Gank

Oleh: Syahril Latif

1

Gang Haji Abdul Jalil adalah sebuah gang sempit yang terletak persis di depan Kuburan Karet yang terkenal itu. Sebuah gang sempit yang tak berarti, sehingga kau tidak akan menjumpai dalam kartu pos bergambar untuk promosi pariwisata, seperti Taman Mini, Monas, Dunia Fantasi Ancol, Hotel Indonesia, dan lain sebagainya. Tapi inilah gambaran kota yang sebenarnya, di mana penduduk tinggal tumplek berdesakan.

Anak-anak remaja mengganti huruf pada Gang itu dengan k, sehingga menjadi Gank. Tak tahu siapa yang mengubahnya. Tapi semua orang seperti sudah maklum, dapat menduganya, siapa lagi kalau bukan salah seorang di antara kami.

Belakangan, ada yang mengubahnya: Gank Haji Abdul Jackal. Namun, apa pun namanya, semua orang mengenalnya sebagai Gang Haji Abdul Jalil. Kadang-kadang, untuk cepat dan mudahnya, oleh tukang, beca terutama, disingkat saja menjadi Gang Jalil.

Apalah arti sebuah nama.



2

Di gang itulah aku dan teman-teman tumbuh dan dibesarkan. Di sana, di jalanan yang sempit itu, anak-anak bermain gundu, main bola kaki, berkejaran, main layangan, main petak-umpet, main galasin. Sementara gadia-gadis kecilnya duduk bersila main masak-masakan, main congklak, atau melompat-lom­pat main engklek. Dan apabila ada mobil lewat, yang terpaksa merayap pelan bagai keong, anak-anak menyibak ke tepi. Kemudian mengumpul kembali memenuhi jalanan, setelah mobil berlalu. Seakan, seperti setelah biduk lalu kiambang bertaut.

3

Penghuni gang itu terdiri dari berbagai suku, yang bercampur-baur menjadi satu dengan pen­duduk asli Betawi, sehingga kami tak merasa lagi per­be­da­an­nya. Kami telah lebur jadi satu: penghuni Gang Haji Abdul Jalil.



4

Rata-rata, semua kami miskin dan karenanya kami saling mengenal dan akrab satu sama lain.



5

Sebagai gambaran kemiskinan, rumah-rumah, kami pun sederhana, berukuran kecil dan tak teratur bentuk dan susunannya.

Ada juga satu dua rumah gedung yang ber­pe­ka­rang­an luas dan bertaman, membuat ke­ha­di­r­an­nya bagaikan putri raja di tengah rakyat gembel, yang se­ge­ra mengundang tamu atau teman kami yang da­tang berkunjung, bertanya heran: “Rumah siapa yang cakep itu?”

“Itu rumah pegawai pajak,” begitu kami selalu menjelaskan.

“Pantas!” jawab mereka. Dan tanya lagi, “Yang di sebelahnya?”

“Rumah pegawai Bea Cukai.”

“Lebih pantas lagi,” kata mereka, dan tanya lagi, “Yang di seberangnya?”

“Itu mah, pegawai negeri biasa saja.”

“Kok sama hebatnya?”

“Maklum, menjabat bagian basah.”

“Bagian apa?”

“Tau, dengar-dengar bagian pembelian atau per­izinan. Tak tahulah. Kok, ngurus hal orang lain, sih?



6

Di sini dapat kau jumpai segala macam orang: tukang sol sepatu, tukang kayu, montir, kenek, pedagang kaki lima, penjual nasi Padang dan Tegal, tukang cukur, guru sekolah, dosen, pelayan toko, sopir, makelar, satpam, tukang listrik, pegawai negeri dan swasta, bidan, perawat dan lain sebagainya.



7

Jika lagi kehabisan, ibu-ibu kami saling pinjam garam atau korek api atau bumbu masakan kepada tetangga. Kadang-kadang mereka saling antar-meng­antar sayuran atau makanan kecil. Kadang menum­pang menjahit baju anak di rumah tetangga yang pu­nya mesin jahit. Dan andaikata ada pompa air yang rusak, atau listrik yang korsleting, tetangga lain akan cepat turun tangan memberikan bantuan perbaikan.



8

Sesekali, ibu-ibu kami terlibat juga dalam per­teng­karan kecil. Biasanya, soal anak-anak, yang be­ran­­tem. Anehnya, sementara ibu-ibu itu masih ber­sungut-sungut, anak-anak mereka sudah ber­baik­an kembali.



9

Kurasa gang kami tak pernah sepi. Macam-ma­cam­lah sumber kebisingan itu: radio atau kaset yang tak henti-hentinya distel, teriakan anak-anak bermain, teriakan penjaja sayuran dan makanan. Dan lepas tengah hari, di saat warga sedang terkantuk-kantuk dise­ngat panas Jakarta, terdengar mengalun suara anak-anak mengeja Juz Amma dari madrasah:

“Aanakum, Ainakum, Iinakum, Aunakum, Uuna­kum, Baanakum, Bainakum, Biinakum, Baunakum, Buu­na­kum, Taanakum, Tainakum, Tiinakum, Taunakum, Tu­una­kum, Tsaanakum, Tsainakum, Tsiinakum, Tsauna­kum, Tsuunakum ....”

Ejaan itu mengalun dalam irama yang khas, meng­asyik­kan, mengantar kantuk, melayang jauh dihantar angin siang.



10

Apa saja yang dimasak tetangga, tak bisa dir­a­ha­sia­kan. Aromanya akan mengambang ke mana-mana, ke sepanjang gang. Yang paling cepat ketahuan, kalau ibumu menggoreng ikan asin. Yang ini, sungguh me­nitikkan air liur.



11

Lepas Isya dan makan malam, boleh dikata selalu ada permainan domino, lebih terkenal: gaple, di luar pekarangan rumah. Pada malam minggu, bisa-bisa berlangsung hingga beduk subuh. Begitulah cara ayah-ayah kami melepaskan lelah setelah seharian men­­­cari nafkah membanting tulang. Atau juga, begitulah cara mereka membanting kesal ke atas meja gaple. Tak tahulah.



12

Berbeda sedikit dengan hari-hari biasa, sekali se­bu­lan pada petang Jumat, orang tua-tua kami me­nga­­dakan pengajian di mesjid. Kami yang muda-mu­da, sebagai basa-basi, ikut hadir. Nampaknya keha­dir­an kami melegakan hati mereka.

Di tengah pengajian sedang berlangsung, ayah-ayah kami pada mengantuk. Heran, kalau main gaple se­ma­­lam suntuk, mata itu bisa melotot terus sampai pa­­gi, ditingkah senda gurau dan gelak tawa tak ber­ke­­pu­tusan. Menurut Ustadz Malik, setengah melucu, setengah menyindir: “Mata yang mengantuk kalau di­bawa mendengar pengajian, tanda setan sedang me­ngen­cinginya!”

Tiba-tiba, semua membuka matanya lebar-lebar, sedikit kaget dan lantas tertawa. Menertawakan siapa?



13

Jika yang tua-tua senang gaple, kami yang muda-mu­da pun tak mau ketinggalan duduk meng­ge­rom­bol: ngobrol ngalor-ngidul, menyanyi dan main gitar, per­sis pengamen jalanan. Tempatnya: gardu jaga sis­kamling. Kami menyebutnya ‘markas’.

Se­mua jenis lagu kami senang, mulai dari dangdut, pop sampai keroncong. Tapi yang mendapat tempat di hati kami, agaknya dangdut dan pop itulah. Sekali-sekali ada juga yang mencoba seriosa, atau belagak memainkan musik jazz dengan gitarnya, tapi tak ke­na: sumbang, dan yang lain segera menyorakinya. Se­se­kali kami larut juga dalam irama gambus.



14

Sekali-sekali, anak-anak cewek ikut nimbrung bersama kami, tak sampai larut. Sebentar mereka su­dah dipanggil ibu mereka. Atau disusul adiknya di­suruh pulang.



15

Bagiku, semua anak-anak Gang Haji Abdul Jalil adalah teman. Tapi rasanya lebih intim dengan Ham­zah, Martin, Najib, Tony Handoko dan beberapa anak tertentu.

Usia kami tak jauh beda, hampir sebaya. Dulu ke­tika masih kecil, kami sering berantem. Sekarang ti­dak, kami saling menjaga, saling menenggang. Dan kalau bisa ingin berbuat lebih baik kepada yang lain.



16

Hamzah gitaris andalan kami, sejak jadi maha­sis­wa Sastra Inggris paling getol nyanyi Inggris. Agak­nya dangdut seperti sudah dilupakannya. Atau diku­bur­nya? Pokoknya lagu Barat melulu. “Inggris, ni yee?!” ejek anak-anak.

“Maklum, deh,” tambah yang lain.

Tapi Hamzah tidak marah. Tak acuh.

Dan sekarang, bacaannya bukan komik lagi, bukan cerita silat lagi. Pokoknya, berat, deh! Bayangin, kalau dia lagi sendirian di teras rumahnya, kalian tahu, dia sedang baca apa?

George Bernard Shaw atau Hemingway atau Tols­toy atau Albert Camus atau Dokter Zhivagonya Bo­ris Pasternak atau Thomas Elliot!

Pokoknya: berat!



17

Kalau si Martin lain lagi. Sejak jadi pemain teater, gayanya overacting. Selangit. Ia ikut salah satu ke­lom­pok teater yang sering mentas di TIM. Di situlah ia bercokol.

Gaya bicaranya, gerak tangan, jalannya, cara ter­se­nyum, ekspresi wajah dan lain sebagainya, kayak­nya bukan lagi Martin yang kami kenal selama ini: Martin yang lugu dan agak pemalu. Tiba-tiba saja ia te­lah menjadi manusia aneh di tengah-tengah kami. Merasa lebih penting dan menonjol dari yang lain. Ga­yanya mirip-mirip Rendra, maunya.

Kalau ia bicara, seakan ia jauh dari kita, nada sua­ra­nya agak dilantunkan bagaikan orang berdiri di atas panggung. Agaknya ia tak bisa lagi mengecilkan su­a­ra­nya. Kami tak tahu pasti, apakah dia masih bisa berbisik.

Anak-anak hampir tak dapat menahan ketawa.

Akhir-akhir ini ia agak jarang nongol di ‘markas’? Waktunya dihabiskannya di TIM, disibukkan oleh latihan-latihan teaternya. Kadang-kadang ikut mentas ke kota-kota lain!



18

Kukira, si Najiblah yang membuat kami semua merasa heran. Itu, Najib anak Ustadz Malik, guru ngaji di gang kami. Soalnya setelah gagal sipenmaru, benar-benar ia putus sekolah. Mau melanjutkan ke Perguruan Tinggi Swasta, ia tahu diri, tak mungkin, biaya kuliah terlalu tinggi, di luar jangkauan.

Apalah yang dapat diharapkan dari pencarian ayahnya yang ustadz. Maka dengan senjata ijazah SMA-nya diterobosnya rimba perkantoran kota Jakarta. Masuk kantor keluar kantor. Akan hasil perburuannya itu, bagaikan buku yang belum habis dibaca kita sudah tahu jalan ceritanya, tentu kau sudah dapat menebak. Tapi Allah memang Maha Pemurah, Pengasih dan Penyayang, akhirnya Najib mendapat juga apa yang dicarinya, kalau itu diartikan secara harfiah: kerja. Pokoknya, kerja. Apakah ia suka atau tidak.

Nah, bersamaan dengan itu Allah ingin menguji Najib, menguji keimanannya. Agaknya ia kalah. Satu-satunya perusahaan yang mau menerimanya adalah sebuah Pub, rumah minum. Artinya, setelah Najib ditest, kemudian ikut training untuk jadi Bartender, Najib mulai bekerja di sana.

Sejak itu kami kehilangan seorang teman kong­kow. Karena Najib bekerja malam hari hingga subuh. Siang hari ia tidur, seperti musang.

Ayahnya Ustadz Malik tak tahu putranya bekerja di tempat haram itu. Yang ia tahu, sesuai menurut apa yang dikatakan Najib ketika suatu kali ayahnya bertanya, Najib bekerja sebagai Satpam di sebuah pe­rusahaan. “Jangan lupa shalat,” pesan ayahnya.

Jelas Najib berbohong. Dan ia tahu betul ber­bohong itu dosa. Bekerja di bar itu dosa. Dan bahkan kini ia sudah tak shalat lagi. Lingkungannya tak me­mung­kinkan, dan di mana mau shalat, dan tak ada tem­­po, dan ia tak mau jadi ba­han tertawaan teman-te­mannya.

Sebenarnya, Najib me­ra­sa sangat terhimpit, tapi di­lakoninya terus. Sampai ka­pan?

Dan kami, dan semua orang di gang, merasa ber­ke­wa­jiban menyimpan rahasia ini kepada Ustadz Malik. Orang tak ingin menghancurkan pe­ra­sa­annya.



19

Sebaliknya, siapa sang­ka, jika Allah ber­kehen­dak mem­beri hida­yah ke­pa­da hamba­nya, Tony Han­do­ko yang agak ugal-ugal­­­an itu, anak pe­­­­­gawai pajak yang ge­dongan itu, bersi­ke­ras pa­da papa­nya mau masuk pe­san­­tren. Ketika hal itu di­sampaikan, bu­­­­­­­kan main ka­get­nya sang papa, ba­gai­kan disambar petir di siang bo­long. Kaget, heran, be­rang, bingung, tak alang ke­palang.

Teriak papanya: “Mau jadi apa kau?! Mau jadi san­tri miskin?!” Suaranya menggelegar sepanjang gang. Selanjutnya diberondongnya Tony dengan omel­an tak berkeputusan, bagaikan rentetan tem­bak­an senapan mesin sebagaimana yang kau lihat dalam film Rambo, atau kayak petasan gantung waktu sunatan. Papanya menyesalkan sangat keinginan Tony itu. Papanya sudah berangan-angan supaya Tony jadi akuntan dan akan mengirimnya ke Amerika. Papanya meng­ang­gap keputusan Tony itu benar-benar gila.

Setelah pernyataan pemberitahuan itu kepada papanya dan diberondong habis-habisan, Tony bung­kem, merunduk terus, tak membantah sepatah pun, sam­pai papanya reda dan terhenyak di kursi.

Beberapa hari kemudian, kami, Tony dan aku berangkat naik kereta api ke Jawa Timur, ke Pesantren Bangil. Tony memintaku. Ia memerlukan teman da­lam perjalanannya. Bahkan ia minta aku me­ne­mani­nya selama seminggu di pesantren. Untunglah hal itu diizinkan Pak Kiai, pimpinan pesantren itu.



