Oleh: Waluya DS
Seperti biasanya untuk menghilangkan ketegangan urat-urat badannya lelaki tua itu mengambil bubble bath. Sering satu atau dua jam merendam diri sambil mempermainkan buih-buih sabun yang memenuhi bath tub dia bisa merasakan kesendiriannya dan melupakan persoalan-persoalan yang menjerat perasan serta pemikiran. Buih-buih sabun itu semakin bertambah setiap kali dia berkecimpung.
Diamatinya kedua telapak tangannya yang penuh dengan buih-buih sabun yang memantulkan warna-warni pelangi. Sesekali ditiupnya buih-buih itu dan beberapa gelembung melayang berputar-putar. Dan setiap kali gelembung-gelembung sabun itu pecah dia merasakan satu kekecewaan seperti tergugah dari impian yang mempesonakan. Persis seperti masa kanak-kanaknya di halaman belakang rumahnya di Noumea, dengan pipa dari semacam rumput kering dia menghembus air embun dan belasan gelembung beterbangan dipermainkan angin. Suatu kali, satu gelembung tetap bergantung di ujung pipa rumput kering itu tak mau pergi. Dengan hati-hati dihembusnya gelembung itu yang semakin membesar. Warna-warni pelangi terpantul dengan indahnya. Juga nampak bayangan dirinya yang lucu. Dia pikir bila gelembung ini terbang nanti bersama potret dirinya itu, dia pasti akan bisa melihat rumah-rumah, pepohonan serta sungai-sungai dari angkasa. Tapi dia belum mau melepaskan gelembung itu karena dia takut potret dirinya itu nanti akan merasa sendiri dan sepi di angkasa. Diamatinya dengan lebih teliti gelembung itu, mungkin ada awan atau saudaranya yang lain di dalam gelembung itu. Dengan hati-hati ditusuknya gelembung itu dengan ujung jarinya. Dan dia begitu tertegun, permainan dan impiannya justru mengukuhkan rasa sepi dan sendiri.
“Di negeri leluhur kita, Nak, kau tak akan pernah merasa sepi atau sendiri.” Begitu tutur ibunya suatu hari waktu dia merengek karena tak ada kawan bermain dan beberapa saudara tuanya tak ada di rumah, sedang kedua orang tuanya selalu sibuk dengan usaha dagang mereka.
“Ceritakanlah negeri leluhur itu padaku, Ibu?”
Bila ada waktu ibunya dengan tak bosan-bosan bercerita dongeng-dongeng Panji, Ken Arok, Damarwulan, Joko Tingkir, Aryo Jipang, Ki Pemanahan, Sutawijoyo, bahkan juga bagaimana keramatnya Kreto Kencono Kanjeng Susuhunan. Dongeng-dongeng itu begitu indah dan memukau. Dan dia tak bisa mengerti kenapa orang tuanya meninggalkan Negeri Leluhur yang begitu mempesona. Setiap pertanyaan yang dilontarkannya selalu lewat tanpa terjawab.
Hanya secara kebetulan suatu hari salah seorang saudaranya begitu jengkel dengan pertanyaan yang selalu berulang-ulang memberikan jawaban yang cukup memuaskan.
“Rupanya dongeng-dongeng ibu telah begitu meracunimu, Rio.”
“Namaku Aryo dan bukan Rio,” protesnya. Dia lebih senang dipanggil dengan nama sebenarnya yang lebih punya bobot karena nama Aryo mencerminkan darah bangsawan yang mengalir di tubuhnya.
“Nah, apa kataku, Rio. Kebanggaan yang baru kau tunjukkan itu tak ada artinya sekali di sini. Jangan kau biarkan angan-anganmu menggelembung dan menelan dirimu sendiri nanti.”
“Tapi namaku bukan Rio,” potongnya.
“Kau mau tahu jawabanku atau mau protes melulu?”
Dia hanya mengangguk karena jawaban saudaranya terasa lebih penting daripada mempertengkarkan namanya.
“Bagus. Kau sudah menunjukkan satu kemajuan ke arah pemikiran yang praktis dan realistis. Lupakanlah dongeng-dongeng dan Negeri Leluhur itu. Lebih baik kau coba membina hidupmu di sini; itu lebih penting.”
“Tapi itu hidupku sendiri.”
“Aku hanya ingin supaya kau tak kecewa nanti. Setiap adat dan kebudayaan punya kelebihan dan kekurangan yang tak bisa dicomot di sana-sini. Kau hanya harus terima utuh.”
“Maksudmu?”
“Dengan bapak kita di Negeri Leluhur dahulu, dia merasa terpenjara oleh adat dan kebudayaan yang lebih merupakan beban daripada usaha manusia untuk memuliakan hidupnya. Sebagai putra seorang pangeran yang dilahirkan oleh salah seorang selir, bapak merasa tidak punya tempat dan hak.
Pertemuannya dengan Tuan van Stifhout, pendeta Belanda yang akhirnya membaptisnya sebagai orang Kristen telah membukakan lembaran baru dalam hidupnya. Dengan salah seorang anggota jemaah gereja yang lain Babah Loo Cin Yong, bapak melakukan usaha dagang bersama yang cukup berhasil. Sebagai keluarga bangsawan jadi Kristen dan punya usaha dagang dengan orang Cina terlalu memalukan keluarga. Banyak usaha dilakukan untuk mendepak bapak. Salah satu di antaranya, waktu itu kau masih dalam kandungan, ada huru-hara yang dilakukan oleh kalangan tentara penjajah Belanda yang didalangi Tuan Sneevliet. Didesas-desuskan bahwa bapak ikut terlibat hanya karena pernah terlihat berbicara dengan Tuan Semaun yang merupakan kader Tuan Sneevliet. Dan juga diberitakan bahwa usaha dagang bapak sebenarnya hanyalah usaha terselubung untuk memudahkan gerakan kader-kader Komunis. Tentu hasil usaha dagang itu juga dipakai untuk membiayai kegiatan mereka. Orang selalu dengan gampang mencelupkan tangan untuk ikut mengeruhkan suasana, bukan? Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak di inginkan, karena cintanya pada kita semua, bapak membawa kita untuk memulai hidup baru di Noumea.
Pernah kudengar bapak sedang bicara pada ibu bahwa bapak tidak menyesal sama sekali meninggalkan Jawa. Bahkan dia merasa beruntung mengambil keputusan sebelum tuduhan atas dirinya menjadi-jadi. Beberapa tahun setelah kita menetap di Noumea, bapak dengar khabar bahwa orang- orang Komunis atau yang dicurigai sebagai Komunis dibuang ke Digul oleh pemerintah penjajahan.”
Jawaban saudaranya itu justru menimbulkan beberapa pertanyaan baru. Kenapa harus merisaukan martabat keluarga yang sebetulnya tidak dengan tulus menerima bapaknya sebagai bagian dari keluarga itu? Bukankah tanggung jawab bapaknya sebenarnya hanya pada keluarga mereka sendiri? Seharusnya bapaknya lebih baik tetap di Jawa untuk membuktikan bahwa dia tak ada hubungan sama sekali dengan kaum Komunis. Dengan melarikan diri bukankah ini justru memperkuat tuduhan yang sebenarnya, bukan?
Semua perayaan itu selalu menggodanya, namun dia hanya diam saja karena sudah berjanji tak akan bertanya-tanya lagi. Memang tidak gampang memisahkan benang yang kusut. Lebih baik memulai satu kehidupan yang baru seperti nasehat saudaranya. Tapi tak bisa di sini, di Noumea yang semasa bukan tempatnya. Dia betul-betul merasa tersisih mencari tempat berpijak meskipun saat ini hanyalah dalam dongeng-dongeng dan kerinduan pada Ratu Adil. Mungkin dongeng-dongeng dan riwayat bapaknya sebetulnya tak pernah ada. Bagaimana kalau semua itu hanya tutur kata untuk menghiburnya saja? Tapi setiap kali melihat sekelilingnya, orang-orang Perancis, orang-orang Kanak, dan dirinya begitu berbeda. Hanyalah orang Kanak orang pribumi. Orang Perancis datang dari Eropa dan dirinya pasti punya tanah asal.
Betapa gembiranya ia ketika suatu hari sebuah kapal berlabuh dengan kelasi-kelasi yang bisa berbicara bahasa Jawa yang sedikit-sedikit dia bisa mengerti. Kapal itu bernama Dewa Ruci, sebuah nama yang pernah didengar dari dongeng ibunya. Dan para kelasi itu bilang kapal ini akan jadi kapal pelatih bagi pelaut-pelaut Indonesia. Dia merasa tidak begitu akrab dengan nama Indonesia. Para kelasi itu menjelaskan bahwa daerah ini hampir meliputi sebagian besar daerah Sumpah Palapa Gajah Mada. Dan pulau Jawa hanyalah sebagian kecil dari Indonesia. Dia merasa bangga ketika tahu bahwa tak ada pemerintah penjajahan lagi. Semua urusan ketatanegaraan sudah diatur oleh orang pribumi sendiri. Sedang Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi daerah istimewa di bawah kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono.
Dia merasa begitu bahagia bahwa ternyata dongeng ibunya bukan hanya omong kosong belaka. Tapi ternyata punya pijaksana yang nyata bahwa keturunan Parikesit masih punya kekuasaan di pulau Jawa. Apalagi ketika dia tahu bahwa Sri Sultan menjabat wakil presiden. Tiba-tiba dia merasa punya tugas yang harus diemban untuk mengembalikan kekuasaan mutlak Sri Sultan.
“Kau sudah gila, Rio! Lupakanlah angan-anganmu itu. Kita semua punya hidup yang harus diurus di sini. Kau kira orang-orang Jawa di sana tak mampu mengatasi tantangan hidup mereka dan memerlukan uluran tanganmu?” damprat saudaranya ketika dia merasa sebagai titisan Nabi Musa yang harus membawa orang-orang Jawa di Kaledonia kembali ke tanah leluhur.
“Tapi bukankah itu justru kelebihan kita?” belanya. “Lihatlah orang-orang Perancis ke mana mereka berkiblat. Daerah ini bukanlah daerah Pasifik, tapi daerah Perancis Selatan. Kehidupan dan tata cara mereka tak ada yang berubah bukan? Lalu bagaimana dengan pendatang-pendatang Vietnam? Mereka mengirimkan uang dan senjata untuk melanjutkan perjuangan melawan kekuatan Komunis. Kalau kita tak mau tahu-menahu soal asal-usul kita dan hanya memikirkan hidup kita di sini saja, kita tak akan jauh berbeda dengan orang Kanak. Mereka menjadi golongan minoritas dan kehilangan hak di tempat mereka sendiri. Kau tahu satu-satunya kesalahan mereka justru karena mereka tidak berasal dari mana-mana.”
“Bicaramu sudah begitu ngawur. Mungkin kami harus mengundang dokter jiwa untuk memeriksamu.
Dengarkan kami baik-baik, Rio. Akhir-akhir ini kami semua merasa begitu khawatir tentang kegilaanmu yang semakin parah. Kami sadar menghadapi beban mental merawat Jatmiko yang mati tidak hidup pun tidak, begitu berat. Apalagi masih harus menga-suh cucumu Dewi bukan soal yang gampang.
Sadarlah, Rio, dan jangan kau biarkan kegilaanmu itu berlarut-larut. Cobalah turun tangan bersama kami mengembangkan keluarga. Dengan melakukan hal-hal yang positif akan mengembangkan self esteemmu.”
Dia merasa usahanya membujuk sanak saudaranya sia-sia belaka. Tak ada seorang pun selain istrinya yang setia mencoba memahami jalan pikirannya.
Memang langkah pertama mewujudkan impiannya itu semakin kabur setelah Jatmiko, anak satu-satunya mendapatkm kecelakaan ketika menyelam di laut. Dia ditemukan dalam keadaan lumpuh. Kata dokter otaknya sudah rusak karena kekurangan zat asam. Jatmiko memang masih hidup. Tapi yang ada tinggallah tubuhnya yang harus ditunggu kerelaannya melepaskan dunia yang fana.
Rasa kehilangan Jatmiko bisa segera terobati karena sepenuhnya perhatiannya tertumpah pada Dewi yang kehilangan ibunya waktu dilahirkan. Tumbuh harapannya suatu hari nanti Dewi akan bertemu dengan salah seorang pangeran dari Jawa dan mereka akan menurunkan Ratu Adil yang senantiasa dinantikan itu. Dewi memang tumbuh menjadi wanita yang anggun semampai dengan tingkah yang lembut mempesona di samping otaknya yang cukup cemerlang.
Untuk menjembati pertemuan Dewi dengan pangeran dari Jawa itu Dewi dikirimkannya ke Melbaourne untuk menggali ilmu di Universitas Monash. Dari seorang kawan dia mendengar bahwa di Monash ada seorang Profesor Yahudi yang ahli dalam bidang politik di Indonesia dan juga seorang Profesor Belanda yang ahli dalam masalah Mataram. Namun setelah beberapa tahun di Melbourne, lewat surat-suratnya Dewi tidak pernah menyebutkan pengetahuan barunya soal Jawa. Dia begitu tertegun membaca surat terakhir Dewi padanya:
Jangan marah, Kakek, dari Profesor-profesor itu aku tak belajar apa-apa sama sekali. Mata inti dari kuliah-kuliah mereka bisa dengan gampang kudapatkan dari buku-buku. Soalnya setiap orang bisa punya pendapat. Dan pendapat tanpa diberi ujud nyata dalam perbuatan bagiku tak ada nilainya sama sekali. Aku lebih menemukan arti serta diriku sendiri dengan belajar melukis di Victorian College of The Arts.
Sekali lagi gelembung-gelembung impiannya retak. Tapi dia masih belum merasa bahwa impian itu sudah di luar jangkauannya. Dia merasa perlu pergi ke Melbourne untuk memberi beberapa petunjuk pada Dewi.
“Jangan tergesa-gesa marah, Rio. Bukan salah Dewi kalau dia tidak mengerti rencanamu. Dewi bukan sebangsa serdadu yang hanya menjalankan perintah tanpa berpikir atau mengajukan pertanyaan.” bujuk dan peringatan istrinya yang hampir selama perkawinan mereka hanya selalu mengiyakan kehendaknya dan hampir tidak pernah menyatakan pendapat sendiri.
Dia harus merasa tetap tawakal dan sabar. Banyak garis bengkok yang masih bisa diluruskan pikirnya. Tanpa memberi khabar pada Dewi, dia dan istrinya menuju ke Australia. Setelah mendarat di lapangan terbang Tullamarine mereka langsung menuju Hotel Windsor di bilangan kota. Melbourne terasa begitu teratur dan rapi. Sedang kesan pertamanya seperti begitu formal dan konservatif. Dia begitu senang bahwa Hotel Windsor adalah hotel yang mapan punya sentuhan kolonial. Tidak seperti hotel-hotel modern yang baru yang begitu trendi.
Setelah makan siang mereka menelpon Dewi yang tidak menyangka sama sekali bahwa kakek dan neneknya ada di Melbourne.
“Kakek dan nenek menginap di hotel apa?”
“Windsor di Spring Street,” jawabnya sambil memberikan nomor kamar mereka.
“Wah, itu hotel yang mewah. Kakek dan Nenek seperti sedang berbulan madu saja,” goda Dewi walaupun dia tahu bahwa kakeknya selalu punya selera yang tinggi. “Untung tidak ke Southern Cross, salah-salah kakek dan nenek bisa dikira turis dari Jepang.”
Sejauh ini dia masih merasa bisa mengontrol keadaan. Dia pikir kalau Dewi memang tertarik pada dunia seni mungkin lebih baik dikirim ke Yogyakarta. Di situ ada perguruan tinggi seni lukis dan sekaligus juga merupakan pusat kegiatan kesenian tradisionil Jawa yang adi luhung. Berada di Yogya pasti akan menghasilkan pengalaman langsung mengenal dan terlihat dalam tata cara adat istiadat Jawa. Dan peluang untuk ketemu dengan Sang Pangeran Jawa itu juga akan lebih besar.
“What a lovely surprise,” Dewi dengan wajah yang berseri-seri muncul di depan kamar ketika dia membuka pintu, langsung memberikan ciuman di kedua belah pipinya. “I have a surprise for both of you too. Tapi kenalkan dulu, John. Ini Rio dan Handayani, kakek dan nenekku.”
Ya Allah ya Rabbi. Tak ada angin, tak ada mendung dan hujan tapi geledek segera menyambar. Sejak kapan Dewi berbahasa Inggris pada mereka. Mungkin karena ada John; tapi paling tidak pada mulanya Dewi seharusnya menyapa dalam bahasa Jawa. Tapi masalah berikutnya yang disampaikan oleh Dewi secara kalem itu menyambar seperti ledakan bom atom Perancis di Atol. Dewi sedang menantikan kelahiran anak pertamanya!
Merasa dirinya sebagai priyayi Jawa dia tak bisa menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Sedapat mungkin diusahakan menunjukkan sikap kebijaksanaan calon seorang eyang buyut. John ternyata memang calon sang ayah yang tinggal bersama Dewi selama dua tahun belakangan ini. Tapi mereka tidak pernah menyebutkam rencana kawin sama sekali. Sebelum mereka pergi, karena John harus memberi kuliah dalam waktu setengah jam lagi, ternyata dia masih bisa menahan diri dengan mengajak mereka makan bersama malam nanti.
“Ya, Dewi akan telpon dulu nanti waktu pulang dari periksa di ahli kandungan,” ucap Dewi sebelum pergi.
Dia tidak bisa mengerti sama sekali bahwa Dewi bicara hamil di luar perkawinan tanpa rasa rikuh atau malu, bahkan seperti bangga sekali. Dihempaskannya badannya ke kasur dan langit-langit kamar seolah berputar. Dari bathroom terdengar bunyi kran dibuka. Gemericik air mengingatkannya pada kolam hias di halaman depan rumahnya.
“Lebih baik kau mandi dulu, Rio. Air sudah kusiapkan semua,” kata istrinya sambil menghampirinya. “Kita bisa bicara dengan tenang nanti.”
Dia lepaskan semua pakaiannya dan dibiarkannya terpuruk di karpet. Sebentar lagi istrinya pasti akan membenahi. Dengan telanjang dia berjalan menyeberang kamar menuju ke bathroom. Sebelum masuk ke bath tub dilihatnya bayangan tubuhnya di kaca, masih nampak cukup tampan untuk seumurnya. Dia membaringkan dirinya di bath tub dengan hanya kepalanya yang menyembul keluar. Dalam hati dipujinya istrinya yang selalu dengan baik menyiapkan air untuknya, tidak terlalu panas dan campuran bubble bath cukup creamy dan kaya akan buih.
“Mandi yang bersih, Rio, kau banyak sekali kokot bolot seperti kuli yang tidak pernah mandi.” Dia ingat ibunya selalu menegurnya bila ia terlalu lama bermain-main saja di bath tub. Sekarang tidak pernah ada seorang pun yang mengganggunya. Biasanya bila sudah terlalu lama istrinya pasti masuk ke bathroom dengan membawa handuk yang bersih atau piyama.
“Rio, kau mau piyama atau ganti pakaian untuk nanti malam sekaligus?” tanya istrinya membangunkannya dari segala kenangan.
“Beri aku pakaian yang bersih, aku kepingin jalan-jalan sebentar di Bourke Street.”
Istrinya hanya mengangguk dan cepat-cepat keluar karena mendengar bunyi telpon berdering. Dia tersenyum sendiri, ingin dia menyebut istrinya Sembadra karena begitu bakti dan setia seperti istri Arjuna. Dikeringkannya tubuhnya dengan handuk lalu ditaburinya dengan talek yang lembut baunya.
“Dewi yang baru saja telpon,” kata istrinya sambil memberinya sepasang pakaian yang bersih. “Dia bilang kalau kita mau makan yang agak kerakyatan kita bisa ke Victoria Street, ke restauran Vietnam. Tapi kalau kita kepingin makanan Barat dengan suasana yang tidak terlalu formal, lebih-lebih kalau kau mau mencoba sausages atau sate buaya sebagai entree, kita bisa ke Grill Room di basement, pintu masuknya dari Little Collins. Lalu kita bisa dapat supper di Graund Floor untuk ngobrol sambil mendengarkan permainan piano.” Dia tidak begitu mengacuhkan kata-kata istrinya dan sibuk mengenakan pakaiannya yang bersih.
“Rio kau dengarkan aku atau tidak?”
Lama tak ada jawaban. Sesaat kemudian dia berbalik menghadapi istrinya.
“Ya. Dan aku begitu heran bahwa kau hanya tenang-tenang seolah-olah tak punya pendapat sendiri.”
“Pendapat dalam hal apa?” tanya istrinya.
“Kau tahu kenapa kita kemari!? Untuk apa kita ke Melbourne?”
“Kau jangan membentakku seperti itu, Rio.”
Dia begitu tersentak ketika untuk pertama kalinya istrinya berani menegurnya.
“Dewi! Dia, dia....”
“O, itu. Kuharap kita bisa berbicara secara lebih beradab,” potong istrinya. Dia begitu geram mendengar kata-kata istrinya yang datar tapi cukup tajam.
“Sejak kapan kau ikut memusuhiku?”
“Kau mau mendengarkan pendapatku atau hanya mau memancing pertengkaran saja?”
Dia hanya melotot tak bisa percaya bahwa wanita yang sedang bicara di depannya adalah istrinya yang sudah bertahun-tahun hidup bersamanya.
“Kalau soal impian gilamu mengenai Negeri Leluhur itu terus terang saja aku tak punya. Meskipun keturunan orang Jawa aku hanyalah wong cilik keturunan kuli kontrak. Aku tak mau bicara, aku tak punya pendapat karena aku tidak tahu sama sekali soal Negeri Leluhur itu. Tapi soal Dewi, ya dia hamil, Rio. Anak yang dia kandung itu adalah buyut kita sendiri.
Kau boleh punya ukuran moral yang tinggi untuk hidupmu sendiri, Rio. Tapi kau tak boleh memaksakan ukuran itu untuk hidup orang lain.”
Dia menarik napas panjang dan melangkah menuju ke jendela sambil setengah berkata pada dirinya sendiri, “Kesalahanku kenapa aku tidak pernah berusaha mencari saudara-saudara bapakku di Jawa. Kalau aku tahu mereka, dulu Dewi pasti kukirim ke sana.”
“Kau tahu, Rio, kesalahanmu justru kenapa kau selalu bicara apa maumu saja dan tidak pernah memikirkan keinginan dan pikiran orang lain.”
Hening dan mereka berdua saling bertatapan.
“Aku mau pesan minuman, kau mau juga?” tanya istrinya.
Dia tidak menjawab dan istrinya pergi menelpon room service memesan sebotol anggur kesenangannya dan minta diberi dua gelas.
“Jangan kau anggap aku melawanmu, Rio. Aku bicara dengan jujur seperti ini karena aku mencintaimu. Aku tidak peduli apakah kau mencintaiku atau tidak. Apakah kau anggap aku ini babu atau istrimu itu tidak soal bagiku. Cinta yang tulus adalah cinta yang tanpa pamrih. Ia adalah pengorbanan itu sendiri.”
Tiba-tiba dia tidak tahan melihat air mata meleleh di pipi istrinya. Namun ia mencoba menutupi keharuannya. Dibukanya pintu ketika pelayan datang membawa pesanan istrinya. Ditandatanganinya nota bon supaya bill itu dimasukkan dalam rekeningnya nanti. Pelayan itu tersenyum lebar menerima tip yang lumayan.
“Shall I open the bottle now, Sir?”
Dia hanya mengangguk dan pelayan itu membuka botol serta menuangkan anggur ke kedua gelas untuk dia dan istrinya. Dia reguk anggur itu setelah si pelayan pergi.
“Rio, apa yang kita cari dalam hidup ini selain kebahagiaan? Bagiku yang lain-lain tidak soal selama Dewi merasa bahagia untuk dirinya sendiri.”
Dia hanya mengangguk dan pelan-pelan terasa pundaknya yang berat menjadi ringan. Istrinya memandangnya dengan pandangan tidak percaya.***
(Dimuat dalam Horison, Maret 1990)
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
0 komentar:
Posting Komentar