Oleh: Nh Dini



Pak RT tergesa masuk, bertanya kepada istrinya:

“Mana Iwan?”

“Belum kelihatan.”

“Jum’atan apa tidak dia.”

Istrinya tidak menang­gapi, karena Pak RT se­perti berbicara kepada di­ri­nya sendiri.

Perempuan itu sibuk menghitung bungkusan gula pasir yang baru se­lesai dia timbang. Satu on, seperempat, setengah dan satu kilo-an. Kini ma­sing-masing menge­lompok, di­ta­ta di rak warung. Te­tang­­ga lebih banyak mem­­­­­­­­beli kurang dari satu ki­lo. Maka kan­tung-kan­tung plastik kecil lebih ban­yak terisi di rak-rak itu.

Sudah tiga tahun ba­paknya Iwan menjadi RT. Karena dekat dengan Pak Lurah, dia sering men­­­da­pat persenan ke­un­tung­an menjual tanah atau rumah di kawasan sana. Dia me­mang mahir mem­pe­nga­ruh­i calon pembeli. Lalu bapaknya Iwan menjadi terkenal sebagai make­lar tanah dan rumah.

Pada suatu ketika, uang yang dia terima cu­kup untuk membeli se­buah rumah reyot di ping­­gir jalan, tidak jauh dari pa­sar Jatin­galeh. Bapaknya Iwan berpatungan dengan Pak Lurah, mendirikan usaha penjualan kayu, paving, ubin, semua keperluan MCK. Dan bila orang memerlukan barang yang tidak nampak di situ, Pak RT sanggup mencarikan. Se­mua tergantung pada komisi yang di­sepakati.

Iwan adalah sulung dari empat anak.

Pak RT bukan kepala keluarga teladan, karena anaknya lebih dari dua, lebih dari tiga. Sekarang se­te­lah rezeki semakin deras datang, dia bahkan se­ma­kin mengkhianati program pemerintah: dia ingin me­nambah dua atau tiga anak lagi. Dia pikir, buat apa rezeki kalau tidak untuk membangun keluarga besar! Padahal, tempat yang telah dia miliki itu sudah sangat pas. Dua anak lelaki, dua perempuan. Ke­betulan yang pe­rem­puan ber­ada di tengah-tengah. orang Jawa bi­lang: Sendang kapit pan­curan.1

Ketika ayahnya men­jadi RT, usia Iwan 16 tahun. Dia baru lulus SLTP. Adiknya yang terkecil de­la­pan tahun. Dan se­jak ayah­­nya mem­­­­­punyai ke­­­dudukan ter­sebut, se­ka­ligus meng­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­urus­i mu­da­-mudi kam­­pung, se­kaligus se­lalu repot di to­ko material bangunan, se­mua­nya berubah bagi Iwan.

Dia merasa hidup le­bih leluasa. Dia bebas, ka­­rena bisa berbuat apa pun sesuai kemauan­nya. Karena bapak itu jarang berada di rumah di saat Iwan pulang untuk ma­kan siang. Sore ketika ke­­banyakan ke­luar­ga ber­kum­pul, Pak RT ma­sih mengurusi usahanya. Atau bila tiba-tiba pu­lang sebelum pu­kul tu­juh, dia berge­gas mandi lalu pergi lagi me­mim­pin pertemuan ini atau itu di salah satu ru­ang­an kan­tor kelu­rah­an.

Jika ada tetangga yang usil bertanya me­nga­pa dia begitu cepat pergi lagi keluar rumah, jawabnya yang paling sering ada­lah “Saya ha­rus ke per­temuan.”

Atau:

“Muda-mudi itu ha­rus ada yang meng­arah­kan.”

Adik Iwan sudah be­rang­kat remaja, men­ja­di gadis kecil dan berani mem­pro­tes:

“Bapak pergi-pergi terus! Kalau tidak di toko, selalu di kelurahan!”

Anak-anaknya sangat hafal de­ngan jawaban Pak RT:

“Di toko aku tidak mengang­gur! Aku mencari uang buat kalian! Buat kita!”

Yuni, adik Iwan yang paling ce­rewet menginginkan ayahnya ka­dang­kala datang ke sekolah meng­am­bil rapor seperti orang tua- orang tua lain.

“Aku tidak punya waktu,” itu­lah jawaban Pak RT. Lalu diter­us­kan: “Biar ibumu yang pergi.”

Iwan hidup di luar, nyaris men­jadi anak jalanan, menggerom­bol bersama teman-teman sesama se­ra­gam SMU di perhentian bis, di warung-warung kopi atau di kios ro­kok yang juga menyediakan mi­nu­man pembakar tenggorokan. Rokok yang dihisap bukan lagi merk dikenal, melainkan lintingan da­un kering yang mampu mem­bi­kin perasaan melayang-layang. Tu­buh Iwan kurus kering. Tetapi tak sa­tu­ pun anggota keluarganya mem­perhatikan.

Semua nampak bahagia. Ke­luar­ga Pak RT kelihatan sejahtera. Pen­duduk sekitar tetap banyak yang tidak mampu. Tapi mereka me­nyukai Pak RT yang selalu pe­nuh pengabdian.

Rumah berganti ubin. Kini lan­tainya keramik putih berkilau. Ba­gi­an depan, seluruh kepanjangan dinding tertutup bahan yang sama, sehingga terang memantulkan ca­ha­ya hari. Ketika rumah di sam­ping dijual, Pak RT langsung mem­be­linya. Dia bikin sebuah ruangan polos, menjadi bangsal aula cukup besar. Di situ tikar digelar. Lalu dilengkapi meja-meja pendek. Ka­tanya, “Ini untuk pertemuan-per­te­mu­an. Pintu-pintu bisa dipasang atau di­copot. Bapak-bapak, PKK, mu­da-mudi rapat di sini. Dengan be­gitu, Mak kalian dan aku tidak akan sering berada di luar.”

Di waktu itulah ibu Iwan ber­ka­ta kepada suaminya, “Bikinkan aku warung. Se­ka­rang anak-anak sudah besar, aku ti­dak perlu memngawasinya. Aku ingin mencari uang sendiri. Beri aku modal. Kecil-kecilan saja. Ha­nya kebutuhan rumah tangga se­­ha­ri-hari.”

Ternyata dagangan itu pun ber­jalan lancar. Yang dijajakan di wa­rung bertambah: alat-alat tulis, bah­­­­kan perangko, meterai, obat-obatan.

Bapak dan ibu mabok dengan keberhasilan mencari uang. Dan ka­rena rezeki berlimpahan, pem­ban­tu yang dua orang ditambah satu lagi. Kadang-kadang menjadi tiga jika saudara ibunya Iwan da­tang dari lereng gunung Sumbing. Kemenakan, adik atau saudaranya ipar, siapa saja yang berasal dari de­sa sama. Pembantu itu bisa bertam­bah lagi di saat tetangga da­tang mengobrol. Kebanyakan pen­duduk di sana tidak se­be­run­tung keluarga Pak RT. Mereka se­lalu kekuran­gan. Selalu ada yang le­wat, lalu singgah, lalu membantu mengerja­kan ini atau itu. Ke­mu­di­an, tiba-tiba, dia ingat harus me­na­nak nasi atau menjemur cucian. Ibu­­nya Iwan tidak lupa menyum­pal­­kan uang dua ribu ke dalam geng­­gaman si tetangga. Di lain wak­tu, ada tetangga yang berani berkata, “Kalau boleh, minta gula dan kopinya saja sedikit.”

Dan kalau itu sudah diberikan, ada yang sampai hati menunjuk stoples di atas rak, sambil katanya:

“Apa boleh minta tehnya? Buat satu kali cem-ceman2 saja.”

Ibunya Iwan baik hati.

Sama seperti suaminya, dia ter­ke­nal sebagai orang yang tidak tega. Pasangan itu banyak me­no­long dan membantu penduduk se­ki­tar. Itulah salah satu sebab me­nga­pa bapaknya Iwan menjadi RT, dilanjutkan dipasrahi membina kaum muda di sana.

Pada suatu siang, Iwan sengaja memperlihatkan diri, turut ber­sem­­­­bahyang Jum’at di belakang ayah­nya. Mereka pulang bersama, berjalan kaki menuju rumah yang terletak tidak jauh dari masjid. Ka­li itu Iwan bahkan makan siang di me­ja keluarga. Yang terkumpul ada­lah ibu, ayah dan dua adiknya.

Sambil makan, Iwan menge­luar­kan kalimat yang sejak beberapa pe­kan didiktekan teman-teman­nya. Dia minta dibelikan ken­da­ra­an.