20

Sehari setelah keberangkatan Tony, papanya jatuh sakit. Begitu Surat Kilat Khusus yang kami te­rima, pada hari ketiga, dari ibu Tony. Ia diminta ibu­nya pulang sebentar untuk menjenguk papanya. Tapi Tony tak mau. Dan sebagaimana dikatakannya dalam surat kepada ibunya, kepadaku ia berkata: “Nanti sebentar papa akan sembuh juga. Papa memang selalu begitu. Maunya perintahnya saja yang mesti diturut.”

Aku mencoba melunakkan hatinya, “Toh tidak apa­ pulang buat sebentar, bukan?”

“Tidak sekarang,” jawabnya pasti. “Sekarang saya lagi kesal sama papa. Coba, Ma, saya dibilang sudah sesat? Dituduh mendapat pengajian yang sesat? .... Dalam batin, saya bertanya: siapa yang sesat? Saya atau papa? Apa yang papa fikirkan hanya duit melulu ... seakan dengan itu dapat dibeli semuanya: gengsi, martabat, kesenangan ... tapi miskin rohani. Dunia, du­nia dan kesenangan melulu.… Apa dengan keka­ya­an itu dapat dibeli kebahagiaan akhirat? Papa sudah dipengaruhi oleh Dajjal yang bermata satu, ha­nya mencari kesenangan dunia…. Tidak! Saya tidak akan pulang! Saya sudah bosan dengan suasana rumah!”

Tony menarik nafas panjang, nampak kesal. Dan katanya: “Coba fikir, masak papa tega menuduh saya subversif. Ikut pengajian gelap, pengajian subversif, pengajian yang disusupi faham komunis. Jelas ini fit­nah! .... Ya, Allah. Engkaulah Yang Maha Tahu! Dan papa sampai hati akan mengadukan kelompok pe­nga­jian kami kepada yang berwajib, agar semua kami ditangkap, guru ngaji kami ditangkap! La hawla wa la quwwata illa bi 'l-Lah.

Kini, kulihat air matanya menggenang, hampir menangis.

Lanjutnya: “Kalau tidaklah karena takut dosa, men­jadi anak durhaka, hampir saya tidak bisa me­ma­­afkan papa. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah memberi papa taufiq dan hidayah. Saya percaya masih tersimpan benih-benih iman dalam dada papa. Sekarang sedang tersapu oleh gemerlapnya keindahan dunia



21

Sebenarnya, yang suka “ekstrim” bukan Tony Handoko seorang. Ada lagi. Kau lihatlah si Aisah, teman Maryam (nanti kalau ada tempo aku cerita padamu), teman kami juga. Nah, Aisah yang satu ini, sekarang pakai jilbab (itu istilah yang ngepop sekarang, tak lain tak bukan, itu kata lain dari pada kerudung). Dan kesan pertama kita melihatnya, persis seperti kaum wanita pasidaran Iran, anak buah fanatik pengikut Imam Khomeini, sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah atawa koran-koran. Be­lakangan ada lagi yang menyebutnya pakaian wanita Ikhwanul Muslimin Mesir, pimpinan Imam Hassan Al-Banna. Tapi, apa pun namanya, menurut Ustadz Malik, “Itulah pakaian Muslimah yang sebenarnya.”

Pakaian yang menutup aurat. Sesuai dengan apa yang termaktub dalam Al-Quran, surah Al-Ahzab ayat 59: “Hai, Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, istri-istri orang mu'min. Hen­daklah mereka mengulurkan kain kerudung/jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang de­mi­ki­an itu supaya mereka lebih mudah dikenal, agar me­reka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengam­pun-Penyayang.” Dan dari Hadis Rasulullah Saw. dapat saya kutipkan sebuah Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a.: suatu ketika Asma bin­ti Abu Bakar masuk ke tempat Rasulullah sedang Asma memakai baju yang tipis (membayang tu­buh­nya), maka Rasulullah melengah seraya berkata: “Hai Asma, wanita yang te­lah sam­pai masa haid tidak bo­leh ter­lihat kecuali ini dan ini,” dan beliau me­nu­n­juk kepada mu­ka dan kedua tela­pak ta­ngannya.

Sebenarnya, masih ada be­­­­be­rapa ayat dan hadis, tapi Sau­dara-saudara dapat men­ca­rinya sendiri dalam Al-Qur­an, misalnya pada An Nur ayat 31, Al A’raaf ayat 26 dan beberapa Hadis yang diri­wa­yatkan oleh Muslim dan Ah­mad!

Pokoknya, sejak Aisah men­­­­jadi eskrim, maaf, eks­trim itu, di mana saja, kapan saja, ia selalu berjilbab! Anak-anak yang iseng, menjuluki­nya dengan “pa­kai­an ninja”. Tapi Aisah tak acuh saja.

Dan sejak itu, kayaknya Aisah tak punya lagi ba­rang sepotong pun baju model lain. Kayaknya se­mua pakaian rok, blus yang dulu, baik yang maxi, mi­di, apalagi mini, sudah dibakar ludes! Atau di­ha­nyut­kan ke Kali Malang (tak jauh dari gang kami).

“Apa pakaian-pakaian yang dulu itu sudah kau sedekahkan, barangkali, Aisah?” Suatu kali aku coba menduga kepadanya.

“Itu namanya, sama saja kita membagi dosa kepada yang lain,” jawabnya. “Menyuruh orang membuka aurat, ia berdosa dan aku pun berdosa. Dan dosaku dua kali lipat: dosa karena telah memberi yang salah, dan dosa yang dilakukan orang itu.”

“Kau ini aneh, Aisah,” kataku pula. “Dulu se­be­lum begini malah kau seorang modis, perancang busana.... Sekarang siapa yang mau menjahitkan pa­kai­an padamu kalau hanya jilbab melulu?”

“Lupakanlah itu,” katanya. “Itu waktu saya masih jahiliyah. Semoga Allah mengampunkan ketidak­ta­hu­anku. Dan siapa yang mau menjahitkan kepada saya? Terserahlah, siapa yang mau saja. Rezeki di tangan Allah.”

Mantap sekali ia, fikirku.

Aisah boleh bermantap-mantap. Tapi lihatlah betapa cobaan yang dihadapinya. Gara-gara pakaian jilbab itulah, Aisah mendapat kerepotan di se­ko­lahnya (sebuah SMA Negeri di bilangan Kebayoran Baru). Oleh kepala sekolah, ia dianggap melanggar pe­r­­aturan seragam sekolah, walau warnanya sudah pu­tih di atas dan abu-abu di bawah (sudah di­se­suai­kan Aisah). Namun ia tetap di­anggap me­langgar. Soal­­nya: jilbab yang kayak ninja itu, baju lengan pan­jang dan rok yang kom­prang kedodoran itu!

Kepala Sekolah sudah mem­­­beri peringatan be­be­rapa kali, lisan dan tulisan, dengan ancaman sewaktu-waktu bisa dikeluarkan dari sekolah. Aku tak tahu bagaimana kesu­dah­an­nya. Yang kutahu Aisah te­tap tegar. Berkata man­tap ke­pada kami anak-anak gang.

“Salah apa saya jika saya meng­amalkan ajaran agama sa­ya?! Toh, hal itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar Empat Lima kita! Baca tuh pasal 29 ayat 2, bahwa negara menjamin kemerdekaan dan kebebasan setiap warga ne­ga­ra untuk memeluk suatu aga­ma atau ke­per­ca­ya­an dan un­tuk beribadah sebagaimana yang dia­jar­kan oleh agama mau­pun kepercayaan itu! Nah, mana yang lebih tinggi kedudukan hu­kumnya UUD 45 atau Peraturan Seragam Se­ko­lah?!”

“Jelas UUD 45, dong,” jawab kami spontan memberi semangat dan membenarkan Aisah. Dan bertepuk tangan serempak.

Aisah melanjutkan: “Itu tuh, kalau mau ditertibkan juga, tertibkanlah siswa-siswa yang suka berantem itu, yang terlibat narkotik itu, yang mabuk-mabukan itu, yang merokok itu, yang suka keluyuran di jalanan atau ke disko pada jam-jam pelajaran! Ke sana alamat penertiban itu! Bukan kepada hak asasi orang?! Orang yang baik-baik seperti kita-kita ini lagi, ini enggak ge-er, ya (senyum, aduh manisnya)....”

Lagi-lagi kami keplok, senang sekali. Tiba-tiba seseorang memberi komando: “Tepuk pra-mu-ka!” Plok plok plok... plok plok plok... plok plok plok plok plok plok plok. Semua bertepuk kegirangan bagaikan anak-anak pramuka.

Rupanya Aisah belum selesai, belum merasa puas, ka­tanya sambil setengah berbisik, mencorongkan ke­dua telapak tangannya ke moncong: “Jangan-jangan kepala sekolah itu bekas PKI, ‘kali. Kan hanya orang­-orang PKI yang sangat anti agama?”

“Ya, ‘kali,” celetuk kami, membenarkan.

Mengembangkan kedua tangannya, mengangkat bahu, Aisah mengeluh: “Boleh jadi semua kita telah menjadi orang-orang munafik terhadap agama yang kita anut. Tilawatul Quran kita rayakan secara besar-besaran dengan biaya jutaan, tak tanggung-tanggung! Tetapi sebaliknya, pengamalannya kita jegal. Kita curiga dengan berbagai prasangka. Apakah ini tidak munafik namanya? Atau mungkin ada penamaan lain?”

“Munafiiiik...!” teriak anak-anak serempak.

“PKIiiiiiiii...!” tambah kami lagi.



22

Di mana pun, dasar anak-anak, suka becanda, su­ka menggoda. Apabila Aisah lewat di depan ‘mar­kas’, tak pernah luput ia jadi godaan. Begitu ia lewat, anak-anak yang tadinya asyik-asyiknya menyanyi dang­dut atau pop, segera mengalihkan iramanya ke kasidahan:

“Indung-indung kepala lindung

Hujan di udik di sini mendung

Anak siapa pakai kerudung

Mata melirik kaki kesandung...”

Aisah terus berlalu dengan senyum-senyum diku­lum. Mungkin, dalam hati masing-masing kami, ber­ka­ta: “Alangkah manisnya anak ini...?”



23

Suatu kali sedang aku asyik mentes kaset yang akan kubeli di sebuah toko di Benhil, kulihat Aisah ber­jalan seorang diri pulang sekolah. Serombongan cowok SMA yang berpapasan dengannya menggoda Aisah dengan sikap agak kurang sopan, mengitarinya seakan hendak memangsa, persis kayak segerombolan anjing hendak berebut tulang.

“Waduh, alimnya.”

“Sorangan wae?”

“Mari, gue anterin, yuk?”

“Ntar lu digampar bokapnya!”

“Enggak apa asal gue dapat anaknya yang ca'em.”

Dan macam-macam lagi.

Namun Aisah diam saja. Jalan terus.

“Wah, kalian ini tak tahu aturan!” ujar yang lain belagak memarahi teman-temannya. “Ucapin salam dulu, dong.”

“O ya lupa, assalamu'alaikum, Neng?”

Dengan lembut Aisah menjawab, “Wa'alaikum salam.”

Anak-anak pada sorak kegirangan.

Kuatir mereka menggoda lebih jauh lagi, buru-bu­ru aku keluar, kupanggil Aisah dengan suara lan­tang untuk mengagetkan anak-anak itu. Aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Aku berhasil. Mereka menyingkir secara teratur. Sekilas kudengar.

“Ada cowoknya, Mek!”

Lalu kutarik Aisah ke toko kaset.

“Kau tidak diapa-apakan mereka?” tanyaku.

“Tidak.”

“Anak-anak berengsek!”

“Mereka cuma iseng.”

“Kurang ajar,” kataku, geram. “Tapi, ya ampun, kenapa anak-anak gituan kau kasih hati?”

“Kasih hati bagaimana?”

“Salam mereka kau jawab. Cuekin aja!”

“Dosa lho, salam tak dijawab. Bukankah salam itu doa, yang artinya selamat dan sejahteralah anda. Sepantasnya kita mendoakan mereka pula.”

“Ya, ampun...,” kataku tak habis fikir pada Aisah yang satu ini.



24

Lain Aisah, lain pula Maryam. Gadis kecil yang kemarin-kemarin ini masih ingusan, masih suka main congklak dengan teman-teman sebayanya, main eng­klek, main loncat karet, tiba-tiba seperti di­sung­lap, dari kuncup mekar menjadi bunga yang in­dah. Gadis kecil itu tumbuh jadi remaja yang amat can­tik dan mempesona. Dan Maryam sadar akan perubahan dirinya.

Penampilan yang pertama mengejutkan banyak orang adalah ketika suatu kali ia ikut acara perkenalan penyanyi remaja di TV. Sejak itu ia dikenal secara lu­­­as. Semua orang kagum padanya. Bukan pada nya­nyian, melainkan kecantikannya yang membius itu.

Maka sejak itu, kami tak merasa heran, kalau ber­ganti-ganti saja pemuda-pemuda luar datang ber­kun­jung ke rumahnya. Kemudian pasangan anak muda itu pergi ke luar rumah untuk latihan menyanyi. Di lain waktu, ada lagi yang mengajaknya pergi menon­ton, ke restoran, dan macam-macam acara lain. Dan, selalu dengan muka baru: penyanyi tenar ibukota, pe­main film yang sedang in, anak teater yang lagi ngepop, pemain tenis yang lagi ngetop.... Dan yang pa­ling akhir anak orang kaya bermobil Baby Benz. Pokoknya selalu dengan cowok baru!

Dan setiap kali Maryam dan padangannya lewat di depan ‘markas’, maka terdengar bisik-bisik yang dikeraskan:

“Baru lagi, ni yee?!”





25

Maryam memang cantik. Yang tercantik di gang kami. Bahkan yang tercantik di ibukota republik ini, demikian menurut Hamzah.

Kukira, Hamzah menaruh hati pada Maryam. Hamzah belum pernah mengatakan secara terus terang.

“Tapi apalah arti kecantikan jika tidak disertai dengan ‘kematangan dan kedalaman’,” kata Hamzah pula, berfilsafat. Kali ini tampak serius dengan muka murung.

Dari bacaan berat mana pula Hamzah mem­peroleh ‘kematangan dan kedalaman’ itu, aku tak ta­hu.

26

Suatu hari, berani-berani takut, kutanyakan pa­da Hamzah apakah ia mencintai Maryam.

“Tidak!” jawabnya tegas.

Aku terperangah.



27

Tapi akhimya aku tahu juga, mungkin anak-anak lain tidak, ketika Maryam menyebarkan undangan perkawinannya dengan anak penguasa Real Estate, yang ber-Baby Benz itu, Hamzah mendadak pindah ke Rawamangun. Indekos di sebuah kamar yang se­der­hana. Memutuskan hidup jadi pengarang dan ber­henti kuliah. Sekarang ia bekerja di sebuah majalah.

Dalam puisi-puisi dan cerpen-cerpennya dapat kutangkap kesepian hati yang dibawanya ke mana pun ia pergi, seperti ada sesuatu yang terlepas dan hilang, yang tak mungkin dapat diraih kembali.



28

Dari bisik-bisik anak-anak cewek dapat ku­tang­kap bahwa sebenarnya Maryam pun mencintai Hamzah. Namun perasaan ini disimpannya sendiri. Ia tak hendak dan berani menyatakan kepada ayah ibunya. Maryam seorang anak yang baik, seorang anak yang patuh. Dan terlebih dari semua itu, ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Untuk itu ia siap berkorban. Semoga hal itu menjadi tanda bakti­nya buat mereka yang telah bersusah payah, mem­besar­kannya dalam kemiskinan yang berkepanjangan.



29

Akhir-akhir ini, aku tak merasa betah lagi duduk lama-lama di ‘markas’ kami. Dalam senda gurau dan nyanyian diam-diam menyelinap kesepian ke dalam hatiku. Di antara kawan tak kulihat lagi Hamzah, yang pergi membawa luka hatinya dalam kesepian di kamar indekosnya jauh di Rawamangun sana. Mungkin di malam-malam begini ia sedang mengetik puisi-puisi atau cerpen-cerpen, tempat di mana ia melarikan kepedihannya.

Tony Handoko mungkin sedang terbenam dalam kitab kuning bertuliskan Arab gundul. Atau mungkin ia sedang larut dalam zikir yang dalam. Nun jauh di desa Bangil, terpencil, jauh dari keramaian kota.

Najib mungkin sedang mencampur minuman ha­ram satu dengan yang lainnya, sambil mengenang ayah­nya sedang mengaji di rumah. Batinnya ter­te­kan. Namun ia tak bisa berbuat lain.

Se­dang mengapakah Martin sekarang? Lakon apa­kah yang sedang diperankannya sekarang? Hamlet to­koh yang selalu dibuai bimbang? Lama ia tak pu­lang. Aku tak tahu sedang mentas di kota mana ia se­karang.

Masing-masing teman pergi membawa nasibnya sendiri-sendiri.



30

Suatu hari ayahku berkata dengan sedikit keras kepadaku: “Syamsu, apakah kau tak merasa malu, nongkrong terus dengan bocah-bocah itu? Teman-te­man sebayamu sudah pada bekerja! Contohlah mereka itu! Lagi pula, ayah sudah tak sanggup lagi mem­biayai sekolahmu. Adik-adikmu masih banyak yang perlu ayah perhatikan.”



31

Malam hari ketika aku pulang dari mencari pekerjaan yang belum juga kudapatkan, aku selalu lewat di depan ‘markas’. Ramainya masih seperti bia­sa. Tapi sudah tentu tak kulihat lagi di sana Najib, To­ny Handoko, Martin dan Hamzah. Tiba-tiba aku merasa teramat sepi, tertekan sedikit oleh perasaan rindu.***





(Dimuat dalam Horison, Agustus 1990)



Your Ad Here

READ MORE - gank

Aku dan Perempuan Anganku

Cerpen Lan Fang



Your Ad Here


11.54 malam hari, aku baru menyelesaikan sebuah naskah dan mengirimkannya melalui email ke sebuah media. Sementara dua gelas kopi, segelas air putih, sebotol sirup multivitamin, sebotol obat tukak lambung, dan sebuah asbak dengan satu, dua, tiga, hmm….tujuh puntung rokok berserakan di sisi kiriku.

Aku bangkit dari dudukku dan menyelonjorkan otot-otot punggungku yang kaku dengan berbaring di sofa. Sementara perempuanku sudah sejak tadi lena berpelukan dengan gulingnya. Buat aku, tidak terlalu penting, apakah aku harus tidur di sofa atau di ranjang yang sama dengan perempuanku.

Sebetulnya, perempuanku tidak terlalu suka tidur seranjang denganku. Begitu pula aku. Menurutku, ia terlalu banyak aturan. Sedangkan menurutnya, aku terlalu jorok. Ia selalu menyuruhku mencuci muka, tangan dan kaki, menggosok gigi, memakai kaos dan celana tidur, lalu mengecupnya dan mengucapkan "Have a nice dream, honey…" Bah! Ia memperlakukan aku seperti anak lima tahun! Bukankah lebih nyaman menyelonjorkan tubuh dengan posisi seenaknya di atas sofa, dengan perasaan puas karena aku telah menyelesaikan sebuah naskah yang baik, walaupun itu tanpa menggosok gigi dan mencuci muka, tangan, kaki, lalu mengucapkan "Selamat tidur, sayang…" kepada angan-angan?

Angan-angan?
Hm…aku meletakkan kedua lenganku di belakang kepala.
Angan-angan?
Hm…aku memasuki sebuah café di sebuah plaza di tengah kota Surabaya di sepotong senja kelabu yang bergerimis. Hanya beberapa orang duduk di dalam café itu. Sepi. Sayup-sayup When I Need You mengalun dari suara Julio Iglisias.

Angan-angan?
Hm…aku melihat seseorang perempuan duduk di meja paling sudut di dekat jendela kaca. Ia memandang rinai gerimis seakan-akan menghitung jarum-jarum air yang turun satu per satu itu dengan tatapan kosong. Wajahnya cantik tetapi muram. Tubuhnya molek tetapi bahasa tubuhnya jelek sekali. Ia menggigiti ujung jari-jarinya, ia juga mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya, ia juga gelisah bergantian menyilangkan kedua belah betisnya yang langsing.

Angan-angan?
Hm…aku berjalan menuju perempuan itu.
"Kenapa kau masih di sini?" tanyaku pada perempuan itu.
Ia menoleh. Tersenyum. Tetapi tetap muram. "Menunggumu. Akhirnya kamu datang juga," jawabnya gamang.
"Sudah lama?"
"Lama sekali. Bahkan hampir putus asa menunggumu."
"Lalu kenapa terus menunggu?"
"Karena aku yakin kamu pasti datang. Karena aku sudah berjanji tidak akan meninggalkanmu. Karena aku sudah berjanji selalu berada di sisimu."
"Ah…," aku menghela napas dan kemudian duduk di depannya.
"Kenapa kau lakukan itu? Aku sudah dimiliki seorang perempuan," kataku sambil memandangnya lekat-lekat.

Ia mengangkat bahu. "Kalau aku jawab karena aku cinta padamu…, mungkin akan sangat terdengar klise. Kamu sudah pasti menulis terlalu banyak untuk sebuah kata cinta. Kalau aku jawab karena aku percaya padamu, mungkin akan sangat terdengar tolol. Kenapa bisa percaya kepada laki-laki yang telah memiliki dan dimiliki perempuan lain. Lalu menurutmu, aku harus menjawab apa?" ia balik bertanya.

"Jawab saja sesuai kata hatimu. Bukankah kata hati adalah suara yang paling jujur?"
"Hm…," ia bergumam agak panjang sambil menghirup float avocado di depannya. "Karena ngeri sekali rasanya membayangkan bila harus kehilangan dirimu," jawabnya lugu tetapi menyentuh perasaanku.

"Kenapa aku?"
"Karena kamu memberikan rasa nyaman," sahutnya cepat.
"Apakah kamu merasa nyaman menungguku sekian lama?"
"Tidak."
"Lalu?"
Ia menikam manik mataku dengan tatapannya yang murung. "Tahukah kamu, kalau kangen itu adalah luka yang paling nikmat?"
"Ah, sejak kapan kamu jadi puitis?"
"Sejak bersamamu."
Aku tertawa kecil. Bersama perempuan ini memang mengasyikkan.
Jeda sejenak ketika aku memesan fruit punch kesukaanku.
"Fruit punch? Cold? Tidak kedinginan? Di luar hujan. Apakah tidak lebih baik memesan cappuccino?" sergah perempuan itu.
"Kamu selalu membuatku merasa hangat," sahutku.

Olala, benarkah kata-kata pujangga bahwa dunia bisa terbalik kalau sedang jatuh cinta? Panas jadi dingin dan dingin jadi panas? Malam jadi siang dan siang jadi malam? Ah, itu kalau jatuh cinta pada saat dan orang yang tepat! Sergahku dalam hati. Bagaimana kalau jatuh cinta pada saat dan orang yang salah? Alamak, mungkin siang malam akan menjadi panas dingin.
Telepon selularnya yang tergeletak di atas meja mendadak mengeluarkan bunyi ’mengeong’.

"Siapa?" aku bertanya tanpa mampu menahan tawa. Jarang sekali aku mendengar ring tone mengeong seekor kucing.

Ia bergerak menekan tombol view lalu memperlihatkan message di layar kepadaku: ’elu di mna, honey? Gw lagi di Palem café Plaza Senayan. Kpn mo ke jkt? Gw yg atur semuanya deh. Kgen mo refreshing ma elu :)’
"Seekor kucing yang kesepian…," sahutnya dengan nada sumbang.
"Seekor kucing?"
"Seorang laki-laki yang kesepian," ia mengulangi kata-katanya.
"Tadi kamu bilang seekor kucing yang kesepian."

"Laki-laki sama seperti seekor kucing. Licik," sahutnya enteng. "Seekor kucing yang mengeong-ngeong minta dipangku dan dielus-elus tengkuknya. Lalu ia merem melek tidur di pangkuan. Tetapi ketika tetangga sebelah menawarkan seekor pindang, dengan mudahnya ia mengeong, mengendus, dan menjilat kepada tetangga sebelah," sahutnya sejurus setelah menghirup float avocado lagi.

Aku tertawa tanpa bisa kucegah. "Masa sampai seperti itu?"
Ia mengangguk-angguk. Lidahnya yang merah terlihat seksi ketika ia menjilati bibirnya yang indah. "Ya, semua kucing seperti itu. Entah itu kucing Persia, kucing Siam, kucing angora, atau bahkan hanya kucing kampung. Kucing mudah tergoda dengan pindang, empal, hati, atau apa saja. Bahkan kalau tidak ada yang menawari, maka sang kucing akan mencari-cari kesempatan untuk mencuri di atas meja makan, di lemari dapur, atau bahkan mengais-ngais tempat sampah!" ujarnya pelan tetapi terasa ketus.

Aku ikut mengangguk-angguk. Ketika fruit punch-ku datang, kuhirup dulu. Rasa asam dan kecut terasa menyegarkan lidah dan tenggorokanku. Walaupun ujung hidungku juga membias dingin seperti embun yang mengkristal di badan gelas. Lalu aku menyalakan sebatang rokok kretek. Menghisapnya dalam-dalam. Menghembuskannya kuat-kuat. Rokok selalu membuatku merasa lebih tenang. Terlebih lagi jika aku berhadapan dengan perempuan ini.

"Hm…itu laki-laki ya. Laki-laki seperti kucing. Bagaimana kalau perempuan?" tanyaku sejurus kemudian.
"Perempuan seperti anjing…"
"Anjing?!" aku terpana.

"Ya, setia seperti anjing. Apa pun anjing itu. Anjing herder, anjing peking, anjing cow-cow, atau anjing kampung sekalipun, ia akan tetap duduk setia menunggu pintu sampai tuannya pulang ke rumah. Ia tidak akan makan pemberian tetangga sebelah. Anjing hanya memakan yang disodorkan tuannya. Ia tidak akan mencuri-curi kesempatan. Bahkan terkadang, tuannya sudah bosan dan mengusirnya sambil melemparnya dengan sepatu, sang anjing masih kembali menjaga pintu rumah tuannya," ia bicara panjang sambil tertawa.

"Ada sebuah cerita yang kudengar ketika aku masih kanak-kanak. Seekor anjing setiap pagi mengantarkan tuannya ke stasiun kereta dan setiap sore menjemput tuannya di stasiun kereta. Suatu hari, tuannya meninggal di jalan dan tidak pulang kembali. Sang anjing tetap menunggu tuannya di stasiun kereta itu sampai mati pula di dalam penantiannya di stasiun itu."

"Hei, menurutmu itu setia atau tolol, sayang?" ia terkikik.
"Hm, menurutku ironis!" sahutku.
Kali ini tawanya meledak. Ia tertawa sampai bahunya yang indah terguncang-guncang. Tawa panjangnya memenuhi ruangan café, sampai ke jalan-jalan, memantul di selokan-selokan, menembus tirai gerimis, mengalahkan suara merdu Julio Iglisias, mengaung di sepanjang lorong hatiku.
"Ya memang harus seperti itu. Ironis. Anjing dan kucing. Perempuan dan laki-laki. Kau dan aku."
"Kita?"
"Ya. Kita. Kau dan aku."
"Kau dan aku?" aku masih tidak mengerti.
"Ya. Kau adalah aku. Aku adalah kau."
"Hah?"

"Ya. Kau dan aku itu adalah satu kesadaran yang sama. Aku di dalam kau, dan kau di dalam aku. Kita adalah laki-laki. Dan kita adalah perempuan. Kita sekarang ada di café. Kita juga sekarang ada di rumah. Kau selalu membawaku pergi di dalam angan-anganmu. Aku juga selalu mengikuti kau pergi di dalam bayang-bayangmu."

"Mana mungkin?!" desisku terperanjat. "Kau adalah kau. Aku adalah aku. Ini cuma halusinasi. Ini cuma imajinasi. Ini cuma ilusi."
"Tidak. Kita adalah sama. Ini adalah deja-vu."
"Deja-vu?!" seruku tidak percaya.
"Kau siapa?" aku masih bertanya.
"Maya," sahutnya. "Aku Maya. Masa lalu, khayal, mimpi, semu, ada dan tiada."
"Aku siapa?" tanyaku lagi.
"Asa," sahutnya. "Kau Asa. Masa depan, harapan, dan cita-cita."
"Begitukah?" aku bergumam. "Kau Maya, masa laluku. Aku Asa, masa depanmu. Sekarang kita ber-deja-vu?"
"Ya," suaranya seakan-akan datang dari labirin ruang jarak dan waktu di belahan dunia lain.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang bersama?"
"Bagaimana dengan perempuanmu?"
"Persetan dengan dia! Perempuan itu lebih suka memeluk gulingnya daripada memelukku. Sedangkan kau, selalu berada di dalam diriku."
Dia tertawa manis. "Dasar kucing."
"Meonggg…," sahutku.

Lagi-lagi ia tertawa. "Hai, alangkah baiknya kalau perempuan tidak lagi menyumpahi laki-laki dengan kata-kata ’anjing kau!’. Bukankah semestinya perempuan menyumpahi laki-laki dengan kata-kata ’kucing kau!’. Bagaimana menurutmu?"
"Meonggg…," sahutku lagi mengeong seperti seekor kucing yang sedang birahi.
"Kamu birahi ya? Horny, darling?"
"Meonggg…"

Aku menariknya ke dalam pelukanku di dalam angan-angan.
Dan aku orgasme ketika menyelesaikannya di dalam sebuah tulisan.
Akhirnya aku beranjak menuju kamar mandi untuk melakukan ritual perempuanku; mencuci tangan, kaki, muka dan menggosok gigi. Bah!
Ketika selesai kubasuh wajahku, aku tengadah melihat pantulan diriku di cermin di atas toilet.
Olala!
Aku separuh perempuan, separuh laki-laki.
Astaga!
Wajahku separuh anjing , separuh kucing.
Alamak!
Aku separuh menggonggong , separuh mengeong.
Ber-deja-vu-kah aku? ***
READ MORE - Aku Dan Perempuan Anganku

Oleh: Dianing Widya Yudhistira





Aku di sini. Berada di keting­gian menara. Menikmati senja. Senja kali ini berwajah pucat. La­ngit diam. Sepi. Melintas di depan­ku burung gagak bergaun hitam. Me­nari di depanku. Tarian yang se­be­lumnya belum pernah aku sak­si­kan. Seperti mengabarkan se­sua­tu yang ganjil. Angin masih terlalu cinta de­ngan kehadiranku. Ia sapa aku lem­but. Perlahan-lahan aku sapu anak ram­but yang tergerai di wa­jah­ku. Tulus. Gagak itu masih me­narikan ta­rian yang terluka. En­tah ten­tang apa.

Ketika senja berangkat ke ma­lam, perlahan-lahan burung Ga­gak menghentikan tariannya. Menatap padaku. Tatapan mata­nya yang tajam, seolah-olah menelanjangi batin­ku. Aku belum tahu apa yang se­sungguhnya Gagak sampaikan padaku.

Yang aku tahu, malam ini seperti tak punya nafas. Tak ada angin yang meliukkan tubuhnya. Pohon-pohon diam. Tak kudengar desah de­dauan. Gunung-gunung mem­bi­su. Demikian juga dengan ham­par­an laut di depanku. Diam. Malam begitu terbungkus kesunyian. Se­helai daun akasia yang menua, me­la­yang di udara. Jatuh. Terku­lai di ta­nah basah. Kesunyian kian leng­kap.

Aku masih di sini. Di ketinggian menara. Aku terpaku di ujung le­ngan cakrawala. Perlahan-lahan aku hela nafasku. Menghem­bus­kannya dengan bebatuan. Tak ada yang menemaniku, malam ini. Tak ada yang mengajakku bicara ma­lam ini. Hanya burung Hantu yang mau menampakkan diri. Seperti biasa. Ia adalah kekasihku. Yang selalu bercerita tentang bulan dan bin­tang. Yang memberi aku ke­da­mai­an. Ya. Seekor burung hantu. Mengham­piriku. Ha­nya saja matanya tak ber­sinar seperti hari-hari kemarin. Mata itu redup.

Burung hantu me­natapku. Kosong. Se­­baid lirik kehi­lang­an aku temukan di sa­na.

“Selamat malam, Dianing.”

“Kabut apa yang menodai matamu, hing­ga ke pendam ra­sa ngeri.”

“Engkau se­sung­guhnya, Dianing.”

Dibentangkannya tanda tanya di hadapanku.

“Di mana Lismatano sekarang Dianing.”

Aku tercenung. Ia menyebut nama laki-lakiku.

“Pergilah ke hutan Para, Dia­ning.”

Aku menautkan kening.

“Kau akan tahu.”

Tiba-tiba angin meliukkan tu­buh­­nya dengan gerakan yang dah­syat. Ia memintalku dengan ke­kuat­­annya. Dengan cinta ia ter­bangkan aku ke hutan Para.

Sekelilingku gulita. Tak ada cahaya. Tapi, cahaya bulan bugil membantu penglihatanku. Banyak pohon di kanan kiriku. Depan dan belakangku. Masyarakat pohon. Membisu dan gelisah.

“Inikah hutan.”

“Ya. Hutan Para.”

Suara burung hantu.

“Apa yang aku tahu.”

“Ikuti aku.”

Seperti perintahnya, aku ikuti langkah burung hantu.

Semakin aku mengikutinya, jalan yang menanjak kian gelap. Gelap dan sangat gulita. Hanya deru nafas yang dahsyat terdengar di telingaku. Deru nafas yang mem­buru dan aku akrab dengannya. Ter­padu dengan deru nafas yang lain. Entah nafas siapa. Aku lang­kahkan kakiku selangkah. Tiba-tiba di depanku terang ben­der­ang. As­taga!! Lismatano, laki-laki­ku ber­gumul dengan tubuh pe­rempuan lain. Gila!!!

Seketika itu angin kembali me­liukkan tubuhnya dengan dah­syat. Memintaku kembali. Entah da­­lam wak­tu seberapa detik me­ner­­bang­kan aku. Yang jelas kurang dari satu detik aku kembali berada di ke­tinggian menara.

Aku lunglai. Bayangan Lis­ma­tano dan perempuan itu terekam jelas di layar komputerku yang paling pertama. Malamku lunglai. Aku tahu burung hantu masih di sam­pingku.

“Untuk apa kau bawa aku.”

“Untuk menjelaskan padamu siapa sosok Lismatano.”

Aku hanya bisa menelan pil pa­hit. Menikmati segala luka hati de­ngan tulus.

Lismatano. Laki-laki yang sepenuhnya aku kagumi. Ternyata mampu menikam darahku.

“Apakah aku terlambat, Dianing.”

“Sama sekali tidak.”

“Mengapa batinmu begitu luruh.”

“Aku tengah belajar untuk bahagia dan damai dalam sendiri.”

Burung hantu tersenyum. Me­nge­­pakkan sayapnya di ketinggian me­nara ini. Selalu ia yang melin­dungiku. Telah aku putuskan untuk tak merajuk atau menerima Lisma­tano. Tak kan lagi aku melakukan kesalahan yang sama.

Malam telah melengkapkan usianya. Aku pandang wajah bulan. Lewat cahayanya ia mengucapkan salam. Aku dengar bisikan angin.

“Selamat malam.”

Aku membalasnya dengan menguap.

“Selamat malam, Dianing.”

Aku tatap burung hantu. Ia membimbingku ke kamar. Menyelimuti aku.

“Tidurlah dengan damai.”

Aku mengangguk. Aku tahu ia akan menjagaku sepanjang malam.

Di ketinggian menara ini.

Perlahan-lahan aku terlena. Hembusan semilir angin menerpa­ku. Sejuk. Perlahan-lahan aku terbawa ke dunia lain. Dunia yang selalu aku impikan. Hamparan luas rum­put hijau. Berbagai macam buah lezat dan makanan tersedia di sana. Di hamparan rumput itu mengalir parit. Yang airnya susu dan madu. Di hamparan luas rum­put hijau itu, para bidadari ter­se­nyum ramah.

“Oh kehidupan yang menye­nangkan.”

Sejenak kutinggalkan dunia. Aku benar-benar menikmati dunia lain ini.

Dalam tidurku, aku kembali terlempar ke dunia. Tapi, seperti ada yang menghalangi nafasku. Aku terengah-engah. Entah siapa. Wajahnya bersih. Ia bersayap dengan baju serba putih.

“Aku akan menjemputmu, Dianing.”

“Menjemputku!?”

“Ya. Ke alam baru. Kehidupan yang sesungguhnya.”

Aku tak mengerti.

Burung hantu menyentuh bahu kananku. Seolah mencegahku.

“Kau tak bisa menghalangiku. Ini perintah Tuhanku. Tuhanmu jua.”

“Ia masih terlalu muda.”

“Kehendak Tuhan.”

Aku lihat mereka berdebat. Mereka asyik dengan argumen-argumen mereka. Sementara aku hanya bisa menikmati perdebatan mereka.

Karenanya, burung hantu terkapar. Sayapnya patah. Sosok bersayap itu kembali padaku. Tangannya yang dingin menyentuh kulitku. Entah apa yang ia lakukan. Yang aku tahu, sungguh tubuh­ku merasakan sakit yang dahsyat. Setiap kali tarikan hebat itu lepas kembali ketika menyentuh di leher. Aku mengerjang, merin­tih, terpuruk, lelah.

Aku lihat burung hantu kembali bangkit. Kali ini tak ia pedulikan sayapnya yang terluka. Ia berusaha mencegah keluarnya rohku dari jazadku. Jadilah jazadku ajang pe­rebutan roh. Sosok bersayap itu meng­hendaki rohku. Burung hantu ingin rohku tetap menyatu dengan jazad. Mereka tak tahu bagaimana aku menahan sakit.

Cukup lama mereka bertarung. Entah berapa waktu. Karena sakit, aku merasakan sangat lama. Kekuasaan Tuhan tak ada yang mampu membendung. Hingga aku benar-benar terlempar ke dunia lain. Roh yang bertahun-tahun menghuni jasadku, kini telah diinginkan pemiliknya. Aku terbang tinggi tanpa tahu di mana akan berhenti.

Aku saksikan jasadku diman­dikan bunda dan saudara-saud­a­ra­ku. Beberapa orang yang menyayangiku hadir di kematianku. Mereka mengucap seuntai kalimat duka. Ketika jasadku dishalatkan, aku merasakan kesejukan yang sangat.

Tapi, aku merasakan sakit ketika bunda dan saudaraku terisak di makam. Ketika jasadku mulai dimasukkan ke liang, kedua saudaraku pingsan. Duh, jalanku tersandung semak belukar. Perlahan-lahan tanah menimbun Jasadku. Hingga merata dengan tanah. Terta­nam sudah jasadku di tanah. Aku melesat ke langit demi langit.

Beribu roh berkumpul di alam yang sulit aku uraikan. Berupa-rupa aku temui. Di depanku layar besar mengungkap kembali kisahku di dunia. termasuk kisahku dengan Lismatano. Aku merasakan getar aneh ketika melihat Lismatano. Entah, di alam yang lain ini aku masih mengenang Lismatano. Laki-laki yang pernah berjanji akan menikahiku.

Di tengah riuhnya roh-roh yang menuju pengadilan akbar itu, tiba-tiba muncul burung hantu. Ia menuju ke Tuhan. Ia mengadu tentang aku.

“Aku ingin Ia diberi keisitimewaan.”

“Tentang apa.”

Aku menatap burung hantu.

“Biarpun Dianing telah kau ambil, berikan ia kesempatan ke dunia.”

“Maksudku melihat dunia.”

“Ya.”

“Baik karena cintaku aku merestui Dianing. Aku izinkan ia suatu ketika turun ke dunia.”

Aku terpana.

Burung hantu mengepakkan sayapnya. Tersenyum dan memberi salam padaku. Aku membalasnya dengan anggukan tulus.

“Aku tunggu kedatanganmu di dunia, Dianing.”

“Bila Tuhan mengizinkan.”

“Tentu.”

Burung hantu terbang. Ia menembus awan, mega, bintang, bulan menuju ke dunia.

UNTUK pertama kalinya aku turun ke dunia. Atas izin Tuhanku. Aku lewati langit demi langit. Gemerlap bintang menyambutku, langit cerah. Bulan bulat penuh. Ia bugil di malam yang damai itu. Aku bertemu dengan mega.

“Cukup lama kami menunggu, Dianing.”

“Oh ya.”

“Cepatlah kau temui burung hantu. Lama menunggumu dan juga tengah menunggumu.”

“Ya.”

Aku lihat burung hantu terpekur sendiri. Aku lihat wajahnya sepi. Seperti menunggu kedatangan.

“Gerangan siapa membuatmu sepi.”

Matanya berpendar. Indah sekali. Ia menjerit.

“Dianing.”

“Ya.”

Kami berpelukan. Aku bahagia melihat secercah wajahnya yang ceria.

Wajah yang cerah itu tiba-tiba luruh. Aku temukan sebaid lirik kehilangan di matanya. Seperti berabad-abad lalu.

“Boleh aku tahu dukamu.”

Burung hantu menatapku. Tatapan yang sulit aku urai.

“Maukah kau ke hutan Para.”

“Hutan Para!?”

“Lismatano ada di sana dengan perempuan itu.”

Aku lunglai.

Tiba-tiba begitu sepi.

“Dianing,” panggil burung hantu lirih.

“Untuk apa.”

Burung hantu masih bertengger di pohon randu.

“Bila kau berkenan. Bukankah ia bagian dari hidupmu di dunia.”

Aku luruh.

“Bukankah mereka telah menikah.”

Burung hantu menggeleng.

Aku terpana.

“Lismatano tak pernah menikahi perempuan itu.”

“Lalu?”

“Lismatano memilih jalan buruk. Tak sekedar gelap, terjal dan mendaki.”

“Bicaralah.”

“Mereka seatap tanpa ikatan.”

“Maksudmu...”

“Ya.”

Aku tak mengira laki-laki masa laluku memilih hidup yang naif. Serumah tanpa ikatan sah sebagai suami istri.

“Kau tahu bukan perbuatan mereka melebihi hubungan suami istri.”

Aku kembali ke hutan Para. Lismatano, laki-laki yang pernah aku dambakan jadi suamiku. Telah berpaling dengan perempuan lain. Hidup bersama tanpa kata yang jelas. Di hutan Para itu aku kemba­li menyaksikan Lismatano bergulat dengan perempuan yang sama. Pergulatan yang dahsyat. Aku tak kuasa melihatnya. Tapi, entahlah mengapa tiba-tiba aku terpaku di depan mereka.

Lismatano dan perempuan itu terus bergulat. Saling menumpah­kan nafsu. Deru nafas memburu. Tiba-tiba... Aku tak percaya melihatnya. Tubuh Lismatano mengeras. Ia berubah jadi batu. Ya. Lismatano telah membatu. Kini tak bisa bergerak. Ia dalam keadaan yang mengerikan ketika membatu. Tubuhnya tumbuh lumut. Lebat dan kotor.

Aku terpana. Ngeri. Perempuan itu.

“Yuniz nama perempuan itu, Dianing.”

Aku hanya mengangguk. Ia tak membatu, tetapi tubuhnya berubah. Ia berkaki empat. Besar. Tubuhnya berbulu sangat lebat. Perempuan itu berubah binatang yang sangat mengerikan. Aku yang terpaku. Mulutnya lebar ke arahku. Siap menerkamku. Tapi burung hantu segera menerbangkan aku.

Aku di atas pohon randu. Lismatano telah membatu dan berlu­mut. Sementara perempuannya berubah binatang.

“Mengapa dengan mereka.”

“Itulah yang pantas mereka terima.”

Aku menghela nafas.

“Bulan pun tak sudi menyaksikan persetubuhan mereka.”

Aku menekuri tanah.

Aku berada di ketinggian mena­ra. Sebentar lagi aku harus kem­bali. Menikah dengan Lismatano hanya sebuah impian yang abadi. Kini aku hanya bisa merasakan sen­tuhan angin. Merasakan cinta dan kasih sayangnya. Ya. Dan aku ki­ni mulai belajar untuk damai dan ba­hagia dalam sendiri.***



Jakarta, Mei 1997.
READ MORE - pernikahan Angin

Oleh: Dianing Widya Yudhistira




Your Ad Here





Aku di sini. Berada di keting­gian menara. Menikmati senja. Senja kali ini berwajah pucat. La­ngit diam. Sepi. Melintas di depan­ku burung gagak bergaun hitam. Me­nari di depanku. Tarian yang se­be­lumnya belum pernah aku sak­si­kan. Seperti mengabarkan se­sua­tu yang ganjil. Angin masih terlalu cinta de­ngan kehadiranku. Ia sapa aku lem­but. Perlahan-lahan aku sapu anak ram­but yang tergerai di wa­jah­ku. Tulus. Gagak itu masih me­narikan ta­rian yang terluka. En­tah ten­tang apa.

Ketika senja berangkat ke ma­lam, perlahan-lahan burung Ga­gak menghentikan tariannya. Menatap padaku. Tatapan mata­nya yang tajam, seolah-olah menelanjangi batin­ku. Aku belum tahu apa yang se­sungguhnya Gagak sampaikan padaku.

Yang aku tahu, malam ini seperti tak punya nafas. Tak ada angin yang meliukkan tubuhnya. Pohon-pohon diam. Tak kudengar desah de­dauan. Gunung-gunung mem­bi­su. Demikian juga dengan ham­par­an laut di depanku. Diam. Malam begitu terbungkus kesunyian. Se­helai daun akasia yang menua, me­la­yang di udara. Jatuh. Terku­lai di ta­nah basah. Kesunyian kian leng­kap.

Aku masih di sini. Di ketinggian menara. Aku terpaku di ujung le­ngan cakrawala. Perlahan-lahan aku hela nafasku. Menghem­bus­kannya dengan bebatuan. Tak ada yang menemaniku, malam ini. Tak ada yang mengajakku bicara ma­lam ini. Hanya burung Hantu yang mau menampakkan diri. Seperti biasa. Ia adalah kekasihku. Yang selalu bercerita tentang bulan dan bin­tang. Yang memberi aku ke­da­mai­an. Ya. Seekor burung hantu. Mengham­piriku. Ha­nya saja matanya tak ber­sinar seperti hari-hari kemarin. Mata itu redup.

Burung hantu me­natapku. Kosong. Se­­baid lirik kehi­lang­an aku temukan di sa­na.

“Selamat malam, Dianing.”

“Kabut apa yang menodai matamu, hing­ga ke pendam ra­sa ngeri.”

“Engkau se­sung­guhnya, Dianing.”

Dibentangkannya tanda tanya di hadapanku.

“Di mana Lismatano sekarang Dianing.”

Aku tercenung. Ia menyebut nama laki-lakiku.

“Pergilah ke hutan Para, Dia­ning.”

Aku menautkan kening.

“Kau akan tahu.”

Tiba-tiba angin meliukkan tu­buh­­nya dengan gerakan yang dah­syat. Ia memintalku dengan ke­kuat­­annya. Dengan cinta ia ter­bangkan aku ke hutan Para.

Sekelilingku gulita. Tak ada cahaya. Tapi, cahaya bulan bugil membantu penglihatanku. Banyak pohon di kanan kiriku. Depan dan belakangku. Masyarakat pohon. Membisu dan gelisah.

“Inikah hutan.”

“Ya. Hutan Para.”

Suara burung hantu.

“Apa yang aku tahu.”

“Ikuti aku.”

Seperti perintahnya, aku ikuti langkah burung hantu.

Semakin aku mengikutinya, jalan yang menanjak kian gelap. Gelap dan sangat gulita. Hanya deru nafas yang dahsyat terdengar di telingaku. Deru nafas yang mem­buru dan aku akrab dengannya. Ter­padu dengan deru nafas yang lain. Entah nafas siapa. Aku lang­kahkan kakiku selangkah. Tiba-tiba di depanku terang ben­der­ang. As­taga!! Lismatano, laki-laki­ku ber­gumul dengan tubuh pe­rempuan lain. Gila!!!

Seketika itu angin kembali me­liukkan tubuhnya dengan dah­syat. Memintaku kembali. Entah da­­lam wak­tu seberapa detik me­ner­­bang­kan aku. Yang jelas kurang dari satu detik aku kembali berada di ke­tinggian menara.

Aku lunglai. Bayangan Lis­ma­tano dan perempuan itu terekam jelas di layar komputerku yang paling pertama. Malamku lunglai. Aku tahu burung hantu masih di sam­pingku.

“Untuk apa kau bawa aku.”

“Untuk menjelaskan padamu siapa sosok Lismatano.”

Aku hanya bisa menelan pil pa­hit. Menikmati segala luka hati de­ngan tulus.

Lismatano. Laki-laki yang sepenuhnya aku kagumi. Ternyata mampu menikam darahku.

“Apakah aku terlambat, Dianing.”

“Sama sekali tidak.”

“Mengapa batinmu begitu luruh.”

“Aku tengah belajar untuk bahagia dan damai dalam sendiri.”

Burung hantu tersenyum. Me­nge­­pakkan sayapnya di ketinggian me­nara ini. Selalu ia yang melin­dungiku. Telah aku putuskan untuk tak merajuk atau menerima Lisma­tano. Tak kan lagi aku melakukan kesalahan yang sama.

Malam telah melengkapkan usianya. Aku pandang wajah bulan. Lewat cahayanya ia mengucapkan salam. Aku dengar bisikan angin.

“Selamat malam.”

Aku membalasnya dengan menguap.

“Selamat malam, Dianing.”

Aku tatap burung hantu. Ia membimbingku ke kamar. Menyelimuti aku.

“Tidurlah dengan damai.”

Aku mengangguk. Aku tahu ia akan menjagaku sepanjang malam.

Di ketinggian menara ini.

Perlahan-lahan aku terlena. Hembusan semilir angin menerpa­ku. Sejuk. Perlahan-lahan aku terbawa ke dunia lain. Dunia yang selalu aku impikan. Hamparan luas rum­put hijau. Berbagai macam buah lezat dan makanan tersedia di sana. Di hamparan rumput itu mengalir parit. Yang airnya susu dan madu. Di hamparan luas rum­put hijau itu, para bidadari ter­se­nyum ramah.

“Oh kehidupan yang menye­nangkan.”

Sejenak kutinggalkan dunia. Aku benar-benar menikmati dunia lain ini.

Dalam tidurku, aku kembali terlempar ke dunia. Tapi, seperti ada yang menghalangi nafasku. Aku terengah-engah. Entah siapa. Wajahnya bersih. Ia bersayap dengan baju serba putih.

“Aku akan menjemputmu, Dianing.”

“Menjemputku!?”

“Ya. Ke alam baru. Kehidupan yang sesungguhnya.”

Aku tak mengerti.

Burung hantu menyentuh bahu kananku. Seolah mencegahku.

“Kau tak bisa menghalangiku. Ini perintah Tuhanku. Tuhanmu jua.”

“Ia masih terlalu muda.”

“Kehendak Tuhan.”

Aku lihat mereka berdebat. Mereka asyik dengan argumen-argumen mereka. Sementara aku hanya bisa menikmati perdebatan mereka.

Karenanya, burung hantu terkapar. Sayapnya patah. Sosok bersayap itu kembali padaku. Tangannya yang dingin menyentuh kulitku. Entah apa yang ia lakukan. Yang aku tahu, sungguh tubuh­ku merasakan sakit yang dahsyat. Setiap kali tarikan hebat itu lepas kembali ketika menyentuh di leher. Aku mengerjang, merin­tih, terpuruk, lelah.

Aku lihat burung hantu kembali bangkit. Kali ini tak ia pedulikan sayapnya yang terluka. Ia berusaha mencegah keluarnya rohku dari jazadku. Jadilah jazadku ajang pe­rebutan roh. Sosok bersayap itu meng­hendaki rohku. Burung hantu ingin rohku tetap menyatu dengan jazad. Mereka tak tahu bagaimana aku menahan sakit.

Cukup lama mereka bertarung. Entah berapa waktu. Karena sakit, aku merasakan sangat lama. Kekuasaan Tuhan tak ada yang mampu membendung. Hingga aku benar-benar terlempar ke dunia lain. Roh yang bertahun-tahun menghuni jasadku, kini telah diinginkan pemiliknya. Aku terbang tinggi tanpa tahu di mana akan berhenti.

Aku saksikan jasadku diman­dikan bunda dan saudara-saud­a­ra­ku. Beberapa orang yang menyayangiku hadir di kematianku. Mereka mengucap seuntai kalimat duka. Ketika jasadku dishalatkan, aku merasakan kesejukan yang sangat.

Tapi, aku merasakan sakit ketika bunda dan saudaraku terisak di makam. Ketika jasadku mulai dimasukkan ke liang, kedua saudaraku pingsan. Duh, jalanku tersandung semak belukar. Perlahan-lahan tanah menimbun Jasadku. Hingga merata dengan tanah. Terta­nam sudah jasadku di tanah. Aku melesat ke langit demi langit.

Beribu roh berkumpul di alam yang sulit aku uraikan. Berupa-rupa aku temui. Di depanku layar besar mengungkap kembali kisahku di dunia. termasuk kisahku dengan Lismatano. Aku merasakan getar aneh ketika melihat Lismatano. Entah, di alam yang lain ini aku masih mengenang Lismatano. Laki-laki yang pernah berjanji akan menikahiku.

Di tengah riuhnya roh-roh yang menuju pengadilan akbar itu, tiba-tiba muncul burung hantu. Ia menuju ke Tuhan. Ia mengadu tentang aku.

“Aku ingin Ia diberi keisitimewaan.”

“Tentang apa.”

Aku menatap burung hantu.

“Biarpun Dianing telah kau ambil, berikan ia kesempatan ke dunia.”

“Maksudku melihat dunia.”

“Ya.”

“Baik karena cintaku aku merestui Dianing. Aku izinkan ia suatu ketika turun ke dunia.”

Aku terpana.

Burung hantu mengepakkan sayapnya. Tersenyum dan memberi salam padaku. Aku membalasnya dengan anggukan tulus.

“Aku tunggu kedatanganmu di dunia, Dianing.”

“Bila Tuhan mengizinkan.”

“Tentu.”

Burung hantu terbang. Ia menembus awan, mega, bintang, bulan menuju ke dunia.

UNTUK pertama kalinya aku turun ke dunia. Atas izin Tuhanku. Aku lewati langit demi langit. Gemerlap bintang menyambutku, langit cerah. Bulan bulat penuh. Ia bugil di malam yang damai itu. Aku bertemu dengan mega.

“Cukup lama kami menunggu, Dianing.”

“Oh ya.”

“Cepatlah kau temui burung hantu. Lama menunggumu dan juga tengah menunggumu.”

“Ya.”

Aku lihat burung hantu terpekur sendiri. Aku lihat wajahnya sepi. Seperti menunggu kedatangan.

“Gerangan siapa membuatmu sepi.”

Matanya berpendar. Indah sekali. Ia menjerit.

“Dianing.”

“Ya.”

Kami berpelukan. Aku bahagia melihat secercah wajahnya yang ceria.

Wajah yang cerah itu tiba-tiba luruh. Aku temukan sebaid lirik kehilangan di matanya. Seperti berabad-abad lalu.

“Boleh aku tahu dukamu.”

Burung hantu menatapku. Tatapan yang sulit aku urai.

“Maukah kau ke hutan Para.”

“Hutan Para!?”

“Lismatano ada di sana dengan perempuan itu.”

Aku lunglai.

Tiba-tiba begitu sepi.

“Dianing,” panggil burung hantu lirih.

“Untuk apa.”

Burung hantu masih bertengger di pohon randu.

“Bila kau berkenan. Bukankah ia bagian dari hidupmu di dunia.”

Aku luruh.

“Bukankah mereka telah menikah.”

Burung hantu menggeleng.

Aku terpana.

“Lismatano tak pernah menikahi perempuan itu.”

“Lalu?”

“Lismatano memilih jalan buruk. Tak sekedar gelap, terjal dan mendaki.”

“Bicaralah.”

“Mereka seatap tanpa ikatan.”

“Maksudmu...”

“Ya.”

Aku tak mengira laki-laki masa laluku memilih hidup yang naif. Serumah tanpa ikatan sah sebagai suami istri.

“Kau tahu bukan perbuatan mereka melebihi hubungan suami istri.”

Aku kembali ke hutan Para. Lismatano, laki-laki yang pernah aku dambakan jadi suamiku. Telah berpaling dengan perempuan lain. Hidup bersama tanpa kata yang jelas. Di hutan Para itu aku kemba­li menyaksikan Lismatano bergulat dengan perempuan yang sama. Pergulatan yang dahsyat. Aku tak kuasa melihatnya. Tapi, entahlah mengapa tiba-tiba aku terpaku di depan mereka.

Lismatano dan perempuan itu terus bergulat. Saling menumpah­kan nafsu. Deru nafas memburu. Tiba-tiba... Aku tak percaya melihatnya. Tubuh Lismatano mengeras. Ia berubah jadi batu. Ya. Lismatano telah membatu. Kini tak bisa bergerak. Ia dalam keadaan yang mengerikan ketika membatu. Tubuhnya tumbuh lumut. Lebat dan kotor.

Aku terpana. Ngeri. Perempuan itu.

“Yuniz nama perempuan itu, Dianing.”

Aku hanya mengangguk. Ia tak membatu, tetapi tubuhnya berubah. Ia berkaki empat. Besar. Tubuhnya berbulu sangat lebat. Perempuan itu berubah binatang yang sangat mengerikan. Aku yang terpaku. Mulutnya lebar ke arahku. Siap menerkamku. Tapi burung hantu segera menerbangkan aku.

Aku di atas pohon randu. Lismatano telah membatu dan berlu­mut. Sementara perempuannya berubah binatang.

“Mengapa dengan mereka.”

“Itulah yang pantas mereka terima.”

Aku menghela nafas.

“Bulan pun tak sudi menyaksikan persetubuhan mereka.”

Aku menekuri tanah.

Aku berada di ketinggian mena­ra. Sebentar lagi aku harus kem­bali. Menikah dengan Lismatano hanya sebuah impian yang abadi. Kini aku hanya bisa merasakan sen­tuhan angin. Merasakan cinta dan kasih sayangnya. Ya. Dan aku ki­ni mulai belajar untuk damai dan ba­hagia dalam sendiri.***



Jakarta, Mei 1997.


Your Ad Here

READ MORE - pernikahan Angin



Oleh: Nadine Gordimer



Your Ad Here




Seseorang telah memintaku untuk menyumbangkan sebuah antologi cerita anak-anak. Kujawab bahwa aku tidak menulis cerita anak-anak. Orang itu mengatakan bahwa dalam suatu kongres/pameran buku/seminar yang diadakan baru-baru ini, seorang pengarang telah menghimbau agar setiap penulis menulis sekurang-kurangnya satu cerita anak-anak. Terpikir olehku untuk mengiriminya selembar kartu pos untuk menyatakan bahwa aku tidak sepaham dengan pendapatnya. Aku boleh menulis apa saja yang kuinginkan.

Kemarin malam aku terbangun tiba-tiba tanpa mengetahui apa yang mengejutkan diriku.

Sebuah suara dalam diriku?

Suatu bunyi.

Bunyi berderit-derit bagai langkah kaki yang diseret satu demi satu di atas papan seolah membawa beban yang berat. Kupasang telinga. Kupusatkan pendengaran. Bunyi berderat-derit itu bergema lagi. Aku menanti untuk mendengar kalau-kalau ada tanda yang menunjukkan bahwa kaki itu bergerak lagi dari satu kamar ke kamar lain. Aku tidak memiliki terali besi. Tak ada pistol di bawah bantalku. Namun aku juga kini merasa cemas seperti orang-orang lain yang serba waspada. Lagi pula kaca rumahku tipis bagai lapisan embun, mudah pecah seperti gelas anggur. Tahun lalu, seorang perempuan telah dibunuh (kata orang) di siang bolong. Anjing garang yang mengawal seorang duda tua dan koleksi jam antiknya telah dijerat sebelum ditikam oleh seorang buruh biasa yang telah di-PHK tanpa dibayar upahnya.

Kupandangi pintu, sambil membayang-bayangkan sesuatu dalam kepala --bukannya melihat-- di dalam gelap. Kutentramkan diri, tetapi degup jantungku tak menentu seperti menghantami jantungku. Tak dapat aku menumpukan pendengaranku karena gangguan yang ada pada siang hari. Kuteliti tiap bunyi yang paling perlahan sekalipun, mengenalinya baik-baik sambil memilah-milah kemungkinan ancamannya.

Namun, aku dilatih agar jangan merasa takut atau terancam. Tak ada bobot manusia yang menekan di papan itu. Bunyi deritan itu hanya disebabkan perasaan yang tertekan. Aku merasa ada di tengah-tengah tekanan itu. Rumah yang melingkupi tubuhku saat aku sedang tidur dibangun di atas bekas tanah pertambangan. Nun jauh di bawah kamarku, di dasar rumah ini, penggalian yang bertingkat-tingkat saat penambangan dan lorong jalanan tambang-tambang emas telah melongsorkan bebatuannya serta menyebabkan tanah ini jadi berongga. Jika ada permukaan yang bergetar, ia mungkin runtuh atau longsor 3000 kaki ke bawah. Seluruh rumah bergetar sedikit dan menyebabkan batu, semen, kayu, dan kaca yang menyangga rumah menjadi longgar. Degupan jantungku menurun seperti ayunan terakhir di atas zilofon, kayu yang dibuat oleh para penambang pelarian Chopi dan Tsoinga yang pernah berada di bawah sana, di bawahku, dalam perut bumi. Tingkat tempat adanya runtuhan mungkin tak digunakan lagi, air bertetesan dari rekahannya, atau mungkin ada orang yang pernah dikubur di situ dengan batu nisan yang menyedihkan.

Sukar bagiku untuk mencari tempat guna mengistirahatkan pikiran dan tubuhku. Merelakan diri tidur kembali. Akupun bercerita pada diriku sendiri; kisah dalam tidur.

Di dalam sebuah rumah di pinggiran metropolitan, tinggallah sepasang suami-istri yang saling menyayang serta hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka memiliki seorang anak lelaki yang amat mereka cintai. Mereka memiliki seekor kucing dan seekor anjing yang amat disayangi anak kecil itu. Mereka memiliki sebuah mobil dan sebuah trailer karavan yang digunakan untuk pergi berlibur. Ada pula sebuah kolam renang yang berpagar untuk mengelakkan anaknya dan teman-teman mainnya agar tidak terjatuh ke dalam kolam dan mati lemas. Mereka mempunyai seorang pembantu rumah yang amat bisa dipercaya, serta seorang tukang kebun yang rajin. Jadi, manakala mereka hendak memulai kehidupan yang bahagia untuk selama-lamanya, mereka telah dinasihati oleh seorang tukang sihir tua yang bijaksana, yaitu ibu sang suami, agar jangan mengambil siapapun di tepi jalan. Mereka tergolong masyarakat yang diberi kemudahaan dalam pengobatan, anjing peliharaan mereka diberi peneng, diri mereka diasuransikan dari musibah kebakaran, kerusakan akibat banjir, dan perampokan, serta menjadi anggota siskamling di lingkungan itu yang memberi mereka sekeping papan pengumuman di pintu pagar betuliskan "Dalam Lindungan Keamanan", mencegah kemungkinan perampokan, yang mungkin bertopeng hingga sulit diduga apakah ia orang kulit putih atau kulit hitam.

Sukar untuk mengasuransikan rumah, kolam renang, atau mobil mereka dari kerusakan akibat kerusuhan. Kerusuhan memang terjadi, tapi di luar kota, di mana orang kulit hitam ditempatkan. Orang-orang itu dilarang masuk kawasan pinggiran kota besar, kecuali pembantu rumah tangga dan tukang kebun yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, tak ada yang perlu dicemaskan, ucap sang suami pada istrinya. Namun sang istri masih merasa cemas kalau-kalau suatu hari nanti orang-orang ini akan turun ke jalan dan merusak papan bertuliskan DALAM LINDUNGAN KEAMANAN itu. Membuka pintu pagar, lalu memaksa masuk. Jangan mengomel saja, ucap sang suami, di sana ada polisi dan tentara, gas air mata dan senapan untuk mengusir mereka. Namun, saking cintanya, untuk menenangkan hati sang istri, juga karena bus-bus dibakar, mobil-mobil dilempari batu, dan anak-anak sekolah ditembaki polisi di kawasan pemukiman kulit hitam sana, jauh dari pandangan dan pendengaran orang-orang di kawasan tepian kota besar, sang suami telah memasang pagar berlistrik. Siapa yang menurunkan tanda DALAM LINDUNGAN KEAMANAN itu dan akan membuka pintu pagar, mesti menyatakan niatnya dengan menekan tombol dan berbicara melalui alat penerima yang disambungkan ke rumah. Anak kecil itu sungguh tertarik dengan alat tersebut dan menggunakannya sebagai walkie talkie dalam permainan polisi dan pencuri, bersama-sama dengan kawan-kawan yang sebaya dengannya.

Kerusuhan telah dapat ditanggulangi, tetapi pencurian banyak terjadi di kawasan tepian kota besar, dan seseorang pembantu rumah yang dapat dipercayai telah diikat dan dikunci di dalam almari oleh pencuri ketika ia diamanati untuk menjaga rumah majikannya. Pembantu rumah pasangan suami istri dan anak kecil itu merasa sedih dengan nasib malang yang menimpa rekannya. Seperti biasa, dengan tanggung jawab menjaga harta pasangan itu dan anak kecil mereka, pembantu rumah tersebut telah meminta majikannya untuk memasang terali pada pintu dan jendela rumah, serta memasang alarm. Sang istri berkata, benar ucapan pembantu itu. Ikutilah nasihatnya. Maka pada setiap pintu dan jendela rumah yang didiami oleh mereka dengan penuh kebahagiaan buat selama-lamanya itu, mereka melihat pohonan dan langit melalui terali, dan jika kucing piaraan anak mereka coba memanjat masuk melalui ventilasi untuk menemaninya tidur pada waktu malam sebagaimana yang biasa ia lakukan, kucing itu pun menyentuh alarm dan membangunkan seisi rumah.

Alarm tersebut nampaknya sering dijawab oleh alarm-alarm lain dari rumah-rumah lain yang disentuh oleh kucing piaraan mereka atau digigit tikus. Bunyi alarm yang nyaring, meraung dan menjerit, bersipongang satu sama lain, dan berselang-seling di halaman-halaman rumah, hingga akhirnya tidak diindahkan lagi oleh penduduk kawasan itu. Bunyinya dianggap biasa, sama dengan bunyi katak menguak hingga tidak mencemaskan para pencuri untuk mengambil kesempatan dan menggergaji terali-terali besi, lantas menerobos masuk, mengambil peralatan elektronik seperti hi-fi, televisi, tape recorder, kamera, radio, barang-barang berharga dan pakaian, serta kadang-kadang membongkar apa saja yang ada dalam lemari es jika merasa sangat lapar, bahkan berani istirahat sejenak untuk meminum wiski yang diambil dari dalam kabinet atau dari bar. Perusahaan asuransi tidak membayar ganti rugi untuk sebuah minuman malta sekalipun, kerugian besar hanya diketahui oleh pemiliknya saja. Pencuri-pencuri itu tidak langsung menghargai apa yang telah diminum oleh mereka.

Akhirnya, tibalah saat ketika banyak pembantu rumah dan tukang kebun yang tidak dapat dipercaya datang beramai-ramai memenuhi tepian kota besar itu, akibat menganggur. Setengahnya mendesak agar diambil bekerja: mencabut rumput, mengecat atap; atau apa saja. Tetapi sang suami dan sang istri teringat akan peringatan agar jangan mengambil orang yang tak dikenal. Sebagian dari mereka meminum minuman keras dan mengotori jalan raya dengan botol-botol kosong. Sebagian lagi meminta sedekah, menunggu sang suami atau sang istri ke luar dari pintu pagar yang berlistrik itu. Mereka duduk dengan kaki terjuntai ke dahan pohonan yang bagai sebuah lorong hijau di jalan raya. Sebuah kawasan tepi kota yang cantik jadi rusak oleh kehadiran mereka. Kadang mereka tertidur di depan pagar pada siang hari. Sang istri tidak sampai hati melihat orang yang kelaparan. Ia lalu menyuruh pembantu rumahnya mengantarkan roti dan teh. Tetapi pembantunya berkata bahwa mereka adalah para bandit yang akan mengikat dia dan menguncinya dalam lemari. Sang suami berkata, betul katanya, ikuti nasehatnya. Kau hanya membikin mereka jadi makin beringas dengan roti dan tehmu itu. Mereka mencari peluang kalau-kalau… . Dan sang suami pun membawa masuk sepeda roda tiga anaknya dari taman setiap malam karena jika rumah itu benar-benar selamat, setelah dikunci rapat-rapat dan alarm dinyalakan, seseorang mungkin masih dapat memanjat tembok atau pagar yang berlistrik itu untuk masuk ke dalam taman.

Benar katamu, ucap sang istri, kalau begitu tembok itu sebaiknya ditinggikan lagi. Dan perempuan sihir tua yang bijak itu, yaitu ibu sang suami, membayar untuk tambahan batu bata sebagai hadiah Hari Natalnya kepada anak dan menantunya. Si anak kecil pun mendapat pakaian orang angkasa dan sebuah buku cerita dongeng.

Tetapi, setiap minggu terdapat banyak berita tentang perampokan di siang bolong dan di malam yang sepi, bahkan pada waktu subuh, meskipun pada bulan purnama di musim panas yang indah, sebuah keluarga sedang menikmati makan malam ketika kamar tidur di tingkat atas dibongkar. Pasangan suami istri yang sedang berbincang tentang perampokan bersenjata terkini yang berlaku di pinggir kota itu telah diganggu oleh kemunculan kucing peliharaan anak mereka yang coba memanjat tembok setinggi tujuh kaki itu, berkali-kali, mula-mula memanjat ke atas dengan kaki depannya di permukaan dinding tembok, kemudian melompat dengan gerakan yang cantik dan mendarat dengan mengibas-ngibaskan ekornya ke dalam kawasan rumah. Tembok putih itu dikotori oleh bekas jejak kucing dan di bagian luar tembok yang menghadap jalan terdapat bekas jejak dari tanah merah yang lebar seperti tapak sepatu yang tersarung di kaki penganggur-penganggur yang membuang waktu tanpa tujuan.

Ketika sang suami, sang istri dan anak kecil membawa anjing mereka berjalan-jalan di kawasan kediaman mereka, mereka tidak lagi berhenti sejenak untuk menikmati keindahan pagar mawar di halaman yang kesemuanya kini tertutup di balik pagar serta tembok-tembok dengan peralatannya. Sang suami, sang istri, dan anak kecil mereka membuat pilihan menakjubkan. Sebuah pilihan yang murah, yaitu memasang pecahan kaca yang ditancapkan di atas semenan tembok dengan jerajak besi yang berujung tajam. Ada juga usaha untuk mencontoh kehalusan seni bangunan penjara berbentuk vila Spanyol (besi-besi tajam yang dicat merah jambu) dengan pasu-pasu berbentuk labu yang ditempel dengan lukisan klasik (besi-besi tajam yang panjangnya 12 inchi berlekak-lekuk dan bercat putih). Separuh tembok dilekatkan dengan papan kecil yang ditulis dengan nama dan nomor telepon perusahaan yang bertanggung jawab memasang peralatan tersebut. Sedang anak lelaki mereka dan anjingnya berlari ke muka, sang suami dan istri membandingkan setiap bentuk yang paling berkesan, dan selang beberapa minggu, saat mereka sedang berhenti di hadapan sebuah dinding tembok tanpa berkata-kata, keduanya membuat keputusan untuk memilih sebuah bentuk yang paling baik saja, yakni bentuk yang paling sederhana namun luhur yang direncanakan seperti bentuk kamp tahanan: tidak berbunga-bunga, kuat dan sederhana. Di sepanjang tembok, terbentang gulungan besi yang keras, berkilat, tajam bergerigi serta bercabang mata pisau. Ini semua menyulitkan orang untuk coba memanjat dan merangkak ke dalam gulungan itu tanpa dia tersangkut pada gulungan itu. Sama sekali tak ada jalan ke luar bagi mereka yang terlibat di situ. Setiap percobaan hanya akan menyebabkan darah keluar lebih banyak lagi. Semakin terkait, kulit makin terkoyak dan luka makin jadi dalam. Sang istri terpesona memandangnya. Betul katamu, ucap sang suami, siapapun akan berpikir dua kali… dan mereka mulai menimbang nasihat yang tercatat di atas papan kecil yang dilekatkan di tembok. Hubungi GIGI NAGA. Masyarakat ingin keselamatan yang mutlak.

Keesokan harinya, sekumpulan pekerja datang merentangkan gulungan berduri dan berpisau di sekeliling tembok rumah, di mana tempat sang suami, sang istri dan anak lelaki mereka yang kecil tinggal bersama-sama dengan anjing dan kucing peliharaan mereka dengan penuh kebahagiaan buat selama-lamanya. Cahaya matahari memancar dan cahayanya menerpa mata pisau bergerigi yang mengelilingi rumah tersebut, menyilaukan. Sang suami berkata, tak mengapa. Kilau itu akan hilang nanti. Sang istri berkata, tidak mungkin, mereka menjamin gulungan itu tahan karat. Dan sang istri menunggu hingga si anak kecil pergi bermain, lalu berkata, saya harap si kucing peka. Sang suami berkata, jangan cemas sayang, kucing selalu melihat sebelum melompat. Mereka benar, karena sejak hari itu, kucing mereka hanya tidur di kamar si anak dan bermain di taman saja, tidak pernah coba melanggar pagar keamanan itu.

Pada suatu malam, sang ibu membacakan sebuah kisah dongeng pada sang anak dari buku yang dihadiahkan oleh perempuan sihir tua yang bijak pada hari Natal. Pada keesokan harinya, si anak beraksi seperti seorang putra raja yang gagah berani melepas dan membabat duri-duri tebal untuk masuk ke istana dan mengecup sang puteri yang tidur serta menyadarkannya kembali. Si anak membawa tangga ke tembok. Ia menyusupkan diri ke dalam gulungan yang berkilat itu semuat-muat badannya. Kaitan yang pertama mengenai lututnya. Lalu tangannya, kepalanya. Ia menjerit kesakitan dan meronta semakin ke dalam gelungan itu. Pasangan pembantu rumah dan tukang kebunlah yang pertama kali melihat peristiwa itu, lalu segera berlari mendapati si anak kecil dan menjerit bersama-sama dengannya. Tukang kebun yang rajin itu telah luka tangannya ketika mencoba menyelamatkan si anak. Datanglah kemudian sang suami dan sang istri dengan tergopoh menuju taman. Dalam pada itu, entah apa sebabnya (mungkin kucing, agaknya) alarm pun menggila di tengah-tengah jeritan mereka, sementara si anak yang bermandi darah dikeluarkan dari gulungan dengan menggunakan gergaji, pemotong kawat, kapak, dan sebagainya. Mereka -sang suami, sang istri, pembantu rumah yang dipercayai yang tengah diserang histria, dan tukang kebun yang menangis- membawa anak itu masuk ke dalam rumah.*** Nadine Gordimer, lahir di Transvaal, 1923. Cerpenis dan novelis Afrika Selatan ini banyak mendapat penghargaan di bidang sastra, antara lain: Booker Prize, the W.H. Smith Commmonwealth Literature Award, dan the Scottish Arts Council Neil M. Gunn Fellowship. Dia seorang dosen tamu di Royal Society of Literature, dan anggota kehormatan American Academy and Institute of Art and Letters. Kumpulan cerpennya antara lain Livingstone Companions, Not dor Publication, Friday's Footprint, Selected Stories, A Soldier's Embrace, Jump and Other Stories, dan Something Out There. Nobel Sastra diraihnya pada tahun 1991. Diterjemahkan oleh Agus dan Nikmah Sarjono


Your Ad Here

READ MORE - Syahdan Pada Dahulu Kala

Oleh: Tayih Salih



Ketika itu aku pasti masih sangat muda. Aku tidak ingat tepatnya berapa umurku, tetapi aku ingat betul bahwa bila orang melihatku bersama kakekku, mereka akan menepuk kepalaku dan mencubit pipiku — hal-hal yang mereka tidak lakukan pada kakekku. Yang aneh adalah bahwa aku tidak pernah pergi bersama ayahku, kakekkulah yang akan membawaku ke mana pun ia pergi, kecuali pada pagi hari, ketika aku ke mesjid untuk belajar Quran. Mesjid, sungai, dan ladang itu — semua itu adalah hal-hal terpenting dalam kehidupan kami. Sementara kebanyakan anak-anak seusiaku menggerutu kalau harus ke mesjid untuk belajar Quran, aku malah senang melakukannya. Sebabnya, aku cepat menghafal Quran dan Syeh selalu memintaku untuk berdiri dan memperdengarkan ayat dari Sang Maha Pengampun kapan saja ia menerima tamu, yang akan menepuk kepala dan pipiku seperti yang mereka lakukan ketika melihatku bersama kakekku.

Sungguh, aku dulu mencintai mesjid, dan aku juga mencintai sungai itu. Segera setelah selesai membaca Quran pada pagi hari, aku akan melemparkan batu tulis kayuku dan melesat menuju ibuku, cepat seperti jin, dengan tergesa-gesa menelan sarapanku, dan berlari untuk menyelam di sungai. Ketika lelah berenang ke sana-ke mari, aku duduk di pinggir sungai dan memperhatikan patahan air yang mengalir menjauh ke arah Timur, dan bersembunyi di belakang hutan kecil rimbunan pohon akasia yang tebal. Aku suka membiarkan khayalanku dan membayangkan sebuah suku raksasa tinggal di belakang hutan itu, orang-orang tinggi dan kurus dengan janggut putih dan hidung tajam, seperti kakekku. Sebelum kakekku bisa menjawab pertanyaanku yang banyak, ia akan menyeka ujung hidungnya dengan jari telunjuknya, terasa lembut dan tebal dan putih seperti kain wol — belum pernah dalam hidupku aku menyaksikan sesuatu yang lebih putih atau lebih indah. Kakekku pasti juga luar biasa tinggi, karena aku tidak pernah melihat orang di seluruh daerah ini yang menyapanya tanpa harus mendongakkan kepalanya, atau belum pernah kulihat kakekku memasuki rumah tanpa harus membungkukkan badan begitu rendahnya sehingga aku mengingat bagaimana sungai akan mengalir memutar di belakang hutan kecil pepohonan akasia. Aku menyayanginya dan akan membayangkan diriku, pada saat aku sudah menjadi laki-laki dewasa, tinggi dan langsing sepertinya, berjalan dengan langkah-langkah yang lebar.

Aku yakin bahwa aku adalah cucu kesayangannnya, tidak heran, karena sepupu-sepupuku adalah gerombolan anak yang bodoh dan aku — begitu kata orang — adalah anak yang pandai. Aku biasanya tahu saat kakek menginginkan aku tertawa, saat untuk diam; juga aku akan mengingat saat-saat ia berdoa dan akan membawakan untuknya sajadah dan mengisi tempat air untuk wudhunya tanpa perlu ia memintanya. Ketika ia tidak memiliki kegiatan lain, ia suka mendengarkan aku membacakan ayat Quran dengan suara penuh irama, dan aku bisa mengatakan lewat wajahnya bahwa ia tersentuh.

Suatu hari aku bertanya tentang tetangga kami, Masood. Aku berkata pada kakekku, “Menurutku kakek tidak suka pada tetangga kita Masood?”

Yang dijawabnya, sesudah menyentuh ujung hidungnya, “Orang itu culas dan aku tidak suka orang macam itu.”

Aku berkata kepada kakek, “Apa sih orang culas itu?”

Kakekku menundukkan kepalanya sejenak, kemudian, memandangi luasnya ladang, ia berkata, “Kau lihat tanah yang ujungnya di padang pasir sampai ke tepi Sundai Nil? Ratusan feddans. Kau lihat semua pohon kurma itu? Dan pohon-pohon itu — sant, akasia, dan sayal? Semua ini jatuh ke pangkuan Masood, diwarisi olehnya dari ayahnya.”

Memanfaatkan kakekku yang membisu, aku mengalihkan pandanganku darinya ke daerah yang luas yang tadi diterangkan oleh kata-katanya. “Aku tidak peduli,” aku berkata pada diriku sendiri, “siapa yang memiliki pohon-pohon kurma itu, semua pohon itu ataupun tanah hitam yang pecah-pecah ini, yang kutahu itu adalah tempat bagi impian-impianku dan tempatku bermain.”

Kakekku kemudian melanjutkan, “Ya, anakku, empat puluh tahun yang lalu semua ini menjadi milik Masood — dua pertiga dari semua itu sekarang menjadi milikku.”

Ini jadi berita untukku, karena kubayangkan bahwa tanah ini sudah menjadi milik kakek sejak Tuhan menciptakannya.

“Tidak satu feddan pun milikku ketika aku pertama kali menjejakkan kaki di desa ini. Masood saat itu adalah pemilik semua kekayaan ini. Posisinya berubah sekarang, dan kupikir bahwa sebelum Allah memanggilku aku akan membeli sisanya yang sepertiga juga.”

Aku tidak tahu mengapa aku merasakan ketakutan pada kata-kata kakekku — dan rasa kasihan kepada tetangga kami Masood. Aku ingin sekali kakek tidak melakukan apa yang dikatakannya! Aku ingat Masood menyanyi, suaranya yang indah dan tawanya yang keras yang menyerupai suara air yang berdeguk. Kakek tidak pernah tertawa.

Aku bertanya pada kakek mengapa Masood menjual tanahnya.

“Perempuan,” dan dari cara kakek mengatakan kata itu aku merasa bahwa “perempuan” adalah sesuatu yang buruk sekali. “Masood, anakku, adalah lelaki yang doyan kawin. Setiap kali ia kawin ia menjual satu atau dua feddan padaku.” Aku dengan cepat menghitung bahwa Masood pastinya sudah menikahi sekitar sembilan puluh perempuan. Lalu kuingat tiga istrinya, penampilannya yang jorok, keledainya yang lambat dan pelananya yang tak terpelihara, galabia-nya dengan lengan baju yang robek. Aku sudah melakukan semua kecuali membersihkan pikiranku dari pikiran-pikiran yang berdesakan masuk ke kepalaku pada saat aku melihat laki-laki itu mendekati kami, dan kakek dan aku saling bertukar pandangan.

“Kami akan memanen kurma hari ini,” kata Masood. “Kalian tidak ingin ke sana?”

Walaupun begitu, aku merasa bahwa ia tidak betul-betul menginginkan kakek hadir di sana. Namun, kakek melompat berdiri dan aku melihat matanya bersinar sesaat dengan kecerahan yang luar biasa. Ia menarik tanganku dan kami menuju ke tempat panen kurma milik Masood.

Seseorang membawakan kakekku bangku yang ditutupi dengan penutup dari kulit sapi, sementara aku tetap berdiri. Di sana ada begitu banyak orang, tetapi biarpun aku kenal mereka semua, aku punya banyak alasan untuk memperhatikan Masood, jauh dari kerumunan orang banyak ia berdiri seolah itu bukan urusannya, walaupun kenyataannya pohon-pohon kurma yang akan dipanen adalah miliknya. Terkadang perhatiannya tersita pada bunyi rumpun besar kurma yang hancur terjatuh dari ketingggian. Sekali ia meneriaki seorang anak laki-laki yang bertengger di puncak pohon kurma dan ia sudah mulai menggarap rumpunan kurma dengan sabitnya yang panjang dan tajam, “Awas jangan sampai kau potong jantung kurmanya.”

Tak ada yang memperhatikan apa yang dikatakannya dan anak laki-laki itu terus duduk di puncak pohon kurma, dengan cepat dan penuh tenaga, menggarap cabang dengan sabitnya sampai rumpun kurma mulai jatuh seperti sesatu yang turun dari surga.

Namun, aku sudah mulai berpikir tentang kata-kata Masood “jantung kurma.” Aku membayangkan pohon kurma sebagai sesuatu yang punya perasaan, sesuatu yang memiliki jantung yang berdetak. Aku ingat ucapan Masood padaku ketika ia suatu kali melihatku mempermainkan cabang pohon kurma muda, “Pohon kurma, anakku, seperti manusia, merasakan kebahagiaan dan penderitaan.” Dan aku merasakan rasa malu di dalam diri yang tidak beralasan.

Ketika sekali lagi aku memandang luasnya tanah yang membentang di hadapanku, aku melihat teman-temanku berkerumun seperti semut di seputar batang pohon kurma, mengumpulkan kurma dan memakan sebagian besarnya. Kurma-kurma dikumpulkan menjadi tumpukan yang tinggi. Aku melihat orang berdatangan dan menimbang kurma ke dalam wadah timbangan dan menuangnya ke dalam kantung-kantung, yang kuhitung ada tiga puluh. Kerumunan orang bubar, kecuali Hussein si pedagang, Mousa si pemilik ladang di sebelah ladang kami sebelah Timur, dan dua laki-laki yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku mendengar bunyi siulan dan melihat kakek sudah jatuh tertidur. Lalu aku perhatikan Masood tidak mengubah cara berdirinya, kecuali ia memasukkan potongan tangkai ke dalam mulutnya dan sedang mengunyahnya seperti orang membuat perutnya kenyang dengan makanan yang tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan mulut yang masih penuh.

Tiba-tiba kakek bangun, melompat di atas kakinya, dan berjalan menuju kantung-kantung kurma. Ia diikuti Hussein si pedagang, Mousa di pemilik ladang di sebelah ladang kami, dan dua orang yang tak dikenal. Aku melirik Masood dan menyaksikannya sedang mendekati kami dengan luar biasa perlahan, seperti seseorang yang ingin mundur tetapi kakinya memaksa maju. Mereka membentuk lingkaran di seputar kurma dan mulai memeriksanya, beberapa mengambil satu dua kurma untuk dimakan. Kakek memberiku segenggam penuh, yang kemudian kukunyah. Aku melihat Masood memenuhi kedua tangannya dengan kurma dan membawanya ke dekat hidungnya, lalu mengembalikannya.

Kemudian aku menyaksikan mereka membagi kantung-kantung itu di antara mereka. Hussein si pedagang mengambil sepuluh; masing-masing orang tak dikenal itu mengambil lima, Mousa si pemilik ladang di sebelah ladang kami di sisi Timur mengambil lima, dan kakek mengambil lima. Aku yang tak mengerti apa pun melihat kepada Masood dan menyaksikan matanya bergerak ke kanan dan ke kiri layaknya dua ekor kucing kecil yang tidak tahu jalan pulang ke rumah.

“Kau masih berhutang lima puluh pound padaku,” kata kakekku kepada Masood. “Kita bicarakan itu nanti.”

Hussein memanggil pembantu-pembantunya dan mereka menggiring keledai, dua orang asing itu membawa unta, dan kantung-kantung kurma itu dipunggah ke atas punggung binatang-binatang itu. Salah satu keledai mengeluarkan suara ringkikan yang membuat mulut unta-unta itu berbusa dan mengeluh ribut sekali. Aku merasa mendekati Masood, merasakan tanganku mengarah padanya seolah aku ingin menyentuh keliman pakaiannya. Aku mendengarnya mengeluarkan suara di tenggorokannya seperti rintihan domba yang akan dijagal. Untuk alasan yang tak kuketahui, aku merasakan sakit yang teramat sangat di dadaku.

Aku berlari ke kejauhan. Mendengar kakekku memanggilku, aku sedikit ragu, kemudian melanjutkan perjalanan. Aku merasa pada saat itu bahwa aku membencinya. Aku mempercepat langkahku, sepertinya aku membawa di dalam diriku sebuah rahasia yang ingin kuhindari. Aku mencapai tepi sungai di dekat belokan di belakang hutan kecil pohon akasia. Kemudian, tanpa tahu mengapa, aku meletakkan jariku ke dalam tenggorokanku dan memuntahkan kurma yang sudah kumakan.*** Tayeb Salih (Al-Tayeb Salih), dilahirkan pada tahun 1929 di desa Al-Debba di Sudan Tengah. Tentang desanya itu, ia pernah me­nyatakan bahwa ia masih merasa tinggal di sana mengembara ke mana-mana. Masa ke­cil­nya dihabiskannya di desa itu. Keluarganya adalah petani dan guru. Ia mendapatkan pen­di­dikan tinggi di Universitas Khartoum, yang ke­mudian dilanjutkannya di beberapa univer­sitas di Inggris. Ia pernah menjadi guru di Su­dan, namun sebentar kemudian ia bekerja di BBC sebagai perencana siaran drama dalam bahasa Arab. Salih mulai menulis tahun 1953, tetapi kumpulan cerpennya yang pertama, yang hanya berisi tiga cerpen baru terbit tahun 1968. Cerpen "Segenggam Kurma" ini diambil dari kumpulan tersebut, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Denys Johnson-Davies, yang kemudian bersama sejumlah cerpen Afrika lain dikumpulkan oleh Charles R. Larson dalam Under African Skies. Mo-dern African Stories, 1997, Edinburg: Payback Press. Cerpen ini diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono.
READ MORE - Segenggam Kurma

Oleh: Yus R. Ismail



“Bercerminlah dengan khusuk, maka kamu akan melihat diri sendiri,” kata suara entah dari mana yang selalu bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku ini.

Setiap tengah malam aku terbangun dan mencari-cari cermin. Betapa sunyi keinginan ini. Bukankah setiap hari aku menjadi aku, menjadi diri sendiri, karena aku memang bukan seorang pemain sinetron atau drama. Aku toh bukan Dedi Mizwar yang biasa memerankan Naga Bonar atau apa dan siapa saja.

Tapi sering aku tiba-tiba asing dengan diri sendiri. Begitu banyak perilaku yang tidak bisa dimengerti mengapa pernah aku lakukan. Dan begitu banyak keinginan yang tidak aku lakukan. Aku tidak bebas lagi bergerak, berekspresi, menerjemahkan hati menjadi apa saja.

Aku merasa tubuhku ini bukan lagi rumah pribadiku. Di dalamnya, bisa jadi telah dibangun kamar-kamar yang sadar atau tanpa sadar telah aku kontrakkan kepada entah apa dan siapa. Tubuhku menjadi media ekspresi penghuninya yang bukan aku saja itu. Maka tanganku, mulutku, kakiku, mataku, lidahku, bisa bergerak selain diperintah olehku.

Kesadaran itulah yang mendorongku untuk bercermin, setidaknya untuk mengetahui siapa saja penyatron ruang-ruang tubuhku yang sadar atau tanpa sadar sempat kukosongkan itu. Bila sudah mengetahuinya, aku ingin mengusirnya, dengan kekerasan atau tanpa kekerasan.

Setiap suara entah dari mana itu bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku, aku pontang-panting mencari cermin. Aku memasuki wc-wc umum, mushola, gereja, candi, hotel, diskotik, tapi selalu berakhir dengan kelelahan. Semua cermin yang kutemukan tidak bisa lagi dipergunakan. Semua cermin telah retak dan pecah.

Tapi keinginan yang mencekam itu selalu membangun kelelahanku menjadi orang yang pantang menyerah. Maka aku menemukan cermin itu saat keinginan yang sunyi itu menusuk-nusuk seluruh tubuhku dengan pisau cekamannya. Seluruh anggota tubuhku mengalirkan darah. Aku merasakan suatu kesakitan yang nikmat saat darah itu mengucur setetes demi setetes. Aku teringat masa kecil saat emosi telah memuncak aku melepaskannya dengan tangisan yang keras dan merasa tenang setelah tangis itu berhenti. Teringat kelegaan dari tangisan di waktu kecil itu, tiba-tiba aku tidak bisa yakin apakah cairan yang keluar dari seluruh tubuhku itu benar-benar darah atau air mata.

Keraguan itu menjadikan aku merasa sekali waktu cairan yang keluar dari tubuhku itu benar-benar air mata dan di waktu lain benar-benar sebagai darah. Perubahan keyakinan itu memang begitu menyakitkan. Kesedihan, kepapaan, kesendirian, kesunyiaan, ketakberdayaan, ketaksempurnaan, kepedihan, semuanya menjadi silet-silet yang tanpa henti menoreh-noreh tubuhku. Tapi kesakitan itu pun aku rasakan menjadi kenikmatan yang tiada bandingannya. Barangkali kesakitan dan kenikmatan adalah dua hal yang menempati satu ruang kesadaran.

Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sebenarnya tidak perlu cermin. Tubuhku telah terpantul di mana-mana. Di tanah, angin, kabut, daun, batang, sampah, air, api, tubuhku terpampang seperti jutaan potret dari yang beragam betuk dan rupa.



***

PANGGIL apa saja maka aku akan menoleh. Namaku memang tidak jelas. Tapi ketidakjelasan itu merupakan kejelasanku. Bila bertemu denganku, di mana saja, jangan ragu-ragu untuk menyapa. Aku suka membicarakan apa saja dengan siapa saja. Tapi bila ingin ngobrol menghabiskan malam atau menghabiskan waktu menjadi tanpa ukuran, temui saja aku di kebun bunga.

Sejak kecil cita-citaku memang menanam bunga. Aku selalu terkenang dengan sebuah lukisan (yang entah di mana dan kapan pernah aku lihat) tentang seseorang sedang menyiram bunga dengan latar belakang langit senja yang kemerahan. Aku tak pernah lupa bagaimana air menetes dari ujung daun, bagaimana angin bergurau dengan tangkai mawar, bagaimana tanah menguapkan bau yang khas, dsb.

Lukisan penyiram bunga dengan latar belakang kemerahan langit senja yang entah di mana dan kapan pernah aku lihat itu terpantul kembali di setiap potret diri yang kulihat di mana-mana dan apa saja yang tiba-tiba kulihat sebagai cermin.

“Mau kamu mencoba menyiram bunga?” tanya si penyiram itu ketika aku begitu takjub dengan matanya. Di matanya, aku melihat berbagai metamorfosa menjadi warna-warna yang artinya tak terjangkau pengetahuan ilmu semiotikku. Ada pucuk yang diam-diam menjadi kesegaran daun menjadi kelelahan daun kering dan menjadi cekaman musim gugur. Ada kuncup yang menjadi keindahan bunga mekar menjadi keresahan kelopak-kelopak yang tanggal dan menjadi kesadaran kesementaraan. Dan begitu banyak lagi metamorfosa lainnya.

“Mau menyiram bunga?” tanya si penyiram itu sekali lagi. Dengan gembira aku mengangguk dan menghampiri. Aku ingin merasakan lebih dalam getaran metamorfosa dari banyak hal itu. Tapi begitu air jatuh dari gayungku, aku lupa dengan metamorfosa itu. Aku telah terbawa air, mengalir ke mana saja yang kumau. Aku menyusuri daun dan batang sambil mengingat kesakitan hutan yang ditebang dan di bakar. Aku meresap ke dalam tanah sambil mengingat hektaran hutan menjadi gurun tandus.

Aku mendengar kesakitan hutan itu seperti jeritan badai yang terus berdebur. Eh, aku tak yakin, ini sebuah jeritan atau geraman dari dendam. Aku tidak bisa membedakan suara keduanya. Sampai aku sadar bahwa badai itu hadir di dalam tubuhku, mengobrak-abrik ruang-ruang tubuhku. Aku banting-banting di tengah lautan yang kuciptakan sendiri. Entah berapa lama aku pingsan, karena tahu-tahu aku berada di pantai yang tenang dan pagi yang anggun. Aku merasa tubuh ini sakit-sakit, begitu lelah. Pantai apakah ini?

“Mau ikut denganku?” tanya seseorang dengan ransel besar di punggungnya yang mengingatkanku akan perjalanan yang panjang dan jauh.

“Pantai apakah ini?” Aku malah balik bertanya.

“Kuta.”

Beberapa jenak aku tercenung. Benarkah ini pantai Kuta? Melihat dari tanda-tandanya aku merasa ini Pantai Panjang.

“Ya, Pantai Panjang juga bisa. Atau Pangandaran. Atau Pelabuhan Ratu.”

Aku memandang orang yang aneh itu.

“Apa perlunya nama. Kamu bisa menamakan pantai apa saja sesukamu. Karena semua nama akan cocok dengan pantai ini.”

Siapa sebenarnya orang ini? Orang gila atau makhluk angkasa luar? Karena aku diamkan cukup lama, orang beransel besar itu terbang. Saat itulah aku yakin bahwa orang itu adalah angin. Aku menyusulnya sambil berteriak, “Aku ikut!”

Kami mendaki bukit menuruni gunung masuk ke lembah menyusup ke lorong-lorong. Bertahun-tahun kami mengembara. Barangkali sepanjang hidup ini akan dihabiskan untuk mengembara. Barangkali hidup memang pengembaraan itu sendiri seperti kata Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah cerpennya yang kubaca di toko buku entah di daerah mana. Setiap kaki melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi.

Barangkali benar bahwa nama-nama tempat tidak penting bagi seorang pengembara. Kami banyak menyaksikan beragam peristiwa di setiap tempat. Kami merasa peristiwa itulah yang lebih penting dibanding dengan nama-nama. Tapi sayang kami tidak mencatat peristiwa-peristiwa itu. Tidak bisa terbayangkan, berapa banyak kertas dan tinta yang akan kami habiskan bila setiap peristiwa dicatat. Tapi kertas dan tinta itu bukanlah alasan yang tepat mengapa kami tidak mencatat. Kami seperti punya kesepakatan bahwa sebaiknya memang tidak dicatat dan dibicarakan. Kami tidak bisa membayangkan, bila seluruh peristiwa itu tercatat, berapa milyar pembaca yang akan sakit.

Peristiwa-peristiwa itu memang penuh dengan darah dan rasa perih. Sepanjang sejarah, rasa sakit barangkali bagian dari hidup. Sungai-sungai mengalirkan air mata. Suara tangis terdengar di mana-mana. Air mata siapa lagi itu kalau bukan milik kita, karena hanya kita yang menghuni dunia ini. Maka kami, aku dan angin, pergi dari tempat yang satu ke tempat yang lain sambil merasakan rasa sakit sendiri-sendiri.

Setiap kaki melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi. Kami tahu tempat-tempat itu pun akan menyediakan hidangan kesakitan-kesakitan lain begitu kami datang, tapi kami tidak bisa tidak mengunjungi tempat-tempat itu. Barangkali merasakan kesakitan-kesakitan di tempat-tempat yang berbeda itu adalah hidup kami.

Keyakinan itu terus berada di hatiku sampai rasa lelah dan sakit tidak bisa lagi aku tahan. Aku sadar bahwa aku tidak seperti angin yang ditakdirkan sebagai pengembara. Aku pingsan entah berapa lama. Dan begitu terbangun, aku berada di sebuah taman yang entah bernama apa dan di mana. Saat kulihat ke sekeliling, aku yakin bahwa taman ini adalah lukisan yang terpantul di potret diri dari cermin-cermin itu.

“Mengapa berhenti menyiram bunga?“ kata seseorang yang sebelumnya kukenal sebagai si penyiram bunga itu. Tapi aku tidak mengacuhkannya. Aku lebih tertarik dengan matahari yang membuat langit memerah itu. Sinar lembutnya disambut hangat lebah-lebah yang tanpa lelah mencari madu dari bunga ke bunga. Eh, aku baru sadar di taman ini pun ada ulat yang terus-terusan memakan daun dan mengerek batang. Memandangnya sambil mencoba memahami kunyahan mulutnya aku merasa begitu dekat dengan ulat. Atau aku pun adalah ulat? Ah, aku tak mau mengikuti pengembaraan yang melelahkan itu. Aku tak mau pergi dengan ulat seperti yang pernah kulakukan dengan air dan angin.

Aku berdiri dan pergi.

“Mengapa tidak menyiram bunga lagi? Dengan menyiram, kamu bisa pergi ke mana saja. Ingatlah, kita tidak bisa tidak pergi. Kita tidak bisa merasa sakit dan perih. Karena sakit dan perih adalah hidup kita....”

Dan entah apa lagi yang diucapkan si penyiram bunga bermata penuh metamorfosa itu. Dia barangkali tidak sadar bahwa kepergianku dari taman itu pun adalah pengembaraan.***
READ MORE - Menyiram Bunga di dalam Cermin

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda