”
“Sungguh!” kata Okayama meyakinkan.
“Tapi, bagaimana saya bisa membeli tanah di sana? Saya kan tidak punya menantu orang Indonesia,” kata Kakutani dengan nada rendah, seperti sudah tidak punya harapan.
“Mengapa kamu tidak punya akal?” kata Okayama. “Kamu kan belum punya istri lagi. Kalau saya seusiamu (--Kakutani lebih muda--), saya akan kawin lagi. Dan... akan mengambil wanita Indonesia. Cantik-cantik lho, hahaha....”
Kakutani seperti kena goncangan yang membuat ia sadar. Ia pun pernah bertemu dengan ibu Subarkah, besan Okayama, waktu datang di Osaka. Dan terkenang sampai sekarang, bahwa wanita itu benar cantik walaupun sudah ada usia. “Pasti ia cantik sekali waktu mudanya,” komentar Kakutani di dalam hatinya waktu ia pertama kali melihatnya. Tetapi ia tidak punya keinginan lebih jauh, karena ayah Subarkah masih ada.
“Cantik-cantik?” Kakutani seperti mau tambah diyakinkan, dengan nada suara seperti berhasrat.
“Beneran. Cantik-cantik. Kalau kita jalan ke Sindanglaut itu, kita bisa lewat di sebuah kampung yang namanya Kadupandak. Saya pernah dibawa oleh kenalan saya lewat di sana. Di Kadupandak itu banyak sekali yang cantik. Sungguh! Kamu bisa bergairah lagi jika lewat di kampung itu. Saya pun waktu lewat di sana, merasa jadi muda kembali. Hahaha! Dan... dengan uangmu yang ada di bank sekarang, kamu bisa dapatkan seorang. Kebiasaan mereka pun baik-baik. Mereka tidak perlu kita ajar lagi supaya tinggal di rumah. Itu sudah kebiasaan mereka.”
Kakutani jadi berpikir beneran. Dan terbetik hasratnya: “Kalau istriku setia, dan mau menerima kebiasaanku, dan bisa membeli tanah yang luas, mengapa pula aku mesti simpan uang itu? Dengan uang cuma sebegitu mustahil aku bisa membeli tanah di negeriku sendiri ini. Kalau istriku menyenangkan, mengapa aku harus kikir dengan tidak memberikan uang kepadanya untuk bisa memiliki tanah yang luas dan bagus, dengan pemandangan yang indah seperti yang diceritakan Okayama? Aku pun tentu bisa menikmatinya.” Ia pun ingat, bahwa ia sekarang sudah sebatang kara.
***
Saatnya pun tiba. Kakutani dan Okayama sudah ada di Jakarta.
Malahan ini yang kedua kalinya sudah. Mereka berdua menginap di sebuah hotel di jalan Thamrin, dan sudah pergi ke Sindanglaut.
Cepat sekali prosesnya, Kakutani memperlihatkan seorang wanita yang lumayan cantiknya kepada Okayama. Ia, pada mulanya, tidak ceritakan bahwa Nurseha, begitu nama perempuan yang dibawanya, ditemukannya di sebuah panti pijat.
“Kami akan kawin,” kata Kakutani kepada Okayama.
Waktu ada kesempatan berdua Kakutani dan Okayama, Kakutani bercerita bahwa Nurseha memenuhi hasratnya dan tidak banyak permintaannya. “Hanya meminta supaya saya masuk agamanya. Dan saya sepakati. Nampaknya agamanya kuat. Cuma keadaan ekonominya saja yang pernah membawa dia ke tempat panti pijat,” kata Kakutani setelah didesak di mana mereka bertemu.
“Kalau sudah begitu, apa bisa ia sekarang tinggal di rumah?” tanya Okayama yang ragu.
“Ia berjanji. Dan kamu yang mengatakan bahwa perempuan Indonesia itu bisa tinggal di rumah, bukan? Nulseha (--ia tidak bisa mengucapkan r--) sendiri sudah janji, cuma kalau bersama saya ia akan ke luar rumah.” Kakutani sudah bisa melupakan apa yang telah terjadi dan dialami Nurseha sebelum ini. Ia bisa menghapus apa yang sudah-sudah. Yang dipentingkannya hari depannya.
“Bagus, bagus kalau begitu,” kata Okayama. ”Dan soal tanah itu, bagaimana?” tanya Okayama lagi setelah ia ingat pada tanah yang sudah diinjaknya bersama, di samping tanah Michiko.
“Jadi. Tentu saja jadi. Itu kan benar bagus. Dan benar murah,” kata Kakutani. “Sesudah kami nikah, saya akan belikan istri saya tanah yang itu.” Kakutani menarik wajah bangga dan serius.
“Kapan akan nikah?” tanya Okayama-san.
“Secepatnya,” jawab Kakutani-san.
***
Benar juga. Tidak lama setelah itu. Kakutani dan Nurseha melangsungkan perhelatan di Sukabumi, disaksikan oleh Okayama. Pernikahan itu dilaksanakan di depan penghulu, setelah Kakutani memenuhi syarat yang diminta oleh Nurseha dan keluarganya.
Tanah di Sindanglaut yang berdempetan dengan milik Michiko pun kemudian dibeli Nurseha atas namanya. Lebih luas daripada yang dimiliki Michiko dan lebih mahal harganya. Tetapi terbeli oleh Nurseha yang membuat surat janji, bahwa kalau sampai ia dan suaminya bercerai, uang senilai pembelian tanah itu akan dikembalikan. Nurseha merasa pintar. Ia sudah menghitung, bahwa nilai tanah akan cepat naik, dan uang rupiah tak akan bisa mengejar harga tanah. Tetapi Kakutani-san merasa pintar juga, ia merasa senang, bahwa ia nanti bisa berlibur di tempat yang bagus itu, di tepi pantai yang lautnya biru, cerah langitnya, dan gelombangnya amat memikat. Apalagi di pagi hari, atau di sore menuju senja. Dan ia pegang surat-surat tanah itu.
“Mustahil aku bisa punya tanah sebagus itu dan seluas itu di negeriku sendiri,” pikir Kakutani. “Aku akan sering saja berada di sana.”
***
Di sebuah organisasi di kotanya, Kakutani punya sahabat akrab, Kanazawa-san, tempat ia menceritakan rahasia hidupnya. Sebab itu pula ia tak beralangan menceritakan tentang tanah yang dibelinya, atas nama Nurseha yang pernah ditemukannya di sebuah panti pijat, tapi sekarang sudah jadi istrinya.
Kanazawa-san, pemborong bangunan, tergerak juga hatinya. Ia pun ingin memiliki tanah sebagus seperti yang diceritakan temannya. “Benar murah,” pikirnya, setelah ia membandingkan dengan harga tanah di negerinya. Soal jarak Jepang - Indonesia, tak dirasakannya jauh. Ia pun sudah beberapa kali membaca brosur-brosur tentang perjalanan ke Indonesia dan apa yang bisa dilihat di negeri di sebelah selatan itu.
“Tapi bagaimana kami bisa membeli tanah di sana?” tanya Kanazawa kepada teman akrabnya.
“Bisa. Pasti bisa. Kata orang di sana, di sana segala bisa diatur. Pasti ada cara-caranya. Apalagi sekarang, segala di sana sudah terbuka. Kita diajak oleh mereka untuk datang ke sana, untuk usaha. Tetapi yang pasti lagi, kita bisa tinggal di sana semusim-semusim. Kalau musim dingin di sini, dan kamu merasa encok di sini, kita bisa tinggal di sana. Di sana kan selalu ada matahari. Percayalah, kamu akan senang tinggal di sana. Pantainya bagus. Lautnya bagus, bagus sekali. Kamu tidak akan bisa membeli tanah seluas itu dengan seluruh kekayaanmu yang kamu miliki di sini. Tentu yang ukurannya luas yah,” kata Kakutani.
***
Kanazawa-san terbang bersama Kakutani dan Okayama ke Jakarta. Lalu mereka pergi ke Sindanglaut. Kanazawa-san takjub melihat daerah pantai Samudera Hindia itu.
“Bagaimana cara membelinya?” tanya Kanazawa.
“Ini, ini orangnya yang bisa membantu kita,” kata Kakutani sambil menunjuk seorang laki-laki yang bekerja di Kecamatan di Sidanglaut, yang tempo hari mengatur pembelian tanah untuk Michiko dan Nurseha.
“Bapak ini, Pak Kosasih, bisa menolong kita,” kata Okayama sambil memegang tangan Kosasih.
Kosasih yang pernah membantu kedua orang itu dengan urusan tanah di sana, dengan kebutuhannya, tersenyum lebar. Ia tentu saja senang. Sudah dua kali ia pernah mengatur jual beli tanah dengan orang- orang Jepang itu dan memasukkan uang ke kantongnya sendiri lebih dari lumayan. Tetapi, sebenamya hati nuraninya pernah goyang, terasa tak menentu, tetapi keuntungan yang diperolehnya menghapus kegelisahannya itu. “Tak ada kesalahan saya,” pikirnya. “Yang satu kali untuk menantunya bersama anaknya. Yang kedua kali untuk istrinya. Orang kita-kita juga. Sah-sah saja,” pikirnya.
Okayama dan Kakutani lalu mengajak bicara Kosasih yang sudah siap untuk membantu. Sudah tergitik juga hati Kosasih oleh gambaran bahwa kali ini ia bisa beruntung banyak lagi. Ia mengetahui, ada sebidang tanah luas yang juga tidak jauh letaknya dari tanah Michiko. Tanah itu bekas perkebunan kecil, tapi sudah tidak terurus. Dan akan dijual. Tetapi terhalang oleh beberapa rumah kampung dari tanah Michiko.
“Tidak jadi soal. Rumah-rumah kampung itu bisa dipindahkan,” kata Kosasih dengan menarik senyum lebar. Ia pun yakin, bahwa yang dikatakannya itu bisa jadi kenyataan. “Apa yang tidak bisa dengan uang?” pikirnya.
Ketiga orang Jepang itu pergi ke tanah bekas perkebunan kecil itu, dibarengi oleh Kosasih dan dua orang kawannya, seorang yang lebih tua, Ramdan, seorang lagi yang lebih muda, Garnida.
Ada kekurangan di tanah bekas perkebunan kecil itu yang terasa oleh Kanazawa-san. Tetapi Kosasih, lewat Okayama yang sudah tambah pintar berbahasa Indonesia, bisa meyakinkan, bahwa kekurangan yang dirasakan oleh Kanazawa itu nanti bisa diatasi. Tanah itu tidak nempel pada pantai.
Kanazawa-san menginginkan membuat semacam hotel di sana.
“Tetapi hotel akan laku kalau menempel pada laut,” kata Kanazawa kepada Okayama dan Kakutani.
Kosasih seperti bisa menangkap apa yang diinginkan oleh Kanazawa. Sebab itu ia cepat berkata kepada Okayama: “Kami bisa atur. Tidak ada yang tidak bisa diatur di sini. Tanah yang menghalang-halangi itu, antara lahan ini dan laut, bisa diatur supaya jadi jalan ke pantai. Supaya nyambung jadi bagian tanah ini,” kata Kosasih sambil menarik wajah senyum dan meyakinkan. Ia pun yakin dengan uang segala bisa beres. Ia merasa, bahwa atasan-atasannya yang ada di Kecamatan dan di Kabupaten akan setuju, sehamparan tanah yang ada di tepi laut itu digabungkan saja dengan tanah bekas perkebunan kecil itu.
Ia berpikir lagi. “Ini jadinya proyek pembangunan.” Kata "pembangunan" itu melintas sejenak saja di kepalanya, tapi menyebabkannya jadi merasa kuat. Kata pembangunan itu mengubah kesulitan yang tadi pernah mengganjal sebentar di hatinya.
“Pasti bisa! Pasti bisa!” kata Kosasih kepada Kanazawa. Kemudian kepalanya digerakkannya menghadap ke arah Kakutani, lalu ke arah Okayama, meminta dukungan. Ia menunggu kepastian.
Ketiga orang Jepang itu mengangguk-angguk. Lalu mereka berbicara dalam bahasa mereka. Kosasih mendengarkan saja, tak mengerti sepatah kata pun, tapi harapan menyelinap di antara perasaannya.
“Ya, asal benar bisa diatur begitu, tuan Kanazawa tertarik," kata Okayama.
***
Selang beberapa waktu, Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san sudah berada di Indonesia lagi. Mereka tidak membuang waktu. Sindanglaut mereka tuju.
Masing-masing mengatur kepemilikannya. Okayama yang sekali ini didampingi Michiko dan suaminya, Subarkah, sudah mulai dengan membangun rumah yang mereka cita-citakan. Rumah tua sudah dibongkar. Tiang-tiang baru sudah dipancangkan. Kakutani-san pun langsung mengukur-ukur tanah yang akan dipakai untuk bangunan rumah yang bakal dihuni bersama Nurseha. Ia tidak kepalang bergerak, segala bahan yang diperlukannya sudah ia siapkan dari dan di negerinya. Tinggallah nanti ia mencari tukang-tukang yang bakal diperbantukan kepada arsitek Jepang yang bakal membangun rumahnya itu.
Kanazawa-san dikerumuni oleh pegawai-pegawai dari Kecamatan Sindanglaut. Beberapa orang pegawai Kabupaten Sukabumi pun ada di sekelilingnya.
Rencana bangunan hotel sudah siap. Soal tanah yang menghalang-halangi sudah terpecahkan. Dengan duit, apa yang tidak bisa dibereskan di kampung ini, pikirnya. Dan ia sudah jadi lebih pandai, atas anjuran penasihatnya ia sudah menggaet orang di Jakarta penguasa penting.
Penghuni beberapa rumah yang menghalang-halangi antara tanah Michiko dan Kanazawa pun sudah sepakat untuk pindah. Entah berapa ongkos memindahkan mereka yang sebenarnya. Orang-orang Jepang itu tidak tahu. Uang siluman tak jelas masuk ke kantong saku siapa. Tanah yang menghalangi-halangi perkebunan kecil dengan laut itu pun sudah diatur oleh orang-orang di kantor Kecamatan, di kantor Kabupaten, malahan di kantor Gubernuran, sehingga bisa dipakai untuk keperluan Kanazawa-san yang punya uang banyak. Kanazawa-san nampak tenang-tenang saja. Sebab memang setelah diperhitungkannya, masih jauh lebih murah daripada jika harus membangun di negerinya.
Maka pembangunan dimulai di daerah itu.
Nampak sekali ada kesibukan di wilayah yang tadinya kampung itu. Dan bertambah lagi kericuhan di daerah itu, karena bukan saja Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san yang membangun di sana, melainkan ada Saito-san, ada Tanaka-san, Takahashi-san dan beberapa lagi orang Jepang yang bukan saja tertarik, melainkan sudah mulai membangun di daerah yang tadinya masih ladang tegalan, sawah musiman dan kebun terlantar itu.
Orang-orang Jepang itu mendengar kemungkinan-kemungkinan itu dari mulut ke mulut. Brosur-brosur pariwisata pun sampai pada mereka. Dan semua menghitung: tanah di Sindanglaut itu benar-benar jauh lebih murah dibandingkan dengan yang ada di Tokyo, atau yang di Osaka atau yang di Okinawa sekalipun. Mereka seperti sudah berpikir, bahwa dunia ini untuk kita semua, untuk semua penghuni bumi. “Untuk siapa saja, untuk kita, yang bisa membelinya dan membangunnya,” pikir mereka. Untuk pihak yang pintar, pikirnya. Ya, semua kedudukan pun bisa kita capai, pikir mereka. Dan mereka ingat pada beberapa kursi yang ada di sejumlah negara di luar negeri mereka yang sudah diduduki oleh bangsa mereka, keturunan mereka.
***
Maka ramailah pembangunan di Sindanglaut. Kebanyakan peralatan dan malahan bahan-bahannya pun didatangkan dari Jepang. Sebab kebanyakan pemilik tanah itu _lewat menantu, istri, sahabat dan pelbagai cara dan ilmu yang tak jelas duduk perkaranya_ memungkinkan rumah-rumah dan bangunan lainnya di sana berbentuk seperti di kampung asal mereka. Sampai-sampai bangunan yang seperti toko dan hotel pun disusun dan berbentuk bangunan Jepang.
***
Pak Marta datang di Sindanglaut. Ia pun sudah mendengar kabar dari orang tua Subarkah, sahabat kentalnya, bahwa di kampung di tepi Samudera Hindia itu sudah berdiri satu daerah enclave, daerah kantong Jepang.
“Siapa yang salah?” pikirnya, lalu ia sebentar merenung.
Ia menjawab sendiri: Okayama-san adalah mertua Subarkah. Michiko adalah istri Subarkah. Nurseha adalah istri Kakutani. Kanazawa-san adalah pengusaha yang diajak datang untuk menanam modal. Ia sudah bergabung dengan anak-anak pembesar di Jakarta. Saito-san idem dito. Okahara-san sami mawon. Anaka-san menempuh jalan yang juga tidak seberapa sulit dirasakannya. Kosasih sudah punya rumah baru dan istri baru di Sukabumi dan keluyuran dengan mobil Suzuki yang paling mutakhir. Garnida sudah naik motor Honda yang paling diidam-idamkannya dan paling disenanginya.
Lebih dari duapuluh orang Jepang sudah membangun di daerah Sindanglaut itu, di atas tanah yang lebih dari dua ratus hektar. Jangan ditanya asal usul tanah itu: tanah wakaf pun sudah berubah catatannya.
Tinggallah Ramdan yang berjongkok menatap orang-orang yang sedang mengangkat-angkat kayu dan besi itu dari kejauhan. Bukan saja hatinya terganggu, gamang, untuk ikut serta dalam pembangunan itu, tetapi ia sudah tua. Melangkah pun sudah sakit-sakitan. Di hatinya ia merasa tertinggal, karena rumahnya pun sudah tergusur.
“Tetapi siapa di daerah ini yang tidak tergusur, Pak Marta?!” kata Ramdan kepada Pak Marta yang duduk di kursi di depannya. Suara Ramdan terdengar melas sekali, menyayat hati orang yang diajaknya bicara.
Pak Marta tidak sanggup menatap wajah Ramdan yang sudah kurus dan keriput itu. Ia arahkan tatapannya ke kejauhan, ke langit yang bersih, ke kaki langit, ke lautan yang biru, ke ombak yang bergelombang.
“Pilihanku benar,” kata Pak Marta kepada Ramdan yang tetap jongkok di dekatnya. “Tempat ini bagus, benar bagus. Tetapi....” Ia tidak meneruskan ingatannya. Ia seperti menelannya.
“Jangan jongkok terus begitu, Bapak,” ajak Pak Marta kepada Ramdan. “Duduklah di sini. Di sini masih ada kursi.”
Ramdan mengikuti ajakan Pak Marta, bangkit dan duduk di kursi.
“Bagaimana perasaan Bapak melihat kampung ini sekarang?” tanya Pak Marta. Ia sendiri diliputi beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Ia gundah, terjepit antara sesal dan senang. Ia ingat, permulaannya amat sederhana. Kelanjutannya jadi amat serius.
Dengan ragu, Ramdan, orang tua itu, menjawab: “Entahlah. Dulu saya pernah benci kepada orang-orang Jepang itu, Pak Marta.”
Pak Marta cepat mengerti.
Sementara itu Kosasih datang. Ia menarik wajah gembira. Mukanya pun nampak licin, bersih. Sudah gemukan bentuk badannya dibanding dengan beberapa bulan yang lalu. Pakaiannya serba baru dan mencolok. Kendaraannya, mobil Suzuki diparkirnya di halaman kantornya. Percakapannya menunjukkan kegembiraan yang luar biasa. Ia merasa berjasa, terutama kepada istri-istrinya, anak-anaknya, orang tuanya, mertua-mertuanya. Ia sudah bisa membelikan mereka pelbagai barang modern yang biasa ditayangkan di televisi yang ia saksikan di rumahnya.
“Berapa umur Bapak?” tanya Pak Marta kepada Kosasih. “Tidak mengalami jaman Jepang?”
“Ah, saya belum lahir waktu itu,” jawab Kosasih.
“Bapak bekerja di Kecamatan, kan?” kata Pak Marta.
“Ya, Pak. Tadinya saya mau dipindahkan ke Sukabumi, tapi saya menolak. Daerah ini mesti dibangun, Pak.” Ia setengah membusungkan dada. Hati kecilnya berbisik jujur. “Di sini lebih menguntungkan.”
Di tengah itu Garnida muncul dengan menaiki motornya.
“Wah, kamu sudah punya motor segala sekarang, yah,” kata Pak Marta.
“Alhamdulillah, Pak,” kata Garnida.
“Maju yah. Hasil kerja di sini?” tanya Pak Marta.
Ramdan mengetahui silsilah pembelian motor itu. Maka ia menyelip menyambung pembicaraan: “Rumahnya, rumah orang tuanya, digusur, Pak. Ia pindah ke kampung di balik bukit itu.”
“Ya, Pak Kosasih membujuk kami, Pak,” kata Garnida. Ia bicara sesungguhnya. Ia tidak menatap ke masa depan, juga tidak pernah berkenalan dengan buku-buku tentang masa lampau. Ia terhitung pemuda masa sekarang yang diusik oleh pelbagai tayangan barang jualan di layar kaca dan hanya memikirkan masa ini, hari ini, saat ini, detik ini.
Sekali Garnida bertatapan muka dengan Ramdan. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Tak ada jembatan penghubung yang mengaitkan pembicaraan serius di antara mereka. Dan yang tua serta yang muda, sudah seperti kelelahan jika harus berpikir.
Suasana pun seperti direka untuk jadi demikian.
Sementara itu pembangunan di daerah enclave berjalan terus, mengikuti pihak yang menginginkan. ***
*) Enclave = Daerah kantong.
(Dimuat dalam Horison, September 1997)
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
0 komentar:
Posting Komentar