"Tidak usah baru, Pak. Asal masih bagus jalannya. Buat seko­lah.”

Pak RT punya sebuah kijang. Untuk toko, semula dia sediakan satu kendaraan bak terbuka. Tapi pe­kan kemarin dia tambah satu la­gi, karena seorang kenalan ter­de­sak kebutuhan uang, menawarkan­nya kepadanya. Bisa dibayar dua ka­li. Kebetulan memang ba­paknya Iwan sedang berpikir-pikir akan menambah sarana penataran pe­sa­­nan yang semakin sering datang. Orang terus membangun. Di ma­na-mana orang memerlukan kayu, ba­tu atau pasir. Sekarang, ken­da­ra­an yang kedua itu melulu hanya untuk mengangkut bahan-bahan kotor. Sedangkan yang pertama, se­lain buat keperluan toko, akan le­bih mudah disewakan buah pin­dahan atau lainnya jika bak be­la­kang selalu kelihatan bersih.

“Apa kamu naik kelas nanti kok minta dibelikan kenda­raan,” suara Pak RT tidak bertanya. “Ka­mu sudah memperbaiki pres­tasimu di kelas? rapormu yang pa­ling akhir jelek sekali, bukan?”

Ru­panya si ayah masih ingat juga bahwa anak sulungnya men­ce­­tak empat angka di bawah se­dang di catur wulan yang lalu. Hal ini agak mengejutkan Iwan. Ka­re­na dalam keseharian, Pak RT tidak pernah menunjukkan kepedulian tentang kehadirannya. Lebih-lebih menyuruhnya belajar.

“Kalau punya kendaraan sen­di­ri, aku bisa mengantarkan Yuni setiap pagi,” Iwan kelihatan tidak was-was mengenai angka-angka di rapornya.

“Itu benar,” tiba-tiba si ibu ikut urun bicara. “Apa lagi ini nanti mu­sim hujan, kendaraan umum selalu da­tang terlambat karena jalan ma­cet. Anak-anak repot, kena hu­jan...”.

“Di kelas, tinggal aku yang be­lum punya kendaraan,” kata Iwan la­gi. Dan dia tidak khawatir ayah­nya akan menyelidiki kebe­na­r­an­nya. Kebohongan memang sudah men­dasari hidup Iwan. Yang dia ka­takan tadi entah merupakan kebohongan yang keberapa kali yang dia ucapkan sejak pagi hari itu. Karena Iwan semakin sering me­­nga­takan hal yang hanya terjadi di kepalanya. Yang dia inginkan de­mikian. Kadang-kadang, ke­nya­taan dan harapannya sudah begitu me­nyatu, sehingga dia sendiri ter­je­rat dalam khayalannya. Mana yang sungguh ada, atau mana yang dia harap ada, ruwet menjadi satu.

Teman-temannya menyuruh Iwan mengambil uang di warung Mak. Kini teman-teman itu me­nyu­­lut api pemberontakan ter­ha­dap Pak RT:

“Ayahmu kaya. Baru saja mem­beli kendaraan lagi untuk toko­nya. Pa­dahal seharusnya kamu yang dibelikan kendaraan! Minta saja! Kalau kamu punya roda dua, kita bisa cari uang. Bisa turut berpacu di Jatidiri,” begitu kata Herman, temannya yang paling menonjol. Di mana ada kegiatan ber­ke­lom­pok, Herman-lah yang menge­pa­lai.

Stadion Jatidiri besar. Se­be­tul­nya merupakan kebanggaan pen­du­duk ibu kota propinsi. Tetapi pe­manfaatannya sangat kecil. Rum­put ilalang bertumbuhan nya­ris setinggi orang. Jika pertandin­gan akan diselanggarakan di sana, barulah bagian-bagian tertentu di­rapi­kan. Sudut dan selinapan yang dekat pagar dibiarkan, se­hingga ta­naman dan perdu liar berduri ber­desakan menjadi sarang aneka bi­natang melata. Di sanalah, di wak­­tu malam, terjadi kebut-ke­but­­an. Pemuda-pemuda tanggung memacu kendarasan mewah ber­o­da empat atau dua, sampai mobil-mobil dan kendaraan roda dua lain yang setengah rongsokan. Mereka tidak hanya melampiaskan nafsu mengatasi lawan dengan kece­pat­an. Di sana mereka juga meng­ham­ba­kan diri pada kemaksiatan ber­ju­di.

“Benar,” kata kawan Iwan yang lain. “Kalau Khodir yang bawa ken­da­­raanmu, pasti kita menang. Lalu kita bisa bikin oplosan lain. Aku men­dapat resep baru dari te­tang­ga yang datang dari gu­nun­gkidul...,” dan yang disebut Khodir meng­ang­guk-angguk. Dia yang paling lama memiliki kendaraan. Seusai seko­lah, menjadi kernet om­­­prengan. K­a­rena badannya le­bih tinggi dan besar dari anggota ke­lompok itu, se­mua teman Iwan sungkan kepa­da Khodir.

Iwan termakan oleh gosokan itu.

Tetapi Pak RT tidak termakan oleh rayuan si anak. Dan karena merasa permintaannya tidak bakal terpenuhi, Iwan meninggalkan ru­mah sebelum keluarga selesai me­nyu­nyah pisang. Dia keluar ma­sih mendengar omelan Mak ter­ha­dap suaminya, “Sampeyan3 ini bagaima­na! Pu­nya anak lelaki, sulung, ti­dak di­man­ja. Minta kendaraan saja...”.

Lalu alur keseharian kembali se­perti semula, berlanjut biasa.

Hanya, pada suatu pagi ketika Mak akan membuka warung, ter­ke­jut bukan kepalang karena ua­ng yang dia selipkan di belakang stop­les di rak paling atas hilang. Sam­pul coklat masih ada tetapi kosong. Terakhir dia masukkan uang kemarin malam, jumlahnya men­­dekati tujuh ratus ribu.

“Pasti Iwan yang mengambil!” kata Mak seorang diri. Dia mengira ana­k­nya marah karena per­min­ta­annya ditolak Pak RT.

Mak tunggu anak sulung itu se­ha­rian. Baru muncul hampir pe­tang. Mak takut bicara kasar, dia tung­gu lagi sampai anak itu mandi, lalu akan mengenakan baju. Mak tu­rut masuk kamar. Alangkah ter­ke­jut dia melihat tulang iga Iwan yang mencuat, dadanya kerem­peng. Rupanya baru kali itulah dia me­nyadari betapa kurusnya si su­lung yang dia bangga-banggakan.

Mak bertanya mengapa meng­ambil uang sebanyak itu. Biasanya, pa­gi Iwan dan Yuni disuruh meng­ambil uang sendiri di kotak di da­lam laci. Tidak banyak. Paling-pa­ling lima ribu. Kalau ada ke­per­lu­an sekolah bisa sepuluh atau dua puluh ribu. Mak bertanya lembut, bahkan nyaris merayu si anak, un­tuk apa uang itu.

Tenang dan tanpa ragu Iwan menyahut, “Kuberikan kepada Her­man. Dia mau buka usaha, ka­sih­an ti­dak punya modal,” lalu dari saku celana seragam yang kembali dia pakai, dia keluarkan gumpalan uang lusuh. Diberikan kepada Mak, meneruskan bicaranya, “Ini sisanya.”

Mak menghitung, dua ratus ribu lebih sedikit.

“Nanti kalau usahanya ber­ja­lan, Herman akan mengem­ba­li­kan. Malahan mungkin dengan bu­nga,” kata Iwan lagi.

Mak lega.

“Apa usaha temanmu?”

“Bengkel kecil-kecilan, di muka sekolah, bersama tukang pompa ban.”

Lalu Iwan terburu-buru, me­nutup kancing baju, menggosok ram­but dengan kain apa saja yang tersampir di sana.

“Mau ke mana?” Mak bertanya. “Makan dulu! Kamu kurus. Muka­mu pucat. Tadi siang kamu juga ti­dak pulang makan.”

“Aku jajan bakso tadi,” Iwan menyahut, sudah menyambar tas dan melangkah ke pintu kamar akan keluar, berhenti lalu katanya “Minta Rp 10.000, Mak”.

“Ke mana?” Mak masih meng­ikuti, tangannya mengulurkan satu lembar sepuluh ribuan.

“Mau belajar bersama teman-teman. Besok pagi langsung ke se­kolah.”

Mak harus puas dengan jawab­an tersebut, karena si sulung su­dah berlalu. Rambutnya masih ba­sah dan belum disisir. Tapi tidak apa-apa, Iwan pergi untuk belajar di rumah kawannya. Hati Mak tenang. Di sana tentu disuguhi ma­kan­an. Apa lagi, anaknya bawa uang, bisa jajan. Banyak makanan dijajakan di malam begitu. Mak berpikir, lebih baik mengetahui anaknya berada di rumah teman, tidak keluyuran. Itu baik.

Itu memang baik jika memang demikianlah kejadian yang se­sungguhnya. Dan yang se­sung­guhnya terjadi ialah, dua hari ke­mu­d­ian orang tua diminta datang mengambil rapor. Seperti biasa, Mak yang berangkat. Kepala se­ko­­lah menemuinya bersama se­ke­lompok orang tua lain di ruang ter­sendiri. Juga hadir dua guru.

Rupanya, anak-anak mereka tidak naik kelas. Rapor anak-anak itu semakin lama semakin jelek. Khodir berkali-kali mangkir, Her­man sudah dua bulan tidak masuk. Iwan sendiri, tidak nampak di sekolah sejak empat hari.

“Dia berangkat sekolah setiap pagi,” istri Pak RT berkata mem­be­­la anaknya.

Seorang guru melihat ke buku catatan, menanggapi, “Hari Senin masih masuk, tapi Selasa, Rabu sampai hari ini tidak kelihatan.”

Dan yang lebih-lebih menge­jut­kan para orang tua kedua teman Iwan, ialah anak-anak mereka su­dah setengah tahun tidak mem­ba­yar uang sekolah.

“Kami menerima uang tes, ma­ka kami memberi kelonggaran meng­­­­ikuti tes untuk akhir catur wulan. Kami kira, ibu-ibu akan melunasi uang sekolah sekarang,” ka­ta kepala sekolah.

“Bukankah Herman membuka usaha di depan sekolah?" Ibu Iwan merasa perlu mengutarakan pe­ngetahuannya.

“Usaha apa?” hampir serempak mereka yang berada di sana ber­tanya. Yang paling nampak adalah ibu­ Herman.

Mendengar itu, Maknya Iwan men­jadi ragu. Dengan suara terba­ta-bata, katanya, “Buka reparasi kecil-kecilan bersama tukang ban...” dan Mak itu hampir me­le­pas lanjutan ka­li­mat, bahwa Iwan mengambil uang banyak sekali dari warungnya untuk ‘dipinjamkan’ kepada te­man­nya itu.

Ketika kepala sekolah merasa sudah cukup mengorbankan wak­tu­­nya untuk mereka, dia me­mu­tus­kan:

“Se­baik­nya ibu-ibu berbicara kepada anak-anak Anda. Jangan sam­pai terlanjur mendapat penga­ruh buruk dari jalanan. Kecuali An­da, Ibunya Iwan. Anak Ibu pu­lang ke rumah setiap hari, bukan?”

Mak kebingungan, tidak tahu bagaimana harus menjawab secara tepat. Sejak si sulung lulus SLTP, dia menganggapnya sudah besar. Sudah tahu sendiri apa yang harus dikerjakan. Pak RT tidak pernah menyuruh-nyuruh anak itu ber­buat begini atau begitu. Jadi Mak juga meniru suaminya. Sekarang, ka­lau Iwan pulang makan, mandi atau untuk keperluan lain, Mak senang. Tetapi kalau anak itu tidak kelihatan, ya dia pasrahkan saja ke bawah Lindungan Yang Maha Ku­a­­sa.

“Dia pulang sore. Katanya ba­nyak tambahan pelajaran,” akhir­­nya itulah yang dikatakan Mak.

“Memang banyak ekstra kuri­ku­ler, Bu. Tetapi saya jarang me­li­hat Iwan mengikuti tambahan pelajaran itu,” sahut seorang guru.

Petang itu Pak RT pulang se­te­lah panggilan shalat Maghrib di­ku­mandangkan. Tergesa-gesa dia mandi dan melunasi tiga rekaat, la­lu mengenakan baju berkerah dan sarung.

Sementara itu orang mulai ber­da­tangan memasuki ruang perte­mu­an. Kaum muda lelaki dan pe­rem­puan, pria-pria lajang atau yang telah berumah tangga tapi lebih suka menghindar dari kerepotan anak tak hentinya memasuki pintu di sebelah ruang tamu Pak RT.

Tanpa menunggu lama, masing-masing tamu sudah mendapat ja­tah teh manis. Gelas-gelas itu di­le­takkan oleh pembantu di atas me­­ja rendah yang berderet di te­ngah, mengelilingi tiga atau empat pi­ring berisi kudapan. Para pe­la­yan sudah terdidik. Begitu pula pa­ra pendatang. Walaupun tidak se­mua dari mereka itu aktif men­ger­jakan sesuatu guna membantu ke­lancaran organisasi kampung, te­tapi semua tahu bahwa mengikuti pertemuan di rumah Pak RT tidak pernah rugi. Selain di situ suasana cerah, juga selalu banyak makanan dan rokok. Mereka pulang ber­pe­lu­ang mengantongi paling sedikit satu pak kretek atau filter, sesuai pilihan masing-mas­ing.

“Maaf! Maaf! Saya terlambat!” kalimat itu selalu mengiringi ma­suk­nya Pak RT ke dalam ruangan.

Dan selalu ada yang menjawab, “Tidak apa-apa. Pak RT orang yang sibuk. Kami mengerti.”

Disambut dari sisi lain:

“Ya benar. Kami semua tahu bahwa Pak RT pasti hadir mes­ki­pun kami harus menunggu. Pak RT tetap belum pernah terlambat meng­­iku­ti rapat kami!”

“Sebetulnya malahan kami yang merepotkan Bu RT. Kami min­­­ta maaf, selalu merepotkan ibu. Ini kami sudah mulai me­nik­m­ati hidangan,” kata-kata lain yang dimaksudkan lebih manis ter­de­ngar dari pojok lain.

“Silahkan! Silahkan! Direrus­kan saja,”tanggap Pak RT sambil me­nempatkan dirinya di atas tikar, lalu mendongak ke arah dalam, serunya, “Bu! Tehnya ditambah!”

Pembantu-pembantu me­yo­rong­kan ceret berisi tambahan mi­num­an.

Untuk beberapa saat terdengar pembicaraan.

“Anu 4, Pak RT, ini kami sedang memperbincangkan berita yang di­dengar tukang rokok di depan Ka­rang­rejo. Ada sopir taksi yang di­rampok katanya.”

“Ya, saya juga dengar,” sahut Pak RT, mulutnya mengunyah go­reng­an bergedel jagung penuh mi­nyak. “Apa beritanya sudah ma­suk koran atau televisi?”

“Kok belum ada. Padahal ka­ta­nya, sopir taksinya ditusuk pakai obeng,” seseorang menjelas­kan.

“Di mana kejadiannya?” Pak RT bertanya.

“Di situ saja! Di dekat Jatidiri!”

“Wah, dekat sekali! Kok polisi tidak sampai ke sini ya.”

“Yang saya dengar, satu pelaku sudah diringkus. Yang lain-lain ka­bur!”

“Ya, mengenai itu juga saya de­ngar. Penjual mi ayam pagi-pagi di depan toko saya yang cerita be­gitu.” Pak RT mengambil satu ber­ge­­del lagi, menyumpalkannya di an­tara gigi besarnya.

“Ayo kita mulai membicarakan lapangan volly saja! Jangan ngurusi rampokan. Itu biar diurus polisi!” kata seorang lelaki yang duduk ti­dak jauh dari pintu masuk.

“Betul! Betul! Kalau tidak, kita tidak akan selesai sampai besok pagi,” sahut suara lain.

Rundingan yang disebut rapat pun dimulai. Serius atau santai. Yang penting Pak RT tidak makan lagi. Dia kelihatan sibuk, berbi­cara, membantah, mengata­kan ga­gas­an­­nya. Begitu nampak terpi­kat dia sehingga sejak me­lang­kah­kan kaki ke dalam rumah petang itu, tak satu kali pun ingat apakah di­a sudah melihat anak sulungnya ha­­ri itu. Dia juga belum diberitahu oleh istrinya bahwa Iwan tidak na­ik kelas atau pun mangkir seko­lah pekan itu.

Pertemuan demikian diusaha­kan berakhir pukul sembilan. Atau paling lambat setengah sepuluh. Tetapi tidak jarang Pak RT mena­han dua atau tiga tetangga. Me­re­ka ngelantur mengobrol. Televisi di sudut ruang dinyalakan, mereka san­tai menonton, tiduran atau ber­sandar ke dinding. Pak RT mem­biarkan pintu terbuka, memanggil pen­jaja makanan apa saja: mi kop­yok, bakso atau sate. Mereka ma­kan dan berbicara, sementara ko­tak kaca dibiarkan terus menyiar­kan tayangan yang dipilih.

Malam itu, tiga tamu belum me­ninggalkan ruang pertemuan. Mereka bersama Pak RT menik­ma­ti sate ayam dengan lontong ke­nyal.

Sebuah jip memasuki kampung pukul sepuluh lebih sedikit. Satu ka­­li bertanya kepada tukang be­cak, kemudian berhenti di de­pan rumah Pak RT. Dua orang tu­run, langsung menuju pintu yang ter­bu­ka. Bau daging bakar ber­bum­bu memenuhi udara malam lem­bab.

“Selamat malam,” lelaki yang terdekat dengan pintu melongok­kan kepala memberi salam.

Pak RT bangkit dari tikar, me­ne­mui si pendatang. Mata ba­pak itu melirik ke kejauhan. Ada tiga lelaki lain. Seorang di tengah-te­ngah halaman, seorang di pagar, se­orang lagi duduk di belakang kemudi.

“Bapak Rajiman?”

“Ya, saya sendiri,” sahut Pak RT.

Terdengar suara bebincang ren­dah. Kelihatan kepala Pak RT ter­te­gak. Satu kali menengok ke arah dalam rumah. Dia menggan­deng le­ngan orang yang baru da­tang, me­nariknya menjauhi pintu.

Dua menit kemudian Pak RT masuk kembali, langsung menuju ke rumah induk. Dia memanggil-manggil. Sesaat berlalu, jelas ter­den­gar bahwa waktu istirahat seisi rumah terganggu. Nama Iwan di­se­­­but-sebut. Percakapan yang ka­cau menyusul perbantahan di an­ta­ra penghuni. Tiba-tiba ada suara pembantu lain yang lebih jelas, “Sudah hampir seminggu Gus Iwan tidak pulang.”

Lalu Pak RT muncul di pintu, sudah mengenakan celana pan­jang. Katanya singkat kepada tamunya yang baru menikmati daging sate, “Maaf, saya harus pergi. Sila­kan Anda pulang. Biar pintu di­tu­tup.”

Lima menit berlalu sejak ke­da­tang­an tamu baru itu, Pak RT me­nye­tir kendaraannya mengikuti jip ke­luar kampung. Seorang tetangga du­duk di sampingnya. Dia me­na­war­kan diri menemani Pak RT ke kantor polisi.

Serse memberitahu bapaknya Iwan, bahwa Khodir ditangkap di terminal Jatingaleh. Dia berlari ke­tika polisi menyelidiki kasus pe­ram­pokan dan penusukan sopir taksi dinihari sebelumnya. Karena tidak mau berhenti sewaktu di­pang­­gil, kakinya ditembak. Maka ketahuan bahwa dia membawa senjata tajam. Di sakunya terdapat bungkus rokok berisi lintingan gan­­ja siap pakai. Juga sebuah ko­tak korek api penuh butiran obat terlarang. Belum ketahuan pasti jenis apa.

Khodir mengaku bahwa dia me­lakukan perampokan dibantu oleh Herman dan Iwan. Pak RT harus memberitahu polisi alamat se­mua kenalan atau saudara yang mungkin dijadikan tempat ber­sem­bunyi kedua remaja itu.

“Saya tidak tahu apa maunya anak-anak ini!” kata Pak RT se­per­ti kepada dirinya sendiri. “Saya dan ibunya membanting tulang me­mutar otak untuk mencari uang. Supaya mereka hidup layak, bisa sekolah. Tetapi nyatanya... .”

Tetangga di sebelah Pak RT ti­dak berani mengeluarkan penda­pat. Dia adalah satu dari mereka yang selalu dibantu Pak RT supaya bi­sa hidup berkecukupan. Tugas­nya malam itu adalah menema­ni Pak RT. Bukan untuk berbica­ra.**­*­



1. Sumber air/telaga terletak di antara dua pancuran.

2. Teh kental

3. Kamu

4. Kata tambahan dalam bahasa Jawa, biasanya dipakai karena gugup atau sungkan

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda