Oleh: Nh Dini
Pak RT tergesa masuk, bertanya kepada istrinya:
“Mana Iwan?”
“Belum kelihatan.”
“Jum’atan apa tidak dia.”
Istrinya tidak menanggapi, karena Pak RT seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Perempuan itu sibuk menghitung bungkusan gula pasir yang baru selesai dia timbang. Satu on, seperempat, setengah dan satu kilo-an. Kini masing-masing mengelompok, ditata di rak warung. Tetangga lebih banyak membeli kurang dari satu kilo. Maka kantung-kantung plastik kecil lebih banyak terisi di rak-rak itu.
Sudah tiga tahun bapaknya Iwan menjadi RT. Karena dekat dengan Pak Lurah, dia sering mendapat persenan keuntungan menjual tanah atau rumah di kawasan sana. Dia memang mahir mempengaruhi calon pembeli. Lalu bapaknya Iwan menjadi terkenal sebagai makelar tanah dan rumah.
Pada suatu ketika, uang yang dia terima cukup untuk membeli sebuah rumah reyot di pinggir jalan, tidak jauh dari pasar Jatingaleh. Bapaknya Iwan berpatungan dengan Pak Lurah, mendirikan usaha penjualan kayu, paving, ubin, semua keperluan MCK. Dan bila orang memerlukan barang yang tidak nampak di situ, Pak RT sanggup mencarikan. Semua tergantung pada komisi yang disepakati.
Iwan adalah sulung dari empat anak.
Pak RT bukan kepala keluarga teladan, karena anaknya lebih dari dua, lebih dari tiga. Sekarang setelah rezeki semakin deras datang, dia bahkan semakin mengkhianati program pemerintah: dia ingin menambah dua atau tiga anak lagi. Dia pikir, buat apa rezeki kalau tidak untuk membangun keluarga besar! Padahal, tempat yang telah dia miliki itu sudah sangat pas. Dua anak lelaki, dua perempuan. Kebetulan yang perempuan berada di tengah-tengah. orang Jawa bilang: Sendang kapit pancuran.1
Ketika ayahnya menjadi RT, usia Iwan 16 tahun. Dia baru lulus SLTP. Adiknya yang terkecil delapan tahun. Dan sejak ayahnya mempunyai kedudukan tersebut, sekaligus mengurusi muda-mudi kampung, sekaligus selalu repot di toko material bangunan, semuanya berubah bagi Iwan.
Dia merasa hidup lebih leluasa. Dia bebas, karena bisa berbuat apa pun sesuai kemauannya. Karena bapak itu jarang berada di rumah di saat Iwan pulang untuk makan siang. Sore ketika kebanyakan keluarga berkumpul, Pak RT masih mengurusi usahanya. Atau bila tiba-tiba pulang sebelum pukul tujuh, dia bergegas mandi lalu pergi lagi memimpin pertemuan ini atau itu di salah satu ruangan kantor kelurahan.
Jika ada tetangga yang usil bertanya mengapa dia begitu cepat pergi lagi keluar rumah, jawabnya yang paling sering adalah “Saya harus ke pertemuan.”
Atau:
“Muda-mudi itu harus ada yang mengarahkan.”
Adik Iwan sudah berangkat remaja, menjadi gadis kecil dan berani memprotes:
“Bapak pergi-pergi terus! Kalau tidak di toko, selalu di kelurahan!”
Anak-anaknya sangat hafal dengan jawaban Pak RT:
“Di toko aku tidak menganggur! Aku mencari uang buat kalian! Buat kita!”
Yuni, adik Iwan yang paling cerewet menginginkan ayahnya kadangkala datang ke sekolah mengambil rapor seperti orang tua- orang tua lain.
“Aku tidak punya waktu,” itulah jawaban Pak RT. Lalu diteruskan: “Biar ibumu yang pergi.”
Iwan hidup di luar, nyaris menjadi anak jalanan, menggerombol bersama teman-teman sesama seragam SMU di perhentian bis, di warung-warung kopi atau di kios rokok yang juga menyediakan minuman pembakar tenggorokan. Rokok yang dihisap bukan lagi merk dikenal, melainkan lintingan daun kering yang mampu membikin perasaan melayang-layang. Tubuh Iwan kurus kering. Tetapi tak satu pun anggota keluarganya memperhatikan.
Semua nampak bahagia. Keluarga Pak RT kelihatan sejahtera. Penduduk sekitar tetap banyak yang tidak mampu. Tapi mereka menyukai Pak RT yang selalu penuh pengabdian.
Rumah berganti ubin. Kini lantainya keramik putih berkilau. Bagian depan, seluruh kepanjangan dinding tertutup bahan yang sama, sehingga terang memantulkan cahaya hari. Ketika rumah di samping dijual, Pak RT langsung membelinya. Dia bikin sebuah ruangan polos, menjadi bangsal aula cukup besar. Di situ tikar digelar. Lalu dilengkapi meja-meja pendek. Katanya, “Ini untuk pertemuan-pertemuan. Pintu-pintu bisa dipasang atau dicopot. Bapak-bapak, PKK, muda-mudi rapat di sini. Dengan begitu, Mak kalian dan aku tidak akan sering berada di luar.”
Di waktu itulah ibu Iwan berkata kepada suaminya, “Bikinkan aku warung. Sekarang anak-anak sudah besar, aku tidak perlu memngawasinya. Aku ingin mencari uang sendiri. Beri aku modal. Kecil-kecilan saja. Hanya kebutuhan rumah tangga sehari-hari.”
Ternyata dagangan itu pun berjalan lancar. Yang dijajakan di warung bertambah: alat-alat tulis, bahkan perangko, meterai, obat-obatan.
Bapak dan ibu mabok dengan keberhasilan mencari uang. Dan karena rezeki berlimpahan, pembantu yang dua orang ditambah satu lagi. Kadang-kadang menjadi tiga jika saudara ibunya Iwan datang dari lereng gunung Sumbing. Kemenakan, adik atau saudaranya ipar, siapa saja yang berasal dari desa sama. Pembantu itu bisa bertambah lagi di saat tetangga datang mengobrol. Kebanyakan penduduk di sana tidak seberuntung keluarga Pak RT. Mereka selalu kekurangan. Selalu ada yang lewat, lalu singgah, lalu membantu mengerjakan ini atau itu. Kemudian, tiba-tiba, dia ingat harus menanak nasi atau menjemur cucian. Ibunya Iwan tidak lupa menyumpalkan uang dua ribu ke dalam genggaman si tetangga. Di lain waktu, ada tetangga yang berani berkata, “Kalau boleh, minta gula dan kopinya saja sedikit.”
Dan kalau itu sudah diberikan, ada yang sampai hati menunjuk stoples di atas rak, sambil katanya:
“Apa boleh minta tehnya? Buat satu kali cem-ceman2 saja.”
Ibunya Iwan baik hati.
Sama seperti suaminya, dia terkenal sebagai orang yang tidak tega. Pasangan itu banyak menolong dan membantu penduduk sekitar. Itulah salah satu sebab mengapa bapaknya Iwan menjadi RT, dilanjutkan dipasrahi membina kaum muda di sana.
Pada suatu siang, Iwan sengaja memperlihatkan diri, turut bersembahyang Jum’at di belakang ayahnya. Mereka pulang bersama, berjalan kaki menuju rumah yang terletak tidak jauh dari masjid. Kali itu Iwan bahkan makan siang di meja keluarga. Yang terkumpul adalah ibu, ayah dan dua adiknya.
Sambil makan, Iwan mengeluarkan kalimat yang sejak beberapa pekan didiktekan teman-temannya. Dia minta dibelikan kendaraan.
"Tidak usah baru, Pak. Asal masih bagus jalannya. Buat sekolah.”
Pak RT punya sebuah kijang. Untuk toko, semula dia sediakan satu kendaraan bak terbuka. Tapi pekan kemarin dia tambah satu lagi, karena seorang kenalan terdesak kebutuhan uang, menawarkannya kepadanya. Bisa dibayar dua kali. Kebetulan memang bapaknya Iwan sedang berpikir-pikir akan menambah sarana penataran pesanan yang semakin sering datang. Orang terus membangun. Di mana-mana orang memerlukan kayu, batu atau pasir. Sekarang, kendaraan yang kedua itu melulu hanya untuk mengangkut bahan-bahan kotor. Sedangkan yang pertama, selain buat keperluan toko, akan lebih mudah disewakan buah pindahan atau lainnya jika bak belakang selalu kelihatan bersih.
“Apa kamu naik kelas nanti kok minta dibelikan kendaraan,” suara Pak RT tidak bertanya. “Kamu sudah memperbaiki prestasimu di kelas? rapormu yang paling akhir jelek sekali, bukan?”
Rupanya si ayah masih ingat juga bahwa anak sulungnya mencetak empat angka di bawah sedang di catur wulan yang lalu. Hal ini agak mengejutkan Iwan. Karena dalam keseharian, Pak RT tidak pernah menunjukkan kepedulian tentang kehadirannya. Lebih-lebih menyuruhnya belajar.
“Kalau punya kendaraan sendiri, aku bisa mengantarkan Yuni setiap pagi,” Iwan kelihatan tidak was-was mengenai angka-angka di rapornya.
“Itu benar,” tiba-tiba si ibu ikut urun bicara. “Apa lagi ini nanti musim hujan, kendaraan umum selalu datang terlambat karena jalan macet. Anak-anak repot, kena hujan...”.
“Di kelas, tinggal aku yang belum punya kendaraan,” kata Iwan lagi. Dan dia tidak khawatir ayahnya akan menyelidiki kebenarannya. Kebohongan memang sudah mendasari hidup Iwan. Yang dia katakan tadi entah merupakan kebohongan yang keberapa kali yang dia ucapkan sejak pagi hari itu. Karena Iwan semakin sering mengatakan hal yang hanya terjadi di kepalanya. Yang dia inginkan demikian. Kadang-kadang, kenyataan dan harapannya sudah begitu menyatu, sehingga dia sendiri terjerat dalam khayalannya. Mana yang sungguh ada, atau mana yang dia harap ada, ruwet menjadi satu.
Teman-temannya menyuruh Iwan mengambil uang di warung Mak. Kini teman-teman itu menyulut api pemberontakan terhadap Pak RT:
“Ayahmu kaya. Baru saja membeli kendaraan lagi untuk tokonya. Padahal seharusnya kamu yang dibelikan kendaraan! Minta saja! Kalau kamu punya roda dua, kita bisa cari uang. Bisa turut berpacu di Jatidiri,” begitu kata Herman, temannya yang paling menonjol. Di mana ada kegiatan berkelompok, Herman-lah yang mengepalai.
Stadion Jatidiri besar. Sebetulnya merupakan kebanggaan penduduk ibu kota propinsi. Tetapi pemanfaatannya sangat kecil. Rumput ilalang bertumbuhan nyaris setinggi orang. Jika pertandingan akan diselanggarakan di sana, barulah bagian-bagian tertentu dirapikan. Sudut dan selinapan yang dekat pagar dibiarkan, sehingga tanaman dan perdu liar berduri berdesakan menjadi sarang aneka binatang melata. Di sanalah, di waktu malam, terjadi kebut-kebutan. Pemuda-pemuda tanggung memacu kendarasan mewah beroda empat atau dua, sampai mobil-mobil dan kendaraan roda dua lain yang setengah rongsokan. Mereka tidak hanya melampiaskan nafsu mengatasi lawan dengan kecepatan. Di sana mereka juga menghambakan diri pada kemaksiatan berjudi.
“Benar,” kata kawan Iwan yang lain. “Kalau Khodir yang bawa kendaraanmu, pasti kita menang. Lalu kita bisa bikin oplosan lain. Aku mendapat resep baru dari tetangga yang datang dari gunungkidul...,” dan yang disebut Khodir mengangguk-angguk. Dia yang paling lama memiliki kendaraan. Seusai sekolah, menjadi kernet omprengan. Karena badannya lebih tinggi dan besar dari anggota kelompok itu, semua teman Iwan sungkan kepada Khodir.
Iwan termakan oleh gosokan itu.
Tetapi Pak RT tidak termakan oleh rayuan si anak. Dan karena merasa permintaannya tidak bakal terpenuhi, Iwan meninggalkan rumah sebelum keluarga selesai menyunyah pisang. Dia keluar masih mendengar omelan Mak terhadap suaminya, “Sampeyan3 ini bagaimana! Punya anak lelaki, sulung, tidak dimanja. Minta kendaraan saja...”.
Lalu alur keseharian kembali seperti semula, berlanjut biasa.
Hanya, pada suatu pagi ketika Mak akan membuka warung, terkejut bukan kepalang karena uang yang dia selipkan di belakang stoples di rak paling atas hilang. Sampul coklat masih ada tetapi kosong. Terakhir dia masukkan uang kemarin malam, jumlahnya mendekati tujuh ratus ribu.
“Pasti Iwan yang mengambil!” kata Mak seorang diri. Dia mengira anaknya marah karena permintaannya ditolak Pak RT.
Mak tunggu anak sulung itu seharian. Baru muncul hampir petang. Mak takut bicara kasar, dia tunggu lagi sampai anak itu mandi, lalu akan mengenakan baju. Mak turut masuk kamar. Alangkah terkejut dia melihat tulang iga Iwan yang mencuat, dadanya kerempeng. Rupanya baru kali itulah dia menyadari betapa kurusnya si sulung yang dia bangga-banggakan.
Mak bertanya mengapa mengambil uang sebanyak itu. Biasanya, pagi Iwan dan Yuni disuruh mengambil uang sendiri di kotak di dalam laci. Tidak banyak. Paling-paling lima ribu. Kalau ada keperluan sekolah bisa sepuluh atau dua puluh ribu. Mak bertanya lembut, bahkan nyaris merayu si anak, untuk apa uang itu.
Tenang dan tanpa ragu Iwan menyahut, “Kuberikan kepada Herman. Dia mau buka usaha, kasihan tidak punya modal,” lalu dari saku celana seragam yang kembali dia pakai, dia keluarkan gumpalan uang lusuh. Diberikan kepada Mak, meneruskan bicaranya, “Ini sisanya.”
Mak menghitung, dua ratus ribu lebih sedikit.
“Nanti kalau usahanya berjalan, Herman akan mengembalikan. Malahan mungkin dengan bunga,” kata Iwan lagi.
Mak lega.
“Apa usaha temanmu?”
“Bengkel kecil-kecilan, di muka sekolah, bersama tukang pompa ban.”
Lalu Iwan terburu-buru, menutup kancing baju, menggosok rambut dengan kain apa saja yang tersampir di sana.
“Mau ke mana?” Mak bertanya. “Makan dulu! Kamu kurus. Mukamu pucat. Tadi siang kamu juga tidak pulang makan.”
“Aku jajan bakso tadi,” Iwan menyahut, sudah menyambar tas dan melangkah ke pintu kamar akan keluar, berhenti lalu katanya “Minta Rp 10.000, Mak”.
“Ke mana?” Mak masih mengikuti, tangannya mengulurkan satu lembar sepuluh ribuan.
“Mau belajar bersama teman-teman. Besok pagi langsung ke sekolah.”
Mak harus puas dengan jawaban tersebut, karena si sulung sudah berlalu. Rambutnya masih basah dan belum disisir. Tapi tidak apa-apa, Iwan pergi untuk belajar di rumah kawannya. Hati Mak tenang. Di sana tentu disuguhi makanan. Apa lagi, anaknya bawa uang, bisa jajan. Banyak makanan dijajakan di malam begitu. Mak berpikir, lebih baik mengetahui anaknya berada di rumah teman, tidak keluyuran. Itu baik.
Itu memang baik jika memang demikianlah kejadian yang sesungguhnya. Dan yang sesungguhnya terjadi ialah, dua hari kemudian orang tua diminta datang mengambil rapor. Seperti biasa, Mak yang berangkat. Kepala sekolah menemuinya bersama sekelompok orang tua lain di ruang tersendiri. Juga hadir dua guru.
Rupanya, anak-anak mereka tidak naik kelas. Rapor anak-anak itu semakin lama semakin jelek. Khodir berkali-kali mangkir, Herman sudah dua bulan tidak masuk. Iwan sendiri, tidak nampak di sekolah sejak empat hari.
“Dia berangkat sekolah setiap pagi,” istri Pak RT berkata membela anaknya.
Seorang guru melihat ke buku catatan, menanggapi, “Hari Senin masih masuk, tapi Selasa, Rabu sampai hari ini tidak kelihatan.”
Dan yang lebih-lebih mengejutkan para orang tua kedua teman Iwan, ialah anak-anak mereka sudah setengah tahun tidak membayar uang sekolah.
“Kami menerima uang tes, maka kami memberi kelonggaran mengikuti tes untuk akhir catur wulan. Kami kira, ibu-ibu akan melunasi uang sekolah sekarang,” kata kepala sekolah.
“Bukankah Herman membuka usaha di depan sekolah?" Ibu Iwan merasa perlu mengutarakan pengetahuannya.
“Usaha apa?” hampir serempak mereka yang berada di sana bertanya. Yang paling nampak adalah ibu Herman.
Mendengar itu, Maknya Iwan menjadi ragu. Dengan suara terbata-bata, katanya, “Buka reparasi kecil-kecilan bersama tukang ban...” dan Mak itu hampir melepas lanjutan kalimat, bahwa Iwan mengambil uang banyak sekali dari warungnya untuk ‘dipinjamkan’ kepada temannya itu.
Ketika kepala sekolah merasa sudah cukup mengorbankan waktunya untuk mereka, dia memutuskan:
“Sebaiknya ibu-ibu berbicara kepada anak-anak Anda. Jangan sampai terlanjur mendapat pengaruh buruk dari jalanan. Kecuali Anda, Ibunya Iwan. Anak Ibu pulang ke rumah setiap hari, bukan?”
Mak kebingungan, tidak tahu bagaimana harus menjawab secara tepat. Sejak si sulung lulus SLTP, dia menganggapnya sudah besar. Sudah tahu sendiri apa yang harus dikerjakan. Pak RT tidak pernah menyuruh-nyuruh anak itu berbuat begini atau begitu. Jadi Mak juga meniru suaminya. Sekarang, kalau Iwan pulang makan, mandi atau untuk keperluan lain, Mak senang. Tetapi kalau anak itu tidak kelihatan, ya dia pasrahkan saja ke bawah Lindungan Yang Maha Kuasa.
“Dia pulang sore. Katanya banyak tambahan pelajaran,” akhirnya itulah yang dikatakan Mak.
“Memang banyak ekstra kurikuler, Bu. Tetapi saya jarang melihat Iwan mengikuti tambahan pelajaran itu,” sahut seorang guru.
Petang itu Pak RT pulang setelah panggilan shalat Maghrib dikumandangkan. Tergesa-gesa dia mandi dan melunasi tiga rekaat, lalu mengenakan baju berkerah dan sarung.
Sementara itu orang mulai berdatangan memasuki ruang pertemuan. Kaum muda lelaki dan perempuan, pria-pria lajang atau yang telah berumah tangga tapi lebih suka menghindar dari kerepotan anak tak hentinya memasuki pintu di sebelah ruang tamu Pak RT.
Tanpa menunggu lama, masing-masing tamu sudah mendapat jatah teh manis. Gelas-gelas itu diletakkan oleh pembantu di atas meja rendah yang berderet di tengah, mengelilingi tiga atau empat piring berisi kudapan. Para pelayan sudah terdidik. Begitu pula para pendatang. Walaupun tidak semua dari mereka itu aktif mengerjakan sesuatu guna membantu kelancaran organisasi kampung, tetapi semua tahu bahwa mengikuti pertemuan di rumah Pak RT tidak pernah rugi. Selain di situ suasana cerah, juga selalu banyak makanan dan rokok. Mereka pulang berpeluang mengantongi paling sedikit satu pak kretek atau filter, sesuai pilihan masing-masing.
“Maaf! Maaf! Saya terlambat!” kalimat itu selalu mengiringi masuknya Pak RT ke dalam ruangan.
Dan selalu ada yang menjawab, “Tidak apa-apa. Pak RT orang yang sibuk. Kami mengerti.”
Disambut dari sisi lain:
“Ya benar. Kami semua tahu bahwa Pak RT pasti hadir meskipun kami harus menunggu. Pak RT tetap belum pernah terlambat mengikuti rapat kami!”
“Sebetulnya malahan kami yang merepotkan Bu RT. Kami minta maaf, selalu merepotkan ibu. Ini kami sudah mulai menikmati hidangan,” kata-kata lain yang dimaksudkan lebih manis terdengar dari pojok lain.
“Silahkan! Silahkan! Direruskan saja,”tanggap Pak RT sambil menempatkan dirinya di atas tikar, lalu mendongak ke arah dalam, serunya, “Bu! Tehnya ditambah!”
Pembantu-pembantu meyorongkan ceret berisi tambahan minuman.
Untuk beberapa saat terdengar pembicaraan.
“Anu 4, Pak RT, ini kami sedang memperbincangkan berita yang didengar tukang rokok di depan Karangrejo. Ada sopir taksi yang dirampok katanya.”
“Ya, saya juga dengar,” sahut Pak RT, mulutnya mengunyah gorengan bergedel jagung penuh minyak. “Apa beritanya sudah masuk koran atau televisi?”
“Kok belum ada. Padahal katanya, sopir taksinya ditusuk pakai obeng,” seseorang menjelaskan.
“Di mana kejadiannya?” Pak RT bertanya.
“Di situ saja! Di dekat Jatidiri!”
“Wah, dekat sekali! Kok polisi tidak sampai ke sini ya.”
“Yang saya dengar, satu pelaku sudah diringkus. Yang lain-lain kabur!”
“Ya, mengenai itu juga saya dengar. Penjual mi ayam pagi-pagi di depan toko saya yang cerita begitu.” Pak RT mengambil satu bergedel lagi, menyumpalkannya di antara gigi besarnya.
“Ayo kita mulai membicarakan lapangan volly saja! Jangan ngurusi rampokan. Itu biar diurus polisi!” kata seorang lelaki yang duduk tidak jauh dari pintu masuk.
“Betul! Betul! Kalau tidak, kita tidak akan selesai sampai besok pagi,” sahut suara lain.
Rundingan yang disebut rapat pun dimulai. Serius atau santai. Yang penting Pak RT tidak makan lagi. Dia kelihatan sibuk, berbicara, membantah, mengatakan gagasannya. Begitu nampak terpikat dia sehingga sejak melangkahkan kaki ke dalam rumah petang itu, tak satu kali pun ingat apakah dia sudah melihat anak sulungnya hari itu. Dia juga belum diberitahu oleh istrinya bahwa Iwan tidak naik kelas atau pun mangkir sekolah pekan itu.
Pertemuan demikian diusahakan berakhir pukul sembilan. Atau paling lambat setengah sepuluh. Tetapi tidak jarang Pak RT menahan dua atau tiga tetangga. Mereka ngelantur mengobrol. Televisi di sudut ruang dinyalakan, mereka santai menonton, tiduran atau bersandar ke dinding. Pak RT membiarkan pintu terbuka, memanggil penjaja makanan apa saja: mi kopyok, bakso atau sate. Mereka makan dan berbicara, sementara kotak kaca dibiarkan terus menyiarkan tayangan yang dipilih.
Malam itu, tiga tamu belum meninggalkan ruang pertemuan. Mereka bersama Pak RT menikmati sate ayam dengan lontong kenyal.
Sebuah jip memasuki kampung pukul sepuluh lebih sedikit. Satu kali bertanya kepada tukang becak, kemudian berhenti di depan rumah Pak RT. Dua orang turun, langsung menuju pintu yang terbuka. Bau daging bakar berbumbu memenuhi udara malam lembab.
“Selamat malam,” lelaki yang terdekat dengan pintu melongokkan kepala memberi salam.
Pak RT bangkit dari tikar, menemui si pendatang. Mata bapak itu melirik ke kejauhan. Ada tiga lelaki lain. Seorang di tengah-tengah halaman, seorang di pagar, seorang lagi duduk di belakang kemudi.
“Bapak Rajiman?”
“Ya, saya sendiri,” sahut Pak RT.
Terdengar suara bebincang rendah. Kelihatan kepala Pak RT tertegak. Satu kali menengok ke arah dalam rumah. Dia menggandeng lengan orang yang baru datang, menariknya menjauhi pintu.
Dua menit kemudian Pak RT masuk kembali, langsung menuju ke rumah induk. Dia memanggil-manggil. Sesaat berlalu, jelas terdengar bahwa waktu istirahat seisi rumah terganggu. Nama Iwan disebut-sebut. Percakapan yang kacau menyusul perbantahan di antara penghuni. Tiba-tiba ada suara pembantu lain yang lebih jelas, “Sudah hampir seminggu Gus Iwan tidak pulang.”
Lalu Pak RT muncul di pintu, sudah mengenakan celana panjang. Katanya singkat kepada tamunya yang baru menikmati daging sate, “Maaf, saya harus pergi. Silakan Anda pulang. Biar pintu ditutup.”
Lima menit berlalu sejak kedatangan tamu baru itu, Pak RT menyetir kendaraannya mengikuti jip keluar kampung. Seorang tetangga duduk di sampingnya. Dia menawarkan diri menemani Pak RT ke kantor polisi.
Serse memberitahu bapaknya Iwan, bahwa Khodir ditangkap di terminal Jatingaleh. Dia berlari ketika polisi menyelidiki kasus perampokan dan penusukan sopir taksi dinihari sebelumnya. Karena tidak mau berhenti sewaktu dipanggil, kakinya ditembak. Maka ketahuan bahwa dia membawa senjata tajam. Di sakunya terdapat bungkus rokok berisi lintingan ganja siap pakai. Juga sebuah kotak korek api penuh butiran obat terlarang. Belum ketahuan pasti jenis apa.
Khodir mengaku bahwa dia melakukan perampokan dibantu oleh Herman dan Iwan. Pak RT harus memberitahu polisi alamat semua kenalan atau saudara yang mungkin dijadikan tempat bersembunyi kedua remaja itu.
“Saya tidak tahu apa maunya anak-anak ini!” kata Pak RT seperti kepada dirinya sendiri. “Saya dan ibunya membanting tulang memutar otak untuk mencari uang. Supaya mereka hidup layak, bisa sekolah. Tetapi nyatanya... .”
Tetangga di sebelah Pak RT tidak berani mengeluarkan pendapat. Dia adalah satu dari mereka yang selalu dibantu Pak RT supaya bisa hidup berkecukupan. Tugasnya malam itu adalah menemani Pak RT. Bukan untuk berbicara.***
1. Sumber air/telaga terletak di antara dua pancuran.
2. Teh kental
3. Kamu
4. Kata tambahan dalam bahasa Jawa, biasanya dipakai karena gugup atau sungkan
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
0 komentar:
Posting Komentar