Oleh: Waluya DS



Seperti biasanya untuk menghilangkan ketegangan urat-urat badannya lelaki tua itu mengambil bubble bath. Sering satu atau dua jam merendam diri sambil mempermainkan buih-buih sabun yang memenuhi bath tub dia bisa merasakan kesendiriannya dan melupakan persoalan-persoalan yang menjerat perasan serta pemikiran. Buih-buih sabun itu semakin bertambah setiap kali dia berkecimpung.

Diamatinya kedua telapak tangannya yang penuh dengan buih-buih sabun yang memantulkan warna-warni pelangi. Sesekali ditiupnya buih-buih itu dan beberapa gelembung melayang berputar-putar. Dan setiap kali gelembung-gelembung sabun itu pecah dia merasakan satu kekecewaan seperti tergugah dari impian yang mempesonakan. Persis seperti masa ka­nak-kanaknya di halaman belakang rumahnya di Nou­mea, dengan pipa dari semacam rumput kering dia menghembus air embun dan belasan gelembung beterbangan dipermainkan angin. Suatu kali, satu gelembung tetap bergantung di ujung pipa rumput ke­­ring itu tak mau pergi. Dengan hati-hati dihem­bus­nya gelembung itu yang semakin membesar. Warna-warni pelangi terpantul dengan indahnya. Juga nampak bayangan dirinya yang lucu. Dia pikir bila gelembung ini terbang nanti bersama potret dirinya itu, dia pasti akan bisa melihat rumah-rumah, pe­po­hon­an serta sungai-sungai dari angkasa. Tapi dia be­lum mau melepaskan gelembung itu karena dia takut potret dirinya itu nanti akan merasa sendiri dan sepi di angkasa. Diamatinya dengan lebih teliti ge­lembung itu, mungkin ada awan atau saudaranya yang lain di dalam gelembung itu. Dengan hati-hati ditusuknya ge­­­lembung itu dengan ujung jarinya. Dan dia begitu tertegun, permainan dan impiannya justru mengu­kuh­­­kan rasa sepi dan sendiri.

“Di negeri leluhur kita, Nak, kau tak akan pernah merasa sepi atau sendiri.” Begitu tutur ibunya suatu hari waktu dia merengek karena tak ada kawan ber­main dan beberapa saudara tuanya tak ada di rumah, se­dang kedua orang tuanya selalu sibuk dengan usaha dagang mereka.

“Ceritakanlah negeri leluhur itu padaku, Ibu?”

Bila ada waktu ibunya dengan tak bosan-bosan ber­cerita dongeng-dongeng Panji, Ken Arok, Da­mar­wulan, Joko Tingkir, Aryo Jipang, Ki Pemanahan, Su­tawijoyo, bahkan juga bagaimana keramatnya Kreto Kencono Kanjeng Susuhunan. Dongeng-dongeng itu be­gitu indah dan memukau. Dan dia tak bisa me­nge­r­ti ke­napa orang tuanya me­ning­gal­kan Negeri Le­lu­hur yang begitu mempesona. Setiap perta­nya­an yang dilontarkannya selalu lewat tanpa terjawab.

Hanya secara kebetulan su­atu hari salah seorang sau­­­­da­ranya begitu jengkel dengan pertanyaan yang selalu ber­ulang-ulang memberikan ja­wab­an yang cukup memuas­kan.

“Rupanya dongeng-dongeng ibu telah begitu me­ra­cunimu, Rio.”

“Namaku Aryo dan bukan Rio,” protesnya. Dia le­bih senang dipanggil dengan nama sebenarnya yang lebih punya bobot karena nama Aryo mencerminkan da­rah bangsawan yang mengalir di tubuhnya.

“Nah, apa kataku, Rio. Kebanggaan yang baru kau tunjukkan itu tak ada artinya sekali di sini. Jangan kau biarkan angan-anganmu menggelembung dan me­nelan dirimu sendiri nanti.”

“Tapi namaku bukan Rio,” potongnya.

“Kau mau tahu jawabanku atau mau protes me­lulu?”

Dia hanya mengangguk karena jawaban sau­da­ra­nya terasa lebih penting daripada mempertengkarkan namanya.

“Bagus. Kau sudah menunjukkan satu kemajuan ke arah pemikiran yang praktis dan realistis. Lu­pa­kan­­lah dongeng-dongeng dan Negeri Leluhur itu. Le­bih baik kau coba membina hidupmu di sini; itu lebih penting.”

“Tapi itu hidupku sendiri.”

“Aku hanya ingin su­pa­ya kau tak kecewa nanti. Setiap adat dan ke­bu­dayaan punya kelebihan dan kekurangan yang tak bisa dicomot di sana-sini. Kau hanya harus terima utuh.”

“Maksudmu?”

“Dengan bapak kita di Negeri Leluhur dahulu, dia merasa terpenjara oleh adat dan kebudayaan yang lebih merupakan beban daripada usaha manusia un­tuk memuliakan hidupnya. Sebagai putra seorang pa­ngeran yang dilahirkan oleh salah seorang selir, bapak merasa tidak punya tempat dan hak.

Pertemuannya dengan Tuan van Stifhout, pendeta Belanda yang akhirnya membaptisnya sebagai orang Kristen telah membukakan lembaran baru dalam hidupnya. Dengan salah seorang anggota jemaah ge­re­ja yang lain Babah Loo Cin Yong, bapak me­la­ku­kan usaha dagang bersama yang cukup berhasil. Se­bagai keluarga bangsawan jadi Kristen dan punya usa­ha dagang dengan orang Cina terlalu memalukan keluarga. Banyak usaha di­la­kukan untuk mendepak ba­pak. Salah satu di antaranya, waktu itu kau masih dalam kan­­­dungan, ada huru-hara yang dilakukan oleh kalangan tentara penjajah Belanda yang didalangi Tuan Sneevliet. Di­de­sas-desuskan bahwa bapak ikut terlibat hanya karena per­nah terlihat berbicara dengan Tuan Semaun yang me­ru­pakan kader Tuan Sneevliet. Dan juga diberitakan bahwa usaha dagang bapak sebenarnya hanyalah usaha terselubung untuk me­mu­dahkan gerakan kader-kader Komunis. Tentu hasil usa­ha dagang itu juga dipakai untuk membiayai ke­gi­at­­an mereka. Orang selalu dengan gampang men­ce­lupkan tangan untuk ikut mengeruhkan suasana, bu­kan? Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak di inginkan, karena cintanya pada kita semua, bapak mem­bawa kita untuk memulai hidup baru di Nou­mea.

Pernah kudengar bapak sedang bicara pada ibu bahwa bapak tidak menyesal sama sekali me­ning­gal­kan Jawa. Bahkan dia merasa beruntung meng­am­­­bil keputusan sebelum tuduhan atas dirinya men­ja­di-jadi. Beberapa tahun setelah kita menetap di Nou­mea, bapak de­ngar khabar bahwa orang- orang Komunis atau yang dicurigai sebagai Ko­mu­nis di­bu­ang ke Digul oleh pemerintah pen­ja­jahan.”

Jawaban saudara­nya itu justru menim­bul­kan be­be­rapa perta­nya­an baru. Kenapa ha­rus meri­saukan martabat keluarga yang sebetulnya tidak dengan tulus menerima bapaknya sebagai bagian dari keluarga itu? Bukankah tanggung jawab bapaknya sebenarnya ha­nya pada keluarga mereka sendiri? Seharusnya ba­pak­nya lebih baik tetap di Jawa untuk membuk­ti­kan bah­wa dia tak ada hubungan sama sekali dengan ka­um Komunis. Dengan melarikan diri bukankah ini justru memperkuat tuduhan yang sebenarnya, bukan?

Semua perayaan itu selalu menggodanya, namun dia hanya diam saja karena sudah berjanji tak akan ber­tanya-tanya lagi. Memang tidak gampang me­mi­sah­kan benang yang kusut. Lebih baik memulai satu kehidupan yang baru seperti nasehat saudaranya. Tapi tak bisa di sini, di Noumea yang semasa bukan tempatnya. Dia betul-betul merasa tersisih mencari tempat berpijak meskipun saat ini hanyalah dalam dongeng-dongeng dan kerinduan pada Ratu Adil. Mung­­­kin dongeng-dongeng dan riwayat bapaknya se­be­tulnya tak pernah ada. Bagaimana kalau semua itu hanya tutur kata untuk menghiburnya saja? Tapi se­ti­ap kali melihat sekelilingnya, orang-orang Pe­ran­cis, orang-orang Kanak, dan dirinya begitu berbeda. Hanyalah orang Kanak orang pribumi. Orang Pe­ran­cis datang dari Eropa dan dirinya pasti punya tanah asal.

Betapa gembiranya ia ketika suatu hari sebuah ka­pal berlabuh dengan kelasi-kelasi yang bisa ber­bi­ca­ra bahasa Jawa yang sedikit-sedikit dia bisa me­nger­ti. Kapal itu bernama Dewa Ruci, sebuah nama yang pernah didengar dari dongeng ibunya. Dan para kelasi itu bilang kapal ini akan jadi kapal pelatih bagi pelaut-pelaut Indonesia. Dia merasa tidak begitu ak­rab dengan nama Indonesia. Para kelasi itu men­je­las­­kan bahwa daerah ini hampir meliputi sebagian besar daerah Sumpah Palapa Gajah Mada. Dan pulau Jawa hanyalah sebagian kecil dari Indonesia. Dia merasa bangga ketika tahu bahwa tak ada pemerintah penjajahan lagi. Semua urusan ketatanegaraan sudah diatur oleh orang pribumi sendiri. Sedang Nga­yog­yakar­ta Hadiningrat menjadi daerah istimewa di bawah kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono.

Dia merasa begitu bahagia bahwa ternyata do­ngeng ibunya bukan hanya omong kosong belaka. Ta­pi ternyata punya pijaksana yang nyata bahwa ke­tu­runan Parikesit masih punya kekuasaan di pulau Ja­wa. Apalagi ketika dia tahu bahwa Sri Sultan men­ja­bat wakil presiden. Tiba-tiba dia merasa punya tu­gas yang harus diemban untuk mengembalikan ke­kua­saan mutlak Sri Sultan.

“Kau sudah gila, Rio! Lupakanlah angan-anganmu itu. Kita semua punya hidup yang harus diurus di sini. Kau kira orang-orang Jawa di sana tak mampu mengatasi tantangan hidup mereka dan memerlukan uluran tanganmu?” damprat saudaranya ketika dia me­rasa sebagai titisan Nabi Musa yang harus mem­ba­wa orang-orang Jawa di Kaledonia kembali ke t­a­nah leluhur.

“Tapi bukankah itu justru kelebihan kita?” be­la­nya. “Lihatlah orang-orang Perancis ke mana mereka berkiblat. Daerah ini bukanlah daerah Pasifik, tapi dae­rah Perancis Selatan. Kehidupan dan tata cara mereka tak ada yang berubah bukan? Lalu bagaimana dengan pendatang-pendatang Vietnam? Mereka me­ngi­rimkan uang dan senjata untuk melanjutkan per­juang­an melawan kekuatan Komunis. Kalau kita tak mau tahu-menahu soal asal-usul kita dan hanya me­mi­kirkan hidup kita di sini saja, kita tak akan jauh ber­beda dengan orang Kanak. Mereka menjadi go­long­an minoritas dan kehilangan hak di tempat me­re­ka sendiri. Kau tahu satu-satunya kesalahan me­re­ka justru karena mereka tidak berasal dari mana-mana.”

“Bicaramu sudah begitu ngawur. Mungkin kami harus mengundang dokter jiwa untuk memeriksamu.

Dengarkan kami baik-baik, Rio. Akhir-akhir ini kami semua merasa begitu khawatir tentang kegila­an­mu yang semakin parah. Kami sadar meng­hadapi beban mental merawat Jatmiko yang mati tidak hidup pun tidak, begitu berat. Apalagi masih ha­rus me­nga-suh cucumu Dewi bukan soal yang gampang.

Sadarlah, Rio, dan jangan kau biar­kan kegilaanmu itu berlarut-larut. Cobalah turun tangan bersama ka­mi mengembangkan keluarga. Dengan melakukan hal-hal yang positif akan mengembangkan self esteem­mu.”

Dia merasa usahanya membujuk sanak saudaranya sia-sia belaka. Tak ada seorang pun selain istrinya yang setia mencoba memahami jalan pikirannya.

Memang langkah per­ta­ma mewujudkan im­pi­an­nya itu semakin kabur se­telah Jatmiko, anak sa­tu-satunya mendapatkm kecelakaan ketika me­nye­lam di laut. Dia di­te­mu­kan dalam keadaan lum­puh. Kata dokter otaknya sudah rusak karena ke­ku­rangan zat asam. Jatmiko memang masih hidup. Ta­pi yang ada tinggallah tu­buh­nya yang harus di­tung­­­­­gu kerelaannya melepaskan dunia yang fana.

Rasa kehilangan Jatmiko bisa segera terobati ka­rena sepenuhnya perhatiannya tertumpah pada Dewi yang kehilangan ibunya waktu dilahirkan. Tumbuh harapannya suatu hari nanti Dewi akan bertemu de­ngan salah seorang pangeran dari Jawa dan mereka akan menurunkan Ratu Adil yang senantiasa di­nan­ti­kan itu. Dewi memang tumbuh menjadi wanita yang anggun semampai dengan tingkah yang lembut mempesona di samping otaknya yang cukup ce­mer­lang.

Untuk menjembati pertemuan Dewi dengan pa­nge­ran dari Jawa itu Dewi dikirimkannya ke Mel­baou­rne untuk menggali ilmu di Universitas Monash. Dari seorang kawan dia mendengar bahwa di Monash ada seorang Profesor Yahudi yang ahli dalam bidang politik di Indonesia dan juga seorang Profesor Be­lan­da yang ahli dalam masalah Mataram. Namun se­te­lah beberapa tahun di Melbourne, lewat surat-su­rat­nya Dewi tidak pernah menyebutkan penge­ta­hu­an barunya soal Jawa. Dia begitu tertegun mem­ba­ca surat terakhir Dewi padanya:

Jangan marah, Kakek, dari Profesor-profesor itu aku tak belajar apa-apa sama sekali. Mata inti dari ku­liah-kuliah mereka bisa dengan gampang ku­da­pat­kan dari buku-buku. Soalnya setiap orang bisa punya pen­dapat. Dan pendapat tanpa diberi ujud nyata da­lam perbuatan bagiku tak ada nilainya sama sekali. Aku lebih menemukan arti serta diriku sendiri dengan belajar melukis di Victorian College of The Arts.

Sekali lagi gelembung-gelembung impiannya re­tak. Tapi dia masih belum merasa bahwa impian itu su­dah di luar jangkauannya. Dia merasa perlu pergi ke Melbourne untuk memberi beberapa petunjuk pada Dewi.

“Jangan tergesa-gesa marah, Rio. Bukan salah De­wi kalau dia tidak mengerti rencanamu. Dewi bukan se­­bangsa serdadu yang hanya menjalankan perintah tan­­­pa berpikir atau mengajukan pertanyaan.” bujuk dan peringatan istrinya yang hampir selama per­ka­win­an mereka hanya se­la­lu mengiyakan kehen­dak­nya dan hampir tidak per­nah menyatakan pendapat sen­diri.

Dia harus merasa tetap tawakal dan sabar. Banyak garis bengkok yang masih bisa diluruskan pikirnya. Tanpa memberi khabar pa­da Dewi, dia dan istri­nya menuju ke Australia. Se­telah mendarat di la­pang­an terbang Tullama­rine mereka langsung menuju Hotel Windsor di bi­lang­an kota. Melbourne terasa begitu teratur dan ra­pi. Sedang kesan pertamanya seperti be­gitu formal dan konservatif. Dia begitu senang bahwa Hotel Win­d­­­­­­­sor adalah hotel yang mapan pu­nya sentuhan ko­lo­nial. Tidak seperti hotel-hotel mo­dern yang baru yang begitu trendi.

Setelah makan siang mereka menelpon Dewi yang tidak menyangka sama sekali bahwa kakek dan ne­nek­nya ada di Melbourne.

“Kakek dan nenek menginap di hotel apa?”

“Windsor di Spring Street,” jawabnya sambil mem­be­rikan nomor kamar mereka.

“Wah, itu hotel yang mewah. Kakek dan Nenek seperti sedang berbulan madu saja,” goda Dewi wa­laupun dia tahu bahwa kakeknya selalu punya selera yang tinggi. “Untung tidak ke Southern Cross, salah-salah kakek dan nenek bisa dikira turis dari Jepang.”

Sejauh ini dia masih merasa bisa mengontrol ke­adaan. Dia pikir kalau Dewi memang tertarik pada dunia seni mungkin lebih baik dikirim ke Yogyakarta. Di situ ada perguruan tinggi seni lukis dan sekaligus ju­ga merupakan pusat kegiatan kesenian tradisionil Jawa yang adi luhung. Berada di Yogya pasti akan meng­hasilkan pengalaman langsung mengenal dan terlihat dalam tata cara adat istiadat Jawa. Dan pe­lu­ang untuk ketemu dengan Sang Pangeran Jawa itu juga akan lebih besar.

“What a lovely surprise,” Dewi dengan wajah yang ber­seri-seri muncul di depan kamar ketika dia mem­bu­ka pintu, langsung memberikan ciuman di ke­dua belah pipinya. “I have a surprise for both of you too. Tapi kenalkan dulu, John. Ini Rio dan Handayani, ka­kek dan nenekku.”

Ya Allah ya Rabbi. Tak ada angin, tak ada men­dung dan hujan tapi geledek se­gera menyambar. Se­jak ka­pan Dewi berbahasa Ing­gris pada mereka. Mung­kin karena ada John; tapi paling tidak pada mu­lan­ya Dewi seharusnya me­nyapa da­lam bahasa Ja­wa. Tapi ma­salah beri­kut­nya yang disam­pai­kan oleh Dewi secara ka­lem itu me­nyam­­­­bar se­per­ti ledakan bom atom Perancis di Atol. Dewi se­dang me­nantikan ke­lahiran anak pertamanya!

Mer­asa dirinya sebagai pri­­yayi Jawa dia tak bisa me­nun­jukkan perasaannya yang se­be­narnya. Sedapat mung­kin di­usa­hakan me­nun­jukkan sikap kebija­k­sa­na­an calon seorang eyang buyut. John ternyata me­mang calon sang ayah yang tinggal bersama Dewi se­lama dua tahun belakangan ini. Tapi mereka tidak pernah me­nye­butkam rencana kawin sama sekali. Se­belum mereka pergi, karena John ha­rus memberi kuliah dalam waktu setengah jam lagi, ter­nyata dia ma­sih bisa menahan diri dengan meng­ajak mereka makan bersama malam nanti.

“Ya, Dewi akan telpon dulu nanti waktu pulang dari periksa di ahli kandungan,” ucap Dewi sebelum pergi.

Dia tidak bisa mengerti sama sekali bahwa Dewi bicara hamil di luar perkawinan tanpa rasa rikuh atau ma­lu, bahkan seperti bangga sekali. Dihem­pas­kan­nya badannya ke kasur dan langit-langit kamar seolah berputar. Dari bathroom terdengar bunyi kran dibuka. Gemericik air mengingatkannya pada kolam hias di halaman depan rumahnya.

“Lebih baik kau mandi dulu, Rio. Air sudah ku­siap­kan semua,” kata istrinya sambil men­g­hampiri­nya. “Kita bisa bicara dengan tenang nanti.”

Dia lepaskan semua pakaiannya dan dibiarkannya terpuruk di karpet. Sebentar lagi istrinya pasti akan membenahi. Dengan telanjang dia berjalan me­nye­be­rang kamar menuju ke bathroom. Sebelum masuk ke bath tub dilihatnya bayangan tubuhnya di kaca, masih nampak cukup tampan untuk seumurnya. Dia membaringkan dirinya di bath tub dengan hanya kepalanya yang menyembul keluar. Da­lam hati dipujinya istrinya yang selalu de­ngan baik menyiapkan air un­tuknya, tidak ter­lalu panas dan campuran bubble bath cukup creamy dan kaya akan buih.

“Mandi yang bersih, Rio, kau banyak sekali kokot bolot seperti kuli yang ti­dak per­nah mandi.” Dia ingat ibu­nya se­la­lu me­ne­gurnya bi­la ia ter­la­lu la­ma ber­main-main saja di bath tub. Se­ka­rang tidak pernah ada se­­­orang pun yang meng­gang­gunya. Bia­sa­nya bila sudah ter­la­lu lama istrinya pasti ma­suk ke bathroom de­­ngan membawa han­duk yang bersih atau piyama.

“Rio, kau mau piyama atau ganti pakaian untuk nan­­­ti ma­lam sekaligus?” ta­nya istri­nya mem­ba­ngun­­­­­­­­­­­­­­­­­­­kan­nya dari se­ga­la ke­nangan.

“Beri aku pakaian yang ber­sih, aku kepingin jalan-jalan se­bentar di Bourke Street.”

Istrinya hanya mengangguk dan ce­pat-cepat keluar karena mendengar bunyi telpon ber­dering. Dia tersenyum sendiri, ingin dia me­nye­but istrinya Sembadra karena begitu bakti dan setia seperti istri Arjuna. Dikeringkannya tu­buhnya dengan handuk lalu ditaburinya dengan talek yang lembut baunya.

“Dewi yang baru saja telpon,” kata istrinya sambil memberinya sepasang pakaian yang bersih. “Dia bi­lang kalau kita mau makan yang agak kerakyatan kita bisa ke Victoria Street, ke restauran Vietnam. Tapi kalau kita kepingin makanan Barat dengan suasana yang tidak terlalu formal, lebih-lebih kalau kau mau mencoba sausages atau sate buaya sebagai entree, kita bi­sa ke Grill Room di basement, pintu masuknya dari Little Collins. Lalu kita bisa dapat supper di Graund Floor untuk ngobrol sambil men­dengarkan permainan piano.” Dia tidak begitu mengacuhkan kata-kata istri­nya dan sibuk me­nge­nakan pakaiannya yang bersih.

“Rio kau dengarkan aku atau tidak?”

Lama tak ada jawaban. Sesaat ke­mudian dia ber­ba­lik menghadapi istri­­­nya.

“Ya. Dan aku begitu heran bahwa kau hanya te­­nang-tenang seolah-olah tak punya pendapat sen­diri.”

“Pendapat dalam hal apa?” tanya istrinya.

“Kau tahu kenapa kita kemari!? Untuk apa kita ke Melbourne?”

“Kau jangan mem­ben­­­­­­­­takku seperti itu, Rio.”

Dia begitu tersentak ketika untuk pertama kalinya istrinya berani menegurnya.

“Dewi! Dia, dia....”

“O, itu. Kuharap kita bisa berbicara secara lebih beradab,” potong is­tri­nya. Dia begitu geram men­de­ngar kata-kata istrinya yang datar tapi cukup tajam.

“Sejak kapan kau ikut memusuhiku?”

“Kau mau mendengarkan pendapatku atau hanya mau memancing pertengkaran saja?”

Dia hanya melotot tak bisa percaya bahwa wanita yang sedang bicara di depannya adalah istrinya yang sudah bertahun-tahun hidup bersamanya.

“Kalau soal impian gilamu mengenai Negeri Le­luhur itu terus terang saja aku tak punya. Mes­kipun keturunan orang Jawa aku hanyalah wong cilik ke­tu­runan kuli kontrak. Aku tak mau bicara, aku tak punya pendapat karena aku tidak tahu sama sekali soal Negeri Leluhur itu. Tapi soal De­wi, ya dia hamil, Rio. Anak yang dia kandung itu adalah buyut kita sendiri.

Kau boleh punya ukuran moral yang tinggi untuk hidupmu sendiri, Rio. Tapi kau tak boleh memak­sa­kan ukuran itu untuk hidup orang lain.”

Dia menarik napas pan­jang dan melangkah me­nu­ju ke jendela sambil setengah berkata pada dirinya sen­diri, “Kesalahanku kenapa aku tidak pernah berusaha mencari saudara-saudara ba­pakku di Jawa. Kalau aku tahu mereka, dulu Dewi pasti kukirim ke sana.”

“Kau tahu, Rio, kesalahanmu justru kenapa kau se­lalu bicara apa maumu saja dan tidak pernah memikirkan keinginan dan pikiran orang lain.”

Hening dan mereka berdua saling bertatapan.

“Aku mau pesan minuman, kau mau juga?” tanya istrinya.

Dia tidak menjawab dan istrinya pergi menelpon room service memesan sebotol anggur kesenangannya dan minta diberi dua gelas.

“Jangan kau anggap aku melawanmu, Rio. Aku bicara dengan jujur se­per­ti ini karena aku men­cintaimu. Aku ti­dak peduli apakah kau men­cintaiku atau ti­dak. Apakah kau ang­gap aku ini babu atau istrimu itu tidak soal ba­giku. Cinta yang tu­lus adalah cinta yang tan­pa pamrih. Ia adalah pengorbanan itu sen­diri.”

Tiba-tiba dia tidak tahan melihat air mata meleleh di pipi istrinya. Namun ia mencoba menutupi keharuannya. Dibu­ka­nya pin­tu ketika pela­yan datang membawa pesanan istrinya. Di­tan­datanganinya nota bon supaya bill itu di­ma­sukkan dalam re­keningnya nanti. Pela­yan itu ter­se­nyum lebar menerima tip yang lumayan.

“Shall I open the bottle now, Sir?”

Dia hanya mengangguk dan pelayan itu membuka botol serta menuangkan anggur ke kedua gelas untuk dia dan istrinya. Dia reguk anggur itu setelah si pe­layan pergi.

“Rio, apa yang kita cari dalam hidup ini selain kebahagiaan? Bagiku yang lain-lain tidak soal selama Dewi merasa bahagia untuk dirinya sendiri.”

Dia hanya mengangguk dan pelan-pelan terasa pundaknya yang berat menjadi ringan. Istrinya meman­dang­nya dengan pan­dang­an tidak per­ca­ya.***



(Dimuat dalam Horison, Maret 1990)

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda